After Love: Kami Merindukanmu bak Halilintar

“Bersamaku membuatnya merasa menjadi suami yang baik untuk orang lain. Ini membuatku sedih” – G

Kesedihan terdalam adalah mengingat kebahagiaan masa lalu. Cerita cinta yang hilang dan respon menghadapinya. Drama dengan kekuatan akting dikedepankan, karena ceritanya sederhana, kalau dibagi dalam babak ada tiga: kehilangan, pencarian dan penemuan fakta, legowo. Dunia duka dengan segala isinya. Kematian mendadak orang terkasih memicu tanya beruntun saat menemukan isi chat mesra di HP almarhum. Menemukan sebuah kartu identitas wanita lain diselipkan dalam dompet, dan inilah inti dari After Love, perjalanan menemukan jawaban kehidupan lain sang suami. Ini kisah tentang tautan dua wanita dalam satu hati lelaki.

Kisahnya dibuka dengan tenang, Mary (Joanna Scanlan) seorang muslim keturunan Pakistan dan suaminya Ahmed (Nasser Memarzia_ menyatakan diri kepada istrinya dengan identitas: Love), kapten kapal feri jalur Dover – Calais. Mereka tinggal di Dover, Inggris. Mereka pulang dari kondangan. Sang istri melepas hijab, memanaskan air untuk ngopi, mencuci gelas untuk persiapan. Membuka berkat, “apakah isinya ada daging?” oh tidak ada hanya lauk dan sayur. Sang suami duduk santai di ruang tamu, sembari nunggu untuk kopi disajikan, ia membuka HP dan bicara sambil lalu.

Lalu tiba-tiba ia meninggal dunia. Jangankan yang mendadak, orang sakit keras bertahun-tahun saja masih banyak yang tak siap menghadapi kematian. Adegan berikutnya menyaksi penyajian doa bersama yaa siin-an dan hulu ledak tangis dalam duka.

Barang-barang almarhum dirapikan, lantas menemukan kejanggalan. Chat tak selesai dengan wanita bernama Genevieve (Nathalie Richard), di kontak diberi nama ‘G’. Kartu identitasnya ada dalam dompet. Jadi selama ini suaminya selingkuh dengan wanita Prancis hingga memiliki anak. Mary yang kini sendirian lantas menyelidiki sisi lain hidup belahan hatinya. Berkendara jauh ke apartemen Gene, mengikuti rute feri tempat kerja almarhum, lantas menjelma tukang bersih-bersih, tenaga bantu, Sabtu ini mereka akan pindahan.

Hubungan mereka menghasilkan seorang anak lelaki Solomon (Talid Ariss) yang suka memberontak, di usia remaja dengan pikiran liarnya. Betapa ia merindukan kasih sayang seorang ayah. Ia pernah kabur dari study tour ke Dover untuk bertemu ayahnya. Setelah berhari-hari menjadi pendengar dan pengamat keluarga, mereka belum  juga mengetahui identitas asli Mary. Karena memang Mary-lah yang mengorek kehidupan. Hal-hal tabu diungkap, suaminya minum minuman keras tampak saat video kenangan diputar di tv, ideologi Gene bahwa ia memang jadi WIL, tapi semua ga papa kok. Setelah itu, perhatikan gesture Mary, menggeleng dan ekspresi tak percaya! Terdeteksi getar halus rasa sedih dan marah dalam nada suaranya. Benaknya kosong dari pikiran apa pun, seakan-akan berpikir adalah sebuah kemewahan.

Gene dan Ahmed tak menikah, walau dalam Islam diperbolehkan poligami. Gene tak mempersalahkan berbagi suami, jelas muncul tekanan di sana tapi ya ngalir aja, menyadari status ia pacaran sama suami orang. Ya Mary sedih, tapi rasa sedih itu menjadi sangat saat menemukan fakta bahwa Solomon menjalin kasih sesama jenis, ini jelas menghancurkan hati setiap ibu. Ia yang memimpikan seorang anak, menemukan anak suaminya memiliki penyimpangan seksual sungguh mencipta pilu.

Semakin hari, Mary semakin mengerti mengapa suaminya memiliki sisi lain. Mereka tak punya anak, ia gendut, ia kurang cantik; ditampilkan dengan galau dalam cermin tatapan pasrah, ditampilkan pula dalam pembaringan pasir dicium ombak bak paus terdampar. Ia tak lugas dalam diskusi ilmu, ia memang taat ibadah dan selalu salat, bahkan menangis dalam sujudnya. Namun ia juga menyadari penampilan dan kepribadian wanita lain yang lugas dan terbuka, hingga fakta-fakta kecil bahwa kekurangan yang ada di dirinya bisa ditemukan dalam selingkuhannya. Singkatnya mereka melengkapi.

Hingga akhirnya, Mary mengakui statusnya, nama Islamnya Fatima, identitas yang diketahui Gene, lantas ledakan amarah tersaji, keduanya marah, keduanya kesal. Mary menyampaikan kematian mendadak Ahmed, mereka tak siap, HP-nya ditelpon, ada dalam tasnya, dan kekalutan itu wajar, memang pantas membuncah, waktu juga yang mengantar mereka kembali membumi karena dunia terus berjalan, dan setelah kepergian Cinta, ada hal-hal yang laik diperjuangkan, diperbaiki. Fakta mengembuskan napas kekhawatiran dan juga kelemahan, yang dapat membelenggu dan juga membebaskan.

Ini drama sentimental, Mary bercerita masa pacaran pada ‘anaknya’ bahwa zaman dulu komunikasi pakai surat, membuat rekaman kaset pita untuk dikirim dan diperdengarkan bila rindu melanda. Klasik. Tak seperti sekarang, dengan HP kendala rindu menjadi sederhana untuk disampaikan. Nah, berkali-kali kita menjadi Mary untuk mendengarkan rekaman voice mail dari Love. Pesan-pesan sederhana sehari-hari, Mary menikmatinya sebagai kenangan yang sungguh bernilai, sedikit mengobati rindu. Ini jadi adegan touching sekali, saat pesan suara itu hangus. Fufufu… begitu juga saat menemukan pakaian-pakaian almarhum, diciumi, dipeluk. Hal-hal sentimental yang rasanya tak bisa dengan mudah dilepas, termasuk bau khas baju tersebut. Rasanya sayang, karena setelah dicuci arti jejak itu hilang, menguap. Kami merindukanmu bak halilintar.

Sempat memunculkan tanya, “Kapan terakhir kali kalian salat hingga sesenggukan meneteskan air mata?” Lupa saking jarangnya? Banyak alasan untuk menangis, banyak cara mendekatkan diri dengan Yang Mahakuasa, betapa lemah dan rapuhnya manusia.

Banyak sekali pengambilan gambar alam disajikan. Lautan dengan ombaknya, pohon-pohon hijau yang berkejaran saat naik bus, angin berdesir menyapu ombak, dengan sang protagonist tiduran di pasir pantai, dibelai ombak, diraba hembusan. Langit cerah yang menawarkan obat duka, hingga rentetan butir debu berterbangan jatuh dari langit-langit. Semua ditampilkan dengan lembut seolah penting, seolah hal-hal kecil yang ada di sekitar kita menyokong kehidupan fana ini. Mary duduk di kursi depan rumah, melihat kegiatan di sekitar dengan HP di tangan saja sudah tampak menarik, sebab kamera sesekali mengambil dari depan yang artinya Mary menonton penonton, menampilkan kerutan kening kesedihan di wajahnya. 

Walau disesaki kisah duka, pada akhirnya ceritanya selesai dengan bahagia, semua berdamai dengan keadaan, berziarah, mendoakan, memaklumkan. Ini berkebalikan dengan awal mula saat fakta-fakta pahit diungkap, saling marah saling tampar, saling teriak. Alih-alih berusaha mengubah riak-riak konfliks dari sesuatu yang asing dan artifial, After Love membiarkan adegannya mengalir sendiri dari dalam pikiran, lantas kamera menyorot mereka bertiga di tepi pantai, menjauh perlahan seolah mengucap ‘Goodbye‘ guna menutup film.

Mereka akhirnya menyerahkan diri pada ketiadaan beban.

After Love | Tahun 2020 | Inggris | Directed by Allem Khan | Screenplay Allem Khan | Cast Joanna Scanlan, Nathalie Richard, Talid Ariss, Nasser Memarzia | Skor: 4/5

Karawang, 150921 – Shirley Horn – I Got Lost in his Arms

Rekomendasi Lee, Thx.