#Agustus2022 Baca

“Hari ini agaknya mendung, Pak.” – Anak buah Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

Bulan Agustus mengejar buku tebal, lebar, non fiksi Teori Sosiologi Modern. Kubaca 15 halaman sampai 25 halaman per hari. Konsisten dan berat, makanya menggerus bacaan lain. Hanya 6 buku yang tuntas, itupun rerata tipis. Dan memang kembali santuy, tak ada yang dikejar sekalipun daftar antri sangat amat banyak.

#1. The Robe of Skulls by Vivian French

Kisahnya berkutat oleh lima tokoh utamanya, berganti-ganti sudut pandang: pertama Gracie Gillypot yang dikurung di ruang bawah tanah, dihukum oleh sudara tirinya yang jahat Foyce. Kedua, Pangeran Marcus yang bandel dan suka petualang, memiliki saudara kembar Arry yang punya wibawa dan jelas sudah ditunjuk sebagai penerus takhta. Ketiga, Marlon sang kelelawar yang membantu Gracie kabur ke Pitarah Purba. Keempat keponakan Marlon, kelelawar Millie. Dan terakhir trolls ratusan tahun Gubble yang pasif dan malesi, tapi punya peran bagus untuk memengaruhi sang penyihir.

“Aku hanya punya dua nasihat, satu jangan jauh-jauh dari peta, jangan sampai hilang. Kedua, jika kau terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan dan segalanya salah, pergilah ke rumah Pitarah Purba. Mereka tahu segala jawaban segala pertanyaan..”

#2. Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

Semua cerpen memakai judul karakter utama. Semuanya pendek, belum ‘in’ sama cerita sudah selesai. Namun hebatnya, semua ending menggantung. Keputusan akhir diserahkan ke pembaca. Dari kepala media yang diminta ceramah kepahlawanan, tak tahu ngomong apa. Karyawan yang diancam, diperas duit sebab istrinya diculik, dan kita tak tahu apakah ia melapor polisi atau memenuhi tuntutan dengan uang pinjaman. Lalu Tuan Gendrik, bos kantor yang baik hati dan tak sombong, yang suatu hari kehilangan semua karyawannya, misterius. Hingga warga baik-baik yang dituntut untuk menikahi perempuan yang tiba-tiba mampir ke apartemennya, lalu menyatakan hamil anaknya. Semua diramu dengan tanda tanya di akhir. Begitulah, sederhana nan memikat. Tak sampai meledak-ledak, tapi sungguh efektif meluluhkan hati pembaca.

“Terus terang, aku tak tahu harus menyapamu dengan apa. Mas, dengan kau, dengan kamu, atau dengan Anda. Tapi itu tak penting bagiku, yang terlebih penting adalah persoalan yang akan kubeberkan di bawah ini.”

#3. To Live by Yu Hua

Tragis. Ini adalah cerita kehidupan warga biasa di China di abad 20. Dari keturunan kaya raya, miskin karena judi, lalu bertahan hidup menjadi petani. Dan ditengah gempuran zaman, mereka dibantai kekejaman kehidupan. Satu demi satu tempaan cobaan disajikan, hingga sisa-sisa akhir. saya yang biasanya suka cerita dengan akhir yang kelam, bahkan sampai berharap, harapan terakhir Kugen, tak sampai dimatikan. Mengerikan memang, era China yang bergolak, pantas bukunya dilarang terbit. Mungkin seperti buku-buku Indonesia era Orde Baru yang membredel buku-buku yang menyerang Pemerintahan. Atas nama kestabilan, banyak sekali pengorbanan diapungkan.

“Dulu kala nenek moyang keluarga Xu cuma pelihara seekor ayam, ayamnya besar jadi angsa, angsanya besar jadi kambing, kambing dipiara terus sampai besar jadi sapi. Beginilah keluarga Xu hingga menjadi kaya.”

#4. Room by Emma Donoghue

Novel dan film sama saja. Dibuat dalam dua babak utama, di dalam kamar dan adaptasi di kehidupan sesungguhnya. Dengan cerdas mengambil sudut pandang seorang anak lima tahun yang polos dan menggemaskan. Pendidikan itu penting, tapi lingkungan jauh lebih penting. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Dari lahir dan pada akhirnya kabur, bagaimana Jack beradaptasi sama hidup baru. Polos dan tampak sangat menyentuh. Seperti filmnya, menurutku bagian pertama luar biasa. Keren abnget, ide memenjara dan dengan segala keterbatasannya. Bagian kedua menurut drastis. Itulah mengapa orang suka drama pahit, sebab cerita pahit selalu mematik penasaran. Nah, untungnya, ending buku ini bagus banget. Pamit itu menampar teori-teori sosiologi, mengukuhkan betapa sempat dan lega itu sangat subjektif.

“Dan tempat-tempat itu juga nyata, seperti ladang dan hutan dan pesawat dan kota-kota…”

#5. Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak

Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap.

“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”     

#6. Islam tanpa Toa by Jamaah Milis KAHMI Pro

Buku yang dinukil dari milis, bahasanya bebas. Seperti zaman sekarang melihat debat online terbuka di twitter atau facebook. Temanya bagus, polemik yang sudah lama ada, masih ada, dan akan selalu ada. Tentang toa atau pengeras suara di masjid-masjid kita. Pro kontra wajar, alasan yang disampaikan juga sangat wajar, dan masuk di akal. Yang pro, biasanya karena sudah kebiasaan.

“Ini sudah fitrah. HMI itu tidak mempersoalkan apakah kamu salat pakai qunut atau tidak. Apakah kamu tahlil atau tidak. Yang salah adalah yang tidak salat dan menutup telinga saat azan.”

Karawang, 020922 –  Sherina Munaf – Ada

Happy birthday to me.