The Buried Giant

“Master Wistan, aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kau dan Lord Brennus, tapi misimu membinasakan Querig si naga buas, aku mohon, jangan biarkan perhatianmu teralihkan dari tugas itu. Ada waktu untuk membalas dendam nanti.” – Beatrice

Buku pembunuh naga dimana naganya tidak muncul-muncul bahkan hingga halaman 400 hari 480! Ada tiga konfliks utama sejatinya, dijabarkan dengan sabar dan telaten. Buku bagus memang harus sabar, tak tergesa. Pertama, pasangan tua yang ingin mengunjungi anak mereka di desa seberang, untuk bisa mencapainya butuh waktu lama, tak memiliki kuda, hanya jalan kaki. Warga Briton yang sudah damai dengan warga tetangga. Kedua, seorang kesatria yang diberi mandat membunuh naga betina tua, ia adalah seorang Saxon. Kedua desa sejatinya sudah berdamai tapi percikan amarah masih kadang muncul. Dan ketiga kesatria tua yang menjadi kepercayaan Raja Arthur yang juga mendapat tugas membunuh naga yang sama. Karena ini buku sastra, jangan harap mudah dicerna, bahasanya berpanjang-panjang, meluik-liuk tak tentu arah, sampai akhirnya setiap karakter menemukan titik akhir takdir cerita.

Kisahnya bersetting era setelah Raja Arthur, ada naga betina Querig yang menyebarkan kabut menyebab kenangan-kenangan manusia terenggut. Memori manusia menjadi jangka pendek, banyak hal terlupa. Pasangan tua Axl dan Betrice sepertinya dulu punya anak yang ada di seberang desa, maka mereka berinisiatif mengunjunginya. “Setidaknya kau melihatnya, Putri, sekalipun itu di dalam mimpi. Seperti apa rupanya?” Seorang pengelana di masa itu, seringkali menyadari ia berada di lanskap tanpa penanda, pemandangannya nyaris identik ke arah mana pun ia berpaling.

Untuk berkunjung dari desa ke desa mereka banyak berkorban, mereka jalan kaki, naiki gunung turuni lembah, menghadang bahaya. Rencananya mampir ke dua desa dulu, untuk bermalam dan sekalian menyapa teman, berobat. Beatrice yang sudah tua, sering sakit. Axl, tampak sangat mencinta sang istri, menjaga membantu banyak hal, memanggilnya dengan sebutan Putri. “Kami hanya dua pengelana yang tersesat, kedinginan dan lelah, pakaian kami basa karena air dungai tempat kami diserang baru saja oleh peri-peri yang bisa…”

Di perjalanan saat hujan, ada sebuah kuil tua, reruntuhan terbengkalai. Niat berteduh, malah bertemu dengan ibu tua yang membawa kelinci dengan pisau ditempatkan di leher. Satu lagi seorang lelaki yang bercerita, ia adalah tukang perahu yang menyeberangkan para pengelana. Dalam tradisi, bila ada penyeberang berpasangan, setiap pasangan sebelum diseberangkan akan ditanya terpisah terkait masa paling indah selama bersama. Bila jawaban tak sama, diberangkatkan terpisah, dan ternyata ibu itu adalah ‘salah satu korban’, ia mengganggu kehidupan tukang perahu yang lagi berlibur. Absurd? Ya, dan ini baru permulaan. Nantinya malah jadi eksekusi kunci.

Di desa pertama, sedang ada kekacauan. Makhluk orge sedang menyerang, ada yang tewas, ada yang terluka parah. Kesatria bernama Winstan menjadi penyelamat, dan remaja bernama Edwin yang terluka berhasil diselamatkan. Malam yang aneh itu menghasilkan kesepatakan, mereka berdua akan berangkat bersama melanjutkan perjalanan, setidaknya hingga desa setengah hari perjalanan.

Di jembatan yang dijaga pasukan Briton yang mengabdi pada Lord Brennus, mereka bersepakat bersandiwara agar identitas kesatria tak diketahui. Pasangan itu mengaku sebagai petani biasa, dua orang itu adalah kakak beradik yang dijaminkan seorang penghutang, mereka gagap dan bisu. Awalnya curiga, dan tampak aneh. Para penjaga sedang menanti kesatria berbahaya. Namun mereka lolos juga. Tentang identitas asli Master Wistan sebagai kesatria Saxon dari timur?

Di tengah jalan ketemu kesatria tua Sir Gawain dan kudanya Horace, saling sapa dan betapa terkejutnya Gawain bahwa kesatria Winstan sejatinya mendapat tugas membunuh naga. Padahal tugas itu adalah miliknya, perintahnya langsung dari pamannya Raja Arthur yang termasyur. Maka disepakati mereka berangkat bareng.

Celakanya, ada prajurit Briton yang curiga saat di jembatan menyusul dan menemuinya. Pertarungan terjadi, dan segalanya dengan mudah ditebak. Seorang kesatria melawan prajurit kecil. Di pertempuran tidak ada waktu untuk bertukar informasi dengan cermat. Setelahnya mereka berpecah jalan, tapi akhirnya takdir menemukan akhir yang pilu di ujung bukit, bagiamana segala yang mengalir dalam waktu, tak bisa dihentikan. Bagaimana ingatan yang kembali, tak selalu baik untuk semua orang. “Bukankah kau sendiri yang mengatakannya, Putri? Kehidupan kita bersama itu seperti dongeng dengan akhir yang bahagia, tidak peduli ke mana cerita itu akan berbelok sebelumnya.”

The Buried Gaint, yang terkubur. Kata itu muncul saat pasangan tua baru memulai perjalan. “Itu jalan setapak melewati tempat di raksasa dikubur. Untuk orang yang tidak mengetahuinya, itu hanya bukit biasa, tapi aku akan memberimu tanda, dan ketika kau melihatku, kau harus keluar dari jalan setapak itu dan memutari ujung bukit sampai kita bertemu di jalan setapak yang sama keluar dari tempat itu.” Tak dijelaskan kuburan siapa, dan mengapa menjadi ikonik.

Napas Querig-lah yang memenuhi negeri ini dan merampas ingatan. Pas tahu sang naga merenggut ingatan, dan nantinya bila nagnya dibunuh ingatan akan kembali, saya bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, jelas naga akan mati. Kedua, efeknya. Dan karena ini buku sastra, efeknya akan buruk. Ingat, sifat ingatan yang liar tak serta merta positif. Banyak kenangan buruk yang juga bakal kembali, atau kenangan pahit yang menyasar pasangan, atau kenangan tentang keluarga yang sejatinya lebih pantas dilupa, malah justru pertama hadir. Dengan kabut ini mengadang kita, kenangan apa pun adalah harta berharga dan kita sebaiknya menyimpannya dengan baik. Apakah terbukti? Kalian harus baca sendiri! Ketika pengelana membicarakan kenangan mereka yang paling berharga, tidak mungkin bagi mereka untuk menutupi kebenaran. “Jika naga betina itu benar-benar dibinasakan, dan kabut ini mulai memudar, Axl, apakah kau pernah takut pada apa yang kemudian akan terungkap untuk kita?”

Ini adalah novel ketiga Pemenang Nobel Sastra 2017 ini setelah Never Let Me Go yang luar biasa (membingungkan tentang klona), dan An Artist yang hebat sekali. Ketiganya bagus, bagus banget. Jelas menjadi penulis favorit. Makanya pas tahu buku ini diskon, langsung kuangkut. Buku apapun dari Kazuo Ishiguro, apalagi pasca menang Nobel Sastra, bakalan laku. Diburu, dan layak koleksi. Tiga buku terlalu sedikit, yakinlah bakal banyak buntutnya. Saya menyelesaikan baca buku ini secara kilat, saat libur lima hari. 12-13 Mei cuti, melahap The Belly of Paris (Emile Zola), Mrs Dalloway (Virginia Woolf) dan dari 14 sampai 16 Mei baca ini. Lima hari, tiga buku bagus. Alhamdulillah…

Dan berdolah kawan-kawan. “… Jika kita berdoa pada-Nya, berdoalah dan meminta pada-Nya untuk mengingat setidaknya beberapa hal yang paling berharga untuk kita, siapa tahu, Dia mungkin mendengar dan mengambulkan keinginan kita.”

Yang Terkubur | by Kazuo Ishiguro | Diterjemahkan dari The Buried Giant | Copyright 2014 | GM 619186019 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Ariyantri E. Tarman | Editor Primadonna Angela | Desain sampul R. Hakim | Cetakan pertama, September 2019 | ISBN 9786020630557 | ISBN DIGITAL 9786020630564 | 482 hlm: 20 cm | Skor: 5/5

Deborah Rogers: 1938 – 2014

Karawang, 180522 – Eagles – Hotel California

Thx to Haritson, Yogyakarta

I Find Giants. I Hunt Giants. I Kill Giants

All things that live in this world die. This is why you must find joy in the living, while the time is yours, and not fear the end. To deny this is to deny life.” – Titan

Sebuah indie fantasi dengan pertaruhan memori sarung tangan baseball ‘Giant Killer’. Keberanian itu hal biasa. Ketabahan itu hal biasa. Tapi kepahlawanan memiliki unsur filosofis di dalamnya.

Magical realism yang menyelingkupi kehidupan remaja 12 tahun Barbara Thorson, yang berupaya menemukan, berburu lantas membunuhnya. Tampak unik, karena selama pemburuan diiringi skoring cekam yang mendukung. Seperti yang diperkira, raksasa itu memang muncul beneran setelah menit-menit yang melelahkan, dan Barbara membunuhnya dalam skema yang sudah dirancang. Imajinasi membumbung tinggi bak bintang-bintang yang berputar riuh di sekitar kepala raksasa yang tertikam.

Kisahnya berkutat pada Barbara Thorson (Madison Wolfe) dengan rambut terurai dan aksesoris telinga kelinci di atas kepala, menelusi pantai dan hutan mencari raksasa, mencoba memerengkapnya. Kakaknya Karen (Imogen Poots) tampak frustasi mengurus kedua adiknya, yang satu lagi Dave (Art Parkinson) hobinya main gim mulu. Keluarga ini sepertinya sedang mengalami depresi bersamaan. Ada masalah apa, nanti akan diungkap secara perlahan.

Barbara sedang memasang perangkap raksasa, melumuri rumput-rumput dengan madu, memasang tali panjang melintasi pantai, membuat perangkap batu ayun di hutan, pokoknya segala upaya melindungi dari serangan monster dibuat. Termasuk menaruh makanan umpan di sebuah tiang. Sungguh tampak tak normal. Seorang siswi baru pindahan dari Leeds, Inggris bernama Sophia (Sydney Wade) akhirnya bergabung. Dengan jaket kuning yang terus dikenakan sepanjang film, Sophia menjadi side-kick penyeimbang dunia khayal dan nyata.

Untuk melindungi diri, Barbara memiliki tas mungil pink yang berisi senjata warhammer bernama Coveleski yang terinspirasi dari pemain baseball pitcher Phillies, Harry Coveleski. Tas sakral yang tak boleh dibuka sembarangan, yang akan digunakan tepat ketika sang raksasa menyerang. Di sekolah ia kena bully, sebagai siswi freak. Gerombolan siswi yang dipimpin oleh Taylor (Rory Jackson) sering beradu argumen, serta adu jotos. Atas beberapa kasus inilah, Barbara dipanggil guru BP Bu Molle (Zoe Zaldana). Dari sinilah kita semakin memahami apa yang ada di kepalanya. Ini tentang bertahan hidup, Barbara memerankan diri sebagai pelindung kota, serangan monster akan tiba, maka bersiaplah! Mitologi raksasanya sendiri terbagi beberapa jenis, dan Titan adalah yang terbesar.

Sophia sendiri tampak ragu, akankah tetap bertahan berteman dengan sang aneh, atau melanjutkan hidup normal. Dengan kertas bertulis opsi, Ya atau Tidak, ia akhirnya melanjutkan petualang di hutan. Barbara memberi mantra pelindung kepadanya, meneteskan darah ke dalam perangkap, disertai janji persahabatan. Sebuah masalah baru tercipta ketika Barbara dipukul Taylor di pantai hingga pingsan, di lantai atas, Barbara terbangun dan mendapati Sophia dengan segelas air dan ‘it’ gelasnya terjatuh pecah.

Setelah beberapa hari ga masuk sekolah, Bu Molle dan Sophia berkunjung, mendapati kakaknya yang sendu. Sophia lalu tahu, apa maksud ‘Gaint Killer’nya dari sebuah rekaman pertandingan di kamar dengan voice-over Ibu Barbara terkait sejarah pemain Coveleski. Raksasa itu ada di dalam kepalanya! Terkuak pula sebab dasar kemunculan imaji itu, raksasa Harbingers dan perwujudan perlawanan untuk menghindari kenyataan orang terkasih yang sekarat. Kebenaran yang menggelisahkan, sebuah kesadaran bisu bahwa di hadapan keluasan tanpa batas, segala yang kita kasihi sekejap menjadi pematik sehingga hampa. Penderitaan adalah bagian dari kita. Penderitaan adalah kita. Barbara hanya berupaya mengubah kebenaran karena dia merasa lebih nyaman berbuat demikian.

Saya belum nonton A Monster Calls tapi udah baca bukunya, kisahnya mirip sekali, di mana monsternya diganti raksasa, motifnya adalah ibu yang sakit keras lalu taruhlah emosi labil yang mencipta tarung antar teman sekolah. Barbara mengangkat senjata, Conor O’Malley memeluk pohon. Dunia fantasi remaja yang melalangbuana. Reaksi-reaksi emosional kita terhadap aneka masalah tidak ditentukan oleh ukuran masalah tersebut.

Nietzsche pernah berkata bahwa manusia adalah suatu transisi, tergantung secara ringkih pada sebuah tali di antara dua ujung, di belakang kita adalah monster dan di depan kita adalah sesuatu yang lebih besar lagi. Siapkan ‘Coveleski Anda’, ia sudah mengintip. Besar sekali perbedaan di antara mengetahui sesuatu dan mendapati sesuatu itu terbukti. Mempelajari fantasi imaji cocok untuk kalian yang suka spekulasi.

I Kill Giants | Year 2018 | Directed by Andrew Walter | Screenplay Joe Kelly | Based on Graphic Novel Joe Kelly, J.M. Ken Nimura | Cast Madison Wolfe, Zoe Saldana, Imogen Poots, Sydney Wade, Rory Jackson, Art Parkinson | Skor: 3.5/5

Karawang, 280420 – Bill Withers – Memories Are That Way