The High Mountains of Portugal: Cinta yang Amat Besar, dan Rasa Kehilangan yang Tak Terhingga

The High Mountains Portugal by Yann Martel

Apakah ada artinya? Dari mana jiwa berasal? Ada beragam jiwa yang diasingkan dari surga. Jiwa tetaplah jiwa yang harus diberkati dan dibawa kepada kasih Tuhan.”

Apalah arti kita tanpa orang-orang yang kita cintai? Apakah ia berhasil bangkit dari duka? Ketika dia menatap matanya di cermin saat bercukur, hanya relung-relung kosong yang tampak. Dan dia menjalani hari-harinya bagaikan hantu yang membayang-bayangi kehidupannya sendiri. Buku tentang duka yang terbagi dalam tiga bab panjang. Tanpa Rumah, Menuju Rumah, Rumah. Semua adalah kesedihan kehilangan orang terkasih. Menguras air mata, takdir yang pilu. Tanpa rumah adalah sebuah kehilangan yang sempurna: ayah, kekasih, anak tahun 1904. Menuju rumah adalah kehilangan pasangan hidup, dokter spesialis patologi yang kebahagiaannya terenggut tahun 1939. Rumah adalah perjalanan duka dari Kanada ke Puncak pegunungan Portugal, pencarian rumah tahun 1989.

Semua yang tersaji bisa saja sekadar kisah pilu para lelaki rapuh yang ditinggal mati istrinya, tapi setiap sisi terselip perjuangan dan pencarian makna hidup. “Aku berbicara dengannya di dalam kepalaku, ia hidup di situ sekarang.” Jangan menyerah, kerelaan, waktu yang menyembuhkan, rutinitas akan menjadi imun hidup, dan seterusnya. Ternyata di sini malah dibuat dengan benang indah – atau kalau mau lebih lembut, koneksi sejarah – ketiganya berpusat di puncak dan tanya itu diakhiri dengan sunyi. Tomas merasa bagikan kepingan es yang terhanyut di sungai. Ketergantungan ini menciptakan semacam kesetaraarn bukan?

Pertama tahun 1904, adalah Tomas yang miskin. Pamannya kaya, memiliki pembantu cantik bernama Dora, kisah cinta mereka yang langgeng, memiliki Gaspar yang menyenangkan, tiba-tiba dihantam duka. Ketiga orang terkasih meninggal berurutan hingga membuatnya murka akan takdir. Dia kerap meratap, terlampau kerap sejak malaikat maut memberinya tiga pukulan telak. Kenangan akan Gaspar, Dora, atau ayahnya sering menjadi sumber sekaligus inti kesedihannya, tetapi ada kalanya air matanya mengalir tanpa alasan yang sulit dipahaminya, datang seketika seperti bersin.

Ia berjalan mundur, ia terjatuh luruh. Yang tak dipahami pamannya adalah berjalan mundur, memunggungi dunia, memunggungi Tuhan, bukanlah cara Tomas untuk mengungkap duka. Ini adalah caranya mengajukan keberatan. Karena jika semua yang kaucintai dalam kehidupanmu telah diambil, apakah yang bisa kauperbuat selain mengajukan keberatan?

Menemukan sebuah surat/buku harian seorang pastor Bapa di Ulisses yang lalu menyeretnya dalam petualangan, hanya beberapa minggu setelah kehidupannya luluh lantak di Museum Nasional Karya Seni Kuno, tempatnya bekerja sebagai asisten kurator. Surat itu mengisah kehidupan sunyi, dan mengarah pada pencarian salib di pegunungan Portugal. Dengan mengendarai mobil Eropa pertama milik pamannya. Orang-orang akan berlama-lama melihatnya, mulut mereka akan ternganga, benda itu akan membuat hura-hura. Dengan benda itu, aku akan memberi Tuhan atas perbuatan-Nya kepada orang-orang yang kucintai. Keheningan yang menyelubunginya akibat pemusatan konsentrasi sekonyong-konyong meledak ke dalam derap kaki-kaki kuda yang menggelegar, keriat-keriut nyaring kereta pos. Kemudian mereka dan kedua kusir kereta saling bertukar umpatan dan isyarat marah.

Mobil di era itu memang belum banyak, awal-awal masa penemuan. Barang yang dibelinya sebagai bahan bakar, oleh mereka dijual sebagai pembasmi parasit. Tempat tinggal mungil beroda ini dengan potongan-potongan kecil ruang tamu, kamar mandi, dan perapian, adalah contoh mengenaskan bahwa kehidupan manusia tidak lebih dari ini: upaya untuk merasa seperti di rumah sendiri saat mengejar kenisbian. Seorang pria atau wanita, tak perlu bekerja sekeras itu untuk menunjang kehidupan, tetapi roda gigi di dalam sistem harus diputar tanpa henti.

Pada 2 Juni 1633, terdapat satu tempat nama baru Sao Tome, pulau koloni kecil di Teluk Guinea yang disebut sebagai ‘serpihan ketombe di kepala Afrika, berhari-hari perjalanan panjang di sepanjang pesisir lembap benua gersang ini’. Tertulis Isso e minha casa (Ini adalah Rumah). Bapa Ulisses rupanya terserang kerinduan mendalam pada kampung halaman. Ruang arsip Episkopal di Lisbon, setelah mengabaikan buku harian Bapa Ulisses selama lebih dari dua ratus lima puluh tahun, tidak akan merasakan kehilangan untuk ia ambil.

Perjalanan religi mencari gereja. Kesederhanaan arsitektur paling sesuai dengan bangunan religius. Apapun yang mewahadalah arogansi manusia yang disamarkan sebagai keimanan. Semua berada di tempat masing-masing, dan waktu bergerak dengan kecepatan yang sama. Gravitasi akan marah dan benda-benda akan melayang malas. Namun tidak, ladang-ladang tetap diam, jalan tetap membentang lurus, dan matahari pagi tetap bersinar terang.

Dia mengingat-ingat dan menghitung. Satu, dua, tiga, empat – empat malam. Empat malam dan lima hari cutinya dari cutinya yang sepuluh hari. Separuh jalan, tapi tempat tujunya belum terlihat. Di sana hujan terlampau sering turun, hingga menggaggu kewarasan. Menit-menit berlalu. Keheningan terbingkai oleh deris hujan, embik domba, dan salak anjing. Aku sedang mencari harta yang hilang.

Niat semula sepuluh hari cuti untuk menemukan benda kuno demi pemaknaan hidup, justru berakhir bencana karena tak sengaja menabrak seorang anak, tewas seketika. Batin Tomas berkemauk. Dia pernah menjadi korban pencurian, dan kini menjadi pelaku pencurian. Aku memasuki bui itu sebagai kristen. Aku keluar dari sana sebagai seorang prajurit Romawi. Kami tidak lebih baik dari binatang.

Dalam kisah ini, cara menanggapi kedukaan tampak sangat sentimental. Mengajukan keberatan akan takdir, melakukan perjalanan pemaknaan hidup, lalu dihantam musibah perih tak terkira. Ruang dan waktu menjadi tanya kembali, menjadi teka-teki sejati. Kembali ke individu, dan rumah yang dituju justru menggoreskan luka. Dia nyaris menangis lega. Menguarkan waktu dan memancarkan keterpencilan.

Ketika benda yang dicari akhirnya ketemu, lalu apa? Benda itu terpampang di sana, setelah melakukan perjalanan jauh dari Sao Tome. Oh betapa menakjubkan. Kemenangannya terusik oleh luapan emosi: kesedihan yang meluluhlantakkan jiwa. Muntah-muntah dengan raungan lantang.

Jika ia memprotes Tuhan, lalu ia malah mencipta protes manusia lain? Kapankah masa duka yang janggal ini berakhir? “Cukup! Cukup!” Dia berbisik. Apa makna nestapa bagi manusia? Apakah ini membuka dirinya? Apakah penderitaan ini membuatnya lebih mengerti? Mereka memang menderita, tapi aku juga. Jadi apa yang istimewa?

Kedua tahun 1939, di akhir tahun seorang dokter spesialis patologi melakukan otopsi mayat perempuan yang meninggal di dekat jembatan, pembunuhan atau bunuh diri? Dokter Eusebio Lozora yang sedang melakukan bedah dikunjungi istrinya, Maria Luisa Motaal Lozora yang menyukai kisah detektif. Buku-buku Agatha Christie dikoleksi dan dinikmati, malam itu istrinya berkisah panjang lebar tentang teori Tuhan, seperti Yesus yang mati misterius, Agatha juga mencipta kasus pembunuhan misterius. Autopsi, bagi mata awam bukanlah pemandangan yang enak dilihat. Tujuan tindakan ini adalah mencari abnormalitas fisiologis – penyakit atau kecelakaan – yang menyebabkan kematiannya.

Dokter spesialis patologi adalah detektif yang melakukan penyelidikan dan menggunakan sel-sel kelabunya untuk menerapkan aturan dan logika hingga kedok salah satu organ terbuka dan sifat aslinya, kejahatannya, akan bisa dibuktikan tanpa keraguan. Kesabarannya benar-benar menyentuh. “Kau mengerti bukan, bukan dia yang dibunuh.”

Malam itu setelah istrinya pulang meninggalkan novel terbaru Agatha Christie: Perjanjian Dengan Maut, sekuel Pembunuhan di Sungai Nil, datang lagi seorang ibu dengan koper. Namanya juga Maria, mengejutkan, koper itu berisi mayat suaminya, minta diotopsi segera, kisah cintanya yang vulgar dan menggairahkan, dan segala pilu kehilangan. Ibu Maria berasal dari Pegunungan Tinggi Portugal, perjalanan tiga hari ke Braganca, mencari rumah sakit untuk otopsi mayat suaminya. Cinta hadir dalam kehidupan saya dengan penyamaran tidak terduga. Seorang pria. Saya seterkejut bunga yang melihat lebah datang untuk pertama kalinya.

Setelah urusan raja selesai, kita berlaih ke ratunya yaitu kepala. Memeriksa otak dan batang otak…” Hasil otopsi mengejutkan, ada simpanse dan beruang, dan teka-teki itu meledak di ending yang mengejutkan. Saya sampai geleng-geleng, wow. Novel yang sempurna. Seperti itulah duka, ia makhluk yang memiliki banyak lengan tetapi hanya beberapa kaki, dan ia terhuyung-huyung mencari sandaran. Hati memiliki dua pilihan, menutup atau membuka diri. Tutur katanya kadang-kadang pedas, diamnya meresahkan.

Kisah ini nge-link dengan yang pertama. Kami mencintai putra kami, seperti laut yang mencintai pulau, selalu menyelingkupinya dengan pelukan, selalu menyentuh dan membelai pantainya dengan perhatian dan kasih sayang. Ketika dia pergi, hanya laut yang tertinggal, kedua lengan kami memeluk kehampaan. Kami menangis sepanjang waktu. Satu-satunya putra yang dicintai meninggal dunia, dan pelaku tabrak lagi itu adalah Tomas.

Namun sayang, bagian ketiga tahun 1989 justru agak merusak pola. Seorang senator Kanada Peter Tovy adalah pemilik sah seekor simpanse jantan, pan troglodytes, bernama Odo. Prosesnya panjang. Yang jelas ia baru saja kehilangan istri tercinta Clara. Dalam kedukaan, ia disarankan temannya menepi, ke Amerika dalam kunjungan, ia lalu ke kebun binatang, dan sekilat pintas membeli simpanse jantan dengan harga mahal. “Saya akan membayar Anda Lima belas ribu dolar.” Oh godaan bilangan bulat, itu jelas angka yang lebih mahal dari harga mobilnya.

Orang-orang berduka sebaiknya menunggu setidaknya satu tahun sebelum membuat perubahan penting dalam hidup. Perubahan pemandangan, bahkan perubahan udara – lembut dan lembab – terasa menenangkan.

Ia muak dengan pekerjaannya sebagai politikus. Pidato, pencitraan yang tiada habisnya, rencana busuk, ego yang ditelan mentah-mentah, ajudan arogan, media-media tak kenal ampun, tetek bengek yang merepotkan, birokrasi yang kaku, kemanusiaan yang tak kunjung membaik, dia memandang semua hal itu sebagai ciri khas demokrasi. Dengan gejolak kegembiraan yang meresahkan, dia bersiap-siap membuang semua rantai yang mengikatnya.

Segalanya bergerak cepat, Peter lalu melepas semua atribut duniawi dan memutuskan pulang. Ke rumah nenek-kakeknya di Portugal bersama Odo. Penenungan makna hidup, kehilangan, melepas, damai. Iman seharusnya diperlakukan secara radikal, dia menatap salib, penyeimbang keyakinan dan kegamangannya.

Melakukan perjalanan panjang, melakukan pencarian rumah. Dia masih ingat caranya bercinta, tapi sudah tidak mengingat alasannya. Kehilangan istri membuatnya merenung sepi. Selama sekitar satu jam, sambil duduk di puncak tangga, menyesap kopi, lelah, agak lega, agak khawatir, dia merenungkan titik itu. Apa yang akan dihadirkan kalimat selanjutnya?

Simpanse adalah kerabat terdekat di garis evolusi. Kita dan simpanse memiliki leluhur yang sama, dan baru berpisah jalan sekitar enam juta silam. Mempelajari simpanse sama juga mempelajari refleksi leluhur kita, dalam ekspresi wajah mereka. Masing-masing kera, kini dia mengerti, adalah sesuatu yang tidak pernah diduganya, individu dengan kepribadian unik.

Mungkin agak aneh, memilih simpanse sebagai teman perjalanan untuk menepi, tapi keputusan ini nantinya nge-link dengan hasil otopsi. Bianatang mengenal rasa bosan, tetapi apakah mereka mengenal rasa kesepian? sepertinya tidak. Bukan kesepian seperti ini yang mendera jiwa dan raga. Dia adalah spesies kesepian. Kalau masa lalu dan masa depan sudah tidak menarik, apa yang bisa mencegahnya dari duduk di lantai sambil merawat seekor simpanse dan mendapat perawatan balasan?

Tidak ada derajat yang membedakan tingkat ketakjuban.

Salah satu makna duka bisa jadi adalah sekarang. Simpanse Odo hampir sepanjang hari menikmati waktu, misalnya duduk di tepi sungai menyaksikan air mengalir. Ini ilmu yang sulit dikuasai, hanya duduk dan berada di sana. Kadang-kadang Odo bernapas dengan waktu, menarik dan melepasnya, menarik dan melepasnya. Binatang-binatang ini hidup dalam amnesia emosional yang berpusat di masa kini. Kesyahduan menjelma di sanubarinya, menenangkan bukan hanya masalah yang diderita tubuhnya, tetapi juga kerja keras otaknya.

Di dalam udara ada matahari dan gumpalan-gumpalan awan putih yang saling menggoda, cahaya yang melimpah tidak terkatakan keindahannya. Tidak ada suara di sekelilingnya, baik dari serangga, burung-burung, maupun angin. Yang tertangkap telinganya hanyalah bebunyian yang dihasilkannya sendiri. Tanpa keberadaan suara, lebih banyak yang dilihat oleh matanya, terutama bunga-bunga musim dingin cantik yang bermekaran menembus tanah berbatu-batu di sana-sini.

Rasa sakitnya datang bagaikan ombak, dan setiap gelombang membuatnya bisa merasakan setiap dinding perutnya. Setelah kisah panjang perjalanan ke puncak, lalu sebuah adegan panjang di ruang otopsi yang luar biasa, kisah ini ditutup dengan anti-klimaks di puncak. Memainkan duka, dan segala kandungan di dalamnya. The High Mountains memang menutup rapat akhirnya, tak ada yang menggantung, tapi perjalanan panjang Kanada ke Potugal dengan monyet terlampau mudah menemukan rumah. Bagaimana bisa Peter langsung menemukan rumah, di kesempatan pertama menginap di tanah asing? Ini kebetulan yang mengagumkan. Tuizelo, dari sanalah orangtuanya berasal, ia dan Odo akan menetap. Ini bingkisan mungil berisi rasa takut, tetapi tidak melukai ataupun merisaukan.

Buku kedua Yann Martel yang kubaca setelah Beatrice and Virgil yang absurd. buku ketiga Life of Pi sudah ada di rak, menjadi target berikutnya. Sepertinya memang genre Martel adalah filsafat yang merenung. Banyak tanya dan duka yang dipaparkan serta pencarian makna hidup. “Orang-orang tinggal sejenak, lalu satu per satu pergi, dan Anda diberi waktu untuk berduka, dan sesudahnya Anda diharapkan untuk kembali ke dunia, menjalani kehidupan lama Anda. Setelah pemakaman, pemakaman yang bagus, semua hal kehilangan makna dan kehidupan lama pun sirna. Kematian memakan kata-kata…”

Pegunungan Tinggi Portugal | by Yann Martel |Copyright 2016 | Diterjemahkan dari The High Mountain Portugal | GM 617186006 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Berliani M. Nugrahani | Editor Tanti Lesmana | Desain dan ilustrasi sampul Martin Dima | Cetakan pertama, 2017 | ISBN 978-602-03-4638-0 | 416 hlm; 20 cm | Skor: 4.5/5

Untuk Alice, dan untuk Theo, Lola, Felix, dan Jasper: kisah hidupkau

Karawang, 090520 – Norman Brown – Don’t You Stay

Matinya Seorang Penulis Besar – Mario Vargas Llosa

Hiburan saya adalah membaca, membaca buku-buku bagus, berlindung dalam dunia di mana hidup ini penuh gelora, intens, satu petualangan disusul lainnya, di mana saya bisa kembali merasa bebas dan bahagia. Dan itu ditulis diam-diam, bak seseorang yang menyerahkan diri pada kejahatan tak terkatakan, luapan hasrat terlarang. “Lima puluh tahun silam di Amerika, barangkali Edmund Wilsonlah melalui artikel-artikelnya id New Yorker atau The New Republic yang memutuskan gagal atau berhasil sebuah novel, esai dan puisi. Hari ini penentunya adalah acara TV Oprah Winfrey. Saya tidak bilang ini buruk, semata-mata demikianlah adanya sekarang.”

Sastra adalah pemberontakan permanen dan tidak bisa menerima jaket pengekang. Banyak cara untuk jatuh hati sama karya tulis, dari baca baca novel panjang penuh lika-liku, dari cerpen sederhana yang nge-twist, dari membaca pandangan hidup dan menuangkannnya dalam kumpulan esai. Untuk kali ini saya terpesona cara yang terkahir. Saya langsung jatuh cinta sama Mario Vargas Llosa berkat kumpulan esai ini. Dari ratusan karya tulisnya, saya belum membaca karya fiksi beliau satupun. Namun sudah jelas sangat kelihatan di sini bagaimana beliau berhasil membuka wawasan, mendobrak batas. Bagaimana efektif dan menakjubkannya pemikirannya, pandangan hidup, norma dan prinsip yang dijalani. Matinya Seorang Penulis Besar adalah kumpulan esai dari berbagai sumber. Sang penerjemah menyarikan yang terbaik terbaik, dan ini memang salah satu buku non fiksi terbaik yang pernah kubaca. Lha bagus semua euy, edun! Sebab Penulis, seperti anda ketahui adalah tukang recok abadi. Jos gandos. Menerbitkan buku yang mencoba memulihkan kebenaran yang telah diubah oleh fiksi.

Berisi 10 tulisan dari tahun 1960an sampai 2012, yang digores berdasarkan pengalamannya sendiri. Yang paling menyentuh saat beliau ke London dan menelusur jejak Penulis besar yang terasing di masa tuanya, kata-kata Marx bahwa “Penulis boleh menghasilkan uang untuk bisa hidup dan menulis tetapi tidak sedikitpun ia boleh hidup dan menulis untuk menghasilkan uang. Tidak sedikitpun penulis boleh menganggap karyanya sebagai harta. Baginya, karyanya adalah tujuan dalam dirinya sendiri.” Tulisan dalam Menjenguk Karl Marx (1966), Penulis Manifesto Komunis ini menghabiskan masa tua dalam kemiskinan. Ironis finansialnya sampai dibantu temannya Engels yang miris berujar, “Aku telah mengalami segala jenis permusuhan, tapi kini untuk pertama kalinya aku tahu apa arti kemalangan.”

Umumnya, Penulis Amerika Latin hidup dan menulis dalam lingkungan yang sungguh sulit, sebab masyarakat kita telah memapankan mekanisme membekukan yang hampir sempurna untuk menjegal dan mematikan panggilan hidup. Satu tulisan saat menerima penghargaan Nobel Sastra tahun 2010 di Stockholm juga dipilih dalamjudul Pujian Untuk Membaca dan Karya Fiksi (2010). Keren, menginspirasi untuk mengumpulkan semua pidato pemenang lain pas nerima penghargaan ini. Ayo dong, disusun dan diterbitkan, pasti laku. Lucu dan mengingat pengalamanku suatu malam saat menonton buku di toko buku di Lippo Cikarang yang kini sudah punah. Jadi saya pergi tanpa apa-apa, sesuatu yang jarang terjadi pada saya di toko buku. Sungguh kita akan punah, hanya masalah waktu. Peristiwa-peristiwa ini berlangsung tak lebih lama dari sekejap saat mereka disampaikan, lantas lenyap, tersapu dengan yang lainnya yang pada gilirannya juga akan dihabisi oleh yang lebih baru. Dan bagaimana imajinasi sejatinya memenuhi segala aspek kehidupan. Ibarat orang arif dalam salah satu fantasi indah Borgesian, berpura-pura menanamkan spekulatif dan impian-impian fiktif dalam kehidupan nyata.

Apakah novel ini benar atau bohong bagi sebagian orang sama pentingnya dengan apakah novel itu baik atau buruk, dan banyak pembaca – dengan sadar atau tidak sadar – menilai yang belakangan ini dari yang pertama tadi. Tulisan paling keren ada di bagian Benarnya Kebohongan (1989). Nyentil, unik, nyeleneh, bikin kzl tapi emang faktanya hampir semua buku yang berembel-embel based on true story itu dibumbui dramatisasi yang seringnya malah membuat lenceng cerita parah. Sebetulnya, novel memang berbohong, bahwa dengan berbohong, mereka menyatakan kebenaran ganjil yang hanya bisa diungkap dengan gaya sembunyi dan terselubung, tersamar sebagai sesuatu yang tidak seperti adanya. Pastinya selalu ada modifikasi, improvisasi sang Penulis sangat dibutuhkan. Orang tidak menulis novel untuk mengisahkan ulang kehidupan tetapi lebih untuk mengubahnya dengan menambahi sesuatu. Dengan cara yang kurang kasar dan kurang eksplisit, dan juga kurang sadar, semua novel membentuk ulang realitas.

Kehidupan fiksional adalah sebuah simulakra di mana ketidakteraturan yang memusingkan menjadi keteraturan: organisasi, sebab akibat, awal dan akhir. Sudah baca The Sound and The Fury? Novel karya William Faulkner itu tampak indah karena keberhasilan mencipta sebuah labirin di masa lalu, masa kini dan masa depan hidup berdampingan dan saling meniadakan. Kadang secara halus, kadang secara kasar, fiksi menghianati kehidupan, membungkusnya dalam jalinan kata-kata yang mereduksi skalanya dan membuatnya dapat digapai pembaca. Saya ingat membacanya di sebuah masjid di Depok, butuh lebih dari empat minggu, butuh konsentrasi berlebih karena memang kita ditenggelamkan dalam air sampai megap-megap. Fiksi bisa menjadi terlihat seperti kreasi serampangan, trik memperdaya pikiran yang sekenanya saja. Fiksi adalah pengganti sementara kehidupan. Kembali pada realitas selalu menjadi pemiskinan brutal. Manusia tidak puas dengan nasibnya dan nyaris semuanya – kaya atau miskin, cemerlang atau biasa-biasa aja, termasyur atau tidak – menginginkan hidup berbeda dari yang sedang mereka lakoni. Untuk meredakan – meski dengan cara yang menyimpang – rasa lapar tersebut, lahirlah karya fiksi.

Dalam Sastra Itu Api (1967), Mario Llosa bercerita proses panjang mencipta karya. Ingatkan mereka bahwa sastra itu api, yang berarti perbedaan pendapat dan pemberontakan, bahwa alasan keberadaan seorang Penulis adalah protes, konfrontasi serta kritik. Beliau berujar, “Venezuela telah membuat saya terbenam utang berlimpah ruah. Satu-satunya cara saya bisa membayar balik utang ini adalah dengan menjadi dalam batas-batas kekuatan saya, kian teguh dan kian setia pada panggilan untuk menulis ini, yang tak pernah saya sangka akan memberi kepuasan yang saya rasakan ini hari.” Nah, hasil yang baik selalu ada pemicu. Penting bagi tiap orang untuk memahami soal ini sekaligus: makin kritis tulisan-tulisan seorang Penulis menentang negeranya, makin intens gairah yang mengikat dia ke Negara tersebut. Sebab dalam ranah sastra, kekerasan adalah bukti cinta. Setuju sekali kan kalau kubilang Pram jadi hebat karena memang keterbatasan, kungkungan, pengasingan itu membuatnya melawan dan menulis jadi semacam perjuangan. Seperti kata Valle Inclan, “Keadaan adalah bukan seperti apa kita melihatnya, tetapi seperti apa kita mengingatnya.” Mencintai Negara tempat seseorang dilahirkan tidak bisa menjadi suatu kewajiban, tetapi seperti cinta lainnya haruslah sebuah laku spontan yang keluar dari hati seperti cinta yang menyatukan sepasang kekasih, orang tua dan anak serta teman-teman.

Sentilan paling ngena ada di Peradaban Tontonan (2012). Mungkin karena tulisan paling fresh, diketik tahun 2010an pasca menerima gelar tertinggi maka sungguh actual kata-katanya dengan era sekarang. Apa yang kita maksud terhadap perabadan tontonan? Yakni adalah dunia di mana tempat teratas dalam skala nilainya diisi oleh hiburan, di mana bersenang-senang, lari dari kesuntukan, menjadi hasrat universal. Relevan dengan dunia sosmed kita, bagaimana ada begitu banyak tunggangan untuk aktualisasi diri. Dan – maaf sebelumnya, bila ada yang tersinggung – agama dianut sebagai basa-basi sosial, sementara sebagian besar hidup mereka sesungguhnya tak terjamah agama.

Dalam ending tulisan ini sungguh mengeri karena menurut Llosa: media audiovisual, film, televisi, dan kini internet menyisihkan buku-buku, dan bila prediksi pesimisme George Streiner benar terjadi, maka dalam waktu dekat buku-buku akan terbuang ke katakombe. Rasanya tak rela, kalau koran, majalah dan sejenisnya yang mengejar harian berita bisa saja digerus tapi untuk buku-buku semoga tak dalam waktu dekat. Minimal please, generasi setelah Hermione. Internet kita tak sehat. Di bidang informasi tanpa disadari prioritaspun terjungkir balik: berita menjadi penting atau tidak penting bukan karena muatan ekonomi, politik, kultural atau sosial. Tetapi terutama dan kadang semata-mata karena ia baru, mengejutkan, menggemparkan dan spektakuler. Saya mencoba membatasi diri untuk dapat berita di internet, tapi sosmed pertemanan kan kita tak bisa menghalangi semua rekan untuk berbagi berita, malangya paling sebal kalau ada yang sher berita negative, lebih bikil kzl berita negative terkait politik. Alamak! Pertarungan Pemilu ini rasanya muak, dan ingin segera terlewati. Namun, baik si perempuan maupun tokoh-tokoh yang menyaksikan polahnya tidak tertawa karena bagi mereka tangis itu sendiri bentuk murninya bersinomin dengan kesedihan. Tak ada cara lain untuk bersedih kecuali menangis, “Meneteskan air mata yang hidup” kata sebuah novel, karena di dunia ini bentuklah yang penting, isi dari segala tindakan menginduk pada bentuk. Keremeh-temehan dunia, main-main, lagak, hiburan. Selain ‘benar-benar berteman’ dengan teman dan keluarga, saya (seolah) harus bentengi diri untuk berteman dengan komunitas film, para kutu buku dan tentu saja Laziale. #ForzaLazio Keberlebihan selalu lumrah, tak pernah menjadi perkecualian.

Sering dibilang bahwa istilah ‘intelektual’ baru lahir pada abad 19 di Prancis selama kasus Dreyfus dalam polemik yang ditimbulkan oleh artikel terkenal Emile Zola. “J’accuse”.

Tulisan paling standar mungkin di bagian Epitaf Untuk Sebuah Perpustakaan (1997) tentang petualangannya ‘jalan-jalan’ di London. Tak seperti bagian menjenguk sang filsuf, bagian ini lebih umum mengumbar pandangan, betapa ia bahagia ke sana. Kepindahan ini sebuah metamorphosis: selubung menyesakan dari kehidupan nyata kita tersibak dan kita meninggalkannya untuk jadi orang lain, menjalani perjalanan-perjalanan akrab yang dibikin seperti pengalaman kita sendiri di novel.

Sebagai Tulisan yang dinukil sebagai judul buku Matinya Penulis Besar (1994), bagaimana ia nyentil sampah karya. Dalam masyarakat macam ini bisa jadi buku-buku tetap ada, tetapi sastra mati sudah. Menurutku karya kurang mutu itu juga perlu ada kok, menjadi besar butuh proses dan menuju ke sana banyak kritik karya terbebaran, saya lebih suka menyebut buku yang mengecewakan sebagai sebutan ‘Bukan Selera Saya.’ Banalisasi yang dihasilkan oleh pusaran ini adalah tak ada buku yang permanen, semua lewat dan tak ada yang kembali sebab sastra kini hanya bermakna sebagai produk bagi konsumsi jangka pendek, hiburan sejenak atau sumber informasi yang kadaluwarsa secepat kemunculannya. Saya menganggap karya yang menurutku buruk, berarti memang buku itu dicipta bukan untukku dan mungkin untuk orang lain yang lebih pas, yang sesuai genre-nya. Seperti buku-buku Tere Liye, jelas itu sampah bagiku tapi nyatanya setiap tahun bukunya muncul di rak best seller! Merupakan hak prerogatif masyarakat terbuka. Dalam masyarakat ini keduanya hidup berdampingan, merdeka, dan berdaulat meskipun saling melengkapi dalam hasrat utopisnya untuk mengikutsertakan seluruh masyarakat. Berkat demokrasi dan pasar begitu banyak manusia bisa membaca dan mampu membeli buku, sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lampau ketika sastra adalah agama dan penulis adalah sesosok dewa kecil yang diberi penghormatan dan puja-puja oleh ‘minoritas kebanyakan.’ Lihatlah di rak-rak toko buku, remaja yang bahkan masih minta uang jajan sama orang tua kini bisa menulis cerita dewasa, era digital, globalisasi, internet mengubah banyak sekali hal dan kebiasaan. Jadi jarak Penulis dan Pembaca kini setipis gawai di tangan. Karena sesungguhnya seseorang yang berbakat dalam karya-cipta sastra dan sanggup menulis novel bagus atau sajak indah tidak serta-merta waskita secara umum. Maka genre KKPK misalkan, itu adalah sebuah hal positif untuk literasi kita. Ditulis oleh anak-anak dikonsumsi anak-anak, ibarat tabungan generasi yang saya yakini mereka-mereka nantinya menjadi penerus kutu buku berkualitas karena pengalaman hidup mutlak diperlukan. Hampir bagi setiap penulis, kenangan adalah titik mula fantasi, landasan yang meluncurkan imajinasi menuju fiksi dalam arah terbangnya yang tidak bisa terprediksi.

Kita kembali ke awal, esai pembuka buku ini adalah Nona Dari Somerset (1983) tentang kebaikan yang ditularkan, apa yang ditanam itulah yang dituai. Surat wasiatnya sesungguhnya adalah penghakiman tegas atas dunia menjijikan tempatnya dilahirkan, yang ia upayakan dengan keras untuk tidak ia hidupi. Walau materi tetaplah perlu, sejatinya semua akan digerus waktu. Sebagai anak-anak saya punya mimpi suatu hari ke Paris karena silau oleh sastra Prancis, saya yakin bahwa tinggal di sana dan menghirup udara yang dihirup oleh Balzac, Stendhal, Baudelaire dan Proust akan turut mengubah saya menjadi Penulis sungguhan. Atas alasan itulah sastra adalah ranah sempurna bagi ambiguitas.

Semakin dekat satu sama yang lain, makin benarlah ia; semakin jauh, semakin menipu. Menyebut sejarah Revolusi Prancis karya Michelet atau sejarah penaklukan Peru karya Prescott itu ‘novelistik’ berarti menghina mereka, mencibir mereka kurang serius. Atau malah justru karena itulah, sastra mengisahkan ulang sejarah yang tidak bisa atau tidak sanggup ditulis oleh sejarah tulisan sejarawan.

Mereka mengomunikasikan pada kita kebenaran-kebenaran yang numpang lewat dan mudah menguap yang selalu luput dari deskripsi saintifik atau realitas. Manakala kita membuka sebuah buku fiksi, kita setel diri kita untuk menjadi saksi representasi, di mana kita tahu betul bahwa air mata atau kuap kantuk kita tergantung sepenuhnya pada baik buruknya guna-guna yang dimantrakan snag narator pada kita agar menghayati kebohongannya sebagai kenyataan. Dalam masyarakat tertutup, cepat atau lambat masa lalu akan menjadi subjek manipulasi dengan sebuah pandangan untuk membenarkan masa kini.

Tokoh-tokoh protagonis yang timbul tenggelam tanpa jejak tergantung apakah mereka sedang dijunjung atau dienyahkan oleh kekuasaan yang ada.
Membaca mengubah mimpi menjadi hidup dan hidup menjadi mimpi dan menempatkan semesta sastra dalam jangkauan anak kecil seperti saya dulu. Untungnya ada para maestro untuk dipelajari dan teladan-teladan untuk diikuti. Flaubert mengajari saya bahwa bakat adalah disiplin yang ulet dan kesabaran panjang. Faulkner bahwa bentuk – penulisan dan struktur – mangangkat atau memiskinkan tema. Martorell, Cervantes, Dickens, Balzac, Tolstoy, Conrad, Thomas Mann bahwa besaran dan ambisi sama pentingnya dalam sebuah novel sebagaimana ketangkasan stilistik dan strategi narasi. Sartre bahwa kata-kata adalah aksi bahwa novel, drama atau esai yang bergulat dengan aktualitas dan pilihan-pilihan yang baik bisa mengubah jalan sejarah. Orwell dan Camus bahwa sastra yang dilucuti dari moralitas itu tidak manusiawi. Dan Malraux bahwa horeisme dan tindakan epic masih mungkin pada zaman ini sebagaimana zaman Argonaut, Odisea dan Illiad.

Llosa di bagian akhir bilang bahwa “Keraguan ini tak pernah mematahkan panggilan saya dan saya pun terus menulis, bahkan ketika masa-masa mencari nafkah menyita sebagian besar waktu saya. Saya yakin akan apa yang saya lakukan ini benar karena agar sastra bisa berkembang sebuah masyarakat pertama-tama perlu untuk mencapai kebudayaan tinggi. Ibarat menulis, membaca adalah protes terhadap tidak memadai hidup.

Kita mengarang fiksi agar bisa menjalani banyak hidup yang ingin kita lakoni padahal kita sendiri Cuma punya satu kehidupan yang tersedia. Llosa yang menjelajah menjadi warga dunia dan berujar saya tak merasa menjadi orang asing di Eropa, atau sejujurnya di manapun. Di semua tempat yang peranh kutinggali, saya merasa betah. Kediktatoran menghasilkan kedurjanaan absolut untuk sebuah negeri, sumber brutalitas dan korupsi serta luka-luka mendalam yang butuh waktu lama untuk menutup, meracuni masa depan bangsa, dan membentuk kebiasaan dan praktik-praktik mudarat yang bertahan selama sekian keturunan dan menghalangi rekonstruksi demokratis. “Yang memalukan kehidupan di zaman kita bukanlah serangan terhadap nilai-nilai moral, melainkan terhadap prinsip realitas.

Untuk kesekian kalinya saya baca terjemahan Bung Ronny Agustinus, hebat sekali penerjemah yang satu ini. Bukunya tersebar di mana-mana, dari berbagai penerbit. Salut! Kualitas OK, mudah dipahami, sangat nyaman dibaca, serta mengalir mengikuti genre setiap Penulis aslinya. Mantab soul! Bung Ronny seolah hanya penyaluran ke penerbit. Tanpa penerbit, tanpa pembaca tanpa budaya yang merangsang, menuntutnya, Penulis Amerika Latin adalah orang yang berangkat perang dengan tahu sejak awal bahwa dia akan kalah. Amerika Latin tiga puluh tahun lalu, mirip dengan Indonesia saat ini. Budaya baca masyarakat kita masih rendah.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip ini, “Budaya-budaya religius menghasilkan puisi dan teater, tetapi jarang-jarang sebuah novel besar. Karya fiksi adalah seni suatu masyarakat yang imannya sedang menghadapi krisis tertentu, di mana orang percaya pada sesuatu, di mana visi yang satu, absolut dan terpercaya digantikan visi yang retak serta ketidakpastian tentang dunia yang ditinggali seseorang beserta akhiratnya.” Jadi sekarang kita bisa tempelkan sebuah pengumuman di setiap atap tv masyarakat, ‘Dicari JK Rowling-nya Indonesia!’

Matinya Seorang Penulis Besar |oleh Mario Vargas Llosa | Diterjemahkan (terpilih) dari empat buku Contra Viento y Marea, La Verdad de la Mentiras, El Lenguaje de la Pasion, dan La Civilizacion del Espectaculo + Pidato penerimaan Nobel Sastra | Penerjemah Ronny Agustinus | Penyunting Adhe | Tata Letak Wediantoro | Penyelaras akhir Ipank Pamungkas | Desain sampul Sukutangan | Cetakan Kesatu, 2018 | ISBN 978-602-6657-94-7 | x + 142 Hlm; 13 x 19 cm | Penerbit Immotal Publising dan Octopus | ig @shiramedia | Skor: 5/5

Karawang, 2510 – 171218 – Sherina Munaf – Menikmati Hari

Kisah Dalam Satu Jam

Dunia yang palsu, mengapa pendanganmu menyilaukan kami.”

Kumpulan cerpen Penulis dunia. Nama-namanya sudah mendunia, sebagian besar sudah akrab di telinga. Pas memutuskan beli ya karena karya mereka adalah jaminan kualitas. Jarang saya beli kumpulan cerpen dengan sistem keroyokan gini, iseng ambil pas di Zona Kalap IIBF 2018.

#1. Kerangka – Rabindranth Tagore
Kisah pembuka yang luar biasa. Kisah sederhana di tangan Tagore menjadi wow. Tentang balas dendam, tentang cinta yang tak sampai. Ditulis dengan halus, tanpa menggebukan amarah arti kesumat itu sendiri. Ada ruang berisi kerangka, dengan sudut orang ketika kita disajikan cerita berlapis bagaimana kisah tragis menjadi dahsyat. “Apakah kau masih di sini?

#2. Kasus Pembunuhan – Graham Greene
Pembunuhan ganjil dengan sebutan ‘Kasus Peckham’. Di dini hari yang remang pembunuhan terjadi. Menghadirkan beberapa saksi salah satunya Nyonya Salmon yang melihat jelas dari sibak tirai jendela. Begitu sidang pengadilan telah berjalan dan niscaya Anda pun akan berpendapat pastilah si penjahat, Adams akan dihukum gantung. Namun sebuah bukti lain mengejutkan sehingga segala yang tampak yakin menjadi kabur. Kisah dengan cerdas melontarkan pilihan ketiga, dan ending yang mengerikan. “Anda lihat orang itu sekarang ada di sini.”

#3. Perkampungan Indian – Ernest Hemingway
Orang Indian akan menyukai sesuatu jika diberi kesempatan. Tentang persalinan di seberang dermaga. Nick dan ayahnya dijemput orang Indian untuk membantu kelahiran, pasangan sang ibu hamil kemarin sakit parah sehingga saat persalinan berlangsung ia mendekam dalam kamar dengan erangan sakit tiada tara. Lebih nyaring dank eras ketimbang proses persalinan itu sendiri. Akhirnya sendiri menyedihkan. Ironi bagaimana sang Penulis akhirnya malah berakhir dengan bunuh diri. “Apakah banyak manusia yang bunuh diri?

#4. Burung Bulbul – Marxim Gorky
Cerita keempat tetap luar biasa, bagaimana siulan burung bulbul menjadi penanda. Bagaimana orang dengan teknik khusus bisa mencipta siulan burung bulbul. Trik dan segala keahlian itu mengecoh para penumpang kapal. Kesedihan merambat di atas sungai yang tampak lesu. “Ketika saya sudah mahir meniru kicau burung, orang-orang desa mengatakan kepada saya. Teruskan bersiul, Misha…” Kita telah mendengar kicau burung bulbul, burung yang menjadi mahsyur karena penyair, bukan karena anak desa penjiplak tadi. Ternyata mengetahui kenyataan tak lebih indah dari ilusi.

#5. Kisah Dalam Satu Jam – Kate Chopin
Bagaimana dengan kita, akankah kita ke surga nanti?” Sebagai cerita yang diambil sebagai judul utama, kisah ini benar-benar keren. Tragis, unik dan sungguh diluar duga. Nyonya Mallard yang mengidap penyakit jantung diberi tahu dengan tenang oleh Josephine, adiknya bahwa Brently Mallard sang suami ada dalam daftar orang ‘meninggal’ dalam musibah. Mereka mengatakan mencoba sehalus mungkin. Sedih, dan mencoba menyangkalnya Nyonya Mallard menyendiri dalam kamar. Ia muda dan cantik, kesedihan ini tak bisa dibiarkan berlarut, sampai akhirnya kisah menemui titik kejut yang dahsyat. “Bebas, bebas, bebas.”

#6. Rumah Di Jalan Buntu – Mahesh Bhargava
Empat Sekawan: Biman Guha, Paritosh Sen, Mayank Cahtterji dan Surajit Gangguly selalu tampak bersama di kampus sebagai para penikmat seni, sastra dan cerita petualangan. Keempatnya melakukan perjalanan ke Calcuta, mereka harus istirahat bermalam di sebuah rumah di jalan buntu. Dan sesuatu yang tak terduga terjadi. “Jika sungai Gangga melimpah airnya, orang-orang miskin yang tinggal di sepanjang tepi-tepinya akan kehilangan barang-barang dan tempat tinggalnya.”

#7. Sumur Thakur – Prem Chand
Cerita klasik dari Banaras. Gangi yang membutuhkan air bersih untuk minum Jokhoo yang lemah, hanya tersedia air lumpur. Ada sebuah sumur di keluarga kaya tuan Thakur. Kebimbangan, kenekadan, atau sebuah tindakan buruk dalam menentukan pilihan? Malam itu Gangi melakukan sesuatu yang sungguh liar. “Kami hanya berpikir lebih baik bekerja keras dan mandiri.”

#8. Glushenko Dan Bunga Aster – Hellen Melpomene Brown
Tentang dialog-dialog panjang di meja makan. Para bangsawan Ukraina, Prancis dan beberapa utusan menikmati malam dengan santai sampai akhirnya bunga aster yang dimaksud butuh ‘pertolongan’. “Pernahkah kau membaca kisah Star Rover karya Jack London? Pengalaman-pengalamannya di penjara.” Mereka selalu bilang jangan habiskan untuk pesta pernikahan atau jangan habiskan uang untuk pemakaman. Walau begitu, ayahku bukanlah seorang ahli kayu, melainkan seorang ahli sihir.

#9. Pendosa – Sherman Alexie
Tentang mimpi buruk Jonah akan perang. Kepanikan melanda, sebagian menyangkal, sebagian peduli dan bersiap. Ini kisah anekdot sebelum perang saudara pecah di Amerika, dan seperti yang sudah kita ketahui, pertempuran akhirnya terjadi, mimpi Jonah benar. “Ibu, akan terjadi perang.” Kami memasuki cahaya terang, aku memasuki cahaya terang.

#10. Bayi Dalam Bak Sampah – Donne Bartholomew
Cerpen dari Singapura dengan judul asli, ‘The Baby in the Rubish Bin’. Seorang anak yang selalu menghindari bak sampah saat pulang karena sebal ada Froggy, kodok berisik. Namun suatu hari ia menemukan bayi dalam bak sampah, dan esoknya koran-koran memberitakan penyelamatan itu. “Seorang pahlawan.

#11. Kain Kafan – Prem Chard
Pasangan miskin yang aneh, Madhava dan Budhiya. Budhiya sakit keras. Lalu Gheeso sang pengerajin kulit, memberi saran pada sobatnya agar menengok istrinya. Madhava yang juga aneh keberatan. Mereka melarat dan sungguh menderita. Bahkan saat Budhiya esoknya meninggal mereka ga kuat beli kain kafan. Sumbangan datang, terkumpul dan mereka pun mencoba mencari kain ke pasar. Sungguh mengejutkan uang receh itu malah habis buat mabuk. “Kita bilang saja uangnya jatuh dari sarung yang kita pakai. Mereka tak akan percaya, tapi mereka akan memberi kita uang lagi.” Duh, berengsek!

#12. Selembut Tangan Ibuku – Robert Fontaine
Suami istri tua yang masih saja terkejut akan tingkah pasangannya. Hidup memang untuk dinikmati, tetapi apa yang kita impikan lagi jika sudah berumur 80 tahun dan sudah menikah lebih dari 50 tahun. Bukankah semua jalan sudah dilewati, semua laut sudah diseberangi? Sang aku, sang anak menjadi pencerita bagaimana kedua orang tuanya dengan tingkah aneh melewati malam. Ayahnya pergi dan tak kembali, kekhawatiran melanda, dan pencarian terjadi. Esoknya saat ayah mereka pulang, dengan santai menjawab. “Aku pergi ke bioskop.” Oh. Dan fakta-fakta kasih sayang yang abadi tersaji. Saat dia menggenggam kedua jari tangannya dalam berdoa atau menepuk tangannya, jarak antara bumi dan bulan bisa berubah.

#13. Harta Terpendam – Alberto Moravia
Kisah tak lazim bahwa dari obrolan di rumah makan sebuah penginapan memicu kriminal. Si tua Marinese melontarkan sebuah kabar bahwa ia memiliki emas yang terpendam di pekarangan. “Suatu hari kelak saat tua renta dan tak mampu bekerja, aku akan menggalinya.” Maka sang aku, pelayan dan Remigio merencana merampok, meminta paksa petunjuk tempat penyimpanan emas. Dengan berbekal sekop, linggis dan sepucuk pistol malam itu kejahatan tercipta. “Dan apa yang kau lakukan dengan pistolmu?”

#14. Gadis Pintar – Margaret Bonham
Ia ingin menarik perhatianmu, dan kamu memberinya perhatian.” Penutup yang bagus. Kisah tentang penulis yang mengirim naskah ceritanya ke media. Koran The English Review dipimpin oleh lelaki bernama Stendel, dibantu sekretaris laki-laki Mark Pellini. Suatu hari seorang tukang pos mengantar sebuah kiriman naskah cerita bagus sekali, benar-benar narasinya hebat sampai-sampai apa yang dikisahkan tampak nyata. Sang pengirim gadis introvert yang freak. Cerpen berikutnya ‘Ruang Tunggu’ sama hebatnya, sampai-sampai Stendel terbawa cekam saat naik kereta dan di ruang tunggu seolah muncul karakter cerpen, mengancamnya. Penutupnya nge-twist bagaimana cerpen sang gadis berkisah pembunuhan oleh sopir taksi, siapa korbannya, kalian akan begidik. “Aku tidak bohong Mark! Karangan Nona Anna itu benar-benar terjadi pada diriku.”

Harbolnas, menikmati Mizan Store

Ditemukan banyak typo, editing yang buruk, layout berantakan. Entah bagaimana semua itu diloloskan untuk dicetak, dan betapa menyedihkan untuk dijual! Sebuah penerbit kecil, penerbit indi sekalipun hal-hal dasar harus tetap diperhatikan. Proof reader, cek and ricek, sumber yang valid dst. Bahkan setiap profil Penulis seharusnya ada foto, ada yang kelewat kosong. Seolah editingnya memang tak tuntas, atau malah mencari foto Penulis ga ketemu? Di era digital gini? Alamak!

Sayang sekali, tulisan sebagus ini dibawakan dengan ala kadarnya. Ibarat makan udang rebus kualitas restoran bintang lima disajikan dalam semangkuk plastik berdebu. Sulit untuk cetak ulang bila sajiannya penuh minor gini. Namun saya percaya, 30, 40, atau 50 tahun lagi buku terbitan kecil gini akan langka dan menjadi cult. Dan saya berpendapat Kisah Dalam Satu Jam bakalan menjelma cult, cocok untuk kolektor!

Kami akan melaksanakan apa yang menjadi tugas kami, dan kami akan melaksanakan tugas dengan cepat dan tanpa menimbulkan rasa sakit.”

Kisah Dalam Satu Jam | Kumpulan Cerpen Penulis Dunia, diterjemahkan dari berbagai sumber | Cetakan I, Februari 2015 | Diterbitkan oleh Penerbit Literati | Penerjemah dan Editor Edi Warsidi | Lay out Rozal Rabas | Desainer sampul M. Shodiq N. | 242 hlm.; 13 x 19 cm. | ISBN 978-602-8740-41-8 | Skor: 4/5

Karawang, 121218 – Nikita Willy – Ku Akan Menanti

Drogba Pulang, Chelsea ke 8 Besar Liga Champions

Gambar

(sahabar lama bertemu lagi)

Untuk pertama kalinya Didier Drogba kembali berkunjung ke Stamford Bridge sebagai lawan. 8 tahun membela Chelsea, akhirnya pagi dini hari tadi Drogba yang sekarang memakai seragam Galatasaray melawan rekan-rekannya. Pada pertandingan sebelumnya di Turki Chelsea berhasil menahan tuan rumah 1-1. Drogba tampil relative bagus sepanjang laga. Dan saat dia pulang ke Londong, sambutan fan The Blues begitu meriah. Salah satu banner yang paling disorot adalah gambar Drogba dengan tulisan: always in our hearts.

Pertandingan berlangsung seru, Chelsea unggul cepat seperti harapan saat laga baru berjalan 4 menit. Melalui skema serangan balik cepat Eto’o mengantar Chelsea unggul 1-0. Kemudian jual beli serangan terjadi. Fokus kepada sang legenda Drogba.

The Blues berhasil menggandakan keunggulan menjadi 2-0, 3 menit seblum rehat melalui Cahil. Melalui sepak pojok, Terry berhasil menyundul bola ke gawang. Sempat di blok oleh Muslera, Cahil yang berdiri bebas melesakkannya dengan keras. Babak pertama Chelsea unggul agg. 3-1, situasi yang sangat nyaman.

Babak kedua relative tenang, tuan rumah begitu dominan. Nyaris tanpa peluang berbahaya, karena setiap pemain Chelsea mereka mencoba menahan bola lebih lama, bahkan saat serangan balik pun bola tidak dengan segera dieksekusi. Di menit ke 67’ terjadi duel, Drogba mendapatkan kartu kuning. Terlihat begitu santainya dia, bahkan sering tersenyum walau dilanggar. Tak ada gol lagi tercipta, sehingga skor 2-0 ini sudah cukup untuk mengantar Chelsea ke babak 8 besar.

Terima kasih Drogba. Di mana pun Anda berada, Anda selalu di hati kami.

Gambar

(aksi yang seru)

Gambar

(banner yang istimewa)

Karawang, 190413

Rencana Besar!

Gambar

Dulu sewaktu saya masih kelas dua SMK, saya mengira bahwa seseorang yang berusia 30 tahun itu sudah di usia matang. Mempunyai rumah lengkap dengan perabotnya, dengan pekerjaan mapan dan setiap pagi sebelum berangkat kerja mendapat kecup semangat dari sang istri dan sorenya pulang dengan disambut senyum ceria seorang anak. Saya mengira usia segitu tentunya sudah dewasa dengan berpakaian rapi memakai dasi dalam aktivitas keseharian. Mengikuti meeting dengan orang-orang penting dan merumuskan sebuah keputusan yang akan menentukan masa depan orang banyak. Wara-wiri dari satu Perusahaan ke Perusahaan lain dengan dering telpon yang setiap saat menggangu. Dan di tiap akhir pekan menjalani liburan ke tempat romantis dengan keluarga menggunakan berkendara mobil pribadi.

Boom! Saya (hampir) tak mempunyai semuanya saat ini.

Bulan lalu saya ulang tahun ke 30 tahun. Usia kepala tiga yang pernah saya bayangkan saat masih Sekolah ternyata meleset semua. Ketika bangun tidur, pikiran saya masih sama. Saya segera buat minuman setelah ibadah, lalu menonton kartun di tv. Spongebob tetap menjadi acara favorite, bahkan itu kartun diputar ulang setiap pagi-pun saya tetap berminat (serta sore hari tentunya). Saya masih suka main play station, punya PVP yang berisi Mario Bross atau Battle City yang beberapa tahun lalu saya gemari. Di tempat kerja pun saya masih sesantai  di sekolah. Pressure kerjaan tak kuanggap sebagai sebuah beban. Saya nikmati dan malah berbalik menjadi candu. Ketika berangkat dan pulang kerja-pun saya pasang musik mp3 di telinga dan membaca majalah film terbaru atau novel berdebu di mobil jemputan, dalam perjalanan saya sesekali berdendang layaknya sebuah perjalanan libur. Well, pada dasarnya tak banyak perubahan. Pikiran saya masih sebingung anak SMK kelas dua.

Dari pemikiran hijau itu maka saya susun sebuah rencana besar dalam hidup. Seperti layaknya peternak menggiring bebek-nya untuk berbaris di pematang sawah, maka saya pun menyusun apa saya yang harus saya capai di usia-usia tertentu. Bebek pertama, di usia 22 tahun saya harus punya motor sebagai sarana mobilitas ke mana-mana. Setahun sebelum menginjak usia itu saya sudah beli, cash! Bebek kedua, lulus kuliah tepat waktu. Bisa di check list, lancar jaya walau IPK nya memprihatinkan yang saya harap hanya bisa pakai toga. Yang terpenting bisa membuat orang tua tersenyum bahwa saya bisa kuliah dengan uang sendiri, dan lulus. Bebek berikutnya saya pengen punya usaha mandiri sebelum usia 26 tahun. Ini yang repot. Oke, karena bebek sudah kupegang, walau berontak maka saya paksakan buka usaha toko listrik dan usaha ternak ayam. Hell yeah, kalau belum siap memang alangkah bagusnya tak dipaksakan. Belum setengah tahun jalan semuanya runtuh. Sewa ruko yang mahal, panjaga toko yang kena tipu sampai manajemen keuangan yang buruk. Merugi dan dipaksa gulung tikar. Ternak ayam. Ini usaha keluarga, saya hanya melanjutkan. Saya lepas semua yang saya tata di perantauan dan memutuskan pulang kampung. Timing-nya tak tepat. Saat itu flu burung yang saya kira sudah reda ternyata menghantam saya. Banyak ayam dan bebek saya limbung. Saya juga limbung. Saya seperti merusak sendiri barisan bebek yang sudah atur. Di akhir tahun 2009 saya benar-benar bangkrut.

Salah satu jalan pintas untuk mendapatkan uang adalah mencari kerja. Dengan bekerja sebagai karyawan maka kamu akan otomatis mendapat uang setiap bulan. Tak peduli bagaimana bagus atau buruknya performa kamu, selama kamu datang di jam kerja maka kamu akan digaji. Jadi saya dengan terpaksa kembali ke kota Cikarang dengan posisi uang minus (pinjam kakak saya). Saya kembali menebar lamaran baik via e-mail ataupun surat pos. Dan setelah tiga bulan kebebasan saya sudah berseragam kerja menjadi leader produksi. Dari sini saya ingin melanjutkan S1, sehingga gaji saya ketatkan dalam pemakaian. Hufh, untuk sementara ada pemasukan dan tantangan menata bebek berlanjut.

Bebek saya yang berikutnya adalah saya ingin menikah di usia 27 tahun, itu artinya tahun 2010 harusnya sudah berkeluarga. Yang ini meleset. Ketika bulan menginjak angka sembilan saya kembali me-review teman-teman wanita yang pernah dekat. Sampai akhirnya di pengujung tahun saya tak menemukan wanita yang siap berjuang bersama. Di bulan Januari 2011 saya memaksa diri harus menikah tahun ini, tahun 2011. Jadi review para calon kembali saya gulirkan. Ada empat wanita yang saya bidik, salah satunya kelak jadi pendamping saya.

Wanita pertama adalah teman kuliah yang kini bekerja di sebuah rumah sakit. Saya mendatanginya saat jam kerja. Setelah dipersilakan duduk dan diberi minum, saya langusng mengutarkan niat gila itu. Dia hanya tersenyum. Jawabnya ketika itu, “Peluang kita bersama 50%. Saya masih ingin berkarir, datangi saya ketika kamu sudah lulus S1”. Waktu itu, S1 saya belum kelar. Beberapa sks akan saya ambil lagi karena ada nilai ‘D’ nya. Jadi bisa saya pastikan tahun 2011 ga akan selesai. Jadi saya coret. Saya hanya minta kesediaanya tanpa syarat apapun.

Wanita kedua adalah temannya teman kuliah yang dulu sering ikut ngumpul saat ada tugas yang dikerjakan bersama. Saat itu ada seminar launching buku baru Fira Basuki di Jakarta. Saya ajak ketemuan sekalian ajak dia mengikuti acara tersebut. Selesai acara saya utarkan niat gila itu. Sama, dia hanya tersenyum. Jawabnya lebih menusuk, “Sudah karyawan tetap? Nanti bisa kasih makan anak orang? Tinggal di mana?”. Sekali lagi saya tak mau syarat apapun. Segalanya dipikir nanti, yang terpenting siap berjaung bersama dan harus tahun ini menikah. Waktu tak bisa dibeli dengan apapun. “Temui saya ketika sudah mapan”. Coret!

Wanita ketiga adalah teman lama yang lost contact sejak tahun 2006. Ketika pertama menghubunginya via telpon saya langsung to the point seperti yang lain, awalnya saya dianggap gila karena sudah lama tak bertemu tahu-tahu menodong senapan rumah tangga. Lalu kita sepakat bertemu, saya main ke rumahnya (setelah sekian lama masih ingat ternyata). Saya paparkan salah satu rencana besar saya. Bahkan saya mengaku pengangguran dengan posisi masih lanjut kuliah S1. Saya ingin menguji kelayakannya. Boom! Dia bersedia. Ternyata dia juga masih kuliah dan bekerja. Dia juga mengajak berjuang bersama dan yang terpenting dia kasih jawaban 100% siap. Dia ga peduli saya nantinya mau kerja sebagai apa, dan sama-sama berprinsip bahwa semua masalah nantinya pasti ada solusi. Singkat cerita di tanggal 11-11-11 akhirnya kita menikah, itu berarti bulan depan kita anniversary kedua. Tak terasa. Secara otomatis kandidat keempat saya coret.

Menikah adalah tanggung jawab besar yang akan banyak mengubah pemikiran manusia. Pasca menikah saya yang bekerja di Cikarang bolak-balik Karawang. Terpaksa saya memulai baru lagi dengan mencari kerja di Karawang. Saya tak mau jauh dari keluarga. Keluarga adalah yang paling utama. Tak lama saya dapat dan sampai sekarang masih kujalani. Hidup memang tak bisa ditebak. Padahal dulu saya ingin pulang kampung dan menetap di sana. Padahal dulu saya ingin usaha dan mandiri, bukan sebagai orang gajian. Dulu saya maunya punya tempat tinggal tanpa kredit ke bank yang mencekik. Dulu saya ingin sekali menjelalah nusantara yang luas ini. Dulu, dulu, dulu…

Jadi quote ini ada benarnya:

“Manusia ingin percaya bahwa mereka hidup dan bertindak berdasarkan kemauan

mereka sendiri, namun pada kenyataannya mereka hanya dipaksa oleh keadaan.”

– Eiji Yoshikawa –

Oke kita dipaksa keadaan, setidaknya kita harus kembali kepada kenyataan. Kembali mengatur bebek-bebek untuk berbaris lagi. Dan mau tahu bebek berikutnya? Hhhhmmm…, bebek berikutnya adalah saya harus bisa menerbitkan novel sebelum akhir tahun 2014 atau di usia 31 tahun, impian itu harus terwujud. Itu artinya waktu yang tersisa sekitar satu tahun dua bulan. Kumohon kepada bebek saya yang satu ini, please tetaplah pada barisan. Dan sejauh saya memandang ke depan, pematang sawahnya masih lurus sampai di ujung. Semoga, saatnya kembali membuka file lama sobat!

Karawang, 111013