Dawuk – Mahfud Ikhwan

Dawuk – Mahfud Ikhwan

Catatan akhir tahun.

Seakan sebuah pengulangan. Tepat akhir tahun lalu saya menulis ulasan Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2016, Raden Mandasia. Waktu itu saya tak tahu kalau Raden menang, maklumlah HP ku soak dan kudet. Hari ini saya menyelesaikan baca Dawuk, kali ini sudah ada stempel jawara di sampulnya, buku yang sangat bagus. Teramat bagus, karena kisah berlapisnya dinarasikan dengan indah. Bak dongeng yang dituturkan oleh peramu cerita handal. Kebetulan saja sih, bisa tepat akhir tahun. Karena beli Dawuk pas nunggu bonus akhir tahun, dan beli daring PaperbookPlane mendadak karena daftar yang disodorkan tersangkur budget. Kebetulan pula bukunya tak setebal al kitab, sehingga saya selesaikan baca dalam semalam. Diantara laga penutup tahun: Inter 0-0 Lazio. Dari bada Isya sampai Subuh, dengan jeda streaming Serie A dan tidur ayam.

Dawuk: “Kalau anak di perutmu tidak mampu menjagamu, mungkin aku juga tidak bisa menjaga janjiku padamu.”

Kisahnya berlapis walau tak serumit narasi Tarantino, tapi tetap lapisannya sungguh nikmat. Kita disodori sekelumit fakta demi fakta, dibuka lapis bawang demi lapis bawang dengan cara yang unik. Dari pembuka tentang Warto Kemplung yang membual di warung kopi Mbak Siti. Tentang bagaimana ia mendapat julukan si Pembual, alumni rantau Malaysia yang konon dekat sama mantan Perdana Menteri Anwar Ibrahim, sampai kehebatannya berhikayat sejarah desa mereka Rumbuk Randu. Ia adalah tukang bual nomor satu, penghutang di warung kopi yang menderet daftarnya. Dengan modal bualannya, ia menikmati bercangkir-cangkir kopi gratis dan merokok bak lokomotif cuma-Cuma dari para pengunjung yang sembrono menaruh rokok dan korek sembarangan. Ngepul, sekelebat terlihat mantab.

Warno – dijadikan narator utama kisah ini – menarik perhatian seisi pengunjung warung kopi dengan kisah-kisahnya. Ia membukanya dengan adegan pengepungan yang baru terjadi beberapa jam sebelumnya di sebuah rumah kandang dekat hutan, tentang Mat Dawuk – sang protagonis buku ini. Sakti madraguna. Awalnya tak banyak yang memperhatikan, yang main catur tetap bergeming mikir bidak kayu, yang main gaple terus melempar kartunya dengan semangat nampol, yang ngopi santai cuek. Tapi saat jerat kena, ia pun bertutur. Damn you Warto Kemplung! Sialan, aku jatuh hati sejak pembuka cerita. “Hanya setembakan mitraliur dari sini, penyerbuan paling gawat sejak pengepungan tentara Nippon ke Pesantren Kawak baru beberapa jam lalu terjadi, dan warung ini begini senyap? Tak seorang pun membicarakannya? Bah!”

Tentang Mat Dawuk, si buruk rupa yang menikahi primadona desa Inayatul. Nama asli Dawuk adalah Muhammad Dawud, indah sekali bukan? Ia lahir dengan keadaan piatu, ibunya tiada ketika ia hadir di dunia. Bapaknya mati konyol dengan tuak, disambar mobil lewat. Hidup bersama kakeknya Duwali, yang di usianya kelima menghilang. Sebatang kara, ia menggelandang di desa. Tidur di emperan masjid, di kuburan, di tegalan, wajahnya yang buruk rupa makin menjadi-jadi dengan perangainya yang keras. Apa yang lebih buruk dari mukanya? Nasibnya! Hingga suatu ketika ia menghilang. Menjadi Hitman, pembunuh bayaran. Tapi ia membunuh bukan tanpa alasan, ia membunuh para cecunguk yang pantas dibinasakan. Para selingkuh, para bajingan, para koruptor. Dengan ruyung kecil itulah ia melalangbuasa, nasib menghantarnya merantau ke Malaysia.

Inayatul, terlahir dengan kasih sayang keluarga. Bayi menggemaskan, yang jadi idaman ibu-ibu. Sehat, cantik, dan pintar. Sayangnya salah asuh, atau memang gen-nya emang nakal. Nantinya kita tahu, ada kutukan terurun yang mengaris kisah tragis ini. Sehingga saat beranjak remaja ia mendugal, genit dan sungguh celaka: hobi main senggama. Maka setamat sekolah agama, ayahnya Pak Imam rencana mau mengirimnya melanjut ke pesantren, namun Ina menolak. Ia lebih memilih menjauh – lebih jauh, seperti muda-mudi desa, ia merajut mimpi ke Malaysia. Belum cukup umur, ia sudah menikah. Di tanah rantau, ia nikah siri, tak tanggung-tanggung: empat kali. Celakanya, keempatnya tak bener. Pertama bos TKI yang memberangkatkannya, kaya. Punya banyak rumah, banyak mobil dan selurus – punya banyak istri. Ina yang ranum, tak kuasa menahan gejolak. Suami kedua nyaris dipilih secara acak, lelaki rantau yang sebenarnya punya anak-istri di kampung. Penghasilan pas-pasan, belum lagi dikirim sebagian ke keluarga asli, maka tentu saja tak akan bisa membahagiakan jiwa muda Ina. Suami ketiga tak seperti sebelumnya, menikah hanya untuk jaga nama karena seorang homo yang hobi menjamu pemuda tanggung. Hidup dengan harta menimpah, tanpa cinta. Pada akhirnya ia kabur sama salah satu pemuda kelon, yang akhirnya menjelma suami keempat. Yang ini lebih parah, tinggal dengan pemuda kekanakan yang membuat Ina luka fisik, maka ia kabur lagi.

Nasib menggariskan mereka berjumpa, di sebuah stasiun kereta bak adegan film sendu, Mat Dawuk menyelamatkan Ina dari suami wandunya. Mengajaknya tinggal, awalnya berniat sementara tapi nyatanya malah menjadikan mereka pasangan rumah tangga. Yap, inilah Beauty and the Beast versi Jawa. Mereka memutuskan pulang kampung, memadu kasih di tanah kelahiran, meminta restu orang tua yang jelas tak merestui, tinggal di bekas kandang sapi pinggir hutan. Ya, inilah kebahagiaan. Seperti kopi, cepat atau lambat akan habis. Semakin enak, maka semakin cepat habis. Ya, ya, kita kadang ingin berlama-lama menikmatinya, menghirupnya sedikit demi sedikit, mencecapnya lama di lidah, memainkan lama-lama di langit-langit, mengumurnya pelan-pelan, berlama-lama tak ingin buru-buru menelan. Tapi, mak beduduk, tahu-tahu begitu longok ke dasar cangkir, yang tersisa tinggal ampas.

Bagian ketika mereka bahagia sayang ya tak banyak, karena syarat buku bagus harus mencipa tragedi maka kisah kelabu dituturkan satu bab berselang. Dengan analogi sengatan kalajengking di kelobot jagung dan patukan ular gadung hijau di lanjaran kacang panjang, kisah ini menemui jalur liku yang trenyuh, seru dan pastinya sangat kompleks. Hebat ya, penyampaian pertanda buruk itu bisa tersalur rapi. Sebagian ending-nya sudah kita ketahui di prolog-nya yang seperti kata Kemplung, terjadi penyerbuan maut. Tapi tetap kalian akan terus terpaku – dan penasaran, sampai halaman akhir dalam tanya. Yup, “Aku Mat!” Ia bahkan merasa sudah tak punya urusan dengan dunia secara keseluruhan. Ia tak punya rencana dengan sisa hidupnya.

Bagaimana bisa sebuah film cult macam Machete karya Robert Rodriguez yang rilis tahun 2010 bisa menginspirasi sedemikian rupa untuk memberi kisah panjang jagoan lokal dengan iringan sejajar sejarah, legenda, hikayat, apalah segala kearifan lokal dari sebuah daerah di daerah Jawa yang jauh dari pesisir pantai, jauh pula dari daratan sepanjang bantaran Bengawan Solo. Butuh waktu tujuh tahun untuk terwujud, lama juga untuk buku yang tak ada dua ratus halaman. Tapi karya bagus memang harus ditempa waktu, dan Dawuk lahir di waktu yang tepat.

Drama cinta. Adu silat. Adat Jawa. Peraduan agama. Nasib para TKI Malaysia. Lagu-lagu India (bagian ini saya tak paham sama sekali, sumpah saya tak ikuti Bollywood dari zaman old sampai now). Dendam turun temurun. Sejarah Indonesia dari zaman Belanda, Nippon hingga Merdeka dengan seteru lokal PKI sampai kisah-kisah legendaris yang sulit sekali untuk ditolak. Pendekar atauakh pahlawan. Paket komplit yang luar biasa. Amat pantas menang buku ini. Salut. Mahfud dengan jeli meramunya dengan menyentil budaya arif Timur tanpa menggurui. Dengan setting rumpian di warung kopi, sehingga begitu dekat dengan kita. Pemenang sastra yang ditampilkan tak serumit laiknya buku sastra. Ini jelas buku untuk semua orang, harusnya bisa dinikmati semua kalangan.

Kisah kelabu dari Rumbuk Randu. Dalam tiga hari terkahir ini saya merampungkan baca tiga buku berkualitas. Jumat: Therese Desqueyroux dari Perancis, Sabtu: Perempuan Di titik Nol dari Mesir dan Ahad: Dawuk, tulisan lokal. Hebat. Hebat sekali, buku lokal sekarang bagus-bagus ya. Saya terkesima sama Mat Dawuk. Masuk dalam daftar Best 100 Novels ketiganya. Penutup tahun yang sempurna.

Dawuk: Kisah kelabu dari Rumbuk Randu | oleh Mahfud Ikhwan | copyright 2017 | cetakan kedua, November 2017 | vi + 182 hlm, 14 x 20,3 cm | ISBN 978-979-1260-69-5 | Penerbit CV. Marjin Kiri | desain sampul Tinta Creative Production | Skor: 5/5

Karawang, 311217 – Sherina Munaf – Tak Usah Cemburu