
“Tidurlah dengan manis, tenangkan hatimu, dalam damai.” – Puisi Tennyson
Seluruh isi fiksi adalah wajah. Namun bagaimana kalau kita tak pernah langsung melihat wajah lawan bicara? Bagaimana plot disusun suara dua arah, tapi satu sisi wajah? Cerita hanya dalam satu tempat. Sebuah ruangan layanan kontak darurat 112 di Denmark. Ia menjawab telpon, memberi instruksi, menasehati, sampai memaki-maki. Karena hanya berdasarkan suara, kita tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di seberang. Kita hanya bisa menduga-duga, dari intonasi, dari gaya ucapan, dari tempo dan jeda suara. Dan nyatanya, sang jagoan kita tertipu. Saya tidak…
Kisahnya tentang Asger Holm (Jakob Cedergren), polisi petugas penjawab layanan telpon darurat. Jelang akhir shift dua, ia mendapat telpon dari seorang wanita bernama Iben Ostergard yang meminta tolong, ia diculik. Kedua anaknya di rumah, dan ia tak tahu sedang di mana sebab ia disekap dalam mobil. Sang penculik memberi kesempatan buatnya telpon kepada anak, dan ia secara sembunyi meminta bantuan. Dalam hati penonton pasti bergumam, Apakah ia cukup kuat untuk membongkar sebuah kasus penculikan?
Dengan akting bahwa ia menelpon anak, Asger membantu mengarahkannya. Identitas penculik, keadaan rumah, mobil yang dikendarai. Ada Mathilde, lima tahun dan adiknya Oliver di rumah, dua balita yang dihubungi Asger untuk tetap tenang dan akan dikirim petugas. Lalu Asger meminta petugas untuk memblokir mobil van putih di sekitar sinyal lokasi kejadian.
Dengan menegangkan petugas melakukan pengejaran. Dan hasilnya nihil, sebab mereka salah mobil. Asger termenung, kesal dan menunggu panggilan telpon. Ketika ada telpon darurat lain, ia dengan tegas dan gegas menutup. “Kamu jatuh dari sepeda, cari bantuan sekitar. Ke klinik kek, ke orang-orang terdekat kek.” Hahaha… esmosi. Itulah hebatnya, kita menikmati suara-suara dan merasakan ketegangan yang dicipta.
Saat hubungan dengan Iben terjadi lagi, ia meminta lebih detail kejadian dan posisi, ia gegas melaksanakan tugas mulia: membantu korban penculikan. Saat jam shift jaga sudah selesai, ia tak lantas pulang. Ada yang harus diselesaikan, ini menyangkut nyawa manusia. Ia malah masuk ke ruangan, ditutup gordennya, fokus mengubungi sana-sini, menanti hubungan sana-sini. Ia bicara dengan senyum kecut. Itulah yang membuat seorang polisi dipandang baik, insting yang tajam.
Film berakhir dengan klimaks luar biasa. Kekuatan bicara dan mendengarkan, mengantisipasi, memaknai. Apa yang kita pikir tak seperti kenyataan yang disangka. Orang-orang boleh saja memaknai, ini ide menipu penonton, nyelimur, membelokkan makna, menyiman kata-kata kunci. Hingga akhirnya adegan di jembatan menjawab segalanya. Ok, niat baik sudah dihitung pahala, niat mulia Asger sudah patut diapresiasi, ujung kisah yang pahit hanyalah goresan kecil luka kehidupan dunia yang fana. Emosinya membanting-banting ganggang telpon wajar, kemarahannya memporakporandakan meja kerja juga sangat bisa dimaklumi. Ia sudah menjalankan tugas sebaik-baiknya seadil-adilnya. Saya sudah menduga akan akhir yang mengejutkan.
Ide menipu penonton dengan mencipta pening penonton, satu setengah jam menyaksikan orang ngobrol di telpon. Serasa lebih membosankan daripada di toilet? Impian-impian liar, fatamorgana, kegilaan akan surga dijanjikan dengan air jernih yang mengalir di taman-taman hijau. Suara-suara dalam kesunyian, maka untuk mengakhiri hukuman di dunia ini, mati adalah solusi. Sedih? Ya. Menakutkan? Ah, kita hanya menjadi saksi pembicaraan. Mungkin bisa menghanyutkan dari percakapan-percakapan itu. Namun, tak sulit menebak, arah pandang kisah. Ingat, Iben menghubungi mengaku korban, saat sisi lain menjawab kita bisa mengantisipasi ada janggal. Normalnya ia langsung mengaku status suami ‘korban’, tapi tidak, plot digulirkan untuk mengelabuhi Asger (dan penonton). Hanya keheningan biru yang tenang. Hanya air yang bergerak di sekitarnya. Dunia dengan segala isinya hanya sementara. Kembali lagi, ilusi mimpi diapungkan, kali ini di atas jembatan.
Instruksi-intruksi tak kasat mata, mengingatkanku pada kisah Tom Hardy dalam Locke yang ngegoliam sepanjang film di mobil, memberi instruksi, menyarankan kata-kata, mengalami dilemma. Kali ini petugas polisi yang jadi korban. Sampai akhirnya sang protagonist tahu sebuah fakta, kebenaran yang menggelisahkan, sebuah kesadaran bisu bahwa di hadapan keluasan tanpa batas, segala yang kita kasihi sekejap menjadi hampa. Larut… kecewa… pulanglah… pergilah…
The Guilty | Original title Den Skylide | Year 2018 | Denmark | Directed by Gustav Moller | Screenplay Gustav Moller, Emil Nygaard Albertsen | Cast Jacob Cedergren | Skor: 4/5
Karawang, 170921 – Diane Schuur – The Man I Love