Drive My Car: Memikirkan Kata-kata

“Jika aku hidup normal, mungkin aku akan jadi Schopenhauer atau Dostoevsky yang lain.”

Perbuatan selalu lebih banyak pengaruhnya daripada kata-kata, tapi bagaimana kalau kata-kata itu dialirkan dalam rengkuhan penuh cinta seolah langsung ditancapkan ke dalam pikiran? Kebenaran itu mengalir deras, dan ia menginginkan seluruhnya. Pengaruhnya tentu begitu tinggi, hingga hak-hak kita diabaikan dengan sukarela. Drive my Car adalah film dengan penerungan mendalam. Kata-kata dipilah dan dipilih sehingga penuh intimidasi tersirat. kata-kata membuncah, digurat dengan pena tajam, dipikirkan dengan sungguh-sungguh. Disajikan dalam mangkuk emas, citarasa sinema tiada dua.

Sebelum filmnya dirilis saya udah plot skor sempurna, ini adalah adaptasi dari cerita pendek Penulis favorit sedunia Haruki Murakami. Saat menonton, sepanjang menit bilang wow wow wow. Saat usai, rasanya tak ingin usai. Setelah menonton, seolah mabuk cinta. Jelas sangat memenuhi ekspektasi, makin menggelora setelah pengumuman nominasi Oscar, masuk jajaran best picture! War-biasa, doa-doa kelas berat diuntaikan menjadi the-nextParasite. Secara sah, bahkan sebelum menuntaskan film-film 2021 lainnya, sudah ada di puncak pilihan film terbaik. Kini setelah tiga bulan, tetap tak tergoyahkan.

Ini tentang cinta dan kesetian, ini tentang komitmen melanjutkan hidup sekalipun fakta-fakta pahit menampar, ini tentang belas kasih dan kesedihan membuncah, diredam dalam balutan sandiwara, lantas diumbar di jalan-jalan. Ini adalah sepenggal kisah hidup Yusuke Kafuku (Hidetoshi Nishijima), seorang guru dan pemain panggung senior. Tampak di permukaan ia adalah seorang suami yang ideal. Namun baru beberapa menit, kita langsung ditampar kejutan pahit.

Istrinya Oto Kafuku (Reika Kirishima) saat ditinggal keluar kota malah selingkuh. Ia tahu dengan cara dramatis, setelah pamit berangkat untuk terbang, sampai di bandara penerbangan dibatalkan, tanpa memberitahu istrinya, ia kembali pulang. Ia mendapati istrinya bercinta dengan orang asing, tindakannya yang membuat shock, bukan hanya dia, tapi juga penonton, sungguh diluar duga. Yusuke malah kembali menutup pintu, keluar rumah dengan kesedihan membuncah, lantas menginap di hotel. Bahkan setelahnya melepon, tetap dengan nada yang riang. Bagaimana bisa ada seorang suami tak mendamprat istrinya yang terang-terangan selingkuh di rumah? Wait, bagi pembaca buku-buku Murakami kalian pasti sudha akrab dengan pola sejenis ini. Dan tahu alasannya. Namun kita simpan saja, yang jelas Yusuke sudah memutuskan meredamnya.

Waktu terus bergerak, dan kabar duka tiba. Setelah masa berkabung dua tahun, Yusuke menerima tawaran mengajar dan mengarahkan sebuah drama panggung Paman Vanya di Hiroshima. Baginya berkutat di panggung sandiwara adalah panggilan hidup. Ia menjadi mentor latihan yang dihormati. Segala akomodasi ditanggung panitia, tinggal di pinggir danau, reservasi makanan berkualitas, hingga antar jemput dari dan ke tempat penginapan – kantornya. Nah yang terakhir ini memunculkan dilema, sebab Yusuke sudah punya mobil pribadi warna merah marun Saab 900. Ia tak ingin orang lain menyupiri, ia begitu mencintai kendaraannya, merawatnya dengan baik. Namun panitia tak mau ambil resiko, Tuan Yusuke tetap duduk di kursi penumpang.

Misaki Watari (Toko Miura) adalah sopir profesional. Gadis mungil pendiam ini akhirnya diperbolehkan menjadi sopirnya. Mereka tidak sepakat untuk sepakat. Meskipun masing-masing tahu yang sebenarnya untuk keselamatan bersama. Setidaknya coba dulu, dan benar saja, cara berkendaranya halus, nyaman, dan sesuai harapan. Begitulah, film akan berkutat hingga akhir di sekitar itu. Misaki nyupir, Yusuke melatih sandiwara. Lantas di sebuah malam tragedi terjadi. Pementasaan yang menyisakan hari, dipertanyakan akankah tetap berlangsung? Fakta-fakta lebih pahit diungkap, semuanya menundukkan kepala. Tenang, tenanglah di surga.

Sebaiknya daripada menghukum, hendaknya kita mencoba memahami mereka. Yusuke dengan legowo menerima perlakuan menyeleweng istrinya, cinta buta yang kalau dilihat dari kacamata awam, terlihat aneh sekali. Setidaknya marah kek, komplain kek, ancam cerai kek, dst. Apakah dengan rasa cinta meluap-luap, lantas memaafkan? Jawabannya ada di tengah film, saat Sang istri mengajak bicara serius sepulang kerja nanti, dan hasilnya mengejutkan. Takut kehilangannya sudah level dewa gan, cinta yang secinta-cintanya, sayang yang sesayang-sayangnya, tanpa banyak cingcong dan embel-embel syarat. Benar-benar war-biasa. Bukankah mengetahui semua berarti memaafkan semua?

Jawaban berikutnya, lebih menghentak, bagaimana masa lalu pahit keluarga ini diungkap. Rasa kehilangan orang terkasih, memang itulah yang menyatukan dengan sangat erat, makanya rasanya sudah tak umum, perlakuan membiarkan pasangan selingkuh.

Kembali lagi ke atas, kebanyakan novel-novel Murakami memang tak lazim, dan tema suami yang membiarkan air mengalir, menatap hari-hari dengan pasif, tatapannya tak bisa ditebak, arah pikirnya melalangbuana, hingga ide aneh tak terkira. Saya sudah akrab, dan Drive My Car makin mengukuhkannya, promo literasi yang amat pantas. Saya baca buku-buku Murakami seolah-olah datang dari sebuah bintang di langit, bukan dari dunia ini. Nikmat sekali, liar sekali, antusias sekali.

Saya terlalu takut. Sulit untuk mengakui hal ini. Terlalu takut untuk melempar dadu. Namun mari tetap dilanjutkan, saya pernah dengar sebuah cerita, yang awalnya kusangka suatu mimpi yang tak keruan. Dan mimpi itu menghantui hingga di kehidupan nyata. Lantas saya terbangun lagi, itu bukan mimpi, itu adalah narasi yang disampaikan kekasih saat di puncak kenikmatan dunia, lantas setiap narasi memasuki area kebeningan air, senyap lantas beriak, lalu semua seolah dihentikan tiba-tiba. Saya ingat suara di kepalaku. Itu bukan suaraku yang sedang berpikir, melainkan hanya raungan dalam kesunyian. Jutaan hal muncul dalam sekejap, istriku terlalu baik, saya amat mencintainya, sehingga tidak sepantasnya dituduh macam-macam, ia terlalu pintar, terlalu berbelas kasihan dan terlalu-terlalu lainnya. Potongan adegan riak air itu menampar kesadaran seperti orang terbangun dari tidur. Cerita itu terhenti di situ, dan saya tak tahu kelangsungannya. Lantas bagaimana bisa saya mendengar kelanjutannya dari lelaki asing, manusia lain yang justru malah bisa menembus garis finish? Rasanya, ketakutan terbesar adalah apa yang mungkin ia temukan. Begitulah, orang-orang yang kita kira dekat, tak selalu berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan lepas. Rahasia-rahasia gelap disisihkan ke relung hati, bersemanyam di sana, akan mengaum di waktu yang tepat. Auman itu sayangnya, ia lewatkan sebab ia tak siap. Yang namanya siap dan tepat sering kali bagai dua kutup yang sama, selalu menolak dan menjauh. Manusia berencana, sebaik mungkin, esok yang terjadi jauh panggang dari api. Lalu lintas ingatan itu masuk ke dalam bundaran di kepala kita, lalu berputar-putar sesaat dan lama kemudian, imajinasi pun mulai bekerja menyatukan lalu lintas ingatan itu dan mengarahkannya ke ribuan jalan yang berbeda. Tafsir yang beragam. Selama bertahun-tahun, saya terus dibebani ingatan ini, merasakan penasaran, sambil mencoba melupakannya. Jadi mengingatnya kembali dan menuliskan semua faktanya di ingatan jangka panjang, saya berharap dapat mengurangi paling tidak sebagian dari tekanan itu terhadap mimpiku. Fantasi itu lantas membumbung tinggi menerawang langit. Saya, di sini tentu saja perwakilan uneg-uneg Sang Duda kesepian. Menjelma seperti sang perisau, seorang pelamun.

Saya nulis ini sebenarnya kurang lega, pengen nonton ulang, pengen baca buku-buku sandiwara, pengen baca sastra Jepang, masih pengen nulis seribu kata lagi. Namun waktu Oscar tinggal 3 hari. Yo wes apa adanya. Drive My Car awalnya mau saya ulas terakhir sebelum menebak para jawara, tapi karena menipisnya waktu dan acara kejar tonton ulas sepertinya mustahil tuntas, di mana film yang sudah ketonton langsung ulas bergantian, ternyata H-3 ini masih begitu banyak. Film ini bahkan bukan film best picture terakhir yang kuulas, masih ada West Side Story. Padahal rencananya mau tonton ulang, mau baca buku-buku naskah sandiwara: Three Sisters dan Menunggu Godot, hanya satu yang terkejar. Yo wes, ngalir saja. Drive My Car sudah mengunci Bahasa Asing, yang menarik tentu nominasi lain yang lebih bergengsi. Naskah adaptasi jelas saya jagokan pula. Sutradara akan satu rel sama Film terbaik, ini sulit dan hanya pernah terjadi sekali di mana Bahasa asing bersanding pula. Berprediksi itu sulit, tapi tetap saya akan menempatkan yang menurutku laik. Empat piala sapu bersih? Berat, tapi masih ada harapan, selalu ada harapan.

Memikirkan kata-kata, lalu memberinya nyawa di atas panggung. Semua petunjuk sudah dikaitkan, semua titik dihubungkan. Perjalanan telah usai. Terima kasih untuk segalanya, lantas kunci mobil berpindah tangan. Ketiadaan tidak lagi ada dalam genggaman kita seperti halnya kemutlakan. Goodluck Murakami.

Drive My Car | 2021 | Jepang | Directed by Ryusuke Hamaguchi | Screenplay Ryusuke Hamaguchi, Takamasa Oe | Cast Hidetoshi Nishijima, Toko Miura, Reika Kirishima | Skor: 5/5

Karawang, 240322 – Rob Thomas – The Man to Hold the Water

Di Kota Kucing, Manusia adalah Pengunjung

“Aku sangat menyukainya. Dia memiliki kebanyakan kualitas yang luar biasa. Tetapi terkadang sulit bagiku untuk mengikuti cara berpikirnya yang ekstrem…”

Memang jaminan mutu, penulis idola, pengarang terbaik modern yang masih hidup hingga saat ini. Setiap tahun kujago menang Nobel Sastra, maka semua buku terjemahannya coba saya nikmati. Kota Kucing dan Kisah-kisah Lainnya diterjemahkan entah dari mana, sebab di identitas tidak dicantumkan. Diambil dari berbagai sumber? Ya sepertinya, satu cerita adalah nukilan novel 1Q84, awalnya sudah familier. Kisah Tengo terbaca alurnya bahkan di halaman pertama. Saya baru baca books one, belum finish di seri tiga, tapi pijakannya sama. Apakah ini sejenis cerpen yang dikembangkan menjadi novel? Atau kumpulan cerpen ini adalah versi padat sebuah buku besar? Kreatif sekali kalian, kalau segitunya. Hanya kalian yang sudah baca riwayat Tengo, atau orang dibalik Penerbit Odyssee yang tahu.

Ada enam cerita, dan semuanya keren.

#1. Samsa Jatuh Cinta

Dia terbangun dan menemukan dirinya telah bermetamorfosis menjadi Gregor Samsa. Pembuka kisah yang to the point. Pijakannya jelas dari novelet Franz Kafka dimana Samsa terbangun suatu pagi menjadi seekor kecoa. Kali ini dibalik, seekor kecoa menjadi manusia. Kok bisa? Biasanya saya kurang suka cerita terkenal yang sudah menjadi ikon, lalu diburai dan dikembangkan oleh penulis lain. Namun kali ini jelas pengecualian, sebab jadinya malah terlena, terbuai akan nasib Samsa.

Samsa terbangun dalam kebingungan, dan memertanya kenapa jadi manusia? Dia tidak berubah menjadi ikan saja? Atau bunga matahari? Setidaknya, menjadi ikan atau bunga matahari lebih masuk akal daripada menjadi manusia – menjadi Gregor Samsa. Seandainya aku berubah menjadi ikan atau bunga matahari, aku bisa menjalani hidupku dengan damai, tanpa harus berjuang untuk naik atau turun tangga seperti ini. dalam keadaan lapar, ia turun ke halaman rumah yang terbentang meja penuh makanan. Saking laparnya, dia tidak peduli dengan ras. Hambar atau lezat, pedas atau asam, baginya semua rasa sama.

Samsa tidak tahu dari mana pengetahuan berasal. Mungkin terkait dengan ingatan berputar yang ia miliki. Setelah kenyang ia lalu menyusun kepingan info. Saat itulah muncul gadis panggilan, yang bertugas membetulkan kaca. “Gregor Samsa, kamu adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Kosa katamu kaya, dan selalu sampai ke intinya…”

Mereka ada di masa perang, era asli kisah ini. Praha yang bergolak, di mana-mana banyak tentara yang berjaga. Penjelasan sang gadis, untuk sampai rumahnya butuh perjuangan ekstra. Ia bukan ahli kunci, tetapi sebagai tenaga pengganti sementara. “Segalanya berantakan akibat bom di sekitar kita, tetapi masih ada yang peduli dengan lubang kunci yang rusak… mungkin mengerjakan hal-hal kecil dengan patuh dan jujur adalah cara untuk menjaga kewarasan di tengah dunia yang sedang kacau.”

Lubang kunci yang rusak ada di lantai atas, dan setelah banyak kecanggungan, basa-basi, sampai fakta aneh bahwa di masa itu, masih ada yang peduli kunci yang rusak terdengar janggal. Yang pasti Samsa jatuh hati padanya. “Jika kamu memikirkan seseorang dengan sungguh-sungguh, kamu akan bertemu dengannya lagi.”

Segalanya gelap: masa depan, saat ini, dan masa lalu. Mana yang benar dan mana yang salah? Samsa yang baru saja jadi manusia, memertanya banyak hal. Dunia sedang menunggu untuk dipelajari. “Aku tidak bermaksud kasar. Aku tidak sehat, ada banyak hal yang tidak kumengerti.”

#2. Pisau Berburu

Waktu berlalu dalam diam. Mungkin yang paling lemah sebab endingnya paling biasa, kalau tak mau dibilang datar. Narasinya panjang nan berbelit. Jadi suami istri yang sedang melakukan liburan, menginap di hotel dekat pantai, memperhatikan sekitar. Termasuk tetangga mereka yang unik.

Rutinitas sebagai sesama tamu, walau tanpa saling sapa mencipta keakraban tanggung. Dan di hari terakhir sebelum check-out, ia bertemu dengan sang pemuda Amerika tersebut. Di dini hari yang sunyi di dekat kolam hotel. Terjadi diskusi menarik. “Ketika Debussy tidak mendapatkan tempat di dalam opera yang ia susun, dia mengatakan ini: ‘Aku menghabiskan hari-hariku untuk mengejar ketiadaan yang tercipta – rien.’ Tugasku adalah menciptakan kekosoangan itu, rien-ku.”

Pisau berburu yang tajam yang berbahaya untuk seorang yang sakit fisik. Apakah itu semua hanya ilusi? Atau, aku adalah ilusi itu sendiri? Mungkin itu bukan masalah. Datanglah besok, dan aku tidak lagi ada di sini.

#3. Kota Kucing

Ini yang saya maksud nukilan novel 1Q84. Tengo yang unik, karakter istimewa ini mengunjungi ayahnya yang sudah tua di sebuah panti jompo, naik kereta dan menikmati sebuah buku dari Jerman tentang kota kucing, di mana seorang pemuda turun di sebuah stasiun, tak ada penghuni manusia, adanya kucing, banyak kucing, banyak sekali. Di sebuah menara, ia mendengar bahwa para kucing curiga ada manusia di kota ini, dan ia diburu. Saat ia kembali ke stasiun, kereta tak mau berhenti, maka ia kembali bersembunyi di menara lonceng. Stack, takut, prihatin dalam sepi. Fantasinya semakin jauh dan kompleks. Mereka mengikuti satu pola, tetapi variasinya tak terbatas.

Tengo, bernarasi selama perjalanan tentang masa kecilnya yang menjadi teman menarik iuran TV stasiun NHK, oleh ayahnya. Kabarnya ibunya meninggal saat kecil dan menghabiskan masa kecilnya menjadi teman jalan ayahnya tiap hari Minggu yang seharusnya merupakan hari libur.

Menyebalkan, dan sungguh ia muak. Maka hubungan ayah-anak ini jadi renggang dan janggal. Mereka adalah dua manusia terpisah yang berasal dari – dan sedang menuju –  tempat yang sepenuhnya berbeda. Bahkan memori masa kecilnya, melihat ibunya berselingkuh dengan lelaki lain menjadi alibi bagus untuk menanyakan, apakah ia anak kandung? Apakah ibunya masih hidup? Dst. Kalian takkan menemukan jawabnya, sebab khas Murakami, banyak hal menggantung, semakin banyak semakin penasaran, semakin bagus. Jika hidup dapat diukur dengan warna dan ragam episodenya, kehidupan ayah ayah Tengo begitu kaya dengan caranya sendiri, mungkin.

Aku tidak selalu ingin tahu akan kebenaran tentang siapa diriku dan dari mana aku berasal. Termasuk saat di masa tuanya, Tengo kembali menanyakannya, walaupun ujungnya tak ketemu juga.

Pengetahuan adalah modal sosial berharga. Itu adalah modal yang harus dikumpulkan hingga berlimpah dan digunakan kepada generasi berikutnya dengan sangat hati-hati. Itu juga harus diwarsikan kepada generasi berikutnya dalam bentuk yang bermanfaat…”

#4. Kino

Luar biasa. Tentang suami yang dikhianati dan bagaimana menghadapi kenyataan pahit. Saat kenyataan menghantam keras padamu, maka hantamlah dengan keras sebagai balasan. Seperti tanah kering yang menyambut hujan, ia membiarkan kesendirian, kesunyian, dan kesepian meresap dalam. Kino adalah pekerja kantor biasa, memiliki istri dan belum punya anak. Suatu hari saat ia ditugaskan keluar kota, dan balik tanpa info lebih cepat sehari sebelum jadwal, ia menemukan istrinya selingkuh. Ia marah, pergi tanpa menengok ke belakang. Tanpa membawa apapun, ia membangun ulang kehidupan. Ada yang salah di antara mereka sejak awal, seolah mereka telah menekan tombol yang salah. Aku harus belajar bukan hanya melupakan tetapi memaafkan. “Aku harus belajar bukan hanya melupakan tetapi memaafkan.”

Membuka bar dengan jazz dan arsesoris aduhai. “Mendengarnya, membawa kembali begitu banyak kenangan.” Bar milik bibinya yang kini sudah ia sulap menjadi tempat nongkrong yang menyenangkan. Ia bayar per bulan, ia sanggupi syarat itu. Berjuang dari awal lagi, mencipta idealismenya sendiri. Lalu seorang pengunjung aneh bernama Kamita, yang tiba setelah Magrib dengan buku tebal dan pesanan yang sama membuatnya penasaran. “Maksudmu beberapa masalah serius telah terjadi, bukan karena aku melakukan kesalahan, tetapi karena aku tidak melakukan hal benar? Ada masalah dengan bar ini, atau aku?”

Dari situ pula kita tahu, ada sesuatu yang aneh di kedai itu. Sesuatu yang janggal, ia bukan pengunjung biasa. Kino biasanya selalu berhati-hati dan menjaga jarak dari segala macam keterikatan. Tidak ada yang lebih buruk dari kecemburuan dan kebanggaan, dan Kino memilki sejumlah pengalaman yang mengerikan karena keduanya.

Sementara hujan tak kunjung reda, membasahi dunia dalam dingin yang menggigil.

#5. U.F.O. di Kushiro

Ini juga tentang suami yang kehilangan istrinya, Komura ditinggal istrinya setelah gempa yang menimpa Kobe. Semua akibat dari gempa itu seperti gema monoton yang jauh darinya. Menjelaskan secara sederhana tetapi jelas mengapa dia tidak ingin hidup dengan Komura lagi. Tanpa kejelasan kenapa ia cabut, teman sekerjanya Sasaki lalu menyarankan liburan ke Hokkaido. Sekalian menitipkan benda aneh untuk diberikan kepada adiknya.

Di bandara, ia disambut Keiko Sasaki dan temannya, Shimao. Dari sana mereka mengakrabkan diri, dan khas Murakami persahabatan sesaat ini menjelma liar. Cerita mereka berhenti pada titik itu. Dia berhenti sejenak untuk membiarkan ceritanya meresap. Dan yang terjadi, terjadilah. Shimao menggambarkan suatu pola rumit di dada Komura dengan ujung jarinya, seolah sedang melemparkan mantar sihir.

#6. Kemarin

Pikiranku seperti diselimuti kabut. Ini yang terbaik, sangat bagus. Di tempatkan di paling akhir pula. Tanimura memiliki teman aneh bernama Kitaru, orang Tokyo yang belajar dialek Kansai dan mempraktekkannya. Bukan hanya mempraktekkan, juga mendalami dan benar-benar menjelma orang Kansai. Hajar mereka tepat di depan dengan memberikan fakta bahwa aku berasal dari De-nen-cho-fu. Bayangkan, ada orang Jakarte, belajar logat Tegal dan benar-benar menyusupinya dengan sungguh. Mereka berkawan di kedai kopi dekat gerbang Universitas. Sama-sama aneh memang, tapi Kitaru terlampau kreatif. Tes masuk perguruan tinggi Waseda (tempat kuliah Murakami) dua kali gagal, sementara Tanimura langsung kuliah. Jika kamu tidak tahu apa yang kamu cari, akan sulit untuk menemukannya.

Maka saat ia berkunjung ke kampung halaman di Denenchofu, berceritalah ia bahwa ia memiliki pacar sejak sejak sekolah. Teman akrab sejak kecil, Erika yang cantik sekali. Mereka terlihat cocok, dan saling melengkapi, tapi memang Aki (panggilan sayang Kitaru) lebih ekstrem. Muncul ide gila, bahwa Tanimura diminta kencan sama pacarnya. Awalnya ga mau, tapi karena Tanimura sahabatnya sendiri, dan percaya sekali, maka kencan itu terwujud. “Tetapi, pengalaman yang sulit dan rasa kesepian, adalah sesuatu yang kamu perlukan ketika masih muda. Bagian dari proses kedewasaan.”

Diskusi suatu akhir pekan itu di Shibuya dan menonton film Woody Allen, menjadi kejadian yang absurd untuk dikenang. Menjadi penghubung banyak hal, sebab setting cerita lalu dilempar ke masa depan dengan nasib berbeda untuk ketiganya. Dia menelusuri halaman-halaman buku ingatannya. Merenungi bagaimana hal-hal pada akhirnya berakhir – setelah semuanya telah diputuskan – adalah masalah kronis lainnya. Kimura di Amerika, Tanimura yang sudah menikah tanpa anak, dan Erika yang menjadi sales juga belum menikah. “Kamu terlalu cantik untuknya.”

Pertemuan tak sengaja di hotel itu mengungkap hal-hal masa lalu yang terpendam. Betapa kemarin, walau sudah lewat masihlah sangat berharga. Yang bisa kita lakukan supaya kedua mataku tetap terbuka ketika angina yang kuat menerjang adalah menarik napas, dan terus maju.

Lakukan apa yang kamu inginkan dan lupakan apa yang orang lain pikirkan. Aku terkesan denganya. Yang masih tersisa dalam ingatanku hanyalah fragmen-fragmen, yang bahkan aku tidak yakin apa benar begitu yang dinyanyikan Kitaru. Seiring berjalannya waktu, ingatan, tanpa bisa dihindari, menyusun kembali dirinya sendiri.

Memang istimewa penulis yang satu ini, segala pujian rasanya tak akan selesai dikumandangkan untuk cara bercerita yang keren. Kota Kucing adalah kumpulan cerpen pertama yang kubaca, setelah novel-novelnya dan memoar asyik tentang lari. Dan jelas buku-buku keren lainnya pasti kususul baca. Kucing, jazz, absurditas narasi, cinta yang tenggelam, lari… inilah semesta Murakami.

Kota Kucing dan Kisah-kisah Lainnya | by Haruki Murakami | Copyright Odyssee Publishing, 2019 | Cetakan pertama, Mei 2019 | Alih bahasa Dewi Martina | Penyunting A.D. Saputra | Tata letak The Naked! Lab | Perancang sampul The Naked! Lab | Ilustrasi sampul Louis Wain Paintings, 1886 – 1936 | Skor: 5/5

Karawang, 240821 – Louis Armstrong feat. Ella Fitzgelard – Isn’t This a Lovely Day (To Be Caught in the Rain)

Thx to Sentaro books, Bekasi

Norwegian Wood #30

image

Ketika pengumuman pemenang Nobel Sastra tahun 2015 dipublikasi, dan Haruki Murakasi tak menang,  saya adalah satu dari jutaan penggemarnya yang bersedih. Bertahun-tahun dinominasikan dan tahun lalu jadi kandidat kuat namun rontok juga.  Yang muncul adalah momen kecewa kembali. Sampai kapan Penulis Jepang ini bersabar?

Inilah catatan ke 30 dari 30 di bulan Juni 2016. Hufh… selesai juga akhirnya.

Ini adalah buku pertama beliau yang saya baca, yang kedua sudah saya ulas ‘What I Talk About When I Talk About Running’ dan yang ketiga tak sabar akan saya baca ‘Dunia Kafka’. Kini sudah di rak. Novel pertama ini sensasional. Luar biasa, ide liar Haruki dituangkan dengan memikat. Saya bacanya tahun lalu pas Ramadan, beberapa bagian memang vulgar jadi hati-hati saat siang. Sempat menyebutnya semacam bagian kedua dari trilogi: pertama Catcher in the Rye-nya Salinger dengan setting seorang anak sekolah  lalu kedua Norwegian Wood ini dengan setting utama kuliah dan ketiga Down and Fall in Paris and London-nya George Orwell yang bersetting orang bekerja. Ketiganya menurutku merupakan sebuah perjalanan hidup manusia. Sekolah-kuliah-bekerja. Dengan banyaaak sekali persamaan sifat karakter utama. Suka buku, pemikiran praktis dengan banyak perenungan serta seorang pribadi yang kesepian. Kebetulankah?

Kisahnya sangat bagus sedari halaman pertama. Aku Watanabe, 37 tahun sedang berada di bandara Hamburg, Jerman saat terdengar di langit-langit instrumentalia Norwegian Wood nya The Beatless, aku menangis sesenggukan mengingatkannya pada masa lalu ketika kuliah. Mengingatkannya pada Naoko. Mengingatkannya pada pemandangan di padang rumput berselimut debu selama musim panas di bulan Oktober. Ingatan merupakan hal yang aneh. Ketika aku benar-benar ada di sana aku hampir tak memperhatikan pemandangan. Itulah masa ketika apa pun yang kulihat, apa pun yang kurasa dan apapun yang kupikirkan, akhirnya semua kembali lagi pada diri sendiri seperti bumerang. Lebih-lebih aku sedang jatuh cinta dan cinta ini menjebloskan ke dalam situasi pelik. Naoko, gadis di sampingku di padang rumput itu berujar, “sampai kapan pun jangan lupakan aku. Ingatlah selalu keberadaanku.” Memikirkan hal itu aku nelangsa, karena Naoko tidak mencintaiku sama sekali.

Setelah pembuka yang menyentuh hati itu kita dihempaskan ke masa lalu yang diceritkan sepintas tadi. Ditarik jauuuuh ke belakang, 18 tahun lalu. Masa ketika aku di asrama mahasiswa di Tokyo. Masuk ke bangku universitas, penjelasan detail asrama itu mirip penjelasan Holden Vitamin Coulfield di Catcher in the Rye. Mereka yakin bahwa gorden adalah benda setengah abadi yang menjuntai di jendela. Bercerita teman-temannya salah satunya si komando pasukan gerak cepat – kopasgat yang tergila-gila dengan potert pemandangan. Mengambil jurusan geografi dan belajar peta. Anehnya dia selalu tergagap ketika menyebut pe.. pe.. ta. Kalau sudah membicarakan itu semua, sambil tergagap-gagap ia akan terus berbicara sampai satu atau dua jam, sampai yang mendengarkan tertidur atau meninggalkannya. Rutinitasnya tiap pagi jam setengah tujuh ia bersenam membuatku terbangun dengan gerakan loncat yang mengganggu.

Lalu kisah sesungguhnya dimulai, tentang Naoko teman masa SMA yang memiliki pacar bernama Kizuki. Naoko bersekolah di SMA putri misionaris yang ekslusif, sekolah berkualitas. Bertiga menjadi teman akrab, sering jalan bareng walau kelihatannya aneh juga tapi kenyataannya itulah suasana ternyaman dan berjalan lancar. Namun sebuah tragedi terjadi membuat persahabatan ini buyar. Kematian bukan lawan kehidupan. Tapi ada sebagai bagiannya. Di dalam kehidupan, semuanya dan segalanya berputar mengitari kematian.

Lalu Naoko dan aku mulai akrab. Jalan bareng, ngopi di kafe, banyak cerita dan bisa berjalan di samping gadis secantik dia bukanlah sesuatu yang buruk, tanpa tujuan sering berdua berjalan mengelilingi kota Tokyo, mendaki tanjakan, menyeberangi sungai, melintasi rel, dan terus berjalan tanpa henti. Dan bagiku melihat wajah Naoko tersenyum sungguh menyenangkan. Ketika ia memeluk lenganku aku merasa yang ia cari bukan lenganku melainkan lengan seseorang. Yang ia cari bukan kehangatanku melainkan kehangatan seseorang. Aku jadi diriku entah mengapa menjadi malu.

Aku senang membaca buku. Suka membaca berulang-ulang buku yang kusukai seperti karya Truman Capote, John Updike, Scott Fitzgelard, Raymond Chandler. Wow sangat berkelas Watanabe iki. Kadang-kadang hanya dengan memejamkan mata, menghirup aroma, dan menyentuh halaman buku aku sudah merasa bahagia. Dan berprinsip, “Kalau laki-laki membaca Great Gatsby sampai tiga kali rasanya bisa menjadi temanku.”

Salah satu orang itu adalah Nagasawa-san. Sebagai pembaca ia bukan tandinganku tapi ia tak pernah mau mengambil buku karya pengarang yang belum 30 tahun meninggal dunia. “Aku hanya percaya pada buku-buku seperti itu,” katanya. “Bukan berati aku tak percaya pada sasta modern. Aku hanya tak mau menghabiskan waktuku yang berharga sia-sia membaca buku karya orang yang belum dibabtis oleh waktu. Hidup ini pendek.”

Penggemar Balzac, Dante, Joseph Conrad, Dickens. “Watanabe, kamu tahu? Di asrama ini orang yang bisa dianggap manusia itu hanya aku dan kamu. Yang lainnya, semua kertas sampah belaka.”

Orang keren. Sayangnya sejak melihat Nagasawa-san bertindak sangat tidak sopan kepada seorang gadis karena mabuk, aku bertekad untuk tidak membuka hati terhadap laki-laki ini. Dari lelaki aneh inilah aku mendapat pengalaman banyak dengan perempuan. Hidup memang berputar dan berpusat pada banyak omong. Persetan dengan uang.

Ketika Naoko berulang tahun kedua puluh ia berujar, “Umur 20 tahun itu rasanya konyol juga ya. Aku samasekali tidak siap memasuki usia ke-20 ini. Rasanya aneh sekali. Seperti didorong-dorong secara paksa.”

Tidak ada orang yang suka sendirian. Cuma tidak mau merasa putus asa saja. Kalau kamu membuat otobiografi, kamu bisa menggunakan kata-kata itu.” Itulah perkenalan awal dengan mahasiswi bernama Midori – hijau. Nama kakaknya Momoko – Pink. Teman kuliah di kelas drama ini nantinya akan menjadi karakter penting di sela Naoko dan temannya Reiko-san. Sangat berliku dan membuat frustasi (pembaca) menatap masa depan.

Lalu bagaimana akhir dari perjalanan Watanabe sehingga setiap saat mendengarkan lagu Norwegian Wood bisa membuatnya menangis? Bagaimana nasib Naoko yang frustasi, apakah bisa sembuh dari trauma? Bagaimana nasib Midori yang cocok dengan Watanabe namun sudah punya pacar? Apakah Nagasawa-san bakalan berubah sifatnya setelah diterjang waktu? Bagaimana nasib pacar Nagasawa, Hatsumi-san yang cantik dan lembut itu? Semuanya tersaji dengan sangat memukau. Sungguh buku yang menakjubkan.

95 persen orang-orang yang ingin jadi birokrat adalah sampah. Ini betul. Mereka tak bisa membaca huruf dengan baik. – halaman 80

“Ya sampai-sampai aku ingin memberimu sedikit waktuku agar kamu bisa memanfaatkannya untuk tidur.” – 86

“Kamu ini sungguh aneh. Wajahmu tak menunjukkan suka bercanda, tapi bercanda juga ya.” – 103
Semua orang terlihat bahagia. Apakah mereka betul-betul bahagia, atau hanya kelihatannya seperti itu, aku tak tahu. – 118

Kemudian aku mengingat-ingat lagi kejadian semalam satu per satu secara beruntun. Semuanya terasa aneh, samar tak nyata, seolah-olah di situ ada dua-tiga helai lempengan kaca yang menghalangi, namun semua itu benar-benar telah terjadi padaku. – 125

Entah mengapa, begitu aku terbaring di ruangan ini, kejadian-kejadian dan perasaan-perasaan masa lalu yang tak pernah kuingat satu per satu bermunculan di benakku. Ada yang menyenangkan ada pula yang menyedihkan. – 152

“Sepertinya tempat ini bukan dunia yang sesungguhnya deh. Orang-orang, pemandangan di sekeliling, semua rasanya bukan dunia sesungguhnya.” – 251

Pagi-pagi mencuci pakaian, lalu menjemurnya di balkon gedung asrama sebelum sore saya angkat, lalu menyetrikanya. Menyetrika bukan pekerjaan yang membosankan. – 280

Aku berfikir harus berapa puluh kali atau berapa ratus kali menjalani hari Minggu seperti ini. Hari Minggu yang sunyi tenang dan kesepian’. Kucoba mengucapkan kata-kata itu. Hari Minggu aku tidak memutar sekrup hidupku. – 293

“Bagus sekali, sampai-sampai seluruh pepohonan di hutan-hutan yang ada di seluruh bumi ini bertumbangan.” – 378

“Aku suka apa pun yang kamu pakai, yang kamu lakukan, kamu katakan, cara berjalanmu, cara mabukmu, semuanya suka. Aku menyukaimu sebesar harimau-harimau di seluruh dunia yang mencair menjadi mertega.” – 385

Dan betapa pun kita melakukan yang terbaik, seseorang kalau sudah waktunya terluka, akan terluka juga. Itulah hidup. – 391

“Aku ini manusia yang sudah tamat. Yang ada di depanmu sekarang tidak lebih hanya sisa kenangan diriku. Sesuatu yang terpenting yang dulu ada di dalam diriku sudah lama mati, dan sekarang aku hanya bergerak mengikuti kenangan itu saja.” – 416

“Berbahagialah,” katanya kepadaku ketika akan berpisah. – 425

Well, buku sehebat ini sayangnya ditemukan banyak typo, salah ketik. Aneh juga Penerbit sebesar KPG masih banyak kata yang lolos. Bukan pertama saya temukan, di buku-buku lain juga sering ketemu typo. Sebagai PR Penerbit KPG harusnya mengevaluasi lagi pemeriksa aksara. Sayang aja, buku-buku berkualitas tercetak dengan kata-kata yang salah.

Terakhir, kapan ya Haruki meraih Nobel Sastra? Semoga tak seperti Penulis besar kita, Pram yang berkali-kali masuk nominasi namun keburu kembali ke Tuhan tanpa meraih penghargaan prestisius ini. Please… #NobelSastraForHaruki

Norwegian Wood | by Haruki Murakami | KGP 901 15 0949 | judul asli Noruwei no Mori | copyright 1987 | originally published in Japan by Kodansha Ltd. Tokyo | Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) | Cetakan kelima, Februari 2015 | Penerjemah Jonjon Johana | Penyunting Yul Hamiyati | Perancang sampul Deborah Amadis Mawa | Penata letak Wendie Astwenda | iv + 423 hlm; 13,5 cm x 20 cm | ISBN 978-979-01-0835-7 | Skor: 5/5

Karawang, 300616 – Sherina Munaf – Primadona

#30 #Juni2016 #30HariMenulis #ReviewBuku – Happy birthday Sinna Sherina Munaf, gadisku!