Asal Muasal Pelukan #2

“Hidup hanya demi menulis mantra. Agar aksara tak sekadar menjadi kata, melainkan juga menjelma makna, mewujud daya, dan pada akhirnya menjadi upaya.” – Delapan Penjuru Taksu

Dan lagi, saya menikmati kumpulan puisi, dan sama saja. Sulit untuk dinikmati, sulit untuk direview. Tahun lalu saya paksakan membaca 12 buku puisi, ini salah satu dari dua buku akhir tahun yang terlalu lama kutunda ulas. Ini saya ketik ulasan dengan agak rancu, seadanya. Atau dalam satu kalimat, “kalian sangat boleh meragukan ulasan buku puisi di blog ini.” Namun, izinkan saya menyampaikan pandangan saya sebagai penikmat prosa ini, uneg-uneg bagaimana bait-bait yang antah coba kucerna.

Buku dibuka dengan pengantar penyair kenamaan Hasan Aspahani Di sampul ada endorsm penyair besar Joko Pinurbo. Tak cukup dengan itu, halaman pembuka ada empat endorm lagi, nama-nama tak sembarangan, sumbang suara dari Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, Umbu Landu Paranggui, dan Remy Sylado! Luar biasa.

Karena saya tak terlalu bisa mereview buku kumpulan puisi, maka saya ketik saja sebagian yang menurutku bagus. Kok nekad? Ya, fungsi blog ini selain untuk memberi informasi ke pembaca, juga sebagai rekap dan kesan dan hal-hal yang kudapat dari melahap buku. Jadi semua buku saya ulas, sekalipun apa adanya.

“Malkana, lama sudah ia tinggal. Di sini, di dunianya yang baru, tak ada yang ia kenal. Seluruhnya kawanan banal, selebihnya kerumunan binal. Anjing itu menua sia-sia dan gagal.” – Dari Malkana

“Mendengar pendengaran mendengar. Melihat pengelihatan melihat. Hening mengucapkan kekosongan. Telingaku berdenging, malam melafalkan sunyi paling sepi. Dini hari telah tiba. Surya menata subuh yang sebentar lagi.” – Sudut paling riskan

“Cinta dan Rindu, kau dan aku: dua yang telah menjadi satu. Cinta dan Rindu, kau dan aku: bukan bara yang menjadi abu.” – Cinta yang Tenang

“Aku mengendus relungmu perlajan, melacak jejak kita saat bersentuhan, di setiap gurtamu ada aroma pelukan, yang terasa dekat meski berjauhan.” – Dekat Meski Berjauhan

“Hal-hal yang bernama khawatir, adalah hal-hal yang kau namai sendiri.” – Kunamai Kau

“Dan, yang paling nyata dari hidupmu di dunia adalah dirimu sendiri: yang telah kau khianati.” – Paling Nyata

“Jika untuk pulang saja aku harus menunggu tua, betapa lama penantian, betapa renta kerinduan.” – Usia

“Kesedihan apakah yang kau miliki? Bolehkah untukku? Segala darimu jika kau beri, niscaya aku mau.” – Segala Darimu

“Gulita dan Cahaya hanyalah roman belaka. Ketika asyik bercinta, kita tak memerlukannya.” – Tak Perlu Nyata

“Setiap bibirku bertemu takdirmu, serta merta kusebut nama kita: dua yang sesungguhnya satu. Walau gulita telah memburamkan segala terang, pelita dari segaris senyummu cukup mengantarku pada kelegaan.” – Terima Kasih

“Jika ada kata yang lebih hakikat, dari ikrar menyatu sepanjang usia, akan kuucapkan sekalipun terlambat: akad untuk mengabadikan kita.” – Akad Abadi

Kebetulan pagi tadi saya ikut inspirasi pagi, acara mendengarkan berbagai informasi bebas, termasuk melihat video di youtube. Yang membawakan, Icha memilih sebuah video dari Narasi dengan Najwa Shihab berdeklamasi. Isinya tentang 2050, prediksi mengerikan tentang pemanasan global yang akan terjadi. Daratan ada yang tenggelam, suhu bisa mencapai 60 derajat celcius, hingga kekurangan air melanda. Intinya bukan di warning, saya melihat Mbak Nana sangat bagus menyampaikan informasi itu dengan gegap gempita, seolah pembacaan syair. Nah, seperti itulah cara yang menurutku tepat menikmati puisi. Bukan dibaca santuy di kamar dengan lirih. Menikmati puisi mencapai titik maksimal dengan mendengarkan. Via audio, bukan visual teks. Saya menikmtai Asal Muasal Pelukan dengan berbagai pose. Di perjalanan ke Jakarta saat ada tugas luar, di ruang perpus keluarga, di meja kerja, hingga saat menjadi sopir keluarga menepi di sebuah masjid. Semuanya lirih, dan dalam senyap, rasanya kurang. Feel-nya beda, dengan mendengarkan Mbak Nana menyampaikan pesan. Itu bukan syair, itu edukasi pentingnya menjaga lingkungan, bayangkan bila yang dibacakan bait-bait cinta. “Tanpa perempuan di sisinya, laki-laki hanya memeluk udara. Padahal pun bagi perempuan, lelaku itu asal muasal pelukan….” Bukankah makin jleb?!

 Untuk tahun ini saya tak ada target berapa banyak buku puisi yang akan kulahap. Sampai Juni ini, tak ada satupun malah. Setiap tahun memang berbeda targetnya, 2022 so far lima buku Terbitan Atria, dan akan jadi 12. Mungkin tahun depan lagi, baru saya kejari lagi buku-buku puisi. Seperti janjiku, saya lahap semua jenis bacaan. Entah paham, entah pusing, entah melayang, selama mendapati kenikmatan membaca, saya akn lakukan.

Asal Muasal Pelukan, mungkin salah satu buku puisi yang terbaik yang kubaca. Karena memang belum banyak, butuh bimbingan menyelami bait-baitnya. Dan buku puisi menurutku layak dikoleksi, sebab setiap saat bila ingin menikmati kembali tinggal tengok di rak. Jadi, buku-buku penyair Candra Malik laik kejar? Dengan menyakinkan saya bilang, Ya!

Asal Muasal Pelukan | by Candra Malik | Cetakan pertama, Juni 2016 | Penyunting Adham T. Fusama | Perancang sampul Fahmi Ilmansyah | Ilustrasi isi Ayu Hapsari | Pemeriksa aksara Achmad Muchtar | Penata aksara Rio | Penerbit Bentang | xvi + 152 hlm., 20.5 cm | ISBN 978-602-291-231-6 | Skor: 4/5

Karawang, 020522 – Blink 182 – All the Small Things

Thx to Rusa Merah, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #2 #Juni2022