‘Mengapa buku ini disukai para pembunuh?’ adalah kalimat yang ada di back-cover. Entah apa maksud sesungguhnya, biasanya sampul belakang isinya sinopsis cerita yang akan dijual, namun di novel bersampul putih ini hanya berisi satu kalimat yang membuat penasaran. Inilah catatan ke 30 dari 30 review buku yang saya sajikan di bulan Juni 2015 ini. Tak terasa, 30 buku rasanya sangat kecil, ratusan masih ngantri. Dan kebetulan buku ke 30 ini baru saja saya baca, fresh from the oven! Bukunya cetakan ketiga bulan Juni dibacanya bulan Juni 2015. Cepat betul. Sungguh!
Apa yang bisa saya sampaikan tentang Holden Vitamin Coulfield? Kalian harus membaca sendiri untuk menyelami isi kepala si orang aneh ini. Cerita dibuka dengan sedih, si Holden ini dikeluarkan dari sekolah untuk ketiga kalinya. Untuk orang normal, tentunya itu nasib malang, namun bagi Holden itu biasa saja. Kisah digulirkan tanpa bab, hanya dipecah per Angka. Tanpa daftar isi, tanpa pengantar. Membuktikan bahwa JD Salinger memang tak mau pusing-pusing aturan baku. Sepanjang nyaris 300 halaman kita akan mengikuti perjalanan Holden menjelang Natal di hari Rabu. Dari sudut pandang orang pertama, kita akan dijejali Ke-AKU-an-ku. Menganggap semua orang di kota sinting, kecuali dirinya. Stress betul. Sungguh.
Di sekolah Spencer Holden menganggap, “semakin mahal uang bayaran satu sekolah semakin penuh pula sekolah itu dengan maling – serius aku tidak bercanda.” Ini jelas hanya pemikiran Holden yang memandang sinis dunia. Memang seakan Holden ini pembawa petaka. Tim anggar Spencer gagal bertanding karena peralatannya ketinggalan. Dari 5 mata pelajaran, Holden hanya lulus satu di Bahasa Inggris. Sisanya busuk, dia juga ga niat remidi. Seenak udele dewe. Sebelum pergi dari sekolah terkutuk itu, Holden ingin pamit ke guru Sejarahnya yang sudah tua. Lalu bermasalah dengan teman sekamarnya. Pergi dengan luka. Selanjutnya dari malam Minggu sampai menjelang Natal itu dia menggelandang dari satu hotel ke klab malam, ke gedung broadway untuk nge-date dengan Sally, ke kedai roti, ke stasiun, ke kebun binatang, ke museum, ke mana saja termasuk pulang untuk menemui si bungsu Phoebe.
Buku aneh betul ini ya. Sungguh. Menakutkan sekaligus mencengangkan. Segala luka berdarah dan sebagainya membuat aku kelihatan jantan. Semua orang tolol benci dipanggil tolol. Holden baru enam belas tahun, coba pesan minuman keras. – aku mengucapkan pesananku secepat-cepatnya, karena kalau kita terbata-bata dan salah-salah kata, mereka langsung berfikir bahwa kita masih di bawah dua puluh satu tahun.
Kisahnya sendiri tak tuntas, apa yang terjadi berikutnya masih tanda tanya. Holden ini tipikal orang yang suka complain, suka ngeluh, suka marah (dalam kepala) namun ternyata pecundang sejati. Satu lagi, dia cinta anak kecil. Allie adiknya yang sudah meninggal selalu diagung-agungkan sebagi satu-satunya orang normal. Lalu cintanya pada si Phoebe sungguh besar. Adegan saat dia menangis ketika menerima uang itu salah satu adegan paling menyentuh sepanjang hari. Walaupun begitu tetap saja Holden iki hanya lantang di kepala. Seperti pas adegan dia ingin keluar dari kamar lalu turun dari lift ketemu sang penjaga lalu menembaki sampai mampus. Cih, hanya angan kosong seorang pecundang. Ada lagi bagian yang bikin kesal, saat dia tanya kemana perginya bebek-bebek di kolam taman saat danau membeku. Dimana ikannya kalau air di sana menjadi es. Itu bagian yang bikin gregetan. Setuju sekali sama supir taksinya. Holden memang perlu dilabrak.
Novel ini menawarkan nihilitas. Lagi-lagi nihilitas yang berkualitas. Catat teman-teman ya, sebuah novel kosong tanpa menggurui ternyata banyak yang bagus. Intinya disajikan dengan renyah sehingga pembaca dipaksa terpaku melahap terus. The Catcher sendiri saya baca sehari kelar, menabrak jam malam saat liburan akhir pekan. Namun saat selesai saya masih bertanya juga, kenapa buku ini disukai pembunuh? Apa karena isi kepala Holden yang melalangbuana ga jelas itu? Apa karena rebel with a cause nya? Ngajak berfikir out of the box? Entahlah.
Satu lagi catatan menarik, editor novel terjemahan ini adalah bung Yusi Avianto Pareanom, orang yang menelurkan kumpulan cerpen yang unik yang beberapa bulan lalu kubaca. Setelah kuamati gaya bahasanya mirip JD Salinger. Edan betul. Sungguh!
The Catcher In The Rye | by J.D Salinger | copyright 1945, 1946, 1951 renewed 1973, 1974, 1979 | Penerbit Banana | alih Bahasa Gita Widya Laksmini | Cetakan ke 3, Juni 2015 | 14 x 21 cm, iv + 296 hlm | ISBN 979-99986-0-3 | Skor: 5/5
Karawang, 300615 – SIM day
#30 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku