Dan Benar saja, Cantik itu Luka

Cantik itu Luka by Eka Kurniawan

Menanti Pangeranku datang, untuk membebaskanku dari kutukan wajah buruk rupa.” – Si Cantik

Riwayat Halimunda. Kalau saya memulai tulisan ulas novel-nya Jorge Amado: Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis dengan kalimat: “The Chronicles of Ilheus,” maka saya membuka ulasan Cantik Itu Luka dengan kalimat itu. Di kota fiksi inilah, kita diajak bersafari dari sebelum, saat, dan setelah Indonesia merdeka. Memiliki tanggal cantik sendiri untuk dirayakan sendiri, 23 September sebab informasi proklamasi terlambat sampai, kebusukan moral polisi penjahat di setiap sudutnya, hingga tokoh fiksi yang sejajar Jenderal Sudirman. Fakta dikaburkan imaji, dibubuhi segala penyedap kegemparan masa itu, dan taa-daa… jadilah novel liar.

Dibuka dengan kutipan berikut, “Dan kini, setelah baju zirahnya dibersihkan, bagian kepalanya diperbaiki jadi sebuah topi baja, kuda dan dirinya sendiri punya nama baru, ia berpikir tak ada lagi yang ia inginkan kecuali seorang nyonya, pada siapa ia anugerahkan kekaisaran hatinya; sebab ia sadar bahwa seorang ksatria tanpa seorang istri adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun, dan sebongkah tubuh tanpa jiwa.” – Miguel de Cervantes, Don Quixote

Kisahnya merentang jauh sebelum Indonesia merdeka. Semuanya tentang manusia-manusia patah hati, hampir semuanya ding karena ada satu dua orang yang begitu nyamannya menjalani hidup ini, mengalir saja. Yang jelas, ketika cinta membuncah, apapun akan dilakukan, apapun akan dikorbankan. Dan ini terus berulang, tata cara bercerita bagus, di mana kita dibocori sedikit kejadian akhir, baru dijelaskan kronologinya. Maka polanya campur, beberapa dilakukan flashback per bab. Dan karena ini novel tebal, banyak karakter yang memiliki riwayatnya sendiri dengan rentangan panjang. Titik hidup tiap tokoh diolah sedemikian rupa sehingga pembaca diseret serta emosinya. Tak ada tanda tanya, semua nasibnya jelas. Hanya beberapa yang samar, saat melibatkan dunia mistik. Dan itu, kembali lagi ke basic absurditas: tafsir bebas.

Pusat cerita sejatinya ada di Dewi Ayu, tapi kita disuguhi pondasi yang sama kuatnya pada masa orang-orang sekelilingnya. Terlahir dari orang Belanda yang menjajah kita. Dengan drama memilukan sebab pasangan wong cilik Ma Iyang yang dipaksa keadaan jadi gundik dan terpisah sama kekasihnya Ma Gendik. Sejarah dua bukit yang dibangun dengan pondasi bunuh diri. Saat Dewi usia remaja, Indonesia diduduki Jepang, dan kehidupan mewahnya mendadak longsor. Para gadis keturunan kala itu adalah tawanan, dan dijadikan pelacur oleh Mama Kalong.

Tak seperti para gadis lainnya yang khawatir dan ketakutan, Dewi Ayu menghadapi kenyataan dengan tegar dan lantang. Entah ide dari mana, menyimpan emas di kubangan kotoran? Penjajahan Jepang yang secara tahun hanya berhitung jari, mencipta kegetiran hingga masa kemerdekaan menjulang. Di Halimunda, karena informasi proklamasi terlambat maka diperingati RI-nya tiap 23 September. Perang kemerdekaan pecah, setiap warga memiliki kewajiban melawan Belanda yang kembali ke Indonesia. Begitu juga Halimunda, tersebutlah para karakter unik yang mengelilinginya.

Dewi Ayu memiliki tiga anak: Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Dan ketiganya saling silang membelit rumit.

Maman Gendeng seorang jagoan yang mengingin menikahi wanita tercantik di Halimunda yang ternyata sudah jadi mitos. Ia tetap tinggal di sana dengan menantang kepala preman, manusia kuat yang berhari-hari tarung di pantai menjadikan Maman penguasa. Ia lantas menikah dengan Maya Dewi, anak paling baik, yang polos dan baik hati. Menikah tak seserhana itu, di usia 12 tahun dan harus menunggu balig untuk malam pertama!

Shodanco adalah pejuang kemerdekaan. Turut serta mengusir penjajah, ia setara Jenderal Sudirman. Namun keputusannya bertahan di Halimunda membuatnya hanya sekelas kepala Rayon, maka ialah pihak berwajib tertinggi di sana. Mengatur kota yang busuk. Menikah dengan Alamda dengan drama menjijikkan. Shodanco tahu Alamanda punya kekasih yang sedang kuliah di Jakarta, Kliwon. Maka saat lengah ia melakukan perbuatan bejat di hutan. Pasangan yang tampak ideal ini memiliki noda di dalam rumah tangga. Hubungan suami istri tak bisa serta merta senormal pasangan lain, sebab Alamanda melakukan protes. Bahkan saat lengah, dan akhirnya ia hamil, terjadi kegemparan sebab jabang bayi di perutnya secara misterius raib.

Shodanco dan Maman malah berteman, mereka sering main dadu di pasar. Keduanya memiliki kekuasaan, yang satu polisi yang lain preman. Keduanya memiliki mertua palacur kondang. Saling silang saling mengisi hari-hari pasca merdeka.

Sementara manusia cerdas Kliwon yang patah hati melengkapi kepahitan. Kliwon digambarkan idealis, tokoh komunis yang tegar dan cerdas. Hanya keadaan yang memaksanya terpuruk.  Menikah dengan Adinda. Kliwon adalah kepala Serikat Nelayan. Bayangkan, ketiga saudari ini memiliki pasangan yang tak lazim. Polisi, ketua serikat, kepala preman. Gmana rasanya pas ngumpul arisan keluarga, apa tak riuh dan jotos-jotosan?

Namun drama sejatinya dicipta di ujung. Para cucu Dewi Ayu yang membuat onar, cucu pertama Nur Aini dari Alamanda digambarkan begitu mengayomi saudara-saudaranya. Cucu kedua Krisan dari Adinda yang seperti ayahnya, begitu lantang isi kepalanya, imajinatif. Cucu ketiga dari Maya Dewi, Rengganis yang paling cantik dari semua yang tercantik. Dan benar saja, cantik itu luka.

Di suatu siang terjadi kehebohan di sekolah sebab Rengganis masuk ke kelas dalam kondisi telanjang dan mengaku diperkosa anjing di toilet kumuh sekolah. Inilah mula malapetaka keluarga ini. Carut marut kehidupan fana dengan pijakan hikayat kota Halimunda. Kalian mungkin bisa menebak siapa pelakunya, tapi yakinlah kalian pasti turut terluka akan tragedi bertubi ini.

Oiya, Dewi Ayu pada akhirnya memiliki anak keempat, yang lain daripada yang lain: Si Cantik. Mantra jahat dilempar, adu kekuatan gaib dilakukan. Hanya yang terkuat yang berhasil berdiri kokoh di ujung cerita.

Sudah memilikinya sejak Februari 2018, waktu itu sampul baru warna merah, tersebab ingin koleksi saya ambil yang hard cover, baru kubuka segelnya awal Juli 2022 sebab lihat edisi anniversary 20 tahun dengan sampul biru, dan gegas kubaca. Target selesai bulan Juli bisa terealisasi di akhir bulan. Dibaca santai sehari per bab, atau saat jeda dari bacaan lain.

Novel ini dengan cerdas memainkan sisi psikologi semua karakter. Saat jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya seolah cewek incaran itu seolah segala-galanya. Sekalipun esok berubah pikiran, dan bercinta dengan cewek lain dengan dalih tanpa rasa cinta. Dan juga mengisi kepahitan di setiap generasi, kesedihan ditabur di segala keadaan. Tak ada manis-manisnya. Kliwon dan Adinda misalnya, pasangan ideal yang dipaksa pisah karena memang tak dijodohkan oleh penulis.

Sebagai novel paling unggul Eka Kurniawan, jelas ini paling kompleks permasalahannya, dan yang paling keren. Ini adalah buku kelima yang kubaca setelah: Lelaki Harimau, yang terkamannya menghebat itu. Seperti Dendam, yang penuh makian. O, si monyet dangdut. Kumpulan Budak Setan, yang terinspirasi Abdullah Harahap. Dan cerpen Sumur yang dicetak mungil. Polanya menurutku: dua novel pertama ditulis dengan semangat pemuda membara sehingga Cantik dan Lelaki memakai pola bab panjang yang nyaman dan detail mengagumkan, sangat mengagumkan. Novel ketiga, Seperti Dendam malah penurunan sebab memakai pola penggalan kalimat-kalimat seolah fiksi mini yang dirajut acak. Begitu pula novel keempat, O. Kenyamanan itu terdistorsi. Dan itulah kurasa, jelas tak sebombastis duo pertama. Kesamaannya, semua adalah fiksi dewasa dengan makian bebas, adegan percintaan bebas, serta kebebasan meneriakan hal tabu. Untuk itulah fiksi jadi menarik.

Novel berikutnya kuharap kembali memakai pola duo mula, sabar, telaten mencipta alur, sehingga panjang meliuk-liuk. Kutunggu dengan tak sabar.

Cantik itu Luka | by Eka Kurniawan | GM 617202031 | Copyright 2002 | Penyelia naskah Mirna Yulistianti | Pemeriksa aksara Sasa Galih, Arasy | Desain sampul Orkha | Setter Fitri Yuniar | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Pertama kali diterbitkan oleh AKYPress dan Penerbit Jendela, Desember 2002 | Cetakan pertama, Mei 2004 | Cetakan ketiga belas (Hard Cover) Desember 2017 | ISBN 978-602-03-6651-7 | Skor: 5/5

Karawang, 030822 – 090822 – 240822 – Billie Holiday – God Bless the Child

Thx to Gramedia World Karawang & Widi Satiti

Sumur #16

“Setiap buku langka adalah buku curian.”

Satu cerpen dalam satu buku. Terdengar gila ‘kan? Gila nggak? Ya aja deh. Biasanya kita disuguhi kumpulan cerpen, minimal dua atau tiga cerpen. Berarti ini diluar biasanya, hanya Eka Kurniawan yang bisa. Penulis lokal dengan ketenaran dan jaminan mutu. Hebatnya lagi, laris. Dari beranda sosmed saat masa pre-order dibuka dari harga 50k menjadi 40k, banyak sekali toko buku daring yang pajang sold out. Mendekati hari H penutupan, saya yang penasaran malah ikutan klik beli. Dan, setelah #unboxing, ini benar-benar satu cerpen dijual lima puluh ribu rupiah! Dibaca lima menit. Kalau value biaya (saat ini) jelas kurang worth it, tapi kembali ke kualitas yang utama. Eka adalah brand, di mana namanya yang tercetak di sampul memberi rasa penasaran, minimal ada keinginan menikmatinya.

Cerpen ini pertama terbit dalam bahasa Inggris di antologi Tales of Two Planets dengan judul ‘The Well’ yang diterbitkan oleh Penguins Books tahun 2020. Kisahnya tentang hikayat sejoli yang saling mencinta tapi kandas karena keadaan. Lihat, tema usang kasih tak sampai kalau dicerita dengan mantab menghasilkan thriller bermutu.

Adalah Toyib yang sedari kecil mencintai Siti dari kampung sebelah. Setiap pagi berangkat sekolah bersama, kadang berdua, kadang ramai-ramai. Garis nasib mencipta, ayah keduanya berduel hingga ayah Siti mati. Gara-gara sepele, masalah pembagian pengairan sawah. Ayah Toyib setelah kabur ke hutan, berhasil ditangkap lalu dibui. Keadaan ini jelas turut serta membawa sejoli ini merenggang, ada aib dan sengsara yang memisahkan mereka.

Setelah empat tahun delapan bulan, ayah Toyib bebas. Ia banyak belajar memperbaiki mesin semasa di penjara. Ia bahkan berhasil mengumpulkan uang dengan jasanya, dan uang itu ingin diberikan kepada Siti, lewat Toyib. Berat, tapi diiyakan.

Nah, ada sebuah sumur di lembah, di balik bukit seberang perkampungan. Satu-satunya sumber air yang bisa diandalkan. Siti melaksanakan tugas mengambil air, Toyib juga. Kesempatan ini dipakai untuk menyampaikan niatnya. Sore itu mereka bertegur sapa dalam canggung. Saat niat utama disampaikan, hanya satu kata yang terucap dari sang gadis, “Tidak.”

Siti yang coba menghindar terjatuh dan luka kakinya, Toyib mencoba membantu. Berikutnya seolah mendapat amanat memikul dua ember untuk dua keluarga ini. Siti diam, dan dianggap sepakat saja. Waktu lalu mencipta perubahan, Toyib diterima masuk rumah dan ibu Siti yang menerima bungkusan tersebut. Saat ditanya di mana Siti? Ternyata sudah berangkat merantau ke kota. Pupus sudah harapan itu…

Dan begitulah, perpisahan tanpa kata-kata itu mencipta jarak yang sungguh lebar. Kabar satu tertimbun kabar lainnya, masa membawa manusia-manusia ini dewasa dengan sangat cepat. Siti menikah, Toyib patah hati dan berniat mencari kerja ke kota, tragedi lain terjadi, dan sekali lagi saat ada kesempatan kedua, akankah cinta pertama ini dapat dipersatukan?

Pertanyaan mendasar orang yang menikah, “Apakah kamu bahagia dengan pernikahanmu?” Sejatinya bukan khusus untuk orang-orang pacaran yang kandas ke pelaminan. Ini pertanyaan umum, bahkan bagi pasangan yang saling mencinta, saling berjanji sejati, saling sepakat untuk setia, menikahi orang terkasih. Masa akan melindas banyak sekali kenyataan pahit manis, dan pertanyaan itu layak diapungkan juga. Dunia fana yang membuncah tanya, masa depan yang misterius.

Dihadiahi jaket buku yang manis dan pembatas buku sederhana dengan pesan makjleb dari Penerbit. “Terima kasih telah membawa pulang Sumur karya Eka Kurniawan. Buku ini hanya dicetak sekali. Pada suatu saat nanti dia akan menjadi langka. Semoga kamu senang membacanya. Seperti kami yang bersuka cita saat menyiapkan kelahirannya.” Semoga saja benar hanya dicetak sekali, karena antusiasme yang tinggi dan gegap gempitanya terasa, setelah sebulan terbit hypenya masih meriah, akankah suatu masa berubah pikiran? Ya, saya sepakat suatu hari akan langka. Kriteria langka itu bagaimana? Burt Auerback, juru tafsir buku langka di Manhattan pernah bilang, “Buku langka adalah buku yang harganya jauh lebih mahal sekarang daripada saat diterbitkan.”

Kolektor buku dari Amerika, Robert H. Taylor berkata, “Buku langka adalah buku yang sangat kuinginkan dan tidak bisa kutemukan.” Saat orang-orang menjawab serius, mereka semua sependapat bahwa ‘rare’ – langka, adalah istilah yang sangat subjektif. Satu-satunya kualitas ‘langka’ yang disepakati para kolektor adalah kombinasi kejarangan, kepentingan, dan kondisinya.

Ada kasih unik masalah ini, buku langka Tamerlane and Others Poems ditulis oleh pengarang tanpa nama yang hanya diidentifikasi sebagai, “Seorang Warga Boston.” Lalu berjalannya waktu baru diketahui ternyata adalah karya Edgar Allan Poe saat berusia 14 tahun. Buku setelah 40 halaman yang dicetak tahun 1827 oleh percetakan yang biasa mencetak resep, harga awalnya hanya 12 sen, dan kini setelah ratusan tahun berselang harga dalam lelang bisa mencapai 200 ribu dollar! Nilai Tamerlane yang biasa-biasa saja saat pertama terbit, tampak biasa saja, dibuat hanya 50 sampai 500 eksemplar, kini menjadi legenda dan tercatat hanya ditemukan 14 buku. Lihat Sumur, kita bukan cenayang, tapi kalau Penerbit komitmen tak mencetaknya lagi, tak sampai seratus tahun lagi bukankah tak mustahil berwujud prediksinya? Mirip semua ‘kan, kecuali nama Eka yang memang sudah sungguh terkenal.

Kasus dalam negeri yang paling terkenal tentu saja buku-buku awal Pram, harganya menggila. Semakin lama cetakannya semakin mahal. Saya pernah lihat di posting Facebook, ‘Arus Balik ‘dihargai sejuta lebih, kukira penjualnya gila. Eh ternyata ada komentar pembeli, itupun disusul komen lainnya yang turut antri!

Dalam buku, The Man Who Loved Books Too Much karya Allison Hoover Bartlett, “Selain menjadi kendaraan untuk menyampaikan kisah (dan puisi, informasi, referensi, dll) buku merupakan artefak sejarah dan tempat berkumpulnya kenangan. Kita senang mengingat-ingat siapa yang memberi buku kepada kita, di mana saat kita membacanya, berapa usia kita, dan sebagainya.” Jadi semakin jelas alasan kenapa Sumur harus dicetak. Sepuluh dua puluh tiga puluh tahun lagi, buku ini akan jadi semacam artefak, dimana keunikan dan rare tadi akan lebih menonjol daripada isinya.

Sumur dan misteri diam. Kebetulan saya lagi baca Kronik Burung Pegas-nya Haruki Murakami. Ada kisah bersisian, bagaimana sang protagonist merenung ke dasar sumur tua yang sudah tak mengeluarkan air. Menapaki kesunyian dan mencapai ketenangan luar biasa, semadi yang menghasilkan tompel dan segala tanya dunia antah di dimensi lain. Sumur yang ini lebih kalem, perannya seolah hanya menjadi saksi biru cinta kandas dan membuncah. “Kamu bertemu Siti di sumur?”

Sumur | by Eka Kurniawan | GM 621202009 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Editor Mirna Yulistianti | Desain sampul & ilustrasi Umar Setiawan | Setting Sukoco | Cetakan pertama, Juni 2021 | ISBN 978-602-06-5324-2 | Skor: 3.5/5

Karawang, 160721 – The Cranberries – Animal Instinct

#30HariMenulis #ReviewBuku #16 #Juli2021

Buku ini kubeli di Kedai Boekoe, Bekasi. Saya ambil sepaket sama Misa Ateis-nya Honore de Balzac. Kunikmati saat isoman, menjadikan serangkai buku (dan film) yang berhasil kutuntaskan.

Lelaki Harimau #10

image

Inilah masterpiece Indonesia yang berhasil menembus kancah internasional. Sepuluh tahun lalu saya menemukan banyak buku ini dengan cover lama berserakan di toko buku dengan diskon gila-gilaan. Kupikir waktu itu ini buku ga laku? Berjalannya waktu, kualitas akhirnya berbicara. Buku ini mendapat perhatian banyak reviewer bernada positif. Lalu ketika penerbit luar mulai berlomba membeli hak terjemahannya, barulah saya ikut terbawa arus penasaran. Buku Eka pertama yang kubaca adalah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Lunas baru kemudian buku ini. Saya membaca Seperti Dendam juga gara-gara seorang wartawan bola senior merekomendasikan, dan ternyata cukup memuaskan sehingga berburu buku lainnya. Dan Lelaki Harimau luar biasa sukses membuatku terkagum-kagum atas plot, gaya bahasa, dan penuturan yang tak lazim. Seperti memasuki dunia imajinaf yang menyesakkan, dan tur kisah ala Eka benar-benar enak diikuti. Ikut bangga ada Penulis lokal dengan kualitas mumpuni.

 

Seperti buku-buku klasik yang bagus, buku ini tak banyak cingcung ucapan terima kasih, cuap-cuap ga jelas atau prakata tak tentu arah. Kita bahkan tak diberi daftar isi, tak dijelaskan sinopsis panjang lebar di back cover. Hanya paragraf pendek bertuliskan: Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim pemburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan penghianatan, rasa takut dan birahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.” Lihat betapa ringkas dan menatap penuh tanya arti sekelumit kalimat itu. Dan ketika kita buka, kita langsung diajak berfantasi ke dunia Eka sesunguhnya.

 

Cerita dibuka dengan sangat gamblang, Margio membunuh Anwar Sadat. Senja itu ketika Kyai Jahro sedang memberi pakan ikan di kolamnya, datanglah Mayor Sadrah dan Ma Soma memberikan kabar duka. Margio yang sedari siang menenteng samurai dikiranya menghentikan nyawa Anwar dengan senjata asal Jepang. “Bocah itu menggigit putus urat lehernya.” Sebuah fakta mengerikan, pembunuhan dilakukan dengan gigitan. Membayangkannya saja membuat begidik. Kyai Jahro yang sudah berpuluh tahun memimpin sholat jenasah, shock. Sepertinya tak ada tanda dendam pada bocah bersama Margio kepada lelaki tua Anwar, namun inilah faktanya.

 

Margio adalah anak pemurung yang tak betah di rumah tapi sesungguhnya anak yang manis dan santun. Ia tak terlalu bodoh menyia-nyiakan kekuatan tubuhnya dalam perkelahian, dan sepanjang hari mengambil kerja serabutan untuk menyia-nyiakankannya dalam bungkus rokok dan botol bir tapi tetap saja ia anak manis meski pemurung. Semua orang tahu ia benci ayahnya dan semua yakin ia bisa menghabisinya, namun sampai Komar bin Syueb mati ia tak pernah mencobanya sedikitpun. Ia sungguh tak banyak polah. Maka ketika ia mendengar Margio membunuh, bagaimanapun Mayor Sadrah masih belum mempercayainya.

 

Mayor Sadrah veteran pejuang memiliki motor Honda 70, didapat dari kepala polisi yang mungkin mendapatkannya dari sitaan barang curian yang tak berpemilik. Tanpa surat dan kelengkapan, namun tentu saja tak pernah ketilang. Dengan sandal jepit, rokok mengepul dan tanpa helm. Tamasya sore kegemarannya, sesekali mampir bengkel untuk mengencangkan sekrup motor tuanya atau mampir ke warung ngopi. Sore itu bersama Ma Soma memberitahu kabar menggemparkan itu kepada Kyai Jahro.

 

Selanjutnya kita disuguhi detail akan dan sesudah kejadian. Betapa Margio yang anak manis itu berubah setelah kematian ayah dan adiknya. Permasalahnya kata Agung Yuda teman bedundalnya, Margio pasca kehilangan ayahnya tampak bahagia. Kematian Anwar membuatnya diseret ke sel, lalu setelah sholat jenazah Mayor Sadrah mengunjunginya. Akhir bab satu seperti yang disampaikan di synopsis singkat back cover, “Ada harimau di dalam tubuhku.”

 

Di bab dua kita diajak kembali ke focus ke awal sebelum kejadian. Awal kemunculan harimau putih, jelmaan lelembut yang dimiliki beberapa warga di sana. Sebagaimana diturukan Ma Muah, pendongeng desa. Beberapa dari mereka memilkinya sebab kawin dengan harimau, yang lain memperoleh dari warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kakek Margio memperoleh itu dari ayahnya, dan ayahnya dari ayahnya, dan nenk moyang yang barangkali tak lagi diingat siapa yang pertama kali kawin dengan harimau. Margio mengetahuinya setelah suatu subuh ketika ia tidur di surau kakinya ada yang mengibas, ternyata seekor harimau putih, warisan kakeknya. Margio memang lebih dekat dengan sang kakek ketimbang orang lain. Ayahnya Komar Bin Syueb adalah lelaki dengan banyak masalah. Pernikahan dengan Nuraeni awalnya seperti kisah roman masa lalu antara gadis desa dan pria rantau yang kepulangannya penuh damba. Pernikahan yang menghasilkan tiga anak, Margio si sulung, Mameh yang aneh dan Marian yang tak berumur panjang. Suatu hari ketika di rumah nomor 131 itu ditemukan Komar Bin Syueb meninggal. Kisah ini malah ditarik jauuuuuh ke belakang. Awal mula terbentuknya keluarga ini.

 

Keluarga ini pindahan. Seperti yang diingat Margio sebagai “Tamasya Keluarga Sapi”. Mereka melalui perjalanan nan religius melewati jalan buruk. Sesunggunya ada jalan beraspal yang bisa dilalui namun Komar takut sapi-sapi itu terganggu atau menggangu pengendara lain sehingga ia memutuskan melewati bukit. Well, perjalanan ini mengingatkanku pada novel 100 Tahun Kesunyian-nya Gabriel Garcia Marquez. Perjalanan yang menyentuh hati sebuah keluarga.

 

Setelah bab tiga dan empat yang melelahkan nan indah. Bab terakhir kita pun dibimbing ke eksekusi akhir. Tentang Maharani, anak Anwar Sadat yang mengucap cinta pada Margio. Tentang cinta remaja penuh gelora. Sampai di sini tampak sekali Eka mencoba menggiring Pembaca untuk membentuk motif pembunuhan. Namun ketika gumpalan itu mulai tampak, Pembaca dihempaskan lagi. Apakah motifnya cinta terlarang? Hhhmmm…, kisah ini terlalu klise disebut masterpiece kalau hanya karena kasih tak sampai. Apakah cinta mereka akhirnya bersatu? Lalu apa sebenarnya motif Margio menggigit leher Anwar?

 

Saya mencatat ada empat keistimewaan novel ini. Pertama gaya bercerita yang tak biasa. Mengingatkanku pada penulis Inggris George Orwell yang bilang, buatlah cerita dengan penuturan yang tak lazim. Novel ini jelas banyak susunan kalimat yang tak pada umumnya. Kedua ada dunia imajinatif yang indah untuk diraba Pembaca, dan Eka sukses memetakannya. Seperti harimau putih yang ada di tubuh karakter, itu semacam mitos di kampung-kampung yang memang banyak percaya. Ketiga surealis magis ala Garcia Marquez sukses dipetakan. Seperti yang kita tahu, Penulis Latin ini terkenal karena gaya Bahasa yang surealis seperti perjalanan pindahan yang dituturkan dengan menakjubkan. Memang banyak yang mencoba meniru gaya tulisan Marquez namun sejauh ini lebih banyak yang gagal, nah Eka dengan gemilang mengaplikasikannya. Kebetulan saat ini saya sedang membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, mirip-miriplah. Kalau Marquez sudah dapat dan Pram menjadi nominasi Nobel Sastra, bagaimana dengan Eka?

 

Keistimewaan keempat adalah Eka dengan sangat jeli menyimpan motif. Kita sudah tahu siapa yang mati dan alur merenggang nyawa si Anwar tapi tahukah kalian, sampai kalimat terakhir buku ini barulah kita tahu apa motif sebenarnya. Awalnya pembaca digiring untuk simpati lalu dihempaskan tak terperi sehingga motif itu terasa, “Oke bisa diterima. Selamat!”

 

Adaptasi film sepertinya hanya tinggal tunggu waktu. Saya membayangkan film akan ditayangkan di festival-festival dunia dan mendapat applaus standing. Inilah buku yang sangat amat pantas dikoleksi, ditelaah dan dibicarakan sampai dengan 50, 60 tahun yang akan datang. Eka sudah membuat mahakarya yang akan jadi warisan Indonesia buat Dunia. Kelak saya percaya, buku ini akan jadi literasi sastra (minimal) Indonesia yang dibahas di sekolah-sekolah dan bangku kuliah. Lelaki Harimau, putih serupa angsa!

 

Lelaki Harimau | oleh Eka Kurniawan | diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004 | GM 20101140028 | Cetakan pertama (cover baru), Agustus 2014 | layout isi Noviprastya | ISBN 978-602-03-0749-7 | Skor: 5/5

 

Karawang, 100616 – Yusuf Islam – The Wind
#10 #Juni2016 #30HariMenulis #ReviewBuku

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas #6

Featured image

Seberapa besar pengaruh sebuah review untuk menentukan keputusan kita akan atau tidaknya menikmati karya? Yang pertama jelas tergantung sang reviewer, apakah sepaham dengan kita atau tidak? Apakah satu genre? Apakah subjektif, dan seterusnya. Hal tersebut bisa dilihat di rekam jejaknya dalam memberi ulasan. Bagi saya, pengaruh review terhadap keputusan ikut menikmati karya, sangat besar. Nah, buku yang akan saya ulas kali ini berawal dari secara tak sengaja membaca review disini. Dari seorang pandit football – yang sudah pengalaman menulis di kolom koran ulasan bola – yang tiba-tiba menyeruak review buku karya Eka Kurniawan. Blog bung Agus Khaidir yang rutin saya ikuti karena tulisannya yang Oke. Akhir tahun lalu, dengan tulisan yang runut dan renyah, seakan mengajak pembacanya membaca, saya berkesempatan juga mencicipinya. Ternyata buku-buku Eka Kurniawan mayoritas dapat review positif, duh kemana aja mas? Terakhir bahkan bukunya ‘Lelaki Harimau’ diterjemahkan ke bahasa Perancis dan Inggris. Wow! Berbekal ulasan bagus dan bukti buku yang laris itulah saat nonton film PK, Desember 2014 saya membelinya.
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Judulnya unik. Kalimat pembukanya langsung menohok. “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.” Ajo Kawir adalah pemuda paling malang sedunia, kemaluannya ga bisa berdiri. Kejadian itu berawal dari keisengan Ajo Kawir dan temannya mengintip pemerkosaan yang dilakukan oleh dua polisi. Ajo Kawir yang kepergok, lemes dan burungnya memutuskan tidur panjang. Berbagai cara sudah dilakukan untuk membangunkannya, namun selalu gagal. Dari menonton video porno, membaca novel stensilan, menatap gambar gadis seksi yang ada di buku teka-teki silang sampai uji coba ekstrim memberinya cabe. Apes bener.
Dengan kondisi seperti itu, Ajo Kawir seakan sudah tak ada harapan dalam hidup, sehingga hobinya berkelahi tanpa takut apapun. “Aku ingin menghajar orang”, kalimat aneh tanpa sebab apapun ingin berkelahi. Bener-bener stress.
Hingga pada suatu hari dia bertemu Iteung, gadis manis yang terpaksa bertarung dengan Ajo Kawir. Iteung adalah pengawal pak Lebe, penjahat kelamin yang ingin dihabisi si Kawir. Sebelah telinga Pek Lebe dipotongnya sebagai kenang-kenangan. Dan Pertarungan hebat dengan Iteung yang membuat keduanya jatuh hati. Ajo Kawir bahagia, ciuman pertamanya yang penuh gelora berakhir dengan menyedihkan. Dia sadar diri, dirinya ga akan pernah jadi kekasih Iteung.
Konflik makin menarik saat ada pekerjaan untuk membunuh si Macan yang terkenal garang, dengan iming-iming duit gede Ajo Kawir menerimanya. Perjalanan ke sana ternyata rumit. Ajo Kawir memutuskan berdamai dengan kenyataan, memutuskan jadi sopir truk jalur utama Pantura dengan tulisan di belakang truknya: Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Sekarang kita tahu, dari mana asal ide itu.
Istrinya hamil, ya Ajo Kawir akhirnya menikah tanpa pernah bercinta namun istrinya hamil. Makin kalut, anak siapa ini? Akhirnya si Kawir bertemu dengan si Macan. Namun pertarungan yang diharapkan tak terjadi. Ada karakter penyeimbang si Budi Baik dari Kangan Kosong yang mencintai Iteung. Yang jadi pemanas ada pak Toto, guru paling koplak dan ga patut digugu dan ditiru. Ada kernet muda yang menemani Ajo Kawir selama perjalanan perenungannya, Mono Ompong. Ada lawan kebut-kebutan di jalan si Kumbang yang arogan. Ada si Jelita ‘pemanis’ ending yang memberi harapan pada pembaca bahwa sekalipun terpuruk yang paling dalam sekalipun kalian masih bisa bangun dan bangkit lagi. Jadi bagaimana akhir dari kisah panjang Ajo Kawir?
Dengan banyaknya konten dewasa saya sepakat ini novel dilabeli 21+. Bertaburan makian kasar, umpatan yang tak patut ditiru dari yang kelas bawah, kelas menengah sampai yang paling kasar. Saya juga ga tahu sih pembagian kelas umpatan itu bagaimana. Bahasanya vulgar, walau ga se-vulgar  film biru. “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, sering kali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari miliku selama bertahun-tahun”.
Dengan plot cerita maju-mundur kisah mengalir lancar. Saya menyelesaikan baca buku ini dalam dua hari di sela-sela kesibukan. Saya ingat sekali saking ga bisa berhentinya saya bawa ke kantor dan dibaca pas jam istirahat. Saat akhirnya kelar, lega sekali. Eka Kurniawan memenuhi ekspektasi, review yang saya baca ga bohong. Ini buku bagus, ini buku yang sangat berbeda dari semua bacaan saya. Sesekali memang perlu sesuatu yang kasar untuk menambah pengalaman. Dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas memberi warna lain koleksi buku di rak ku.
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas | oleh Eka Kurniawan | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan kedua November 2014 | ISBN: 978-602-03-0393-2 | Skor: 4/5
Karawang, 060615 – Paper cut
#6 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku