Kind Word Great Mother

image

————-
Suatu hari seorang anak laki-laki pulang sekolah memberikan sepucuk surat tertutup kepada mamanya dari Kepala Sekolah.

Anak: “Mama, Kepala Sekolah memberi surat ini kepada saya, dengan pesan agar tidak membuka dan hanya mama yg boleh buka atau membacanya.”

Sang mama membuka dan membaca surat dimaksud dengan airmata berlinang. Namun dengan bijak selesai membaca sang mama membacakan untuk anaknya: “Anak kamu terlalu Jenius. Sekolah ini terlalu sederhana. Tidak cukup guru yang baik dan hebat di Sekolah kami untuk melatih dia ajari dan latih sendiri anak Anda secara langsung.”

Tahun demi tahun berlalu. Sang anak terus tumbuh dan berkembang. Seiring waktu, sang Mama sudah meninggal. Suatu ketika, anak laki-laki yang sudah dewasa itu, menemukan kembali surat yang dulu dibacakan sang Mama kepadanya. Diambilnya surat dari dalam laci meja Mamanya. Diapun membuka dan membaca surat itu dengan tangan bergetar. Berbeda dengan apa yang didengar dari Mamanya saat dia masih Kecil dulu: “Anak kamu punya masalah kejiwaan. Kami tidak mengizinkan lagi dia dating ke sekolah ini selamanya”.

Anak itu, adalah Sang penemu hebat sepanjang masa. Dialah Thomas Alva Edison. Dia Menangis berjam-Jam usai membaca surat itu, lalu menulis dalam buku hariannya: “Thomas Alva Edison, adalah anak gila. Hanya oleh karena seorang pahlawan, karena Mama, saya diubahnya menjadi Sang Jenius sepanjang masa”.

Pesan Moral :

(1) Sejarah membuktikan tentang kesaktian, kehebatan dan peranan/pengaruh seorang Ibu/Mama terhadap anak

(2) Sejarah juga membuktikan kesaktian dari sebuah kata atau ucapan terhadap psikologi dan mental anak-anak.

(3) Perkataan yang buruk sangat ampuh merusak moral dan mental seseorang.

(4) Perkataan yang baik dapat memotivasi dan menginspirasi (merubah) seseorang untuk Menjadi yang terbaik, apalagi oleh Ibu yang tulus, penuh kasih dan bertangan dingin mengelola keluarga.

Dari briefing pagi motivasi dan inspirasi NICI – Karawang.
Dibacakan di ruang Intergrity oleh: Widy Satiti
Pada Jumat, 16 Oktober 2015

Who Can Stop US Now – 7 Wins a Row in Serie A, In Finale Copa and Impressive!

Featured image

Sebuah gol dari pemain pengganti Senad Lulic di menit 79 sudah cukup untuk mengantar Lazio the Great ke final copa Italia 2015. Setelah seri 1-1 di leg pertama, Napoli hanya butuh skor 0-0 untuk melaju. Hal itu membuat skuat asuhan Benitez lebih bermain aman. Setelah sepasang peluang emas di babak pertama gagal berbuah gol, babak kedua Lazio mulai mencoba membongkar pertahanan lawan dengan lebih inten. Dimasukkannya sang kapten Mauri, hasilnya langsung terasa. Sebuah umpan lambung berhasil disundul il capitano, sayangnya masih bisa dimentahkan. Selanjutnya Lulic masuk menggantikan Candreva. 11 menit sebelum waktu normal habis, dia berhasil cetak gol. Melalui serangan dari sisi kanan, Felipe Anderson mengirim umpan silang dan langsung dihajar Lulic. Gol yang membuat jagat lini masa social media gempar. Tak lama setelah gol itu, Lulic lagi-lagi menyelamatkan Lazio. Melalui serangan balik cepat, Insigne mendribel bola dari tengah lapangan. Mauricio yang mulai kelelahan berhasil dilewati. Pasukan Elang Biru langsung turun semuanya, Insigne lalu mengecoh 2 bek dan langsung berhadapan dengan Berisha. Disepaknya bola menyilang ke gawang yang sudah kosong, dan duuuerrr… tiba-tiba Lulic sudah di depan gawang untuk menyapu bola yang 99% masuk tersebut. Selamatlah gawang the Great. Sisa menit begitu mendebarkan, senam jantung, namun Lazio memang bermain cantik malam ini. Begitu peluit panjang wasit terdengar. Seluruh Laziale bersorak, “Hooorreeeee… kita ke partai puncak!”

Kemenangan yang berarti sangat banyak untuk kita. 7 partai tanpa pernah menang lawan Napoli kita patahkan. Hebatnya lagi terjadi di San Paolo. Tiket final ini juga layak kami dapat, setelah melalui pekan demi pekan yang luar biasa. 7 partai Serie A dilibas dengan sempurna. Ketujuh partai tersebut kita lalui dengan permainan impressive. Salah satunya saat menumbangkan Fiorentina yang saat itu lagi dalam top performa 4 gol tanpa balas. Tiket final ini seperti de javu 2 tahun lalu saat di final kita menumbangkan Roma lewat gol semata wayang Lulic!

Dengan permainan yang indah dari kaki-ke-kaki, segala peluang sungguh berpotensi gol. Sundulan, terobosan, bola mati, tendangan spekulasi jarak jauh, sampai one-two segalanya pernah. Target kini adalah menumbangkan Juventus di Olimpico dan menjungkalkan Roma dari posisi kedua. Target yang sangat sangat sangat realistis. Felipe Anderson dalam 14 pertandingan terakhir telah mencetak 8 gol dan 9 assist. Sangat luar biasa. Pemain terbaik Eropa saat ini bukan Messi atau Ronaldo, tapi Felipe. Selama Felipe ada dalam skuat, siapapun bisa kita kalahkan. Musim depan menumbangan Barca di Liga Champion, tandang kandang? Kenapa tidak? Kita pasti bisa! Forza Lazio!

Karawang, 090415

(review) Unbroken: What A Waste Time Of Great Story

Butuh dua kali nonton ini film untuk menyelesaikannya. Pertama saat pulang kerja setelah Isya, saya tonton. Namun gagal, ga ada 30 menit saya tertidur. Kedua saat libur Sabtu kemarin, pagi-pagi bangun tidur langsung coba menikmatinya. Sukses sampai selesai walau dengan perjuangan 2 gelas kopi, durasi 2 jam lebih. Well, Sabtu dan Minggu pagi adalah waktu luang berhargaku dan saya membuangnya sia-sia kali ini. Unbroken adalah film yang membosankan.

Berdasarkan kisah nyata, Louis Zamperini (Jack O’Connel) adalah atlet Olimpiade yang wajib militer di Perang Dunia II. Film dibuka dengan sebuah serangan udara Amerika ke Jepang, lalu adegan kembali ke masa kecilnya. Menyaksikan lomba lari di bawah tribun penuh penonton. Louis dikira mengintip rok wanita, dan kepergok. Ketakutan dia lari terbirit-birit masuk ke lapangan lari dan diluar duga larinya lebih kencang dari pada para atlit cilik. Dari situ, Louis terlihat punya bakat untuk menjadi atlit.

Adegan berikutnya, dalam serangan udara pesawat Louis tertembak dan jatuh di samudra Pasifik. Yang selamat hanya 3 orang, namun terapung-apung di perahu karet. Louis, Mac dan Phil yang terluka di kepala mencoba bertahan hidup dari menangkap ikan, menjerat bangau serta menghemat persediaan air tawar. Hujan adalah berkah sekaligus musibah, air tawarnya menyejukkan dan bisa menambah persediaan namun bersamaan hujan dapat badai. Hari demi hari dilewati tanpa ketidakpastian. Perlu diketahui, sebelum mereka bertiga pernah ada yang bisa bertahan hidup terombang-ambing di atas samudra selama 23 hari. Dan bertiga mereka berhasil melewatinya. Sampai akhirnya salah satu dari mereka akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ini satu-satunya adegan yang membuatku menitikkan air mata.

Suatu hari, sebuah kapal perang Jepang menemukan mereka. Entah harus syukur atau sedih, berdua akhirnya jadi tawanan Jepang. Lalu film menyoroti kekejaman selama ditahan. Bersama tahanan lainnya, mereka mencoba bertahan hidup. Bagaimana akhir kisah Louis Zamperini berikutnya? Bagi masyarakat Amerika tentu tak terkejut akhir kisah ini, Louis ini legendaris sebagai atlit yang terjebak perang.

Dengan cast nyaris tanpa bintang, film ini flop sukses bikin menguap. Awalnya saya mau memberi nilai 1 bintang, namun 5 menit terakhir sungguh menyegarkan bahwa masih ada harapan di tengah keterpurukan. Apalagi saat diperlihatkan foto-foto asli Louis Zamperini sampai akhirnya dia membawa obor Olimpiade di Tokyo. Namun secara keseluruhan Jolie melakukan banyak scene kosong yang membosankan. Padahal screenplay oleh duo Coen bersaudara. Adegan saat di tahanan pun dibuat biasa, padahal Takamasa kabarnya sangat kejam. Dan nilai plusnya adalah O’Connel bermain memikat. Sayangnya hanya itu yang membuatku bertahan. Tagline: If you can take it, you can make it mungkin salah satu tagline terbaik 2014. Sama A moment of pain is worth a lifetime of glory yang catchy dan pas diteriakkan. Terkahir, saying sekali Jolie yang menahkodai film ini. Kisah yang bagus namun salah eksekusi. What a waste of a great story by Jolie, membuat saya berandai-andai sutradara yang lebih pengalaman yang membuatnya. Sayang sekali. Ada yang tahu arti judul unbroken ini? Saksikan sendiri ya, takut spoiler.

Unbroken | Directed by: Angelina Jolie | Screenplay:  Coen Brother | Cast: Jack O’Connel, Domhnall Gleeson, Garrett Hedlund, Jai Courtney, Takamasa Ishihara | Skor: 2/5

(review) The Imitation Game: A Great British Hero

Featured image

Ini film berdasarkan kisah nyata, saya belum tahu kisah Alan Turing sebelum menontonnya jadi ya bener-bener menikmati tiap detail yang disuguhkan. Film dibuka dengan setting tahun 1950an, sebuah laporan dari warga kepada polisi bahwa ada perampokan di rumah Alan Turing (Benedict Cumberbath). Namun setelah sampai di tempat ternyata Alan merasa ga kehilangan. Rumahnya memang diobrak-abrik seseorang tapi ga ada yang hilang jadi polisi diminta kembali saja ke kantor. Sang polisi curiga, pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Lalu judul film muncul dan kisah ditarik ke belakang.

Alan adalah seorang ahli matematika yang melamar pekerjaan di pemerintahan Inggris sebagai pemecah kode. Terutama kode rahasia dari Negara Jerman, yang saat itu sedang digdaya dengan Hitler-nya. Dalam wawancara yang sepertinya akan gagal karena Alan tak bisa Bahasa Jerman, sambal bilang ini mungkin adalah wawancara tercepat dan memanggil Margaret, sang sekretaris untuk mengusirnya, Alan mengeluarkan kalimat sandi ‘Enigma’ yang membuatnya kaget, sehingga wawancara yang tadinya akan selesai akhirnya dilanjutkan. Enigma, kata ini akan muncul berkali-kali dalam film. Dalam tim pemecah kode menggunakan mesin Enigma, Alan yang terlihat kaku dan aneh memang kurang jiwa sosialnya. Dalam sebuah adegan, saat Alan diajak makan siang bareng dia pengen lanjut kerja, saat sudah pada mau berangkat, dia malah pesan makanan lain. Bener-bener freak..

Sampai akhirnya tim dirombak. Alan mengirim surat kepada PM Inggris, Churchill melalui Stewart Menzies (Mark Strong) sekaligus meminta dana yang lebih besar, yang kebetulan ke London. Alan punya hak penuh untuk menentukan tim, 2 orang dipecatnya. Padahal orang lebih senior, mereka marah. Tim bergejolak, namun Alan bergeming. Dibukanya lowongan di koran dengan sebuah teka-teki silang. Saat sudah berkumpul para kandidat, dan tes akan dimulai muncullah seorang wanita yang datang terlambat, satu-satunya kandidat wanita. Adalah Joan Clarke (Kiera Knightley) yang berhasil memecahkan soal kurang dari 6 menit. Dari sini saya sudah menduga, paling ini akan jadi pasangannya Alan.

Kisah lalu bolak-balik setting waktunya. Salah satunya adalah Alan yang masih SD, dia yang jenius dan unik dari yang lain sering di-bully. Saat tertekan dan sepertinya dia tak punya teman, muncullah Christopher Morcom (Jack Bannon) teman kelasnya. Dari situ mereka akrab. Dengan cerdas film ini ditampilkan hitam-putih untuk masa kecilnya. Christ yang suka kriptograph akhinya menularkan hobinya kepada Alan. Dari situ ada rasa cinta tak terucap, dilihat dari sorot matanya.

Tim pemecah kode setelah beberapa kali gagal, diancam akan dibubarkan karena tak kunjung membuahkan hasil. Alan dan teman-teman meminta tambahan waktu 4 bulan, kalau gagal silakan dihancurkan mesinnya. Stewart Menzies lalu memberinya waktu satu bulan. Dalam adegan romantis, Alan akhirnya melamar Joan (saya langsung teriak, “tuh bener kan”). Mereka tunangan, cicin yang diberikan Alan adalah kawat yang dia temukan di jas nya lalu melipatnya menjadi cincin. Saat waktu menipis, di sebuah pesta dansa Joan bersama teman wanitanya berkenalan dengan teman Alan. Lalu secara tak sengaja ketemu ‘momen ureka’ yang ternyata tepat.

Saya mencatat ada 3 adegan yang menyentuh. Pertama saat Alan dipanggil sang kepala sekolah untuk diberitahu sebuah kabar buruk. Saat itu Alan menampakan wajah kosong, sebuah kesedihan mendalam tak terucap. Kedua saat kode berhasil dipecahkan, saat tahu Jerman akan menyerang sebuah wilayah, rekan Alan berujar bahwa kakaknya ada di kota itu, saat akan dihubungi via telpon Alan melarangnya sampai berkelahi. Alan dianggap monster karena membiarkan saudaranya meninggal, namun dia juga benar karena kalau diberitahu maka nantinya Jerman akan mengubah kodenya. Sunyi dan meyayat hati, sambil mengelap darah yang keluar dari hidung Alan berujar: “Do you know why people like violence? It is because it feels good.” Dan yang ketiga saat pengakuan Alan kepada Joan, itu menyedihkan sekali. “Care for you. I never did. I just needed you to break Enigma. I’ve done that now, so you can go”. Tamparan yang pantas, namun saat narasi tulisan di ending saya turut prihatin atas jalan hidup yang Alan pilih.

Nah kalimat terakhir yang muncul: “Which they said known these days as computers” saya malah teringat pas kuliah di matakul “pengenalan dasar computer” ternyata Alan Turing pernah dibahas, walau sambal lalu. Berarti saya (seharusnya) tahu kisah ini. Duh! Dah tua, mulai pikun. Sama sih pendapat saya dengan pas tahu asal usul computer, rasanya Enigma machine/Turing Machine terasa berlebihan.

Terakhir, film biopic digarap dengan sangat bagus jelas pantas masuk Oscar. Benedict memang main apik, dari pesaing lain yang sudah kutonton, Steve dan Cooper, Benedict kini leading tapi ga tahu ya kalau The Theory of Everything dan Birdman kelahap, persaingan bisa bergeser. Sedang untuk Kiera saya rasa masih kurang. Well, Truly excellent film and definitely Oscar worthy material for both the film and the actors. The entire cast are amazing. We’ll see…

The Imitation Game | Director: Morten Tylum | Screenplay: Graham Moore | Cast: Benedict Cumberbath, Keira Knighley, Matthew GoodeRory Kinnear | Skor: 4/5

Karawang, 300115