I and the Stupid Boy: Seorang yang Pikirannya Semrawut akan Melakukan Tindakan Secara Semrawut Pula

“Dalam hidup ini kita tidak akan berhasil, kalau kita tidak berani mengambil risiko.” Agatha Christie dalam Nemesis

Peradaban manusia sangat berutang pada ilmu dan teknologi. Teknologi selalu bermata dua, tajam menyayat kepedihan dan fungsi guna kemajuan. Di tangan para remaja bermasalah, yang mengedepankan penasaran dan pertalian sahabat, bisa memicu pornografi. Lihat saja, iklan aplikasi temu syahwat yang bersliweran di beranda sosmed, rerata menawarkan kemudahan kopi darat untuk mencari pasangan. Bisa dipilah apa saja bersadarkan kriteria, dari sekadar hobi, jual beli, pengembangan pergaulan, hingga cari pasangan. Namun sisi negatifnya, tersebab hati orang tak ada yang tahu, orang jahat juga bertebaran. I and The Stupid Boy menawarkan plot sejenis itu, efek buruk gadget yang dengan mudahnya pornografi tersaji. Apalagi kamu bersahabat dengan pemuda IQ jongkok. Waspadalah!

Kisahnya tentang Nora (Oulaya Amamra) siap kopi darat, ia berdandan, ia memiliki agenda bersama seorang pemuda yang tampak ideal. Ia mengirim banyak gambar ke orang asing, yang sayangnya beberapa menampakkan dirinya berpakaian minim atau bahkan bugil, kita tak tahu karena hanya mengetahuinya dari dialog. Setelah tampak rapi dan modis ia berangkat.

Di tengah jalan ketemu sahabatnya, mantan kekasih Kevin (Kaouther Ben Hania) yang menggoda. Berkomunikasi berbasa basi, lantas kepo sejatinya ketemu siapa sih? Saat ia membuka handphone-nya, apes Kevin langsung menyambar. Sambil petak umpet, kejar sana-sini, teriak meminta balik, dan jangan buka file ini itu, Kevin menemukan foto-foto yang di-sher. Ia tampak cemburu, kesal, sekaligus memanfaatkan moment. File-file itu diteruskan ke handphone-nya.

Ia memasuki gedung kosong, gelap, dan tampak menakutkan. Tak ada jalan lain, Nora harus meminta balik handphone tersebut. Banyak hal-hal pribadi dan sensitif. Semakin ke sini semakin mengesalkan tingkah sang lelaki, lantas karena sabarnya habis dan ia memiliki kesempatan menghajarnya. Ia terpaksa melakukan.

Kukira ia tewas, tapi hanya pingsan. HP-nya diambil balik, lantas Kevin difoto dalam keadaan berdarah dan limbung, kali ini sekaligus balas dendam, menggunakan HP pelaku, sembari diancam disebarkan ke semua kontak, Nora meminta Kevin meminta maaf. Ancaman itu tak digubris, dan saat klik dilakukan kehebohanlah yang terjadi. Baik kehebohan dari para penerima file maupun di gedung itu. Lihat, satu klik menimbulkan gema panjang mengerikan. Kalau sudah terjadi dan kacau, lantas apa yang kita banggakan?

Seorang yang pikirannya semrawut akan melakukan tindakan secara semrawut pula. Memang lebih baik jadi ‘penakut’ dalam arti berhati-hati daripada terlalu berani lalu lengah. Ada pepatah yang berbunyi ‘banyak lalat tertangkap dengan madu, daripada dengan asam.’ Kenyataannya banyak yang terperangkap dalam nafsu justru dengan madu ‘kan. Orang-orang asing di luar sana banyak yang bermental tempe, memanfaatkan situasi dan teknologi untuk kepentingan pribadi. Nafsu dikedepankan, logika disembunyikan, nurani hitam. Walaupun ini bukan hal baru, tapi teknologi digital telah menjadi ladang maksiat yang subur.

Pada umumnya pertumbuhan jasmani wanita lebih cepat daripada pria. Dan pertumbuhan ini tidak selalu disertai dengan kematangan pikiran. Kematangan pikiran akan tumbuh belakangan dan biasanya dipengaruhi oleh pendidikan, pergaulan, dan sebagainya. Wanita, secara naluriah akan memilih lelaki yang tahan uji, tekun, dan sabar. Maka masa remaja menuju dewasa menjadi sungguh krusial. I and the Stupid Boy menawarkan plot yang kurang lebih seperti itu. Lingkungan dan pergaulan yang baik akan membentuk karakter yang baik.

Seperti kata Voltaire, “Pemikiran seperti jenggot. Tidak tumbuh sebelum dewasa.”

I and The Stupid Boy | Year 2021 | Italy | Short Film 14m | Directed by Kaouther Ben Hania | Screenplay Kaouther Ben Hania | Cast Oulaya Amamra, Sandor Funtek | Skor: 3/5

Karawang, 220921 – Michael Fanks – The Camera Never Lies

Film ini diproduksi oleh Miu Miu, dan bisa dinikmati di Youtube

The Carducci Talent Show: Sesat Kitab Acuan

Jadi tolong ambil napas dalam-dalam dan terakhir, sekarang.”

Kita tak bisa menarik suatu kesimpulan yang absah dari pernyataan yang bersikap rekaan. Kesalahan, tidak selalu dalam kebohongan, tetapi pasti kekeliruan, telah memotivasi kejadian sejarah, mencipta peninggalan yang salah, ini salah satu kitab sesat yang muncul di abad modern. Kita harus bersandar pada kriterium kebenaran. Temanya permainan, tapi taruhannya nyawa. Bukan barang baru. Kesadisan yang ditawarkan juga sudah banyak dibuat. Langsung mengingatkanku pada Ready or Not? Yang mengajak penonton mengikuti petak umpet di malam hari, yang kalah mati. Kalau di sini, permainan dulu dijalankan lalu konsekuensi yang kalah baru diumumkan di akhir. sederhananya, main-main bertaruh nyawa. Mau pakai kitab kuno jenis apa, mau pakai aturan bagaimana, apalah dunia gila komunitas yang salah.

Emma (Saydee Dickonson) memiliki pacar baru, Tony (Johnno Wilson) mengajaknya ke perkumpulan pertunjukan talenta Carducci yang diadakan tiap empat tahun. Tampak Emma adalah gadis cerdas, ia juga berpikiran terbuka. Dikenalkannya kepada teman-teman yang juga mengajak pacar-pacarnya. Mereka ngumpul ngopi buat acara pertunjukan telenta. Sebelum dimulai dibacakan aturannya. Dihitung berdasarkan poin, poin terendah kalah.

Malam itu tampak menarik. Pertunjukannya seru, penampilan main music, menyanyi, sandiwara, pembacaan puisi, dst. Semua menampilkan talenta-talenta terbaik, membuat suasan meriah, dan Emma tertawa ceria. Sampai akhirnya tiba diperhitungan poin. Terjadi skor imbang, dan karena Emma member baru maka ia yang memutuskan siapa yang lolos.

Di sinilah film menjelma gila. Keputusan sederhana yang dibacakan sambil tertawa itu berakhir dalam kesedihan mendalam. Apa yang tampak di depan, yang kita lihat selama belasan menit itu, tak menggambarkan kehitaman cerita, kini malah mengerikan. Dunia ini memang penuh dengan hingar bingar kehidupan makhluk beragam. Dan di antaranya terbagi dalam berbagai komunitas, warga, kelompok. Ini hanya sebagain kecil komunitas gila.

Selama setengah jam kita menyaksi tiga babak: pengenalan karakter di mana semua dikumpulkan, diperkenalkan masing-masing, bersapa setelah lama tak jumpa, lantas membuka kita kuno. Kedua adalah pertunjukkan utama. Setiap karakter menampilkan apa yang bisa ditampilkan, tampaknya bakal jadi film fun kumpulan manusia dewasa yang menghabiskan waktu bersama, melepas kangen, bercerita dan berkumpul makan-makan, ngopi, pokoknya menikmati hari. Nah, bagian ketiga adalah eksekusi makna utama kisah ini. ini bukan sekadar kumpul ngopi, ini adalah kumpulan sekte kuno yang menjalankan ritual. Apapun yang terjadi harus dijalankan, tak peduli betapa kalian bahagia, tak perduli bagaimana dengan segala sisa usia yang terhitung. Pokoknya, mati. Wasiat sudah disiapkan, surat-surat sudah ditandatangani, dan pertunjukkan ditutup. Ini film pendek, semua dipadatkan. Kebosanan ditekan seminim mungkin, begitu juga ketegangan dan aroma thriller, semua dibagi seefektif mungkin. Namun, bagiku tak terlalu mengejutkan.

Pertunjukkan boleh ditonton, dinikmati, ditelaah. Perjalanan hidup setiap individu sudah digariskan takdir. Lantas kalau kebebasan, dan keindividuan setiap orang sudah boleh dipegang, mengapa menjalani hal-hal yang melenceng? Yang perlu kita telaah mungkin adalah kekhasan setiap pedoman hidup, dan apa yang membuat kitab Carducci menjadi Sabda Carducci. Kalian bisa saja hari ini memegang teguh al-kitab, lusa meyakini Tripitaka, tahun depan memercayai Quran. Manusia itu relatif dan terbuka segala kemungkinan, tapi jelas kalian takkan memegang teguh kitab Carducci, kecuali sudah miring otaknya. Perbedaan antara satu talenta dan talenta lain sangat cair, bisa sungguh objektif. Minat tiap peserta pada hobi dan kemampuan menunjukkan talenta tidak berdasarkan penilaian estetis, tapi selera pribadi, seperti halnya hobi main catur atau mengisi teka-teki silang atau misalkan sepakbola. Semua serba relatif dan tak kuat pondasinya untuk mendulang skor, maka jelas ini sesat.

Dalam praktiknya, kita sukar memilih antara sudut pandang sejarah dan sudut pandang kekinian. Ini thriller, juga horror dan drama. Sudut pandang masa lalu dijadikan acuan, sudut pandang modern menyatakan bi’ah. Kitab Carducci harus dibakar, mungkin juga file film ini. Tak nyaman ditonton, tak enak diperdebatkan. Setengah jam kalian terselamatkan dengan tak memilih The Carducci Talent Show sebagai tontonan. Serius!

The Carducci Talent Show | Year 2021 | USA | Short Movie 36m | Directed by Anthony Fanelli | Screenplay Anthony Fanelli | Cast Saydee Dickinson, Johnno Wilson, Sara Fletcher | Skor: 2.5/5

Karawang, 210921 – Peterpan – Kukatakan dengan Indah