“Aku tidak tahu Paris itu seperti ini. Aku kira meriah, banyak cahaya, dan indah.”
Berisi 31 tulisan yang bertema variatif, berpusat di Paris tempat ia bertugas menjadi wartawan. Tulisannya rata-rata bersinggung kehidupan sosial dan poilitik, kritik budaya, agama, sampai laporan perkembangan kehidupan jelata bertahan hidup. Memikat di satu sisi, menyenangkan bak gelombang oase yang menyejukan, memuakkan atas perilaku politik di sisi lain. Beragam budaya yang ditangkap dalam tulisan klasik tahun 1920an pasca Perang Dunia Pertama. Seru, mendebar, hingar bingar.
Lebih merakyat dari yang kita kira, karena Ernest menyatu dengan kehidupan setempat. Jika Anda mendapatkan cukup orang Prancis di kafe-kafe di berbagai pernjuru Prancis, Anda akan mendapat opini nasional sejati, bukan bayang-bayang opini nasional yang direfleksikan dalam pemilu atau koran-koran. Bagaimana ia bisa mendapat harga murah penginapan, makan yang murah di berbagai sudut kota. Masakannya di atas semua harga. Bagaikan permata dari buritan pertama dalam masakannya. Pakaian hanya masalah kecil.
Karena suasana pasca perang dan teknologi terbatas, pengiriman warta juga mengalami ketersendatan, penyensoran. Saat wartawan Inggris dan Amerika siap menggunakan Corona, selalu ada antrean mengerikan di belakang mereka. Sistem sensor kepausan telah ditetapkan dan semua surat kawat berisi nama-nama kardinal tertentu akan secara otomatis ditahan di kantor pengiriman. Pada akhirnya, penyensoran ini melindungi koresponden yang telah belajar dari ‘sumber-sumber yang dapat diandalakan’ dari pemilihan ini tentang kardinal tertentu yang tidak bisa menjadi paus baru, dan mengirim surta kawat mengumukan keterpilihannya. Klasik sekali, sensor menjadi begitu benar-benar memainkan perannya.
Nasib sebuah negara tergantung pada isi perut perdana menterinya – Voltaire. Nah, Ernest di Prancis di era Perdana Menteri Poincare, kenalah ia kritik, sasaran warta. Salah satunya tentang pose foto di pemakaman yang tampak tersenyum, itu bisa melukai banyak orang, atau bisa juga tak sengaja? “Apa jadinya jika Poincare benar-benar tertawa di pemakaman?” Semua orang bisa saja tertawa secara tak sengaja, lagi pula soal apa semua kegemparan ini berlangsung. Bisa dikatakan, tidak ada satu pun orang bernyawa di Prancis yang mendapat respek lebih besar daripada yang didapatkan orang-orang yang tak bernyawa. Marsekal Foch, Anatole France, Henri Barbuse, M. Poincare, atau Paus, tidak akan pernah – salah satu pun dari mereka – menerima penghormatan penuh seutuhnya dari semua orang yang akan mereka temui jika berkendara dua blok saja dari Champ-Elysees. Adalah spirit penghormatan besar terhadap orang-orang mati, dipadu dengan pentingnya Verdun sebagai kota martir, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang apakah M. Poincare tertawa atau tidak sehingga menjadi keterkenalan nasional. Ia tiba-tiba diisyaratkan untuk melakukan semua hal yang ia sarankan sebagai pengamat.
Situasinya menghadirkan kesulitan.
Reportase tentang penjualan topi lucu melibat burung gereja. Para pembuat topi di Paris akhirnya menemukan kegunaan dari English Sparrow (burung gereja). Tapi bulu monyetnya yang sulit karena harus diimpor dari Afrika atau Amerika Selatan dan sekarang menjadi langka. Begitu pula laporan tentang penjual karpet yang bajakan, dari kulit harimau tapi palsu, kulit kambing! Harganya gila, dari 400 franc di mula, bisa deal di angka 40 franc! Ditulis dengan lucu karena para penjual imigran begitu gigih dan luar biasa menggugah, roda ekonomi jelata yang terus berputar.
Buku yang menciptakan badai adalah novel Batouala karya Rene Maran, warga kulit hitam pemenang Goncount Academy Prize sebesar 5,000 Franc untuk penulis muda tahun ini. Tentang imperalisme Prancis atas koloni-koloninya sebuah karya seni, kecuali prakatanya penuh propaganda. Yang kontroversi adalah betapa komunitas damai 10.000 orang kulit hitam di Afrika bisa berkurang menjadi 1.000 di bawah pemerintahan Prancis. Dibuka dengan kepala desa bernama Batouala terbangun pagi hari di gubugnya yang dingin dan ditempa tungu penghangat, lalu ditutup dengan usia senja dengan sendi-sendi yang kaku dicapik leopard yang lolos dari tombaknya, terbaring diam di lantai tanah gubugnya, warga desa sudah melupakannya karena ada kepala desa baru. Demam, sekarat dengan anjing kurap menjilati luka-lukanya.
Aperitif atau minuman pembuka adalah minuman yang tinggi, terang, berwarna merah atau kuning yang dikucurkan dari dua atau tiga botol oleh pelayan yang bergerak cepat dalam satu jam sebelum makan siang dan makan malam. Pemerintah mengeluarkan beberapa juta franc untuk pesta-pesta jalanan semacam itu. itu dipandang sebagai pembelanjaan yang bijak dalam hal untuk mengenang dan membangkitkan patriotisme. Bendera-bendera Prancis ada di mana-mana, kembang api meletus menghiasi angkasa di berbagai tempat sepanjang saat, ada pameran militer besar di Longchamps pada jam delapan pagi, inilah pesta jalanan.
Koran-koran Prancis menjual kolom-kolom berita mereka sebagaimana mereka lakukan pada ruang iklan. Maka Pemerintah membayar koran-koran dalam jumlah tertentu untuk mencetak berita-berita tentang pemerintah. Itu dipandang sebagai iklan pemerintah. Maka, Pemerintah adalah klien terbesar bagi koran-koran. Semua pemerintah di Eropa memiliki dana khusus untuk publisitas koran-koran yang tidak harus diperhitungkan. Tak peduli betapa idealistiknya politisi Eropa, suatu idealis kepercayaan adalah sama amannya dalam sistem sebagaimana orang buta tersandung-sandung dalam pabrik penggergajian.
Kehidupan malam di Eropa tidak sekadar deretan kafe-kafe. Itu adalah suatu bentuk penyakit aneh, selalu ada, dan terus dikipasi agar membara sejak era perang. Bara itu membakar seluruh generasi. Paris beradab dan menghibur. Berlin paling mesum, gawat, dan kejam. Madrid paling membosankan. Konstantinopel sangat memikat, dulunya. Di bar Cocteau lah kehidupan malam berada di citarasa tertinggi – takni hidup di malam hari – dibawa hingga ke titik didih. Sampanye sementara itu, adalah nama yang disakralkan di Prancis. Satu-satunya wine yang diperbolehkan hukum untuk disebut ‘anggur sampanye’ datang dari distrik yang sudah ditetapkan di sekitar Rheims di propinsi Champagne.
Kehidupan malam adalah hal yang menyenangkan. Tampaknya tidak ada alasan atau aturan yang mengontrolnya. Anda tidak bisa menemukannya saat Anda menginginkannya. Dan Anda tidak bisa menghindar darinya saat Anda tidak menginginkannya. Ini adalah produk Eropa.
Ada satu kalimat langsung yang mengingatkanku pada salah satu esai Seno Gumira Ajidarma di kumpulan tulisannya dalam ‘Tiada Ojek di Paris’ kalimat itu berbunyi “Jadi ini yang namanya Paris.” Yang sama beliau menjadi “Jadi ini yang namanya Jakarta.” Bagaimana seorang pendatang melihat Kuningan, disanggah sama beliau dan diseret ke kolong jembatan dan pemukiman kumuh. Berujar, inilah Jakarta yang sesungguhnya!
Studi tentang memperdayai orang asing kaya dalam mencari-cari kesenangan telah diturunkan menjadi karya seni bagus. Paris telah menjadi kiblat bagi para pemalsu, penipu, dan pembohong dalam setiap garis usaha keras mulai dari musik hingga tinju. Inilah ironi, artis yang terkenal yang tak dikenal di negeri sendiri. Artis dari Rusia, Amerika, Inggris menjadi sangat terkenal dan dihormati di Prancis, padahal di negaranya sendiri adalah artis antah, atau minimal kelas b. Ya seperti itulah, keterbatasan informasi beredar, menjadi jumawa di negeri asing, menjadi kerdil di negeri sendiri.
Rakyat Prancis selalu mendukung Pemerintah dalam upaya apa pun yang dilakukan terhadap musuh asing begitu pemerintah telah memulai. Itu adalah patriotisme menakjubkan dari Prancis. Semua orang Prancis adalah patriotik – dan hampir semua orang Prancis adalah politisi. Prang Prancis merasa mereka harus mutlak setia pada pemerintah namun mereka bisa saja mendepak pemerintah dan menempatkan pemerintah baru yang loyal setiap waktu tentunya. Akan sulit untuk menemukan detail arsitektur yang lebih populer pada wisatawan Eropa daripada gargoyle-gargoyle dari Notre Dame di Paris.
Catatan tentang seorang algojo hukuman mati, menjadi absurd karena tetangga tak tahu profesinya. Aneh bin nyeleneh. “Deibler sudah kembali. Ia sudah melakukan perjalanan jauh untuk pemerintah. Tapi, saya heran, apa sih yang dilakukan Deibler?” Inilah Kota penuh pahlawan, bagaimana lencana dan tropi dicipta sedemikian mudah demi gengsi dan rasa patriotisme, sayangnya ga bertahan lama karena jadi semacam kencana biasa bila terlampau sering dicetak.
Masa lalu sudah semati catatan pemutar rekaman musik Victoria yang rusak. Mengejar kemarin adalah pertunjukan untuk gelandangan, dan jika Anda harus membuktikan kembalilah ke front lama Anda.
Tidak mungkin menulis secara tidak berpihak tentang suatu negara jika Anda sedang mencintainya. Ernest sekalipun melempar banyak kritik, sebagai seorang ekspatriat di Paris begitu mencinta hiruk pikuk dan segala kekumuhan dan keindahan sudut-sudut ibu kota Prancis.
Reportase terbaik ini dicetak mini oleh penerbit indi, sekalipun kualitas cetak dan terjemahan ga semegah penerbit major, jelas kualitas seorang Ernest Hemingway dengan kalimat langsung dan menohok tanpa banyak basa-basi tetaplah berkualitas.
Anda tidak akan tahu apa Natal hingga Anda kehilangan dia di tahan yang asing.
Reportase-Reportase Terbaik: Biarlah Air Mengalir di Bawah Jembatan, dan Alkohol di Tenggorokanmu | by Ernest Hemingway | copyright 1922 | Penerjemah Tom Bapallaz | Editor Arturo | Penyelaras bahasa Dianve | Pemeriksa aksara Agus AHA | Desain sampul Bambang Hidayatullah | Tata letak teks Bambang Hidayatullah | Penerbit Ecosystem Publishing | ISBN 978-602-1527-47-4 | Cetakan I, 2017 | Skor: 4/5
Karawang, 200520 – Bill Withers – Let Me in Your Life
Thx to Angga Adi di Surabaya