Mengerikan, Semua Mengerikan

Night Shift by Stephen King

“Rumah ini dibangun dalam ketidakbahagiaan, ditempati ketidakbahagiaan, darah telah ditumpahkan di lantai-lantainya (sebagaimana kau mungkin sudah atau belum tahu, Bones, pamanku Randolph terlibat dalam kecelakaan di tangga menuju ruang bawah tanaj yang mengakibatkan kemarian putrinya Marcella; sang paman kemudian bunuh diri karena teramat menyesal…”

King lagi, dulu rasanya sulit sekali menuntaskan baca ini. Padat, terjemahan yang terlipat, hingga pembahasan horror yang tampak aneh, tapi entah kenapa seusai ulas Cell, saya ambil dari rak hari Minggu, 18 Sep dan berhasil dibaca cepat. Senin tak tersentuh karena ada tugas keluar kota, Selasa kubaca dua bab, Rabu, 21 Sep 2022 pagi sebelum kerja saya tuntaskan. Saya tak memahami aturan baca cepat/kilat, saya hanya baca saya, menikmati waktu. Santuy, hanya waktu luangnya diperbanyak aja. Nyaman, sangat nyaman sekalipun temanya horror.

#1. Jerusalem’s Lot

kisah digulirkan dengan cara surat-menyurat. Sang aristrokat Charles Boone dan pelayannya Calvin McCann baru saja tiba di Chapelwaite, rumah saudaranya Stephen. Rumah tua dan terabaikan itu dibersihkan, tetangga pada heran, berani-beraninya mereka datang dan akan tinggal di mansion tua dan angker tersebut. Banyak desas-desus yang beredar, bahwa rumah itu dikutuk, banyak hal buruk terjadi, suara-suara gaib, hingga tuah jahat menyelimuti.

Sampai akhirnya mereka menemukan peta tua di perpustakaan, peta Jerusalem’s Lot. Daerah dekat hutan yang dihindari semua warga. Dipatik rasa penasaran yang kuat mereka ke sana, dan menemukan banyak kegajilan. Kota hantu yang puluhan tahun tak disentuh kehidupan, debu, aroma busuk, hingga aura hitam. Di gereja yang juga terbengkelai, mereka menemukan kitab terbuka berjudul De Vermis Mysteriis (Misteri-misteri Sang Cacing). Saat dipegang, gereja bergetar dan serangan antah lewat. Sebuah peringatan keras sebenarnya untuk gegas pergi, tapi segalanya terlambat.

“Tuan Boone, Anda harus meninggalkan Chapelwaite dengan segera!”

#2. Gilir Kerja Pekuburan

Ini yang terbaik, bagaimana horror tikus dipadu dengan kelelawar menghantui. Bagaimana kalau tikus dan kelelawar bersatu, artinya ada kelelawar berbuntut panjang tikus! Serem. Dan begitulah, urusan uang jadi pemicu, tapi sekali lagi segalanya terlambat untuk dimengerti.

Warwick seorang mandor bangunan yang keras merekrut Hall, seorang gelandang yang sejatinya cerdas, pernah kuliah soalnya. Mereka dan tim sedang melakukan tugas membersikan gedung di baseman pabrik tua yang terbengkelai. Ada ribuan tikus, dan mereka harus membersihkannya.

Di ruang bawah tanah yang gelap itulah, mereka menarik selang, mengusir tikus-tikus jahanam yang sudah berevolusi. Tak disangka, ada ratu tikus sebesar anak sapi! Mengerikan, awalnya bertiga, tapi yang satu sudah kabur duluan karena takut, tinggal Warwick dan Hall, berhasilkah melarikan diri?

 “Jika ada tikus, hantam mereka!”

#3. Gelombang Pasang Malam

Virus A6 atau “Kapten Trips” yang menyapu kota. Sekelompok mahasiswa yang tersisa dan selamat pada malam bulan Agustus di pantai Anson, New Hampshire. Bernie percaya bahwa mereka bisa bertahan berkat antivirus A2. Virus yang bermula dari Asia Tenggara itu telah membunuh banyak orang. Saat di pantai menemukan manusia sekarat yang mengigau, langsung dibakar hidup-hidup, mengurangi resiko. Sampai akhirnya ditemukan fakta di antara mereka ternyata sudah terjangkit A6.

Sebuah dunia baru yang dibentuk, ataukah mereka turut musnah?

“Aku tidak merasa tidak enak, dalam pikiranku, maksudku. Kamu, lain lagi. Kamu banyak berpikir tentang itu. Aku bisa menebak.”

#4. Si Lubang Pintu

Perjalanan ke luar angkasa dan efek yang menjangkit para astronotnya sekembali ke bumi. Arthur yang sudah menginjak Venus kini memberi saran untuk tak melanjutkan jelajah ke sana. Ia gatal-gatal, bisa jadi karena terpapar mutagen alien yang berbahaya. Bermula dari ujung jarinya muncul mata alien, lalu lubang dicipta untuk mengintip kehidupan bumi. Para alien sendiri takut akan keberadaan manusia, sehingga mereka juga menunggu reaksi kehidupan.

Namun berjalannya waktu, bertahun-tahun setelah menghuni tubuh Arthur, mereka bermutasi dan makin besar menguasai tubuhnya. “Mereka menggunakan aku, sebenarnya memanipulasi aku.” Dari jari, merembet ke badan, dan sebelum terlambat Arthur harus membunuhnya, yang artinya bunuh diri. Apakah sisi kemanusiaanya yang unggul, ataukah egoism kehidupan? Mengerikan.

“Berapa banyak mantan astronot secara teratur menulis ke pejabat-pejabat di Washington dengan saran agar uang untuk penjelajahan ruang angkasa itu digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat?”

#5. Sang Pengoyak

Ini tampak absurd, mesin yang bisa berpikir dan membantai orang—orang yang menjalankannya. Mesin cuci binatu di sebuah industri pakaian baru saja membunuh karyawan. The mangle, nama mesinya bisa keluar dari prosedur penggunaan. Ada palang yang menghalangi orang di pintunya, bila ada anggota tubuh masuk, ada sensor yang seharusnya otomatis mesin mati.

John Hunton yang menyelidiki kasus ini semakin heran, saat kasus lain mengakibatkan kematian terjadi lagi. Dan dengan penelusuran lebih lanjut, mereka harus melakukan ritual pengusiran hantu dalam mesin. Dengan ugo rampe disertai mantra, mereka melakukannya. Oh, penghuni mesin ini sungguh kuat, dan mengerikan!

“Ayo, sebelum keberanian kita raib.”

#6. Suangi

Ini tragis, sungguh mengerikan membayangkan seorang ayah kehilangan ketiga anaknya karena makhluk gaib mengambilnya. Dr. Harper adalah psikiater yang menangani kasus Lester Billing. Lester mengaku melakukan pembunuhan terhadap anak-anaknya, dari diagnosis adalah penyakit kejang, jantung, dll. Kematian mendadak itu, sebenarnya di malam hari dimulai dengan igauan, atau teriakan sang anak: “Suangi… ada suangi, Papa.”

Sang anak menunjuk lemari terbuka, atau toilet terbuka. Dan begitulah esoknya mati. Begitulah, saat sesi terapi sejam sudah selesai, Lester keluar tak mendapati perawat, dan saat kembali, ia menemukan fakta mengejutkan lainnya.

“Jika tujuh ratus ekor monyet mengetik untuk tujuh ratus tahun, salah satu dari mereka akan menghasilkan karya-karya Shakespeare.”

#7. Sesuatu yang Kelabu

Ini tragedy keluarga. Seorang pensiunan yang gila minuman keras, menganggur dan mabuk-mabukan dari pesangon. Richie yang malang, menyepi dan jauh dari hiruk pikuk. Buat mabuk, ia selalu menaruh uang di atas lemari, anaknya akan membelikannya, menaruhnya, dan sang anak masuk kamar mengerjakan PR.

Henry yang pemilik bar, lantas tahu beberapa detail mengerikan dari cerita sang anak. Bahkan pernah memergoki ayahnya makan kucing hidup. Bau menyengat, hingga nafsu makannya yang luar biasa, Henry dan kawan-kawan lantas gegas ke rumah Richie untuk mengetahui apa yang terjadi. Mengerikan, Richie kini sudah jadi sejenis mutan, ia seolah makhluk jamur yang kosong, ia diminta keluar, dan gambaran ganjil itu membuat mereka ragu, apakah senapan akan ditembakkan atau tidak, sebab mereka tak tahu Richie apakah masih Richie atau sudah jadi monster?

“Pada suatu hari semua pintu dalam rumah terbuka lebar…”

#8. Ajang Pertempuran

Pembunuh bayaran yang galau dan menemukan diri diteror balik. Setelah melakukan tugasnya, Renshaw mendapat paket mainan berisi G.I. Joe Vietnam Footlock dari ibu sang korban. Sempat curiga berisi paket bom, tapi setelah dikocak tak ada suara detak jam, atau hal aneh lainnya, dibukanya paket.

Berisi mainan tentara-tentaraan, jip, tank, pesawat, dll. Paket mainan itu diluarduga hidup, mereka menyerang Renshaw hingga babak belur. Walaupun kecil, mereka banyak. Ia kalah senjata, kalah jumlah, kalah pengalaman perang. Dengan panik sembunyi di pinggi jendela, setelah jeda 15 menitan, ia menemukan kalimat dari para tentara, “Menyerahlah.” Oh tentu saja tidak, ia kini tersulut untuk melawan balik, dan meledakkan mereka semua. Hihi, mengerikan sekali pokoknya.

Hei anak-anak! khusus dalam koper Vietnam ini!

#9. Armada Truk

Sebuah rest area truk menjadi ajang bertahan hidup dari serangan aneh. Truk-truk itu hidup sendiri, menabrak apa saja yang ada di jalan tol. Seolah mesin pembunuh, menghancurkan apa saja di depannya. Di restoran itulah, enam orang bertahan hidup ala kadarnya, bersembunyi dan coba kontak tempat lainnya meminta bantuan. Sang aku, penjaga konter, sopir truk yang selamat, Jerry sang pemuda dan pacarnya, dan penjual bernama Snodgrass.

Mereka bertahan di restoran dari gempuran truk, dengan makanan seadanya, air seadanya, listrik yang tiba-tiba padam menambah suram. Saat genting kehabisan air bersih, dan truk-truk mulai jejer mengklakson, mereka pikir tamat sudah. Ternyata klason itu kode morse yang bilang, mereka kehabisan bensin, maka meminta para survival ini mengisinya dari pom yang ada atau mereka menabrakkan diri menghancurkan semuanya. Negosiasi itu alot terutama dalam resto tentu saja tarik ulur ambil tidaknya, dan setelah dipertimbangkan, mereka sepakat mengisi bahan bakar para truk.

Hingga akhirnya mereka mendengar suara deru dua pesawat terbang, apakah ada pilot di atas sana? Jangan-jangan…

“Aku pikir semua itu hanya gertakan saja!”

Sudah beberapa buku King saya baca, mungkin tak sampai menjadikannya penulis favoritku, tapi selalu bisa memuaskan, semua ceritanya Ok untuk ukuran genre yang bukan di andalanku. Polanya sama, horror psikologi. Mau cerpen atau novel, semuanya ndelujur bebas, bahasannya ke mana-mana. Sering kali keluar tema utama, mengalir bebas bak air bah, makanya rerata bukunya tebal-tebal. Untuk jilid 1 ini, ada dua pengantar. Pertama dari, John D. MacDonald, sebuah prawacana yang memicu untuk menjadi penulis. Pesan King selalu sama, “Jika anda ingin menjadi penulis, maka menulislah.” Tak ada rumus lainnya. Kedua Prakata dari sang penulis, panjang sekali, bisa jadi pembuka buku non fiksi sendiri. Poinnya, King menyukai tema-tema takut, berbagai penulis yang menjadi rujukannya, banyak membaca, hingga tips mencari ide bisa dari pengalaman. Sungguh nasehat yang jitu dan bermanfaat. Prakata ditulis di Bridgton, Maine tanggal 27 Februari 1977.

Banyak buku King di rak, dan akan terus kubacai. Bukunya melimpah, dan semoga waktuku juga. Terima kasih King, Anda hebat.

Bayang-bayang Temaram (jilid 1) by Stephen King | Diterjemahkan dari Night Shift | Copyright 1978 | Alih bahasa Wim Salampessy | Editor Dra. Y. Titik Lestari | Hak cipta terjemahan tahun 2004 | Penerbit Alice Saputra Communications, Co., | Skor: 5/5

Karawang, 210922 – The Cranberries – Promises

Thx to Toko buku Kharisma, KCP Karawang @ Feb’13

Hello Ghost: Manfaatkan Masa Kini dengan Baik, dan Kau akan Ditempanya

“Apa yang kulakukan sekarang akan menciptakan siapa aku nanti.” Jean-Paul Sartre (1905 – 1980) dalam “Nausea”

Pentingnya menjaga kejutan tak bocor. Film lama yang sungguh nikmat dilahap saat kita tak tahu obsesi apa yang dijalani para tokoh ini, motif yang disimpan rapat sepanjang film dibuka jelang akhir. Segala yang tampak dan diperjuangkan, terlihat masuk akal, walau membantu hantu sendiri tak masuk akal. Hiburan sejati, seolah kita tercerahkan, ada hikmah yang bisa ditangkap saat credit title muncul, cieee…, di mana dukacita lama dipoles dan diubah menjadi harapan. Orang-orang di dimensi lain biasanya dalam film bisa mengamati kegiatan kita, lantas bila karakter utama kita bisa balik mengamati mereka, apakah semenakutkan yang dikira? Oh tidak, mereka orang-orang baik, maksudnya hantu-hantu baik dengan keingina aneh-anah sahaja, tak ada salahnya dipenuhi. Dan apa konsekuensinya? Harapan! Harapan adalah bahan bakar untuk mesin mental kita. Hello Ghost menawarkan air mata pengorbanan yang sangat pantas dipeluk seerat-eratnya, sehangat-hangatnya.

Kisahnya tentang Sang-Man (Tae-hyung Cha) yang gagal bunuh diri. Ia frustasi menjalani hidup, sebatang kara tertekan keadaan. Ada di titik lelah, disintegrasi pribadi. Berbagai cara dilakukan, terbaru, setelah minum banyak obat dan tak jadi mati, ia mengalami sejenis halusinasi. Hati kecilnya terjeblos ke dalam sunyi yang meresahkan. Di rumah sakit melihat hantu, bukan hanya satu tapi empat. Keempatnya meminta tolong padanya untuk melakukan hal-hal yang tak tuntas di masa hidup. Pertama seorang lelaki parlente sopir taksi (Chang-Seok Ko) dengan rambut sigrak pinggir dan hobi merokok. Ia semena-mena duduk di tempat tidur pasien. Ia jorok dan suka mengintip rok para perawat dengan melakukan tiupan hantu sehingga roknya terangkat terayun dikit. Hantu cabul dengan senyum genit nyaris sepanjang film. Hantu ini ternyata cukup arif, untuk menjaga agar kepribadiannya, kehidupannya (di masa lampau), perasaan-perasaannya, dorongan-dorongan keinginannya, tak terkuak langsung. Ia menginginkan kembali taksinya.

Kedua, seorang ibu (Young-nam Jang) yang menangis mulu. Ia hobi masak dan ingin menyediakan masakan keluarga spesial, melewatkan makan malam istimewa. Makhluk Tuhan yang menangis sampai terlelap kini bersiap-siap menguras air mata lagi dan lagi, sementara para tukang teriak pun akan segera kembali bersuara, dialah yang ketiga, seorang anak kecil (Bo-Geun Cheon) yang merengek minta ke bioskop dan makan permen segede ikan, dalam artinya sebenarnya. Terakhir lelaki tua (Moon-su Lee) berharap Sang membantunya menemukan kamera yang belum dikembalikan.

Karena Sang yang memang tak tahu mau ngapain lagi hidup, dan rasanya tak ada salahnya memenuhi harap para hantu gentayangan itu, serta ia ingin gegas terlepas dari kewajiban nyeleneh itu, (dan mungkin agar bisa segera mati tenang) maka satu per satu keinginan itu coba dikabulkan. Mereka ikut tinggal di apartemennya dan mengikuti kegiatan sehari-hari. Pikiran Sang jumpalitan ketika ia mulai diganduli, tapi itu belum seberapa, ia nantinya juga jadi penyampai pesan dari orang mati.

Dalam prosesnya, kita malah mendalami masa lalunya. Menemukan hal-hal umum, betapa hidup masih layak diperjuangkan. Apalagi ia jatuh hati sama perawat Jung Yun-Soo (Kang Ye-won), yang tentu saja memberinya ‘ada sesuatu di masa depan yang diperjuangkan’ seolah berbisik, ayooolaaahhh semangat. Cintanya bersambut, dan misi-misi itu segera dituntaskan. Roman mukanya yang bodoh itu memang tampak meyesatkan, hantu-hantu itu seolah tampak familiar dan mereka say hello, menyapa untuk tujuan mulia.

Lantas saat mendekati akhir, keheningan seakan berdenyut. Kita menemukan sebuah titik di mana mereka yang menghantui tak asing. Sang butuh beberapa detik untuk menyusun kepingan segala informasi itu, lantas saat ia menemukan klik, harus gegas sebelum terlambat. Saat kejutan ini ditampilkan di layar, dalam adegan dramatis berlari sebelum segalanya terlambat, kita malah menemukan hikmah yang pas dari film ini. Sayangilah mereka, orang-orang tercinta yang ada di sekeliling kita sebelum perpisahan ke alam berikutnya terjadi. Sedih ya? Ya, saya sampai menitikan air mata. Lega kan? Jelas. Hal-hal yang tak tuntas kini bisa ditutup kembali dengan rapat. Betapa berharga kesempatan. Betapa dunia fana yang ada batasnya ini begitu sempit, dan bersyukurlah semua orang yang memiliki kesempatan tumbuh dalam kasih sayang orangtua serta sanak famili.

Manfaatkan masa kini dengan baik, dan kau akan ditempanya. Suka sekali sama adegan akhir saat Sang dan Yun-Soo di kursi taman, seolah perjuangan sepanjang film ini dibayar lunas. Suasana taman masih tampak lembayung, dengan rona nada bahagia. Waktu seolah berjalan lambat dan menyebar. Nada-nada musik seakan-akan saling merenggangkan tanpa kehilangan tempo. Tidak semua film happy ending itu malesi, Hello Ghost justru film mencerahkan. Ide hantu-hantu baik yang menolong mengingatkanku pada Sartre tentang keberadaan. Ia pernah bilang, “Apa yang tersisa kalau Anda menyingkirkan warna, ukuran, bentuk, tekstur, dan baunya? Apa yang tersisa ketika Anda menyingkirkan emosi dan perasaan, rekaan dan gagasan fantastis? Ketika semua yang bisa Anda sebutkan hilang dan disingkirkan dari kehidupan, apa yang tersisa?” Sartre menjawab: keberadaan.

Manusia sebenarnya adalah makhluk yang diboncengi perasaan bersalah. Maka akhir yang indah ini meluap-luap. Melegakan semua orang, keberadaan orang-orang tercinta di manapun berada di dimensi lain sekalipun.

Hello Ghost | Year 2010 | Korea | Directed by Young-Tak Kim | Screenplay Young-Tak Kim | Cast Tae-Hyun Cha, Ye-won Kang, Moon-su Lee, Chang-Seok Ko | Skor: 4.5/5

Karawang, 290921 – Billie Holiday – A Foggy Day

Rekomendasi Lee, Thx.

00.07

A Monster Calls by Patrick Ness

Konon, masa muda hanya datang sekali. Tapi bukankah masa muda berlangsung untuk waktu yang lama? Lebih lama daripada yang sanggup kaujalani. – Hilary Mantel, An Experiment in Love

Kaupikir aku mungkin datang untuk menjatuhkan musuh-musuhmu. Membantai naga-nagamu. Kisah adalah makhluk liar. Begitu kau melepaskannya, siapa yang tahu kekacauan apa yang mungkin mereka ciptakan?”

Sang monster muncul persis setelah tengah malam, seperti monster-monster lainnya. Tepatnya jam 00.07. Buku ini sempat kubacakan untuk Hermione, menyesuaikan waktu, saya bacakan jelang tidur lewat tengah malam. Dapat dua bab, tapi setelah kubaca sepintas tulisan kover belakang bahwa ini cerita tentang tragedi, tentang sebuah masa sulit menghadapi kematian, saya berhenti. Saya berhenti melanjutkan baca teman tidur Hermione, tepat di halaman 44 ketika sang monster memperkenalkan diri. Maka Hermione akan mengenang monetr itu bernama Herne, karena terhenti di bagian ini: Aku Herne sang Pemburu. Keputusan tepat, setelahnya kuganti bacaan Winnie The Pooh (A.A. Milne), sisa Panggilan sang Monster kubaca sendiri, secara kilat selesai sore ini.

Kisahnya tentang Conor O’Malley yang kesepian. Ia tinggal sama ibunya yang sakit keras, rambutnya sudah tidak ada, kurus kering. Hubungan ibu-anak ini poin utama novel ini. Rajutan kesan, anak semuda itu memaksanya menjadi kuat hati. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan Amerika, neneknya yang tinggal terpisah sesekali datang, untuk menginap. Sebagai anak tunggal, ia merasa sendiri kala ibunya muntah-muntah, pening, dan butuh perawatan.

Di sekolah, ia berteman dengan Lily, teman kecil yang sudah sangat akrab lama. Sering membantunya, bahkan ketika Conor kena bully oleh genk trio Harry, Sully, dan Anton. Miss Kwan, gurunya sering melidunginya juga. Mengingat nasibnya, mengingat masalahnya. Beberapa kawan juga menjaga jarak, beberapa guru memberi semacam kelonggaran padanya. Kondisi ini mencipta Conor semakin terajut sendu. Salah satu guru meminta tugas, Menulis Kehidupan.

Saat-saat seperti inilah muncul sang monster. Monster pohon yew di dekat gereja dan pekuburan yang ada belakang di kebun rumah. Monster itu selalu muncul tepat jam 00.07, awalnya Conor menolak, entah ini mimpi atau kenyataan yang tersamar. Monster itu datang memanggilnya di luar rumah, mengetuk jendela kamarnya, memasuki dunia maya. Monster itu datang untuk menuturkan kisah. Total ada empat cerita. Bukan sembarang cerita karena ini menyangkut sejarah pohon yew belakang rumahnya dan nantinya tentang dia. Pohon yew adalah pohon penyembuh.

Kisah pertama tentang pangeran muda yang tersingkir dari takhta kerajaan. Pohon yew sudah ada ribuan tahun lalu, ada kerajaan di sekitar situ. Perang dan perebutan kekuasaan mencipta sang raja kehilangan anak dan lalu istrinya, hanya pangeran muda yang jadi tumpuan penerus takhta. Maka sembari menanti usia 18 tahun, ia menikah lagi dengan putri kerajaan seberang. Muncul desas-desus sang ratu muda adalah penyihir. Maka saat raja mangkat, ia sementara memegang tampuk pimpinan, sang pangeran muda yang merasa terancam kabur dengan kekasihnya putri petani biasa. Dalam pelariannya, ia beristirahat di bawah pohon yew, terjadilah apa yang terjadi. Pangeran terbangun mendapati kekasihnya tewas, ia menyebut ibu tirinya yang membunuh, maka rakyat bersatu menggulingkan, sebelum dibakar, monster pohon yew menyelamatkan ratu untuk hidup tenang jauh dari lingkaran kekuasaan. Ada kejutan, bagaimana twist itu disimpan di penghujung kisah pertama.

Kisah kedua terentang sekitar 150 tahun yang lalu. Seorang apoteker yang serakah, kasar, getir nan pintar meramu obat hidup dalam kungkungan cibir rakyat. Pria yang hidup dengan keyakinan, apoteker sang tabib. Ia tampak tamak, mementingkan diri sendiri ketimbang pasiennya, pria yang hanya memikirkan diri sendiri. Ilmu pengobatan memang mahal, ia punya harga! Sementara hidup seorang pendeta dengan dua putrinya yang cantik yang tinggal sekitar gereja, dekat pohon yew. Sang apoteker meminta pohon yew untuk ditebang karena khasiatnya banyak, ramuan dengan pohon yew dikenal sangat mujarab, tapi pendeta bergeming. Ia mempertahankan pohon itu sebagai pelindung gereja dan pekuburan. Namun kasus pelik muncul, kedua putrinya sakit keras, ia meminta sang apoteker menyelamatkannya bahkan seandainya pohon itu harus dirobohkan. Ia menolak, putrinya wafat. Pohon yew marah, ia pun memporakporandakan rumah dia. Siapa? Twist lagi. Porak poranda-pun bukan sekadar kiasan, karena ia di sebuah kamar di rumah nenek dengan jam klasik yang mahal, rusak parah tak berbentuk bak kapal pecah.

Kisah ketiga tentang pria tak kasat mata yang semakin muak menjadi orang tak terlihat. Bukan berarti dia benar-benar tak kasat mata, orang-oranglah yang telah terbiasa untuk tak melihat dirinya. Dan jika tak seorang pun melihatmu, apa artinya kau benat-benar ada? Kemudia suatu hari pria tak kasat mata memutuskan: aku akan membuat mereka melihatku. Dia memanggil sosok monster. Adegan itu terjadi di kantin sekolah, Conor menghajar pimpinan genk Harry hingga babak belur. Jelas ini adalah present day.

Kisah keempat, sebagai penutup adalah kisah kunci utama keseluruhan A Monster Calls. Dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor, dia menginginkan kebenaran. Kalau kau tidak menceritakannya, biar aku yang menceritakannya kepadamu. Adegan kunci, ketika ibunya sekarat. Conor memanggil monster, ia datang ke kuburan menendang-nendang pohon, lalu dalam dimensi lain bertemu ibunya, antara menggenggam erat terus tangan mom dengan segala konsekuensi atau melepas ke kehidupan berikutnya? Conor Malley harus menuturkan kebenaran sejati. Dari kisah kedua kita tahu pohon yew bisa menjadi ramuan obat yang murajab, berhasilkah menyembuhkan mom?

Dengan ilustrai ciamik Jim Kay, apa yang terbaca dengan sangat indah bisa terbayangkan. Gambar-gambar fantastis dan keheningan-keheningan yang menggugah. Benar-benar mumpuni, gambar-gambar itu bercerita, memetakan beberapa adegan kunci, pohon hidup yang tampak seram, menghantui. Gambar paling ‘nyaman’ ada di halaman 148-149, monster raksasa duduk terpekur di gedung kantor kebun belakang neneknya seolah menanti, hey… lakukan sesuatu!

Satu lagi halaman 106-107 kejadian sesaat sebelum ditutur kisah kedua, grandma akan marah besar karena ia mematahkan jarum jam klasik. Ini jenis kerusakan yang bakal diharapkan dari seorang bocah laki-laki. kisahnya berakhir dengan kehancuran yang tepat.

Di sela kedatangan monster yew, ayahnya datang dari Amerika. Beberapa adegan trenyuh disajikan, ia bertengkar dengan neneknya, ketidakcocokan, kemarahan masa lalu. Hubungan ayah-dan-Conor yang timbul tenggelam, memintanya membawa ke Amerika, tapi menolak ia punya kehidupan di sana. Lalu dengan kemarahan pulang, karena istrinya melahirkan. Janji akan kembali dua minggu lagi.

Hubungan dengan neneknya juga kurang mesra, banyak perbedaan, banyak yang tak cocok. Maka tiap ia menginap di rumahnya dan tidur di kamarnya, ia kesal. Namun ini keadaan darurat sayang, mom sakit keras. Mom-nya, anak pertama grandma: penghubung mereka untuk kembali merajut darah. Ini memang kisah sedih, bijak namun juga berani dan tampak seram. Ga cocok untuk jadi cerita pengantar tidur anak-anak.

A Monster Calls, ini bukan kisah tentang apa yang kuinginkan darimu, tapi tentang apa yang kau inginkan dariku. Kisah-kisah ini penting, bisa jadi mereka lebih penting daripada apa pun. Jika mereka mengandung kebenaran.

Panggilan Sang Monster | by Patrick Ness | Diterjemahkan dari A Monster Calls | Copyright 2011 | From original idea by Siobhan Dowd | Ilustrai Jim Kay | 615 16 4 002 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Nadya Andwiani | Editor Barokah Ruziati | ISBN 978-602-03-2081-6 | 216 hlm; 21 cm | Skor: 4.5/5

Untuk Siobhan

Karawang, 220320 – Foreginer – I Want To Know What Love Is

Jeritan Dari Pintu Kubur – Abdullah Harahap

“…di kota banyak kami dengar kabar-kabar aneh tentang kampung ini. Pencurian mayat bayi, tempat perampok berkumpul, kematian-kematian ganjil…”

Buku kedua Abdullah Harahap yang kubaca, setelah terpesona dengan Kolam Darah, saya memang memastikan akan membaca karyanya lagi. Sayang sekali, untuk kali ini kurang memuaskan. Saya sudah bersiap ketakutan, saya sudah was-was aura mistisnya, saya sudah antispasi membaca dalam remang Malam Minggu sendiri dan kutuntaskan hari ini (27/10/19). Sayang sekali, gagal terpenuhi. Jeritan Dari Pintu Kubur malah berjalan klise, dramanya bak sinetron azab yang tayang di tv tiap malam, endingnya ketebak, yang baik pada akhirnya menang, yang kalah ya yang jahat. Aura mistis yang kunanti juga nyaris ga muncul, hanya segelintir tanpa bikin merinding. Tumbal bayi malam Jumat Kliwon, jimat untuk pengasihan, tapi justru malah dendam kematian yang utama. Bagaimana arwah penasaran mencipta kengerian untuk menuntut balas.

Kisahnya tentang Parman, perampok yang selesai menjalani hukuman. Mendapati istrinya meninggal secara tak wajar. Ditemukan tewas nyaris telanjang di sungai, info yang beredar karena bunuh diri. Namun jelas bukan karena itu, pembaca sudah diberitahu bahwa kematian Lila karena ulah Pak Lurah (karakter tanpa nama) yang mencoba memperkosanya, dalam kamarnya ada lubang yang mengarah ke top roof, Lila lari dan di atap itulah, Lila terjun ke sungai. Lila menjadi arwah penasaran. “Persetan! Biar halusinasi, kalau itu jerit arwah isteriku, aku tak peduli.”

Parman adalah pembantu pak Lurah, maka karena ia akan diusir warga, ia minta bantuan perlindungan. Pak Lurah punya asisten Pak Bejo yang kekar dan plontos, gambaran jahat seorang antagonis yang bengis. Pak Lurah yang walau gugup, mencoba membantu. Namun suatu pagi, saat Parman sedang merenungi nasib di tempat ditemukannya Lila nyangkut di akar pohon sungai, ia menemukan keganjilan. Di tepian rumah Pak Lurah, di sungai itu ia menemukan kutang Lila, maka spekulasi Pak Lurahlah yang melakukan pembunuhan berkecamuk di kepala. Subuh itu, ia mendatangi rumah orang terkaya di desa itu. Teriak-teriak kayak orang gila, warga berkumpul, malah massa itu lalu mengeroyok Parman yang seperti orang gila. Lalu dirawat di klinik, Bejo diminta membereskan oleh bosnya. Malam itu, arwah Lila menolong Parman, karena menampakan diri dan membuatnya bersembunyi di semak menyaksikan Bejo yang coba membunuhnya pulang tanpa hasil.

Parman kabur ke Bu Lasmi, mantan istri Pak Lurah. Di sana ia cerita bagaimana kronologinya, karena pernah ada asmara diantara mereka, ada sendu yang menguar, tapi Bu Lasmi sudah berencana menikah, maka godaan Parman ditampik. Ia membantu perawatan Parman ke kota, dengan bus yang dalam perjalanan ia pingsan berkat banyak darah keluar. Naas, kaki kanannya harus amputasi karena sudah kena inspeksi, ia hampir putus aja. Sekarang bagaimana ia bisa menuntut balas dengan satu kaki?

Maka Bung Abdullah mencipta karakter bernama Dorothea, seorang suster yang wajahnya mirip Lila. Parman mengejarnya, mengeja Lila untuk perempuan yang merawatnya, nyaris membuatnya gila. Antara halusinasi ataukah penampakan ataukah ia sudah beneran edan. Nah, dari sinilah keklisean kisah dimulai. Sungguh kebetulan yang konyol dicipta, Tea yang bercerita pada kedua orang tuanya, lalu kita tahu identitas Tea yang ternyata bersaudara dengan Lila, lalu membantu Parman membalas kematian kakaknya, lalu amburadullah kengerian yang sudah disusun itu. “Hantu? Tidak ada hantu di dunia ini bung. Apalagi di siang bolong seperti kemarin, waktu kau kejar-kejar suster Dorothea…”

Pak Lurah seorang bisex, Bejo wakilnya adalah pasangan tidur, mereka memiliki jimat dari mayat bayi yang mati di malam Jumat, diawetkan dan disimpan dalam sebuah kotak. Barang siapa memilikinya, ia bisa tembus pandang. Dari situlah kekayaan Pak Lurah, merampok dalam senyap. Parman sendiri tertangkap dalam aksinya karena setelah melacur, ada rambut perempuan yang terselip sehingga ajian itu hilang.

Kisah menjadi makin tak jelas saat, Pak Lurah dengan mudah memecat Bejo, orang kepercayaan yang sudah lama mengabdi demi pemuda bernama Kardi yang mencari kerja, mengantar surat untuk Bejo agar pulang. Pak Lurah terkesima kemudaan Kardi dan nafsunya membumbung, Bejo sendiri saat sampai di kampung menemukan kejanggalan karena alasan ia diminta pulang, ayahnya sekarat dan akan membagikan warisan. Bagaimana ini merupakan jebakan, ibunya buta huruf dan adik-adik perempuannya hanya bisa bersolek. “Mengapa kau pandangi aku begitu? Mata pak lurah membayangkan ketakutan.”

Kisah berakhir dengan nyaris tanpa pukau, Pak Lurah menuai kejahatan, Parman menuai kerja kerasnya, Tea menemukan kejutan, bagaimana ia belum tampil tapi ada penampil lain yang ternyata arwah Lila sendiri yang muncul menuntut balas. “Aku bukan membanggakan diri, isteriku memang cantik. Itu salah satu sebab mengapa aku teramat mendambakannya.”

Agak janggal membayangkan Tea menolak dokter atau banyak lelaki yang menggodanya, ia adalah semacam perawat idola. Kalau dokter yang sudah beristri wajar, tapi begitu banyak pemuda lajang mengantre, lalu menjatuhkan pilihan kepada Parman yang terlihat gila? Semakin tercurah perhatian perempuan terhadap laki-laki, semakin tertumpah pula harapan lelaki lain yang justru mengharapkan perhatian itu ditunjukkan hanya pada dirinya seorang. Atau inikah yang dinamakan cinta? Cinta buta.

Cerita tampak terlalu mengada-ada, seolah orang jahat itu harus menuai kepahitan di akhir. Hati manusia abu-abu, kebaikan mengurus Lila dan ibunya memang tampak lumrah, tapi ia mengharap balas nafsu yang terlihat agak konyol. Legenda urban, dimana pencurian mayat yang dikubur malam Jumat Kliwon atau malam Selasa Kliwon memang ada, di kampungku dulu juga gitu. Keluarga akan mendirikan tenda di dekat kubur sampai 40 hari setelah penguburan. Serem? Begitulah nyatanya. Seolah ini memberi gambaran kisah semacam ini memang mungkin terjadi. Tapi jelas, ga sesinetron ini. Semua dendam apakah harus terbalas? “Aku akan datang untuk membalasmu!

Ini adalah buku bekas persewaan dan perpustakaan. Hurufnya sebagian kabur, kertas buram yang sudah berusia lebih dari 30 tahun. dari penerbit indi, dicetak tanpa ISBN dengan ukuran sedikit lebih besar dari buku saku. Ada stempel merah ‘Perpustakaan NIKA’ Delanggu dan ‘Taman Batja Galiuk’ Kauman 120 Pati. Sayang sekali halaman hilang dua, halaman 63-63 bagian yang agak panas ketika Parman berkunjung ke Bu Lasmi, perempuan yang merenggut perjakanya. Bagian itu jelas disobek, kepingan kisah menjadi tak lengkap.

Dengan kekecewaan ini apakah saya tak berniat lagi akan kisah horor Abdullah Harahap? Nope, sesekali memang perlu terpeleset untuk menggapai harap lagi. Jeritan Dari memang gagal memenuhi harap, tapi jelas ini hanyalah pijakan horor kecil untuk letupan seram selanjutnya.

Dorothea tertengadah. Takjub.

Jeritan Dari Pintu Kubur – Abdullah Harahap | Cetakan pertama, Agustus 1984 | Penerbit ‘GULTOM’ Agency | Skor: 2.5/5

Karawang, 271019 – Bee Gees – You Should Be Dancing

Buku dibeli di lapak buku bekas Gladag, Solo pada tanggal 29 September 2019 beli 5 hanya 20k bareng Damar Laziale