Bokis 2 #19

“Kebahagiaan tidak bisa dipaksakan bro. Apa gunanya awet, kalau kata orang Sunda, awet rajet. Kelihatannya awet, nyatanya compang-camping!”

Apa yang bisa diharapkan dari buku gosip? Sambil lalu, lalu menghilang. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah buku yang isinya curhat, cerita kebobrokan dunia selebrita? Tak muluk, walaupun ditulis oleh seorang jurnalis pengalaman, CV-nya merentang dari hiburan cetak sampai visual. Buku yang tak terlalu berfaedah, buku sekadar hiburan, yang kurang relate sama jelata macam saya. Jauh dari hingar bingar infotainment, jelas ini akan gegas terlupakan, hanya mampir di memori sementara. Bokis, tahu artinya? Enggak? Sama. Baik saya ketik ulang Prabokis-nya ya.

Ini istilah gaul dari generasi 80’-an, di mana banyak istilah gaul dengan banyak sisipan ‘ok’ di tengahnya. Bapak menjadi b-ok-ap, sepatu jadi sep-ok-at, BF jadi be ef atau be ep sehingga jadi b-ok-ep, duit jadi d-ok-u, dan banyak lagi. Semua tak berubah makna, kecuali bisa jadi b-ok-is. Haha… pantas saya tak paham, zaman ortu-ku to.

Dibagi dalam lima bab utama, dipecah dengan cerita-cerita seputar kehidupan pesohor. Uang, wanita, kedudukan para artis. Kutat dunia itu dikupas dengan gamblang, sayangnya bukan sesuatu yang baru. Hanya penegasan bahwa dunia lender infortaiment itu benar adanya. Ditulis oleh jurnalis yang benar-benar bersinggungan. Lantas kalau benar, kenapa? Ya tak mengapa, sekadar tahu saja. Jangan cari hikmahnya apa, ini buku haha-hihi, huhu-hoho yang memang apa adanya.

Seperti kisah jual anak, itu dicerita baha untuk mendongkrak karier anak, sang anak dijual ke senior. Termasuk ibunya, demi popularitas apapun dilakukan. Dari peran kecil dulu, hingga merangkak booming menjadi artis terkenal nantinya. Atau yang mengerikan, jual ginjal demi kesempatan tampil. Kompetisi ala kadar, menarik rating, sampai intermezzo berulang kali.

Lalu bagaimana menanggapi kabar miring itu? Beragam, namanya juga manusia. Seperti gugat menggugar yang tak ingin menyewa pro bono, demi saving uang hingga mendongkrak nama, hingga jadi teman tidur. Sekali lagi buat apa? Mungkin buku ini dicipta bagi orang yang niat terjun ke dunia hiburan, betapa keras dan memuakkan.

Nama baik penting, seperti akting depan tv menyumbang. Demi disorot kamera, necis dan baik hati. Namun tak semua juga, beberapa malah tak peduli nama baik atau buruk, selama diliput media asyik-asyik aja. Menjadi pembicaraan penikmat infotainment, hal itu penting.

Sampai penasehat spiritual. Pernah heboh masa itu Eyang Subur, yang viral berhari-hari karena gugat menggugat, gebrak meja, sampai para artis yang tuding nebeng tenar. Ya ampun, info-info tak penting ini. nyatanya, diikuti, dimintai, dibaca, diperbincangkan.

Kemuakan juga ditampakkan, bagaimana data-data kekerasan diapungkan dan banyak. Meningkat tiap tahunnya, walau tak semua. Lalu seorang jurnalis lain malah nyeletuk atau menyanksikan sebab data diambil dari Komnas Perempuan, ia berpegang pada kepolisian yang lebih ramah. Well, jangan kaget, dan tak perlu heran, wajar saja kok. Orang pro ke mana, selalu ada. Yang jelas-jelas busuk saja banyak yang dukung. Dunia memang seperti itu, di era digital ini saja kelihatan. Zaman dulu juga ada, hanya bedanya kita lihat blak-blakan saat ini. ya itu, kebebasan.

Begitu pula, kritik pemirsa yang ditanggapi malah menjadi boomerang. Contoh, berita dan tampilan tv banyak yang negative, gmana kalau yang ditampilkan yang bagus-bagus. Maka ketimbang isinya berita perceraian, gugatan demi gugatan, atau perkelahian psikis. Mending menampilkan keluarga artis yang samara. Maka diciptalah program “Romantika”. Menampilkan keluarga harmonis yang bertahan pernikahan minimal 10 tahun, dan baik-baik saja. Kesannya. Nyatanya tak bertahan lama, program tv-nya hanya sampai 26 episode. Resource yang sulit, tak semua mau tampil, pamer keharmonisan, hingga nasehat: ngapain pamer kemesraan di tv? Begitulah, sulit memenuhi kemauan orang banyak. “… sudahlah, nggak usah dipaksakan. Bikin yang seperti biasa saja. Yang sensasional-sensasional. Masyarakat kita suka gosip sensasional.”

Buku ini dicipta tahun 2013, setelah selang hampir sedekade, apakah masih berlalu? Banyak hal sudah berubah, begitu pula cara pandang penikmat tv. Saat ini internet sudah menjamur ke segala pelosok. Info dengan mudahnya didapat. Jurnalis masih eksis, tapi tampilannya sudah mayoritas digital, kecepatan menjadi penting, akurasi saja yang perlu diperhatikan. Trust jadi momok penting, dan sangat berharga.

Kenapa saya punya buku ini? yang jelas enggak banget. Ceritanya, tahun 2017 saya menang kuis FPL (Fantasy Premier League) dari Gangan Januar, Bandung. Sekalipun saya kutu buku, tak serta merta semua buku gegas disikat. Baru nggeh belum tuntas, bulan ini, saya menemukannya di rak, dan ingat utang tuntas. Gegas kusikat, kilat dan tanpa banyak pertimbangan. Saya dapat dua buku, satunya lagi kumpulan puisi: Penyair Midas nya Nanang Suryadi. Saya jadi curiga, ini GG niat lepas buku karena tak suka, atau beneran kasih hadiah? Well, setidaknya, lunas dulu deh.

Bokis 2: Potret Para Pesohor, dari yang Getir sampai yang Kotor | by Maman Suherman | KPG 901 13 0679 | Cetakan pertama, Juni 2013 | Ilustrasi sampul dan Isi Setianto Riyadi | Perancang sampul Fernandus Antonius | Penataletak Fernandus Antonius | x + 142 hlm.; 13.5 x 20 cm | ISBN-13: 978-979-91-0585-1 | Skor: 2.5/5

Karawang, 190622 – Shane Fillan – Beautiful in White

Thx to Gangan Januar, Bandung

#30HariMenulis #ReviewBuku #19 #Juni2022