Tiga #25

“Apa yang diberikan dunia fotografi bagi hidup Anda?” / “Kepuasan, uang dan kebebasan.”

Novel remaja lagi, hufh… sekalipun kubaca saat remaja, buku sejenis ini takkan kusuka. Banyak hal tak relate, terlalu lebai, terlalu lo gue end, terlalu sinetron. Atau malah persis sinetron, plot, karakter, cara penyampaian. Sungguh tak enak dibaca. Cari duit segampang itu, cari pacar seindah itu, cari penyakit sesederhana itu. Sekalipun buku remaja, banyak hal tak pantas disebarkan ke remaja, persis sinetron kita kan. Sayangnya, hal-hal buruk sejenis ini laku, cerita tak mendidik yang meracuni generasi muda. Miris.

Kisahnya tentang tiga saudara dalam keluarga Wibowo. Semua problematik. Masalah orang kaya, tak akan kalian temui masalah cara bertahan hidup dengan makan sehari-hari, tak kalian dapati bagaimana cara bayar biaya pendidikan, atau rumah sakit. Enggak ada, adanya masalah hubungan antar manusia, itupun yang dimata jelata tampak tak perlu. Cinta yang putus, pilihan pasangan, kehidupan selebrita yang hura-hura, dst.

Rachel adalah designer ternama, rancangan bajunya dipakai banyak nama ternama. Dipakai para pesohor, maka muncul isu kedekatan dengan model muda yang sedang naik daun Alvino Vivaldi. Isu itu tak diiyakan tak pula ditolak, mungkin semacam mumpung tenang dan diberitakan, sehingga kesempatan diliput media.

Alexie Wibowo alias Lexie adalah sang adik yang punya masalah di masa lalu. Pergaulan bebas, nge-drug hingga hubungan seks telah menciptanya error. Kini ia bertobat. Dan dengan mudahnya ditawari menjadi artis. Manager Bugi, melihat peluang itu. Berwajah tamvan, tampak bersahaja. Dan buruknya cerita, dengan sekejap sukses menjadi model dan bintang film. Majalah remaja banyak pampang wajahnya di halaman fashion dan cober. Sosok unik pun sering penuhi profil majalah. Dipuja puji fans, dikasih review positif, singkatnya ternama dengan hebat dalam tempo sesingkat-singkatnya. Image Lexie simple, cool, dan misterius. Nicholas Saputra? Lewaaat… Padahal dalam dialog mula ditawari artis, ia menolak. Dan saat mengiyakan, seolah magnet rejeki, segalanya nempel seketika.

Paxie adalah saudara lainnya yang sebenarnya agak lurus, tapi menemukan pasangan bermasalah Sheria yang mengidap kanker. Manager marketing yang meluangkan banyak waktu untuk pacarnya, mengorbankan banyak hal demi cinta. Dalam sebuah adegan dramatis ala sinetron jam utama di tv lokal, pernikahan absurd disajikan berlembar-lembar. Kejadian hanya satu dari sejuta ini, sungguh aneh sekalipun niatnya drama air mata. Nyatanya tak mencipta sama sekali titik air di pipi. Lebai, atau mungkin cara penyampaiannya yang amburadul.

Terlalu banyak lemah yang bisa dikupas. Cerita buruk, cara bercerita buruk, pola cerita buruk. Dialog gaul yang tak nyaman, pilihan kata ala kadarnya, editingnya juga buruk. Sekali lihat, tanpa banyak telaah langsung ketemu typo, tak perlu jadi editor handal untuk untuk seketika menemukan, tak perlu menjadi pembaca profesional untuk mendapati bahwa kualitas tata bahasa jelek.

Menggampangkan kehidupan mungkin paling pas untuk merangkum hal-hal di sini. Perjalanan Jakarta ke Bandung misalnya, ada kalimat terlontar yang bikin kzl. “Bandung-Jakarta kurang dari 2 jam! Gue nggak ngerasa buang waktu untuk itu!” Hanya orang sombong yang ngomong gitu, atau orang yang sok berkorban, seolah tak mengapa jalan sejauh itu demi cinta.

Atau kalimat, “Agama, bahasa non satra, logika, hidup dan pergaulan.” Yang secara langsung bilang, bahasa sastra itu tak perlu. Yang umum dan tak nyeni sahaja. Apakah ini relate dengan cara penyampaian kisah secara keseluruhan? Ya, saya melihat pandangan penulis ini dituangkan dengan cara bercerita, apa adanya dan (maaf) ga bisa menarik emosi pembaca.

Pemilihan nama karakter lebih ajaib lagi, seolah ini di negeri antah, bukan Indonesia, padahal nyata-nyata kejadian di Jakarta, Bandung sekitarnya. Deka, Deva, Viandra, Lingga, Vino, Rachel, Paxie, Lexie, Sheira, Diar, Leonard adalah pilihan nama yang tak bijak. Terlihat alay kan? Walaupun ada nama-nama Wisnu, Budi, Gita, Gunawan, Rendra, Yogi, hingga Shinta tapi tak memberi peran signifikan. Bahkan salah satunya mati tragis sepintas lewat dalam sehalaman, seolah tak penting. Sedih sih.. hiks.

Kalimat ceplas-ceplos juga banyak didapati, seenaknya sendiri. Misal, “Percuma lo sempat hidup di Aussie! Pikiran lo kayak orang Kubu!” Sejatinya, mau tinggal di manapun, etiket pergaulan ada dan kurasa tergantung lingkungan. Ingat, pelajaran dasar etika moral, attitude yang utama. Apapun profesinya, dari manapun asalnya, lulusan dari manapun, singkatnya sehebat apapun, kalau tak punya attitude baik ya percuma. Jadi bukan Aussie-nya bukan pula Kubu-nya, tapi hatinya.

Terakhir, mungkin buku sejenis ini masih laku untuk kalangan alay. Buktinya sinetron kita sekalipun dicaci maki, tetap laku. Sekalipun dibahas sampai berbusa-busa efeknya buruk, tetap diproduksi. Begitu pula buku remaja dengan kelemahan seperti ini, tetap laku dan dibaca.

Saya tak membeli buku ini, ini adalah bonus beli buku fantasi dari teman facebook. Yang namanya bonus, ya terima saja. Dan benar saja, amburadul. Tetap kubaca, tetap kuulas, tapi sayangnya negatif. Saya tak mau mengulas kebohongan, apa adanya, bahwa buku remaja dengan plot buruk seperti jelas tak rekomendasi. Mending baca buku remaja ‘genre’ yang lebih baik. Maafkan daku…

Kalau kata temanku, Jemy K buku jenis seperti ini layak dilempar ke tempat sampah. Teman sekosku dulu ini berpendapat, buku buruk sejatinya akan memberi pengalaman buruk sama pembacanya, jadi saat kalian mendapati alangkah baiknya langsung dibuang. Saya kurang sependapat, bukan karena kualitasnya, sayang saja melempar karya ke bak sampah, siapa tahu pembaca lain punya sudut pandang lain, dan menemukan sesuatu yang baik, walaupun sulit.

Tiga | by regagalih.pHe | Editor Husein S | Desain Cover Ega Positive Thinking | Layout Hush | Cetakan I, 2010 | Penerbit LadangIde | 145 x 210 mm, 160 halaman | ISBN 978-602-97180-1-0 | Skor: 1.5/5

Dedicated to Imanuel Rafael Trisno Sakti Herwanto

Karawang, 250622 – Westlife – Beautiful in White

Thx to Agus Ora, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #25 #Juni2022

Horor Keluarga: Aneh di Awal, Mengerikan di Tengah, Tragis di Akhir

The Strange Thing about the Johnsons directed by Ari Aster

I want someone to look at the way Isaiah looks at his daddy.”

Ini adalah film orang sakit. Penuh gangguan, memualkan, tak masuk akal, dan janggal menyeluruh. Namun film yang uniklah yang akan diingat manusia generasi berikutnya. Jelas bukan film untuk semua kalangan. Minggir kalian, penonton berjantung lemah!

Ceritanya seorang remaja melakukan onani di kamarnya, tiba-tiba pintu dibuka dan ayahnya masuk. Malu, gegas ditutup selimut, tapi oleh ayahnya dibilang bahwa tindakan itu normal, di usianya saat ini wajar. Se-natural matahari terbit dari timur. Jreng… jreng… Yang tak diketahui oleh ayahnya, yang lalu kita lihat secara langsung, saat kamera menyorot dekat adalah objek onani Isiah muda (Carlon Jeffery) adalah foto ayahnya sendiri! Wow, sebuah pembuka kisah yang tak lazim. Nyeleneh… pembuka yang sungguh absurd.

Empat belas tahun kemudian, Isiah dewasa (Brandon Greenhouse) melangsungkan pernikahan. Seolah ia menjadi calon suami yang normal, tapi dari sini relung-relung kejut disusun ungkap. Ibunya Joan (Angela Bullock) mencarinya ketika pesta sudah berlangsung, tak ketemu juga di berbagai ruang, sampai akhirnya di sebuah kamar belakang, dengan lubang intip yang membuatnya kaget luar biasa. Suaminya sedang nganu sama anaknya yang baru nikah! Duh… sakit. Pertengahan kisah yang mengerikan. Horor keluarga disusun berbahan lego tersayat dari dalam.

Sidney (Billy Mayo) adalah penulis yang sukses, bukunya banyak best seller. Sebagai publik figure, ia tentu saja menjaga nama baik. Fakta penyimpangan seks putranya terendam lama. Namun, kali ini ia memutuskan menuliskan kisahnya dalam buku memoar. Menulis dengan sembunyi, karena jiwa muda anaknya tentu akan meluap marah. Sampai di sini, muncul kejanggalan, muak, marah, misuh sejatinya bisa kalian apungkan. Serba salah juga jadi ayah di posisi itu. Ketika draf buku sudah ada, dan akan diproses ke penerbit, dilema muncul dan dalam adegan dramatis, keluarga yang tampak harmonis dan ideal ini hancur seketika. Ini adalah jenis film sakit, tragedi keluarga dengan cambuk panas membara. Endingnya benar-benar tragis sampai ke sumsum.

Oedipus Complex. Hal pertama yang berteriak di kepalaku adalah teori ini. Oedipus, sang penafsir teka-teki Spinx. Apa rangkaian misterius ulah takdir bagi kita? Ada keyakinan primitif yang populet, terutama di Persia, bahwa seorang penganut Magi yang bijaksana hanya lahir dari hasil inses. (Lahirnya Tragedi, Nietzsche). Bagaimana seorang anak membunuh bapaknya. Abuse is abuse, tak peduli siapa pelakunya. Apa yang ditampilkan di layar tampak menjijikkan, mengingat CV Ari Aster, ini memang mainannya. Saya belum sempat menyaksikan Midsomar, tapi jelas saya kurang suka Hereditary. Memainkan tragedi, ironi, dan kemuakan ke tingkat yang tak terperi. Tak banyak darah, tampak cerdas, tapi memainkan pikiran dengan menjijikkan sungguh perlu dipikir ulang. Ga sehat buat otak, mungkin sedikit di bawah A Serbian Film, yang jelas sama-sama bikin pening kepala beberapa lama. Menjadikan panadol laik dibeli dan ditelan dengan kedut di dahi.

Permainan psikologi dengan memori dan hasrat seks memunculkan berbagai spekulasi. Bisa saja ini penyakit menyimbang, laiknya cinta sesama yang terus digunjing gulir, atau kontroversi ada tiadanya tuhan, The Strange mencapai tahap lebih tinggi karena nafsu itu justru kepada orang tuanya sendiri. Teori Sigmund Freud yang membenci ayahnya? Wait, di sini justru anaknya mencintai ayahnya terlalu tinggi! Entah apapun namanya yang akan diteliti, jelas ini adalah sebuah kesalahan. Kesalahan besar, no debat.

Untuk sebuah film pendek, jelas ini sukses mencipta hit secara instan. Ketika kalian tak bermodal besar, buatlah cerita pendek dengan gagasan tak biasa, maka The Strange muncul. Percayalah, sepuluh tahun sejak sekarang, film ini masih akan dibicarakan dengan perdebatan sengit, laik ga-nya sebuah pemikiran nyeleneh menjijikan dicipta.

One of the most disturbing and evocative movies I’ve ever seen. Drama satir keluarga, dengan ide yang aneh. Seperti kata Oscar Wilde, “Kebanyakan orang adalah orang lain.”

The Strange Thing about the Johnson | Short movie | Year 2011 | Directed by Ari Aster | Screenplay Ari Aster | Cast Billy Mayo, Brandon Greenhouse, Angela Bullock, Daniele Watts, Carlon Jeffery | Skor: 3/5

Karawang, 010420 – 120420 – Roxette – You Don’t Understand Me

The Strange Thing about the Johnsons bisa ditonton di Youtube: https://youtu.be/sqyQMX4rwHs

There’s Something about Mary: Jambul Rambut yang Mengilhami

Ted: Japan? What’s she doing in Japan?

===mungkin tulisan ini mengandung spoiler===

Semua fokus pada Cameron Diaz seolah ia adalah pusat semesta. Cantik. Muda. Pirang. Dan jambul rambut yang bikin istigfar.

Kisahnya memang tertuju utama ke Mary Jensen (Cameron Diaz). Cameron Diaz sedang gemilang, aktris romantis era 1990an. Beberapa filmnya mungkin sudah kutonton, tapi ga ada yang lebih memorable dari Charlie’s Angel yang saat ini kena reboot. Namun sudut pandang dipegang oleh Ted Stroehmann (Ben Stiller). Di tahun 1985, di akhir masa sekolah, jelang acara pesta dansa ia mengajak temannya yang dijawab dengan gantung. Ted jadi lelaki cadangan, rencana samping sang gadis bila inceran utama ga nawari. Maka dalam insiden unik, dengan adik Mary yang terjebak di dunia anak, Warren (W. Earl Brown) yang mencari bola dan sensitif telinganya. Hal mengejutkan adalah Mary tahu namanya, momen gadis tercantik mengetahui namamu saja membuatmu berdegub. Lalu mengantarnya pulang, kejutan berikutnya justru Mary yang menawarkan diri untuk pergi pesta dansa bersama. Ted si freak, culun, dan kaku tentu saja shock. Tampang Stiller mainkan mimik awkakwa. Bangga akan berdansa dengan idola sekolah. Namun sayangnya berakhir dengan bencana, saat dijemput terjadi insiden resleting di kamar mandi.

Kisah cinta remaja ini berakhir ejakulasi. Memorinya bertahan lebih lama, dan terbenam dalam kepala. 13 tahun kemudian, kita menemukan sebuah dilema. Tanpa kabar dan terpisah jarak, Ted memutuskan mencoba mencari tahu kabar cinta remajanya. Ia pun menyewa detektif swasta Healy (Matt Dillon) untuk menyelidiki status, keadaan dan segala hal yang menarik perhatian. Pokoknya update Mary minta tolong dilacak. Andai Ted hidup di jaman now, tinggal cari di facebook. Sempat ragu, tapi tetap rasa penasaran itu harus dituntaskan. Hal menariknya Healy memberi data fakta palsu, menjelek-jelekkan Mary. Ia bahkan resign dari pekerjaannya. Dalam momen awkwk, penyelidikan di apartemen dengan teropong, ia memutuskan jatuh hati.

Ternyata sang detektif menuju Florida, memainkan sandiwara. Dari hasil pengamatan, betapa Mary menyukai pria arsitek, suka jalan-jalan, suka pria yang tak terikat waktu kerja sampai hal-hal ideal yang kelak jadi pasangan. Healy memanipulasi keadaan sehingga ia tampak pria yang dicarinya, pria ideal yang ada dalam bayang, lambe lamis, menipu banyak hal. Nah, suatu malam ia diajak ke pameran arsitek secara mendadak, berkenalan dengan Tucker (Lee Evans) yang ada masalah di kakinya sehingga memakai penyangga dua. Diskusi tentang bangunan yang sudah dicipta, tampak jelas Healy bohong. Nantinya ketika di cek di lulusan Havard pun ia tak ada.

Sementara Ted yang kecewa, menemukan fakta aneh tentang sang detektif dari Dom (Chris Elliott) sobatnya. Maka iapun meluncur ke tempat pujaan hati. Dalam perjalanan penuh bahaya, menaikkan penumpang gelap seorang pembunuh, istirahat di area umum malah ke-gap komunitas gay padahal ia hanya mau buang air kecil, dan di mobilnya ditemukan karung berisi mayat. Sempat ditahan, tapi penyelidikan lebih lanjut melepasnya. Karena ini film komedi maka segala proses di sini dibuat santauy maksimal.

Sesampainya di Florida, ia pun menyapa Mary, dan langsung klik lagi. Warren masih ingat, dan dalam waktu singkat mereka akrab. Mary adalah dokter bedah, wah makin naik derajatnya. Satu apartemen dengan wanita tua yang aneh jua dengan anjingnya yang juga aneh. Magna (Lin Shaye) dan kerutan waktu. Ketika kerumitan kisah jelang akhir, ke mana hati Mary berlabuh, kita akhirnya mengetahui betapa para pria ini mendamba cintanya, termasuk Tucker sang pizza boy. Bahkan di klimaks kisah, kekasih Magna pun melakukan tembakan yang tak kalah aneh, kepada pengisi soundtrack yang bermula dari cintanya pada Mary. Absurd cara isi musik, para pemainnya ditampilkan seolah musisi jalanan yang bersenandung untuk pemirsa. Si pemain gitar (Jonathan Richman) yang apes.

Ini baru film komedi romantis yang sesungguhnya. Komedinya lebih dominan, sangat dominan malah ketimbang sisi percintaan. Menumbar tawa garing, hal-hal penting di sini dipandang remeh. Bagaimana bisa laki-laki di sekeliling jatuh hati semua terhadap Mary? Tentunya ia begitu istimewa. Sangat istimewa. Saya mengenal Cameron Diaz justru dari poster besar yang dipasang di kos temanku. Seorang maniak film yang memajang gambar artis dengan pose menantang. Saya yang masih awam menanyakannya, ia jawab dengan enteng Diaz. Apa kabar temanku di Cikarang, tempat tumbuh masa labil. Ruang lain 31 yang kurindu.

Salah satu yang paling dikenang di film ini jelas adalah jel rambut. Gambar Diaz dengan pose rambut berdiri dan tersenyum, baju cerah di resto sudah sangat banyak di media social bahkan setelah dua puluh tahun berlalu. Sepintas kukira itu gaya rambut era 1990an yang sedang trend. Saya benar-benar belum nggeh sebelum nonton film ini. Makanya sungguh ikonik, keren, absurd bahwa seorang dokter ga mengenali bau benih, awalnya saya turut heran ketika Ted melakukan itu dengan gambar cabul di depannya, lalu saat ia mencari ‘tembakan’ terjatuh di mana, saya masih ga mudeng mau ke arah mana. Barulah saat pintu diketuk dan Mary tersenyum, ya ampun. Di kuping, diminta, dibuat gaya. Jorok dalam humor. Adegan ini jelas akan diingat, dibicarakan, digibah penuh tawa sampai seabad depan. Jambul rambut yang mengilhami.

Untuk menjadi film pelepas stress There Something jelas berhasil. Untuk jadi film romantis, nanti dulu. Adegan kunci ketika Mary kasih kunci kurasa terlalu menggampangkan. Kejutan fan 49ers yang mencipta perubahan keputusan juga ga kuat. Setelah panjang lebar dalam permainan kata dan naik turun hubungan, film berakhir dengan gitu doang. Makanya ini lebih ke film lelucon. Film untuk hahahihi, pengiring musiknya ditampilkan sambil lalu di jalanan, syukurin kena tembak. Proses jatuh hatinya dibuat lebai, akting sakit Tucker yang paling annoying. Openingnya kek kartun, dengan warna warni cerah dan menyeru kehangatan. Bagaimana bisa seorang gadis terjerat sama lelaki yang jalannya kek robot, sekalipun arsitek ternama. Jangan lupakan pula musik-musiknya, renyah dan sudah langsung nempel di telinga. Yang paling asal ya endingnya, dengan mudahnya Mary mencampakkan, lalu jatuh ke pelukan lain, lalu balik lagi, lalu kunci kebahagiaan, lalu kembali lagi.

That’s good point. Tapi ah… sudahlah, kenyataan hidup tak sebercanda itu.

There’s Something About Mary | Year 1998 | Directed by Bobby Farrelly, Peter Farrelly | Screenplay Ed Decter, John J. Strauss, Peter Farrelly, Bobby Farrelly | Cast Cameron Diaz, Matt Dillon, Ben Stiller, Lee Evan, Christ Elliott, Lin Shaye, W. Earl Brown, Brett Favre | Skor: 3.5/5

Karawang, 281119 – 041219 – Fire House – I Live My Love For You

Rekomendari Romantis ketujuh dari tujuh belas Bank Movie dari Bung Firman A. Thx.

Anniversary Tiga Tahun Jadian – (review) About Time

Gambar

I’m going to go into the bedroom and put on my new pajamas, and in a minute you can come in and take them off.

10 Februari 2011 adalah hari jadian saya dengan istri saya sekarang – May. Awalnya saya ga begitu nggeh sama hal-hal semacam ini. Cuma yang namanya wanita, pasti suka ulik-ulik momentum. Akhirnya di hari Kamis tiga tahun lalu dia menetapkan itu hari jadian kita. Saat itu kita sepakat untuk berumah tangga tahun 2011, tanggalnya belum dipastikan. Hanya memastikan tahun 2011 ini target kita nikah. Dan 9 bulan kemudian memang kita menikah. Jadi selain hari lahir yang menurut May harus dirayakan bersama, tanggal nikah dan tanggal jadian harus dilewatkan dengan istimewa. Jadinya semenjak Senin dini hari, saat jeda HT menonton bola Manchester United, si May udah nyamperin saya untuk mengucapkan ‘happy anniversary’. Dan Senin ini pun kita merencana apa saja yang harus dilakukan.

Pulang kerja, setelah Maghrib kita makan ke Resto Kita, sebuah rumah makan sederhana tapi nyaman. Berdua kita makan diterangi lampu redup dan sebatang lilin. Yaelah, makan kok ya di tempat remang gini. Kita pesan ayam sambel ijo, steak, spagetti dan milkshake vanilla. Menu besar menurut saya. Benar saja, sejam kemudian kita kekenyangan. Sampai mulas saking penuhnya ini perut. Jam 9 sampai rumah kita lanjut nonton film romantis. Saya pilih filmnya Rachel McAdams: ‘About Time’. Dari beberapa review katanya sih romantis. So, dengan perut kekenyangan kita menikmatinya berdua, kali ini tak ada camilan ataupun segelas minuman.

‘About Time’ bercerita tentang seorang pemuda bernama Tim Lake (Domhnall Gleeson) yang dikasihtahu oleh ayahnya (Bill Nighy) bahwa keluarganya mempunyai kekuatan untuk menjelajah waktu. Kekuatan ini turun-temurun jadi, kalau mau kembali ke masa lalu, tinggal di ruangan gelap, kepalkan tangan, pejamkan mata dan bayangkan waktu yang akan kita kunjungi. Memori orang-orang sekitar akan terhapus otomatis saat kita sampai di titik waktu kunjungan. Awalnya Tim mengira ayahnya bercanda, namun saat itu juga dia mencobanya dengan masuk ke dalam lemari dan ingin berkunjung ke malam tahun baru yang berantakan. Dan ta-da…, berhasil. Tim lalu memperbaiki momen detik-detik pergantian tahun tahun yang payah menjadi lebih baik (menurutnya).

Dari permulaan itulah dia lalu banyak merubah masa-masa yang salah dalam kehidupannya. Dari cinta pertamanya kepada Charlotte yang akhirnya kandas. Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang gadis cantik yang berhasil memikatnya, Mary (Rachel McAdams). Tim hijrah dari kota Cornwall menuju kota London untuk mengejar karirnya sebagai pengacara. Di situlah dia bertemu Mary. Awalnya dia kaget saat tahu Mary sudah punya pacar, maka Tim pun menjelajah waktu saat Mary pertama kali bertemu pacarnya sehingga dia bisa mengubah keadaan (curang ya). Percobaan untuk membuat Mary jatuh hati akhirnya berhasil. Dalam sebuah adegan, Tim memutar waktu berkali-kali untuk membuat Mary terkesan.

Saat Tim dan Mary sudah jadian, tetiba muncul Charlotte, cinta lamanya. Godaan itu muncul saat Charlotte meminta mengantarnya pulang. Terlambat Charlotte! Dalam kebimbangan sesaat akhirnya Tim memilih Mary, dan malam itu juga dia melamarnya. Unik sekali cara Tim melamar Mary. Dia dengan santainya mengulang waktu agar lamarannya terkenang sempurna. Pokoknya kalau adegannya jelek Tim tinggal bilang: “permisi…” lalu masuk ke lemari. Setelah lamarannya diterima, Tim mengajak Mary pulang kampung ke Cornwall untuk diperkenalkan dengan keluarga besarnya. Melalui adegan romantis yang berkepanjangan, mereka menikah. Poster film yang memperlihatkan Rachel McAdams mengenakan baju merah di bawah hujan itu adalah scene pernikahannya. Setelah menikah, Tim mulai jarang menggunakan kekuatan menjelajahi waktu. Toh, dalam pernikahan ini semaunya berjalan bahagia. Sampai akhirnya pada suatu hari, adiknya Kit Kat mengalami kecelakaan setelah bertengkar dengan pacarnya. Lalu Tim menggunakan kekuatannya untuk kembali ke masa sebelum kecelakaan dan melarang adiknya keluar rumah. Seperti itulah, hidup terlihat begitu sempurna. Segala kesalahan bisa dirubah seenaknya sendiri.

Hingga pada akhirnya Tim berterus terang kepada Mary bahwa dia punya kekuatan bisa menjelajah waktu. Termasuk merubah momen saat dia merebutnya dari seorang pemuda. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Tim benar-benar bisa merubah sejarah keluarganya? Ataukah dia akhirnya terjebak oleh waktu? Dalam sebuah adegan yang membuatku nyaris menangis, terungkap kenyataan cinta ayah-anak saat akhirnya mereka berdua bersamaan menggunakan kekuatan.

Well, dari segi cerita ‘’About Time’ termasuk film sci-fi yang ringan. Sepanjang 2 jam nyaris tak ada konflik yang membuat Tim depresi karena apanya yang membuat pusing, toh segalanya bisa diperbaiki. Dari segi ide, ini bukan original. Pernah ada sebuah film yang mengungkapnya, ada yang ingat ‘The Time Traveler’s Wife?’ Dari segi drama, mungkin yang membuat kita iri adalah dengan kekuatannya Tim bisa memperolah gadis pujaannya karena kalau gagal tinggal coba lagi. Saat kredit title muncul, si May berujar: biasa saja, terlalu sempurna untuk jadi nyata. Konfliknya kurang. Saya setuju. Mungkin Tim tak bisa merubah sejarah dunia tapi dengan kekuatannya segalanya jadi mudah. Maaf saja, hidup tak seperti itu.

Aniversary ketiga ini kita tutup dengan sakit perut, mules kekenyangan dan bolak-balik ke toilet. Yah, andai saya bisa kembali ke masa jam 6 pm tadi. Saya ga akan deh makan ayam sambel ijo.

Karawang, 100214

About Time

Director: Richard Curtis – Cast: Rachel McAdams, Domhnall Gleeson, Bill Nighy – Screenplay: Richard Curtis – Skor: 3/5