Riwayat Singkat Hawking

Stephen Hawking and Black Holes by Paul Strathern

“Jika kita bisa menemukan jawabannya maka itu berarti kemenangan besar nalar manusia, karena saat itu kita akan tahu pikiran Tuhan.”

Buku tipis yang bervitamin. Saya belum baca satu bukupun milik Stephen Hawking, walau di rak ada buku karya istrinya, The Theory of Everything, tapi sampai sekarang belum gegas baca. Makanya, hal-hal yang disampaikan begitu penuh asupan. Buku ini lebih mirip biografi singkat, sebab mengupas kehidupan Hawking secara umum dari lahir, hingga puncak kariernya, dan update kabar hingga buku ini terbit. Hal-hal yang sejatinya mungkin mudah saja kita temui di internet, tapi pendapat dan tulisan kesan sang penulis justru yang nyaman dan asyik. Seperti Hawking yang suka humor, dan poster Marilyn Moonroe di dinding, Paul Strathern menbawakan buku ini dengan fun.

Terbagi dalam satu bab utuh yang membentang, buku ini lebih sebagai pengenalan sang tokoh. Pembukanya saja sudah terbaca komedi,”Stephen Hawking lahir saat Perang Dunia II tengah seru-serunya…” Dan begitulah, orangtua Stephen, Frank dan Isobel memindahkannya ke Oxford dan Cambridge untuk menghindari serbuan bom Jerman. Di situ ada kekayaan arsitektur yang tak ternilai, dan lucunya pihak Sekutu juga takkan mengembom Heidelberg dan Gottingen. “Sayang sekali, persetujuan yang beradab seperti ini tidak diperluas di tempat-tempat lain.” kata Isobel.

Frank seorang dojter yang terlibat dalam penelitian medis, sementara Isobel pernah sebagai petugas pajak, sekretaris di beberapa perusahaan. Dan saat perang, kaum wanita dipekerjakan dalam urusan pemerintahan. Isobel yang awalnya pemegang komunisme, lalu melunak, dan berkomitmen pada sosialis. Lantas ia ikut dalam kampanye penolakan senjata nuklir, melakukan long march dari Aldermaston hingga London.

Tahun 1950, keluarga Hawking pindah ke St. Albans, kota katredal 30 mil dari London. Kota terpencil yang tenang, Frank bekerja sebagai kepala divisi parasitology di Nasional Institute for Medical Research. Dan begitulah, keluarga ini dipandang eksentrik dengan mempertahankan kehidupan intelektual ortodoks. Mendengarkan Third Programme (acara drama dan musik klasik yang disiarkan khusus bagi kaum awam di pembuangan). Di waktu luang, Frank menulis novel yang tak pernah dipublikasikan, dan diledek istrinya sebagai hasil bualan belaka. Tokoh idola Stephen adalah Gandhi bukan bintang olehraga atau bintang film.

Stephen lahir di keluarga berada, dan bisa dibilang di sekolah mapan dengan asupan ilmu melimpah. Ia mulai tertarik pada kegiatan penelitian di laboratorium, dan kamarnya penuh dengan tabung uji, sisa-sisa eksperimen, hingga bubuk mesiu, racun, sampai gas air mata. Jelas, Stephen adalah manusia cerdas. Juara kelas yang aneh, teman sekelasnya Micahel menyebutnya ‘Jenius kecil yang aneh’. Suatu hari saat berdiskusi tentang hidup dan filsafat, Michael menyadari kehebatan temannya, “Saat itu aku menyadari untuk pertama kalinya bahwa ia tidak hanya cerdas, tidak hanya pintar, namun luar biasa.” Jenius kecil yang aneh tampak menghabiskan waktu cukup lama untuk memikirkan segala sesuatu: berusaha mencari arti tentang dunia. dan begitulan, Stephen menganggap, “Itulah tugas yang sesungguhnya dari filsafat: kosmologi.”

Berjalannya waktu, lalu ia membatasi diri pada usaha untuk mempelajari struktur semesta. Selama bertahun-tahun kosmologi dianggap sebagai ilmu semu, dan secara otomatis juga banyak menarik minat para ilmuwan-semu. Layaknya gagasan-gagasan dinosaurus ilmu pengetahuan modern: besar, sederhana, dan hampir punah. Relativitas berarti bahwa ruang adalah melengkung (kurva) dan semesta memiliki batas.

Ilmuwan Soviet membuktikan bahwa singularitas ruang-waktu (lubang hitam) sesungguhnya tidak mungkin ada. Menurut mereka, singularitas ruang-waktu semacam itu hanyalah dugaan teoritis yang salah dan muncul karena ada yang mengansumsikan  bahwa bintang-bintang besar yang runtuh menyusut secara simetris.

Menurut teori Hoyle, semesta meluas bahwa bintang dan galaksi secara terus-menerus tercipta di angkasa, karena itu memang sudah menjadi property semesta. Dan untuk melengkapinya, ia menambahkan bahwa bintang dan galaksi secara terus menerus juga menghilang ke dalam kegelapan jauh di sana.

Sebuah singularitas yang diciptakan oleh runtuhan gravitasional memiliki arti bahwa semua hukum fisika tidak berlaku. Ini mengejutkan, gila! Namun karena ini terjadi di lubang hitam, maka kita tidak bisa mengamati: kita tidak diizinkan mengamati peristiwa tersebut oleh semacam ‘badan sensor kosmik’, kita tak bisa memprediksi apa yang terjadi akan datang. Teori ini menandai ‘akhir’ dari teori fisika teoritis. Hawking mengakui bahwa setelah ini memang masih ‘banyak yang harus dilakukan’, tapi itu seperti ‘mendaki gunung setelah Everest’.

Tidak ada filsafat dan tidak ada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan filsafat hanyalah sistem yang kita tentukan, dan pandangan kita atas sistem-sistem tersebut terus berkembang. Kata Pytagoras, pikiran Tuhan pastilah sejalan dengan matematika. Para ilmuwan pusing karena banyaknya komplektivitas.

Saat Stephen divonis sakit syaraf, ia membatasi diri. Orangtuanya membutuhkan biaya besar dalam perawatan, sempat divonis takkan bisa bertahan hidup lama, tapi semangat Stephen berhasil meruntuhkannya. Ia menderita sclerosis lateral amiotrof (ALS) yang lambat dna langka, melumpuhkan tubuhnya secara perlahan selama puluhan tahun. Stephen berhasil membalikkan keadaan saat karyanya yang paling fenomenal rilis. A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes, pertama terbit April Mop 1988. Batam mengira buku akan terjual beberapa ribu kopi, tapi nyatanya malah meledak. Sisanya adalah sejarah.

Buku ini ditutup di tahun 2004, saat rilis. Tahun 2018, seperti yang kita tahu, Stephen Hawking mangkat, mewariskan Lubang Hitam yang akan ditelaah dan dikembangkan untuk umat manusia di masa depan. Apakah alien benar-benar ada?

Stephen Hawking dan Lubang Hitam | by Paul Strathern | Diterjemahkan dari Stephen Hawking and Black Holes (The Big Idea Series) | Anchor Books Edition: August 1998 Penerbit Ikon Teralitera | v + 83 glm.; 20 cm | ISBN 979-3016-37-X | Penerjemah Basuki Heri Winarno | Penyunting Maghastria A. | Desain dan ilustrasi sampul Tim Ikon Teralitera | Cetakan pertama, Juni 2004 | Skor: 4/5

Karawang, 290922 – 071022 – 2010222 – Dizzy Gillespie & His Orchestra – Night in Tunisia (Interlude)

Thx to Daniels, Yogyakarta

Memoirs of a Geisha #19

“Kita tak boleh membuang-buang waktu memikirkan hal semacam itu, taka da tabf lebih suram daripada masa depan, kecuali mungkin masa lalu.”

Luar biasa. Seperti naik roller coaster, walau tak banyak liukan dan tanjakan terjal, ceritanya berliku. Awalnya sudah sangat manis, gadis miksin anak nelayan dengan kecantikan natural. Matanya yang cemerlang sering kali disebut, berulang kali. Lalu keadaan mencipta, ia dan kakaknya dikirim ke kota, dijual untuk dididik menjadi orang. Bisa jadi apa saja, tergantung nasib dan kemauan. Bisa jadi pelayan, pelacur, pekerja pabrik, atau geisha.

Memang suku kata ‘gei’ dalam kata ‘geisha’ berarti ‘seni’ jadi kata ‘geisha’ yang sebenarnya adalah seniman. Geisha, di atas segalanya adalah penghibur dan pementas. Menuang sake atau teh memang dilakukan, tapi jelas tak akan pernah mengambil acar tambahan. Geisha sejati tidak akan pernah mengotori reputasinya dengan membuat dirinya bisa disewa laki-laki dengan tarif per malam. Geisha tidak pernah menikah. Atau paling tidak, mereka menikah tidak menjadi lagi geisha.

Di tengah di suguhi kelokan konfliks internal, bagaimana mencipta geisha yang cakap. Perseteruan dengan geisha magang dan kakaknya, perseteruan dengan para tamu, lalu luluh lantak oleh perang. Seolah semuanya di-reset, setelah ambyar Jepang mencoba membangun negeri.

Bagian akhir awalnya kukira bakalan landai, menjurus ke bosan sebab keinginan sang protagonist banyak sekali terwujud. Hanya satu hal, ia tak mau jadi danna seorang yang cacat sekalipun orang tersebut sudah banyak membantu, sudah sering sekali mengangkatnya dari lembah kenistaan, bahkan menyelamatkan nyawanya. Nah bagian akhir inilah kejutan dicipta, sempat bilang wow, lalu eksekusi ending, makin bilang wow. Happy ending sih, tapi kurasa worth it sebab ini memang memoar yang memastikan sedari mula Sayuri selamat dan terdampar di Amerika, seperti kata pengantar yang memang bocoran utama.

Kisahnya tentang Sakamoto Chiyo, atau sekarang bernama Nitta Sayuri, nama geisha-nya. Ia bercerita kepada sang penulis, memberitahukan kisah masa lalunya. Sayuri kini tinggal di New York, membuka kedai minuman khas Jepang dan bisnis lainnya. Dari sini saja sudah merupakan kunci penting novel ini.

Cerita ditarik dari mula sekali. Chiyo-san adalah anak kedua dari dua bersaudara, ayahnya nelayan miskin dengan rumah miring di pesisir pantai Yoroido. Ibunya sakit-sakitan. Suatu hari saat sedang berlari untuk membeli sesuatu, Chiyo kecil terjatuh dan terluka. Tetangganya Tuan Tanaka Ichiro membantunya, membawanya ke rumah dan jelas sekali ia tampak terkesan. Matanya cemerlang, jelita sekali.

Kejadian itulah yang mengubah masa depan Chiyo. Suatu hari ia dijemput Tuan Tanaka diajak naik kereta api bersama kakaknya Satsu juga. Lalu disambung oleh Tuan Bekku, orang asing pula. Ini adalah perjalanan paling jauh yang pernah ia rasakan, sekaligus menakutkan sebab tak tahu akan ke mana. “Ke mana pun dia membawa kami, aku lebih memilih bersamanya daripada terdampar sendirian di tengah jalan-jalan besar dan bangunan-bangunan yang sama asingnya bagiku dengan dasar samudra.” Katanya setelah menyadari mereka sampai di Kyoto.

Mereka ditempatkan di Okiya, tempat geisha tinggal. “Ini Okiya, tempat tinggal geisha. Kalau bekerja keras, nantinya kau bisa menjadi geisha…” Adalah Hatsumomo, geisha yang utama. Ia dilayani banyak orang. Bibi, nenek, pelayan, dan juga Chiyo. Sementara kakaknya dikirim ke tempat lain. Penguasa utama adalah ibu, ia yang mengatur banyak hal. “Si Hatsumomo itu cantik sekali, tapi lihat sendiri, bodoh sekali dia.”

Hari-hari berat dilaluinya, belajar, bekerja, dan memerhatikan situasi baru ini. “Kalau kau mengamati geisha-geisha paling sukses di Gion, semuanya penari.” Suatu hari ia niat kabur, janjian sama kakaknya di tepi sungai, lalu rencananya pulang. Naas, malam itu ia naik ke atap, merangkak dalam senyap, lalu melewati pagar. Yah, malah jatuh. Ia terluka, dan saat siuman hari sudah berganti. Kesempatan satu itupun lenyap, dan ia tak bertemu kakaknya hingga sekarang. Betapa mudanya untuk mengambil langkah sebesar itu

Kabar duka malah tiba, orangtuanya meninggal dunia. Ibunya yang memang sakit-sakitan dan ayahnya yang sudah menanggung banyak beban. Kini ia sebatang kara, dunia yang kejam menghantamnya sedari masa kecil. Mereka punya anjing bernama Taku. Taku adalah makhluk pemarah dengan muka jelek. Kegemarannya dalam hidup ini cuma tiga – menggonggong, mendengkur, dan menggigit orang yang mencoba membelainya.

Chiyo suatu sore di tepi sungai menyaksikan iring-iringan orang kaya menuju teater, ia terpesona dan saat itulah ada salah seorang laki-laki menghampirinya. Memberinya uang untuk membeli makanan, senja itu mencetak kenangan. Laki-laki itu mencipta kenangan, kenangan yang akan banyak menentukan masa depannya.

Perseteruan dengan Hatsumomo kian parah, ia mengangkat temannya Labu untuk dijadikan geisha magang, sementara Chiyo diangkat oleh geisha rumah sebelah Mameha mengganti namanya Nitta Sayuri. Pertaruhan ini dicerita panjang dan berbelit. Promosi geisha magang dari akting terluka untuk menggoda seorang dokter, mendatangi seorang pelukis, hingga jamuan teh dan sake seolah tak henti. Menyaksikan tanding sumo. “Aku tak berniat mengalahkan lawanku, aku berniat mengalahkan kepercayaan dirinya. Pikiran dirasuk keraguan tidak bisa terfokus pada jalan kemenangan…” Mameha adalah geisha besar di zamannya. Pernah menjamu Penulis besar Jerman Thomas Mann, Bintang film terkenanl Charlie Chaplin, Peraih Nobel Sastra Amerika Ernest Hemingway ke Jepang dijamu istimewa dengan para geisha yang tampil. Jelas, ia di tangan yang tepat.

Dari pelatihan ini kita mencatat nama-nama penting. Ketua adalah pemilik Iwamura Elektrik yang membuat Sayuri jatuh hati. Lalu Nobu, veteran perang yang kehilangan salah satu tangannya. Ia orang kepercayaan Ketua, ia sudah jatuh hati sama Sayuri sejak magang. Namun jelas, cinta itu tak beriring. Lalu Dr. Kepiting, orang yang menolong membebat luka, seorang predator perawan. Nantinya ialah yang membeli mizuage-nya. Mizu berarti ‘air’ dan age berarti ‘menaikkan’ atau ‘meletakkan’ sehingga mizuage kedengarannya berkaitan dengan menaikkan air atau menaruh sesuatu dalam air. Sayuri mendapat pelajaran seks dengan pengandaian aneh. “Belut tak berumah” Lelaki punya semacam belut di tububmereka. Belut menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mencari rumah, dna tahukah kau apa yang dipunyai perempuan di dalam tubuhnya? Gua, tempat belut suka tinggal. Gua ini adalah tempat dari mana keluar darah setiap bulan ketika ‘awan melintasi bulan’.

Dan jangan lupakan Uchida Kosaburo, pelukis ini juga masuk radar. Nantinya ia melukis Sayuri dengan eksotis, menjadikannya model geisha. Dan namanya akan terkenal, bukan hanya di Gion tapi seisi Jepang.

Kisah ini bersetting tahun 1930-an. Di Jepang zaman setelah zaman Malaise sampai Perang Dunia II disebut kuraitani – lembah kegelapan. Ketika begitu banyak orang hidup seperti anak-anak yang kepalanya terbenam di bawah ombak. Dan susunan bata yang mengasyikkan itu porak poranda akibat Jepang kalah perang. Malam demi malam kami menyaksikan bulan berubah merah karena kobaran api di Osaka. Kehidupan jadi sangat sulit dan terlunta. “Sungguh aneh, apa yang dibawa masa depan untuk kita. Kau harus berhati-hati, Sayuri, jangan pernah mengharap terlalu banyak.”

Rumah minum teh Ichiriki yang biasa menggelar pesta langsung sunyi. Banyak geisha menjadi pekerja pabrik, membuat parasut, mencetak peluru, dan sebagainya. Sayuri setelah meminta tolong beberapa orang penting, akhirnya justru dibantu Nobu, direkomendasikan tinggal di Keluarga Arashino. Itulah sebabnya khayalan bisa sangat berbahaya. Mereka menjalar seperti api, dan kadang-kadang membakar habis kita.

Tak ada yang bisa lebih baik mengatasi kekecewaan daripada kerja. Saat perang usai dan keadaan membaik, ia akhirnya dijemput bibi untuk kembali ke Okiya. Kembali menjalankan bisnis, tapi jelas sudah tak sama lagi. ia kalut. Kegiatan dalam sarang semut pun kalah sibuk dengan pikiranku. Angsa yang meneruskan hidup di pohon orangtuanya akan mati, itulah sebabnya mereka yang cantik dan berbakat menahan penderitaan untuk menemukan jalan mereka sendiri di dunia. Segera saja pikiranku serasa seperti vas pecah yang tak bisa berdiri. Pikiranku terasa kosong.

Geisha sangat percaya tahayul, seperti pernah kukatakan. Bibi dan ibu, bahkan juga juru masak dan para pelayan, jarang sekali mengambil keputusan sederhana seperti membeli sandal tanpa berkonsultasi pada almanak. Kurasa yang dimaksud dengan ‘anggun’ adalah semacam percaya diri atau kepastian, sedemikian rupa sehingga sepoi angin atau jilatan ombak tidak akan membuat perubahan berarti.

Saat seolah segalanya membaik, Sayuri lalu akan diambil sebagai danna, sejenis wanita simpanan yang menetap pada satu orang laki-laki. Ia memang seolah ditakdirkan menjadi wanita-nya Nobu, yang jelas-jelas ia mengharap Ketua. Nah, suatu hari mereka bertamasya ke Pulau Amami bersama para pembesar, termasuk Menteri yang memiliki pengaruh keberlangsungan Iwamura Elektrik. Di pulau itulah drama yang dimainkan berantakan dan twist. Kehidupan telah bertindak kejam kepadanya, dan dia hanya menerima sedikit sekali kebaikan.

Bagian berikutnya bisa saja menjadi sad ending pilu nan menyakitkan, serta memalukan. Namun tidak. Malam saat ia seharusnya resmi menyandang sebagai danna, kejutan lain menghantam. Manis, terlalu manis. Segalanya lantas berubah, mereka membeli rumah mewah di timur laut Kyoto dan menamainya Eisha-an – Tetirah Kebenaran Makmur. Dan segalanya baik-baik saja, akhirnya. Duduk di sini mengenang malam bersamanya sebagai saat ketika suara-suara dukacita dalam diriku menjadi diam.

Buku tebal, lebar, dengan tulisan kecil-kecil. Tipe buku yang akan sulit diselesaikan jika tak dipaksa kelar. Hampir 500 halaman, kisah yang panjang nan berliku. Kebetulan sekali kumulai baca saat Isoman, dan butuh sebulan tuntas, kuselesaikan baca dengan kekuatan santai saja. Kubaca bersama Kronik Burung Pegang yang lebih dahsyat tebalnya. Kita tidak menjadi geisha agar hidup kita memuaskan. Kita menjadi geisha karena kit arak punya pilihan lain.

Kurasa kenangan akan tahun-tahun mengerikan itulah yang membuatku merasa sangat sendirian. Harapan itu seperti hiasan rambut. Gadis-gadis ingin memakai terlalu banyak hiasan rambut. Ketika sudah tua, mereka tampak boidoh bahkan kalaupun hanya memakai satu. “Kadang-kadang, kurasa hal-hal yang kuingat lebih realistis daripada hal-hal yang kulihat.”

Memoar Seorang Geisha | by Arthur Golden | Diterjemahkan dari Memoirs of a Geisha | Copyright 1997 | 6 17 1 86 002 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Listiana Srisanti | Desain sampul Martin Dina | Pertama terbit 2008 | Cetakan ketigabelas: Februari 2018 | ISBN 978-602-03-3769-2 | 496 hlm; 23 cm | Skor: 5/5

Untuk istriku, Trudy, dan anak-anakku, Hyas dan Tess

Karawang, 190721 – Very best of Jazz (Louis Armstrong)

#30HariMenulis #ReviewBuku #19 #Juli2021

Humanisme Y.B. Mangunwijaya #26

Pancasila adalah hasil finalnya, di mana “humanisme” terumuskan dalam sila pertama, secara de facto di Negara kita bersifat pluralis ini, tidak hanya dalam konteks “agama” dalam arti formal, melainkan juga keyakinan dan kepercayaan dalam arti kultural.

Saya seorang muslim, dan saya penikmat segala bacaan. Saya sepintas mengenal Yusuf Bilyarta (Y.B.) Mangunwijaya atau yang lebih akrab dengan sebutan Romo Mangun lewat novel Burung-Burung Rantau. Novel tersebut masih kusimpan, belum sempat kubaca. Namanya sering muncul di beranda sosmed sebagai sastrawan yang ternyata setelah membaca ini malah makin kagum karena profesinya yang banyak. Justru buku ini duluan yang kubaca, kubeli sewaktu liburan Lebaran lalu di Gramedia Slamet Riyadi, Solo. Kubaca kilat bulan ini, dan luar biasa. Ternyata beliau adalah sosok besar. Romo Mangun adalah seorang humanis religius yang mencurahkan seluruh hidup dan karyanya untuk terwujudnya humanisme. Dan humanisme tidak pernah selesai diperjuangkan karena menuntut pembaruan terus-menerus untuk menjadi manusiawi dan menghargai kemanusiaan. Sebelum menjadi profesi apapun ia harus menjadi manusiawi terlebih dulu sehingga bisa menghargai kemanusiaan yang ditandai dengan sikap terbuka, lugas, nguwongke, dan menghargai sesama.

Buku ini adalah kolaborasi Forum Mangunwijaya IX yang ditulis oleh orang-orang hebat, total ada delapan kontributor: A. Sudiarja, Sj, Ferry T. Indratno, Bakdi Soemanto (alm.), Bandung Mawardi, B. Rahmanto, Erwinthon Napitupulu, Musdah Mulia, dan St. Sularto. Kedelapannya menampilkan esai yang mewah, renyah dibaca, nikmat diikuti. Cara review, menuturkan pandangan hidup, sampai ketertarikan karya-karya beliau yang ditelusur. Banyak hal yang patut dipelajari. Romo Mangun sepaham dengan pandangan Rudolf Otto (The Idea of the Holy) bahwa manusia adalah makhluk religius (homo religious), demikian setiap manusia serta merta bersifat religius; ada sifat yang disebut ‘suci’ dalam arti moral. Religius di sini tidak harus berarti sebagai pemeluk agama tertentu, melainkan adanya kecenderungan dan kesadaran akan yang ilahi, yang mengatasi kekecilan manusia atau rasa kemakhlukan (creature-feeling) atau rasa ketergantungan (feeling of dependence) pada suatu lain. Saking banyaknya tema yang mau disampaikan karena beliau memang multi-karya, salah satunya arsitekur. Bidang arsitektur melakukan pendekatan konsep ‘guna’ dan ‘citra’.

Lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929 sebagai sulung 12 bersaudara, meninggal dalam tugas pada 10 Februari 1999 di tengah seminar di Jakarta. Romo Mangun menerapkan paradigma berpikir nggiwar dalam setiap langkah memperjuangkan humanisme. Konon, Romo Mangun menjadi pastor karena terharu pada partisipasi rakyat dalam gerilya, dan untuk ‘membayar utang kepada rakyat’. Maka pelayanannya bukan sebatas pelayanan gerejani, paroki, melainkan pada sosialitas umum, pembelaan kaum miskin dan melebar untuk kerja sama dengan agama lain.

Banyak sekali pemikiran yang disampaikan dalam buku tipis ini. Seperti kala Romo banyak mengkritik pemerintah yang bersifat penyeragaman, brainwash, formal, dan birokratis dan kurang memberi ruang bagi kreativitas anak didik dan menekankan kreativitas, eksplorasi, penyadaran, dan pengaturan diri.

Sebagai penikmat buku, jelas saya sangat tertarik di bagian sastra. Ada satu bagian yang mengulas detail sekali salah satu karya beliau berjudul Balada Becak (1985) bagaimana kisah benar-benar membumi, ada di antara kita. Kisah cinta wong cilik di mana angan dan kenyataan tak sejalan. Sastra, berbeda dengan teater, hadir secara personal ke dalam batin pembaca di saat tenang, sunyi, tranquil, sehingga terjadi dialog antara pembaca dan novel pada satu pihak, pada pihak lain, seperti Bima Suci, bacaan mengantar pembaca berdialog dengan batin sendiri. Menjadikanku ingin segera menikmati novel beliau, Manusia Indonesia yang humanisme religius dan nasionalisme yang terbuka. Dua kerangka besar inilah Indonesia bisa ikut menyumbang pemikiran dalam pergaulan dunia yang luas.

Bagian akhir tentang arsitek saya yang awam turut kagum, ada sekitar 84 karya beliau. Beberapa kontroversial. Pemikiran tetang ‘Gereja Diaspora’ yang dalam teologi katolik pasti menjadi sesuatu yang kontroversial atau inkonvensional. Mengidealkan gereja sebagai “jaringan titik-titik simpul organik.. yang berpijak pada realitas serba heterogen… tidak beranggotakan orang-orang berdasarkan daerah, tapi berdasakan fungsi atau lapangan kerja… titik-titik simpul bisa berupa lone rangers seperti gerilya yang sendirian…, namun lincah ke mana-mana.” Beberapa sudah dipugar, yang sayang sekali sebagian itu menghilangkan identitas awal.

Menurut Mochtar Lubis ciri-ciri manusia Indonesia, pertama hipokritis atau munafik. Berpura-pura, lain di muka lain di belakang, merupakan suatu ciri utama manusia Indonesia sejak lama. Sejak mereka dipaksa menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan atau dipikirkan atau sebenarnya dikehendaki oleh kekuatan-kekuatan dari luar karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana baginya. Kedua segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, tetapi kalau sukses manusia Indonesia tidak segan-segan untuk tampil ke depan menerima bintang, tepuk tangan, surat pujian, piagam penghargaan, dan sebagainya. Ketiga memiliki sifat feodal yang tinggi, ABS (asal bapak senang). Keempat percaya takhayul. Kelima berkarakter lemah. Keenam bukan economic animals, sehingga boros. Ketujuh, cepat cemburu dan dengki pada orang lain yang lebih maju.

Sementara sifat positifnya, pertama memiliki sifat artistik yang tinggi sehingga mampu menghasilkan kerajinan seni. Kedua suka menolong dan gotong royong. Ketiga berhati lembut, suka damai, memiliki selera humor dan memiliki kesabaran hati. Keempat adanya ikatan kekeluargaan yang mesra dan memiliki kecerdasan yang cukup baik terutama di bidang ketrampilan.

Pandangannya tentang pendidikan juga sangat bagus. Pendidikan sebagai sosialisasi tidak melihat anak memiliki nilai tersendiri, berkepribadian unik dengan status bermartabat sebagai manusia yang harus dihormati, anak hanyalah bersifat sekunder, yang primer ialah kedudukan, kepentingan dan penghidupan kolektivitas. Maka, sosialisasi berikhtiar menggiring warganya untuk tahu diri dalam sistem pahala dan status. “Setiap sistem pendidikan ditentukan oleh filsafat tentang manusia dan cita-manusianya yang dianut, sehingga tidak netral.” Tujuan pendidikan adalah mengantar dan menolong anak untuk mengenal dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia mandiri, dewasa, utuh, merdeka, biajksana, humanis, dan menjadi sosok manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein. Kata post merujuk pada sesudah, belum menyatakan kontinuitas maupun diskontinuitas. Seorang pascasarjana bukan seorang yang sesudah menjadi bukan sarjana. Dia tetap sarjana. Tetapi lebih luas pandangannya, lebih banyak dimensianya, lebih dalam visinya, lebih dewasa.

Sebagai orang Jawa, beberapa pemikirannya jelas terinspirasi sejarah Jawa. Citra manusia Jawa yang hakikatnya adalah citra wayang belaka pada kelir jagad cilik (mikro-kosmos), jadi manusia hanya bayangan saja, tidak sejati. Sejajar dengan ajaran Plato, segala peristiwa kehidupan manusia ‘wus dhasar pinasthu karsaning dewa’ (sudah diniscayakan oleh kehendak para dewa). Bahwa yang menciptakan adalah dewa, yang melahirkan adalah orang tua, yang membuat bahagia itu guru, yang membuat kaya kuasa itu raja, yang membuat gembira adalah mertua. Kelima-limanya itu bila tidak dipatuhi akan membawa celaka. (Serat Paramayoga/Pustakaraja).
Manusia Indonesia yang ideal adalah sesuai pedoman Pancasila, manusia yang menghayati dan membuat dasar dan pedoman hidupnya, dasar tingkah laku dan budi pekerti berdasar kelima dasar Pancasila.

Komunisme sudah hancur oleh perkembangan ‘masyarakat warga’ (civil society), pembaruan politik ada di mana-mana, perestroika di Rusia dan demokrasi di Barat, namun menurut Fukuyama, sejarah berakhir dengan bentuk demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis.
Arief Budiman menyatakan bahwa manusia Indonesia seutuhnya merupakan konsep sosiologi. Sudah sangat umum ada empat kebebasan: kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan untuk berkeinginan, kebebasan dari rasa takut. Lalu menurut Hussein Nars, ilmuwan Iran kebebasan beragama ada dua jenis: kebebasan untuk menjadi (freedom to be) dan kebebasan bertindak (freedom to act), yang pertama sifatnya tanpa batas, yang kedua dapat dibatasi oleh aturan.

Dari semua pemikiran beliau yang sangat saya kagumi, jelas tentang saling menghormati, baginya agama lain bukan saingan, apalagi musuh, melainkan teman kerja, kolega di dalam membangun kemanusiaan, khususnya melayani masyarakat yang miskin. Kita tahu, saat ini Indonesia sedang panas-panasnya politik, agama menjadi tunggangan, agama menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Pluralisme beragama adalah lawan dari eksklusivisme agama. Artinya filsafat pluralisme mengakui semua agama dengan cara pemeluknya memiliki hak yang sama untuk eksis dan berkembang.

Keragu-raguan adalah sebentuk penghormatan kepada kebenaran.” – Ernest Renan dalam Qu’est ce qu’une nation? (1882).

Humanisme Y.B. Mangunwijaya | By Forum Mangunwijaya IX | Copyright Kompas Media Nusantara | Penerbit Buku Kompas, 2015 | KMN: 20305150074 | Editor Ferry T. Indratno | Perancang sampul A Novi Rahmawanta | Ilustrasi sampul Dok. Kompas/Ferganata Indra Riatmoko | xvi + 144 hlm.; 24 cm x 21 cm | ISBN 978-979-709-938-1 | Skor: 4.5/5

Karawang, 270619 – Sherina Munaf – Primadona

#30HariMenulis #ReviewBuku #Day26 #HBDSherinaMunaf #11Juni2019

Sepenggal Memoar – Pablo Neruda: Kita Para Penyair Memiliki Hak Untuk Bahagia

Buku saya selalu tentang hal yang sama; saya selalu menulis yang sama. Saya harap teman-teman saya akan memaafkan saya, karena dalam kesempatan baru ini dan dalam tahun baru yang dipenuhi dengan hari-hari yang baru ini, tak ada yang bisa saya tawarkan kecuali sajak-sajak saya, puisi baru yang sama.

Ini adalah buku pertama Pablo Neruda yang saya baca, padahal kemasyurannya sudah tak tertandingi – sebagai Penyair. Kata Penulis besar Gabriel Garcia Marquez, Neruda adalah penyair terbesar Amerika Latin abad 20. Neruda memang terkenal sebagai penyair, walaupun beliau juga menulis esai dan novel. Karya pertama diterbitkan saat usia 13 tahun dalam harian La Manana berjudul ‘Entusiasmo y perseverancia’ (“Antusiame dan Kegigihan”). Bernama asli, Ricardo Eliecer Neftali Reyes Basoalto, beliau menggunakan nama Jan Neruda yang terinspirasi dari penyair Ceko, tahun 1920 karena sang ayah yang tak mau anaknya menjadi tukang tulis yang tak menjanjikan masa depan.

Kata George Orwell, Autobiografi hanya bisa dipercaya ketika ia menyingkapkan sesuatu yang memalukan. Orang yang memberikan cerita yang bagus tentang dirinya sendiri mungkin berbohong, karena kehidupan mana pun ketika dipandang dari dalam hanya merupakan seri demi seri kegagalan belaka. Di sini Pablo banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman beliau bersyair, dan mengakui banyak hal terlewat karena ditempa waktu. “Banyak hal yang saya ingat telah mengabur saat saya mencoba mengingatnya ulang, mereka telah hancur menjadi debu, seperti pecahan kaca yang tak mungkin dibentuk lagi.”

Tema utama tentang puisi, tentang perjuangan, dan tentu saja tentang bagaimana relasinya dengan puisi dan para penyair lain. Banyak sekali nama disebut, yang sejatinya tak familiar bagiku. Karena dasarnya memang saya tak rutin melahap sajak, jangankan Amerika Latin, puisi-puisi lokal yang terkenal dari Joko Pinurbo atau Sapardi saja saya belum pernah baca satu buku pun! Nyanyian-nyanyian pada dasarnya membentuk bagian dari cerita berseri yang besar. Makanya dengan buku ini saya mencoba mengakrabi, tulisan prosa tentu saja lebih nyaman bagiku. Sajak adalah panggilan terdalam dari jiwa manusia; dari sajak datanglah liturgy, mazmur, juga kandungan-kandungan agama.

Ada dua jenis penyair: ada milik lapisan kerak bagian atas memperoleh penghargaan karena uang, yang menolong mereka mencapai sah tidaknya sebuah kedudukan dan yang tidak. Bisa kita lihat di sini, Pablo masuk lingkaran mana. Pemberian Nobel Sastra tahun 1971 dijelaskan dengan detail lucu. Bagian ketika beliau ke Swedia, ‘semacam diintai’ sampai kegugupan bertamu di lingkungan kerajaan mungkin jadi pengalaman paling mengesankan dan seru. Saya tak percaya orisinalitas. Itu hanyalah satu lagi berhala yang diciptakan di zaman kita, yang mempercepat badai menuju kehancuran. Saya percaya pada spontanitas terbimbing, untuk itu, penyair harus selalu memiliki cadangan di kantongnya, katakanlah pada saat keadaan darurat.

Membutuhkan waktu tiga puluh tahun bagi saya untuk mengumpulkan sebuah perpustakaan besar. Pablo adalah anggota Partai Komunis di Cili, kematiannya yang misterius dan mendadak banyak menimbulkan spekulasi, karena hanya berjarak dua tahun pasca menang Nobel. Hanya dua minggu pasca kudeta Augusto Pinochet. Memoir ini selesai dibuat hanya sehari sebelum ia ke rumah sakit, bersama Matilda istrinya dan seorang sopir muda Manuel Araya, ternyata menjadi saat-saat terakhir beliau. Apakah Pablo dibunuh? Sang Penyair memang vocal terhadap perang. “Perang… perang… kita selalu menentang peperangan, tetapi ketika kita berjuang dalam perang, kita tidak bisa hidup tanpanya, kita selalu ingin kembali ke sana sepanjang waktu.”

Kunjungan ke hal-hal yang tidak terduga ini senilai dengan seluruh jarak yang ditempuh, segala yang dibaca, segala yang dipelajari… kita harus menghilang di tengah-tengah mereka yang tak kita kenal, sehingga mereka tiba-tiba akan mengambil sesuatu milik kita, dari jalanan, dari pasir, dari dedaunan yang telah gugur ribuan tahun di hutan yang sama.. dan akan mengambil sesuatu yang kita ciptakan dengan lembut… hanya dengan begitu kita akan menjadi penyair sesungguhnya… dalam objek itu, puisi akan hidup…

Salah satu bagian yang mengena bagiku, “Penggemar buku yang memiliki sedikit uang cenderung sering menderita. Buku-buku tidak terlepas tangannya melainkan terbang melewatinya melintasi udara, setinggi burung-burung, setinggi harga-harga.” Ya, untuk bisa menikmati buku di Negeri ini memang mahal. Butuh pengorbanan lebih. Dari bumi, dengan kaki dan tangannya, matanya, suaranya – dia membawakan semua akar, semua bunga-bunga dan semua buah beraroma manis kebahagiaan.

Ada banyak kritikus, seperti tanaman labu merambat yang petunjuknya menembus, arah sulurnya mencari napas paling baru dalam kecenderungan modern, takut bahwa mereka akan ketinggalan sesuatu. Akan tetapi akar-akarnya masih meresap dalam di masa lalu.

Seorang anak yang tidak bermain bukanlah seorang anak, tetapi lelaki dewasa yang tidak bermain akan kehilangan selama-lamanya jiwa kanak-kanak yang tinggal di dalamnya dan pastinya ia akan merasa kehilangan. Sikap seperti penonton pasif yang tidak menggerakkan otot wajahnya sama sekali melainkan menajamkan tatapannya pada Anda.

Penyair yang hanya berpikir irasional hanya akan dimengerti oleh dirinya sendiri dan yang dicintainya, dan ini sungguh menyedihkan. Seorang penyair yang sepenuhnya rasional akan dipahami bahkan oleh para pecundang, ini juga kesedihan yang parah.

Buku asli Memoirs berisi dua belas bab, buku ini hanya terjemahan dari satu bab di dalamnya, yakni bab kesebelas. Jadi otomatis bisa kita simpulkan, Circa berhutang untuk melanjutkan alih bahasa bab lainnya. Ditunggu…

Beberapa memoar sungguh mempengaruhi hidupku langsung. Haruki Murakami mempunyai What I Talk About When I Talk About Running (sudah diterjemahkan oleh Bentang tahun 2015) yang membuatku berlari sore tiga kali seminggu, kini sudah berjalan dua tahun lebih. Di usia kepala tiga gini, ga nambah berat badan saja sudah syukur maka olahraga rutin adalah keharusan. George Orwell punya Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London (sudah diterjemahkan penerbit OAK tahun 2015) yang lebih syukur, betapa kita disodori kehidupan para gelandang dengan detail di era itu, kumal dan papa. Dalam memoar I Am Malala, betapa takjub perjuangan demi pendidikan, kesetaraan hak belajar untuk semua anak. Dalam memoarnya Sidney Sheldon: The Other Side of Me, saya termotivasi untuk banyak membaca buku, Sidney yang dasarnya adalah orang sinema menjelma Penulis karena kekecewaan atas para produser. Membuat film membutuhkan dana besar, selain mencipta setting dan mengarahkan banyak manusia dan itu tak murah, dengan menulis Sidney hanya bermodal mesin tik dan pikiran liar!

Dan memoar ini memberi lecut untukku lebih banyak menikmati puisi. OKlah, fiksi novel dan cerpen sudah lumayan banyak yang kulahap, puisi begitu minim. Membuatku bertarget baca satu buku dalam satu bulan, dimulai Januari ini. Dapatkah seorang penyair tetap menjadi penyair setelah melalui seluruh percobaan api dan es? Sajak, kebenaran, kebebasan, perdamaian, kebahagiaan adalah karunia yang sama dimiliki semua orang. Semoga bisa konsisten. “Kita para penyair memiliki hak untuk bahagia, sepanjang kita tetap dekat dengan masyarakat di negeri kita dan dalam kegigihan perjuangan untuk kebahagiaan mereka.

Ayo, cintailah puisi, bangkitlah dari kaca yang pecah, saatnya telah tiba untuk bernyanyi. Thx Circa.

Puisi, Buku, dan Kerang Laut – Sepenggal Memoar | By Pablo Neruda | Copyright 1974 |Diterjemahkan dari Confieso que he vivido: Memorias (Original) | Memoirs ( English) tahun 1977, hal. 253-328 | Penerjemah Weni Suryandari | Penyunting Cep Subhan KM | Perancang sampul dan isi Agus Teriyana | Penerbit Circa | ISBN 978-602-52645-6-6 | Skor: 4/5

Karawang, 070119 – 29012019 – Payung Teduh – Sebuah Lagu

Typo: saja-sajak – halaman 16; orangdan – 67; kesuastraan – 85; menraktir – 99; anda – 102; terutup – 138.