Double Big Match

https://lazionebudy.files.wordpress.com/2014/10/prediksi-crystal-palace-vs-chelsea.jpg?w=266
Akhir pekan ini akan ada dua laga besar di dua liga yang berbeda. Pertama di malam Minggu sang pemimpin klasemen La Liga Barcelona akan menantang seteru abadi mereka Real Madrid dalam tajuk el clasico. Keduanya kini sudah menemukan track yang benar dengan meraup kemenangan demi kemenangan. Barca terakhir menang melawan Ajax 3-1 sedang Madrid menggulung the Reds 0-3 di ajang Champions. Kabarnya sang mega bintang Suarez akan melakukan debut nanti setelah kena skorsing gara-gara menggigit Chielini di Piala Dunia lalu. Debut yang keras, akankah Pepe nantinya akan digigit juga?
Sementara dari tanah Britania tim Biru Chelsea yang tak terkalahkan ditantang tuan rumah Manchester United di Minggu malam. Chelsea yang tengah pekan lalu berpesta 6-0 pastinya punya spirit lebih. Skor 6 gol tanpa balas adalah skor terbesar yang pernah mereka cipta di ajang paling bergengsi di Eropa tersebut. Sedang Setan Merah masih belum menemukan bentuk permainan terbaiknya setelah laga terakhirnya hanya bermain imbang 2-2 lawan WBA, itupun mereka nyaris kalah andai gol Rojo di menit-menit akhir tak tercipta. Akankah Chelsea akan memantapkan posisi puncak?
Double Big Match ini terjadi di jam 23:00. Don’t miss it!
Karawang, 241014

(Double Review) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan The Hobbit: Desolation of Smaug

Image

Terakhir kali review film kapan ya? Setahun, dua tahun, enam bulan, hhmmm… sudah lama sampai lupa. Hobi nonton film memang tetap jalan walau ga seaktif dulu. Ajakan nonton bareng sama Gila Film (GF) dari Jakarta tetap ada walau jarang datang. Tapi hari Minggu, 15 Desember 2013 lalu tiba-tiba ingin ikut ngumpul, meski istri ga mau menemani. Akhirnya tetap ke sana sama teman kerja. Berkumpul di Plaza Senayan jam 09:00 WIB, beberapa menit sebelum film pertama dimulai.

Film pertama adalah film lokal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) berdasarkan novel legendaris Buya Hamka. Film yang rilis tanggal 19 Desember 2013 (hari ini) dapat kami saksikan gratis untuk acara screening sebelum dilepas ke bioskop, GF dapat undangan. Sudah gratis dapat goodie bag dan survenir berisi majalah ‘Reader Digest Indonesia’, kipas (atau mouse pad nih?), poster film dan kaos. Sebelumnya saya sudah lihat di trailer yang terasa sungguh megah tenggelamnya kapal, sampai ada yang mengatakan Titanic-wanna-be. Ekspektasi saya sih ga muluk-muluk, bisa terhibur sudah syukur. Sebelum film diputar ada pembukaan sekilas dari seorang ibu (panitia?) bahwa dilarang merekam film apapun alasannya, karena ini pemutaran perdana maka diharapkan semua penonton bisa kerja sama. Selamat menikmati.

Film dibuka dengan setting zaman Indonesia belum merdeka tahun 1930-an. Seorang pemuda Makassar bernama Zainuddin (Herjunot Ali) memutuskan merantau ke tanah Minangkabau untuk menimba ilmu, ke tanah kelahiran (alm) ayahnya. Dia menetap di rumah saudaranya (Jajang C Noer) selama tinggal di sana. Dalam perjalanan cerita Zainuddin jatuh hati dengan anak seorang bangsawan Minang bernama Hayati (Pevita Pearce). Di sebuah scene romantis di tengah hujan mereka mengakrabkan diri dan lalu berlanjut bertukar surat. Sampai akhirnya Zainuddin menyatakan cintanya, gayung bersambut Hayati menerima cinta Zainuddin. Kabar kedekatan mereka merebak ke penjuru kampung membuat resah warga karena Zainuddin dianggap tidak mempunyai pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau dan bukan dari anak berada. Terusirlah Zainuddin dari sana, sebelum pergi ke Padang Panjang mereka bertemu di sebuah danau dan terucap ikrar cinta mati. Yang dialog puitisnya serem banget, salut buat tim penulis naskah yang salah satunya penulis 5 cm Donny Dhirgantoro.

Dalam keterpisahan mereka tetap terhubung dengan surat yang rutin berkabar, hingga mereka punya kesempatan untuk bertemu karena Hayati akan ke Padang Panjang guna menonton pacuan kuda. Tragedi dimulai di sini. Selama di rumah saudaranya Khadijah ada seorang pemuda kaya bernama Aziz (Reza Rahardian) jatuh hati kepada Hayati dan dalam waktu singkat langsung melamar Hayati, secara bersamaan Zainuddin melayangkan surat lamaran juga. Rembug desa pun digelar untuk memutuskan siapa yang akan diterima sebagai suami Hayati. Dalam tekanan, Hayati memutuskan menurut orang tua yang terbaik walau saat berkabar ke Zainuddin ini adalah pilihan hati dan meminta Zainuddin melupakannya. Maka pernikahan Hayati – Aziz pun digelar. Runtuhlah hati Zainuddin, terpuruk bagai langit jatuh.

Dalam keterpurukannya, sahabat sekaligus saudaranya Muluk (Randy Nidji) memberi semangat untuk bangkit lalu mereka berdua merantau ke Batavia, tanah Jawa untuk mengejar karir mewujudkan mimpi Zainuddin sebagai penulis dengan nama gubahan Z. Novel Zainuddin yang berdasar pengalaman hidupnya ternyata laku keras dan dalam waktu singkat memperoleh popularitas yang mengantarnya menjadi termasyur. Puncaknya Zainuddin ditawari bekerja mengurus percetakan di Soerabaya. Sementara itu Aziz mendapat promosi jabatan yang mengharuskan mereka tinggal di Soerabaya. Sebuah skenarion drama yang bagus. Dalam sebuah acara opera yang mengadaptasi novelnya, di sinilah akhirnya secara dramatis Zainuddin (yang memakai nama pena Syahrir) bertemu langsung dengan Hayati.

Roda berputar, Aziz bangkrut dan menanggung hutang. Hobi berjudinya mengantar ke lubang hitam sampai akhirnya mereka meminta tolong kepada Zainuddin untuk tinggal di rumahnya karena kini mereka benar-benar kere. Mereka dipersilakan tinggal, hanya satu larangannya mereka tidak boleh memasuki ruang kerjanya. Wah mengingatkanku pada Pintu Terlarang! Aziz yang merasa malu menumpang hidup akhirnya memutuskan mencari kerja dengan keluar dari rumah Zainuddin dan berjanji akan kembali kalau sudah mendapatkan pekerjaan. Di sebuah adegan yang membuat kita meneteskan air mata terkuak alasan mereka dilarang masuk ke ruang kerja Zainuddin. Dalam keterputusasaan, Aziz akhirnya menceraikan Hayati (talak) melalui surat dan mengembalikan Hayati kepada Zainuddin serta meminta maaf karena dulu telah merebutnya. Kini tak ada lagi penghalang untuk menyatukan cinta Zainuddin-Hayati.

Akankah Zainuddin mau menerima kembali Hayati? Akankah cinta sejati mereka bisa bersatu? Di mana posisi kapal yang tenggelam yang tertera dalam judul cerita? Saksikan di bioskop kesayangan Anda mulai 19 Desember 2013.

Secara keseluruhan film ini memuaskan. Bukan karena diminta me-review bagus oleh panitia, tapi beneran saya mengharu-biru sepanjang gambar bergerak. Akting trio Herjunot–Pevita–Reza sungguh bagus. Reza pasca menang piala maya untuk kategori aktor terbaik dengan memerankan Habibie dalam film ‘Habibie & Ainun’ kembali menampilkan sugguhan prima. Herjunot yang bertranformasi dari lelaki kampung yang lugu menjadi terkenal dan kaya raya tetap realistis dalam bertutur kata. Pevita yang sepanjang film berpenampilan muram dapat mengimbangi dan layak dapat jempol. Film ini patut diapresiasi di tengah film-film lokal yang seperti asal jadi. Kehebatan menampilkan setting jadul era pra-kemerdekaan harus dihargai. Sempat saya bergumam, ini seperti ‘The Great Gatsby’. Bahkan beberapa adegan dan sound track (diisi oleh Nidji dengan sangat pas) nya pun tertata runut senikmat karya klasik Amerika tersebut. Dan tentu saja bahasanya yang puitis karena ini adalah adaptasi karya legenda Buya Hamka. Siapkan mental Anda dalam mendengarkan percakapan indah yang akan membuat wanita (dan juga beberapa pria) klepek-klepek meleleh hatinya. Durasi yang hampir tiga jam tak terasa.

Kelemahan tetap ada karena teknologi kita yang tak secanggih Hollywood maka jangan harap tenggelamnya kapal bisa se-wah film James Cameron. Tapi menurut saya itu tertutupi keindahan cerita yang sungguh layak dibanggakan, setidaknya ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ jauh lebih bagus ketimbang ‘Di bawah Lindungan Ka’bah’.

Sungguh beruntung saya dapat menyaksikannya sebelum rilis.

Sesuai rencana setelah film selesai film TKVDW kita berlanjut menonton The Hobbit: Desolation of Smaug (DOS) di XXI Epicentrum. Kata Zul, ketua GF di sana XXI-nya memperkenalkan dolby Atmos di mana sound-nya menggelegar di sekitar kita. Pasca nonton seperti biasa narsis dulu.

Gambar

(yang motret saya)

Gambar

(hidup ARB! haha…)

Gambar

(narsis dengan banner ‘Gila Film’)

Gambar

(32 tiket Desolation of Smaug)

Sesampai di XXI Epicentrum saya rada khawatir untuk kepulangan ke Karawang setelah tahu detail film. Kalau film DOS dimulai jam 15:35 dan durasi film dua setengah jam maka saya keluar dari XXI pas Maghrib, khawatir tak ada bus yang mengantar saya balik. Sepanjang film saya lihat jam, sehingga tak nyaman. Untungnya aman bisa sampai rumah jam 20:00 berarti perjalanan lancar jaya.

Sesaat sebelum film dimulai layar menampilkan promo dolby Atmos, seperti biasa iklan selalu tampak menarik. Suara hewan berlarian memang tampak nyata, suara hujan seperti di sekeliling kita, hembusan angin pun semilir layaknya kita ada di pucuk pohon. Saya amati speaker-nya ternyata ada di kanan kiri plus atap. Hebat, salute demi kenikmatan yang maksimal. Film pun dimulai, logo WB muncul dan scene pembuka pertemuan Gandalf the Grey (Ian McKellen) dan Thorin (Richard Armitage) di sebuah kedai makan ditampilkan. Sebuah rencana perjalanan panjang balas dendam dirancang, dan disinggunglah alasan mereka membutuhkan seorang Hobbit yang jago mencuri bernama Bilbo Baggins (Martin Freeman).

Bagi yang belum nonton seri pertama sebaiknya tonton dulu ‘The Hobbit: An Unexpected Journey’ (AUJ). Karena DOS akan langsung di tengah cerita AUJ. Seperti sebuah ritual Middle-Earth, dalam perjalanan Gandalf memisahkan diri. Adegan langsung pada saat pasukan kurcaci (tarik nafas, baca perlahan-lahan) – Thorin, Balin, Dwalin, Bifor, Bufor, Bombur, Kili, Fili, Oin, Gloin, Nori, Dori, dan Ori serta seorang Hobbit — Bilbo terjebak di hutan penuh laba-laba raksasa. Bilbo Baggins bak pahlawan selalu ada di saat yang tepat, dengan cincin ajaibnya Bilbo berjuang membebaskan diri. Setelah pergumulan yang nyaris menjadi bencana muncul pasukan peri yang menyelamatkan mereka sekaligus menawan mereka. Dalam tawanan ada cerita sempalan (tambahan) mengenai cinta antara peri Tauriel (Evangeline Lily) dan kurcaci Kili (Aidan Turner). Seperti di novel mereka dapat melarikan diri melalui tong anggur yang dihanyutkan di sungai tapi dalam visualisasinya tampak sangat berlebihan.

Dalam perjalanan arung jeram mereka dihadang pasukan Orc yang mencoba menggagalkan perjalanan menuju ke Gunung Sunyi. Dan Kili kena anak panah di kaki. Walau terluka mereka dapat sampai di kota danau yang dibantu oleh ojeg perahu, Bart. Cerita makin terasa mengada-ada saat pemerintahan kota danau yang korup dan dibenci warga mencoba menghadang pasukan, tapi kemudian mendukung perjalanan dengan memberi perlengkapan senjata.

Akhirnya pasukan ini sampai di Gunung Sunyi. Kunci khusus membuka gerbang menuju tempat emas tertimbun. Saat di dalam gua itulah apa yang kita nanti akhirnya muncul juga. Naga Smaug (Benedict Cumberbatch) terbangun saya pun turut terbangun. Lha, sejauh ini ternyata saya ngantuk. Pendengaran langsung saya tajamkan demi Sherlock! nyatanya tak persis, suara Benedict Cumberbatch disamarkan, aksen British-nya tak ketara. Waduh, wajah Sherlock! Yang katanya menggunakan teknologi mo-cap pun tak terlalu nampak, jadi apa bedanya Smaug diperankan Ben Cumberbatch atau Ben Stiller, mr. Bean (misalnya)? Beda sama Smeagol yang nampak menyakinkan dibawakan Andi Serkis, Smaug tak ubahnya makhluk kebingungan.

Tapi harus diakui, scene akhir ini paling mendebarkan dan paling menarik sepanjang film. Saat kita nyaris mencapai klimak cerita credit title muncul. Dan tamatlah DOS. Sebal? Silakan! Seperti yang kita tahu, The Hobbit yang bukunya tak setebal ‘Harry Potter and Goblet of Fire’ dipecah dalam tiga film dengan durasi diatas dua jam semua (mungkin). Kelanjutannya ‘There and Back Again’ (TABA) akan rilis tahun depan. Jadi yang penasaran akhir cerita perjalanan ini harus menanti setahun lagi.

Secara keseluruhan seri DOS terasa berlebihan, banyak hal bisa dibuang dalam mendukung cerita malah ditampilkan yang bisa berakibat bosan. Legolas, Bart dan banyak karakter tambahan tak ada dalam novel  tapi karena ini prekuel ‘The Lord of the Rings’ (TLOTR) maka secara timeline bisa ada dalam cerita. Bahkan Tauriel pun sebenarnya tak ada dalam universe TLOTR, karakter ini hanya rekaan Peter Jackson. Apakah saya puas menyaksikan DOS? Belum, bagusan AUJ menurut saya. Jadi kalau AUJ dan DOS kurang sukses di Oscar jangan harap TABA akan sesempurna The Return of The King.

What have we done? – last line!

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Director: Sunil Soraya — Cast: Herjunot Ali, Reza Rahardian, Pevita Pearce, Jajang C Noer, Ninik L Karim — Screenplay: Dhonny Dhirgantoro, Imam Tantowi — Score: 4/5

The Hobbit: Desolation of Smaug

Director: Peter Jackson — Cast: Ian McKellen, Martin Freeman, Richard Armitage — Screenplay: Fran Walsh — Score: 4/5

Karawang, 191213