Mourinho Butuh Gerakan Perubahan

Sejujurnya saya tak terkejut atas start buruk Chelsea musim 2015/2016. Empat laga empat poin dengan permainan yang tidak mencerminkan sebuah tim juara bertahan. Laga ke 100 Mourinho di Stanform Bridge di English Premiere League (EPL) semalam ternoda oleh hentakan menawan Palace lewat skor 1-2. Alan Pardew membuktikan bahwa memetakan posisi pemain dalam permainan lebih penting ketimbang penguasaan bola. Kekalahan ini membuat rekor kandang Mou jadi 2 kali setelah April tahun lalu di tempat yang sama Sunderland menang.
Setelah 45 menit pertama yang tak enak dipandang, kecuali double save McCarthy atas shoot Pedro dan Cecs, awal babak kedua sudah memberi sinyal buruk buat tuan rumah. Tak perlu penguasaan bola sia-sia untuk membuat Palace memimpin. Setiap serangan gagal the Blues, bola langsung bergulir cepat ke depan. Seolah-olah ada feeling yang kuat antar pemain, 11 personil seperti ada di mana-mana, setiap pemain Chelsea langsung di-cover pergerakannya. Gol itu lahir lewat serangan balik nan jitu, umpan matang tepat di depan gawang Courtois yang gagal disapu Cahill membuat Sako leluasa menceploskan bola. Mou merespon dengan memasukkan Falcao dan langsung memberi andil menit 79 lewat sundulan gol setelah menerima umpan dari kiri. Gol yang mencerahkan setelah 7 bulan hampa. Gol yang sempat memberi asa kebangkitan, karena semenit kemudian Chelsea mendapat peluang perak. Namun dari peluang perak yang gagal itulah Palace kembali unggul. Lagi-lagi serangan balik cepat, melalui lima sentuhan yang indah. Gol kemenangan yang disusun dengan penempatan pemain yang tepat. Dari sisi kiri, umpan lambung itu ditanduk Sako ke tengah gawang yang diteruskan dengan sekali sentuh Ward. Gerakan cepat itu membuat bek Chelsea seakan baru sadar bahwa bola sudah merobek jala mereka. Skor 1-2 memberi siksaan Trueblue di 10 menit akhir. Kekalahan kedua sebelum September tiba adalah langkah jeblok untuk bersaing mempertahankan gelar. Sebagai pembanding, pesaing utama city mengkonversi empat laga dengan poin sempurna.
Ingat musim lalu, City gagal mempertahankan piala EPL di lemari mereka gara-gara tak melakukan banyak perubahan skuat setelah juara. Lebih jauh di era 90an, Blackburn Rover memalukan musim berikutnya pasca juara gara-gara tak melakan gerakan perubahan. Di era digital di mana informasi dengan mudahnya didapat, formula juara dengan cepat ditemukan formula anti-nya. Tak seperti Catenacio yang bertahan lama di Italia era 90an, tiki-taka dipatahkan Mourinho hanya semusim setelah bergabung dengan Madrid. Formula anti yang lalu banyak ditiru banyak tim itu memaksa Barcelona melakukan perubahan di era Luis Enrique. Ironisnya Chelsea yang kini ditukangi penemu sang-master-formula-anti itu justru jadi pesakitan.  Laga-laga pra-musim sudah memberitahunya, namun hanya keegoisan Mou-lah komposisi itu bertahan. Setelah mendapatkan Begovic, belanja Chelsea sudah selesai. Hasilnya? Gugup dengan Swans, amburadul oleh City, nyaris dipermalukan West Brom (walau akhirnya dapat kemenagan) dan yang terbaru dipecundai Palace. Pasca di-luluhlantak-kan City mereka mendatangkan Pedro untuk mengisi pos penyerang setelah lobi panjang MU yang gagal. Tindakan tepat. Lalu melepas Cuad dengan mengambil Kenedy. Langkah pas. Apalagi semalam Kenedy tampil prima. Dua transfer bagus itu tinggal dilanjutkan di posisi bek tengah. Entah siapa yang bakal didatangkan Mou di periode panic buy ini, Chelsea butuh pemain besar untuk membantu Terry. Stones? Bisa jadi pilihan tepat, namun the Blues butuh kepastian setelah negosiasi panjang nan berbelit. Patut ditunggu siapa bakal datang jelang penutupan pintu transfer yang tinggal dua hari ini. Saatnya Abramovic merogoh kantong lebih dalam.

Chelsea 1-2 Palace

Chelsea (4-2-3-1): Courtois; Ivanovic, Cahill, Zouma, Azpilicueta (Kenedy 68′); Matic (Loftus-Cheek 73′), Fabregas; Pedro, Willian (Falcao 66′), Hazard; Diego Costa.

Crystal Palace (4-2-3-1): McCarthy; Ward, Dann, Delaney, Souare; McArthur, Cabaye (Ledley 82′); Zaha (Bolasie 55′), Puncheon, Sako (Chung-yong 84′); Wickham
Karawang, 300815

Pamer Gaya Dua Kiper

Sebuah umpan silang di depan gawang Arsenal, disambut dengan sontekan tipis Benteke. Sebuah peluang yang kata komentator lebai, “ahai… peluang emas 99% gol” itu dibarengi dengan lonjakan kegembiraan sang arsitek Liverpool, Brendan Rodgers. Separo isi Emirate bergemuruh, namun tunggu dulu. Di depan Cech, bola sepak itu seakan kucing jinak sehingga berhasil dihalau. Sungguh sebuah penyelamatan gilang-gemilang. Bukan hanya sekali, eks kiper Chelsea itu jungkir balik pamer gaya di depan pendukungnya belasan kali. Babak pertama memang Arsenal mendominasi tapi total attempt mutlak milik Liverpool. Entah kenapa barisan belakang Arsenal macam orang linglung, yang untungnya di bawah mistar bukan Szczesny lagi. Cech mengubah papan skor yang seharusnya 1-4 menjadi 0-0. Yak, saya bilang 1 karena sebenarnya bola sempat menggetarkan jala Mignolet namun gol Ramsey dianulir.

Babak kedua dimulai, Arsenal lebih ofensif dengan mendorong Ozil lebih ke depan. Strategi bagus itu membuahkan peluang lebih banyak ketimbang interval pertama. Sewajarnya saya bilang, “Babak pertama Cech dibombardir tapi gol masih 0. Babak kedua giliran Mignolet, gol tinggal tunggu waktu.” Namun baru beberapa menit berjalan, Simon seakan menertawakan pikiran saya, dia melakukan penyelamat super! Bola kotak-katik di dalam kotak pinalti sampai akhirnya jadi bola liar di depan gawang, Giroud yang melihat situasi memungkinkan membuat Arsenal memimpin, segera saja menjatuhkan diri guna menyonteknya, sepakan tipis itu berhasil mendorong si kulit bundar menuju sasaran, saya sudah tepuk tangan. Akan tetapi edian, Mignolet berhasil menepisnya! Teriakan “goal….” yang seharusnya keluar dari mulut berubah jadi gumaman, “goal kick”. Masa-masa selanjutnya giliran kiper Liverpool unjuk kebolehan.

Detik berjalan lebih mencekam ketimbang saat menonton film Goosebump. Sanchez mulai frustasi. Ramsey gigit jari. Detik berubah jadi menit, menit lalu mengkonversinya menjadi jam. Skor masih kaca mata. Setelah belum juga gol terjadi Wenger merespon situasi dengan memasukkan dua pemain enerjik guna mempertajam serangan: Walcott kemudian Chamberlian. The Gunners terus berupaya membongkar pertahanan, Mission Impossible 5 kali Ozil dkk menembak 5 kali pula mereka memegang kepala geram tak berdaya. Sampai akhirnya memasuki menit-menit akhir upaya terakhir Meriam London pun sia-sia. Justru Liverpool harusnya bisa mencuri gol melalui skema serangan balik cepat. Sayangnya saat tiga pemain Reds tinggal menghadapi dua pemain belakang Gunners itu tak dimanfaatkan secara baik. Benteke yang sudah menyamping membuka ruang lalu meminta bola, tapi tak mendapatkannya, bola terus saja digocek Milner untuk mengelabui lawan. Sayangnya Milner bukan Felipe sehingga gocekannya dengan mudah disapu bersih.

Kedua tim sampai peluit panjang terdengar, gagal memecah kebuntuan. Keseruan laga tak tercermin di papan skor. Nyaris tiga lusin tendangan ke gawang tercipta, sama-sama bermain terbuka dan jual beli serangan tersaji dengan mendebarkan. Aduh, aku deg-degan. Bisa saja skor akhir 5-5, andai kipernya kiper Roma: Szczesny. Namun mau 0-0 atau 5-5 tetap poin yang dibagi satu sama. Yang membedakan adalah, Liverpool sampai tiga laga masih clean sheet. Keren deh, Cech tampil brilian itu sudah biasa. Tapi melihat gawang Mignolet tetap perawan itu luar biasa. Yang pasti hari ini kita puas melihat penampilan mereka yang sedang pamer gaya. Cech jelas jadi man of the match, rasanya tak sabar menantinya bertemu kawan lama lagi. Kami tunggu kau di Bridge, dan tetaplah gagah!

Arsenal 0-0 Liverpool

Arsenal (4-2-3-1): Cech; Bellerin, Chambers, Gabriel, Monreal; Coquelin (Chamberlain 81′), Cazorla; Ramsey, Ozil, Sanchez; Giroud (Walcott 73′).

Liverpool (4-3-3): Mignolet; Clyne, Skrtel, Lovren, Gomez; Can, Lucas (Rossiter 76′), Milner; Firmino (Ibe 63) , Benteke, Coutinho (Moreno 87′).

Karawang, 250815