
“Buku catatanku sendiri berisi coret-coretan liar yang kontradiktif. Catatan itu menyedihkan, membingungkan, memalukan. Kebenaran telah mengalir di jari-jariku. Setiap tetes alirannya telah lenyap.”
Luar biasa. Buku yang (rasanya) sulit dipahami, terutama saat awal mula. Namun setelah berhalaman-halaman yang melelahkan, kita akhirnya diajak memasuki maksud utama sang penulis. Lima bab awal, seolah esai ini berputar-putar tak keruan, curhat panjang lebar kehidupan, mengelilingi dunia pustaka di London, sulit dicerna mau ke arah mana. Dan bab penutup, bab Enam menjelaskan segalanya. Gamblang, bahwa untuk menjadi penulis, Virginia Woolf mensyaratkan dua: Jika kau ingin menulis fiksi atau puisi perlu memiliki uang lima ratus pound per tahun dan kamar beserta kuncinya tergantung di pintu. Lima ratus pound setahun berarti kekuatan untuk merenung bahwa kunci yang tergantung di pintu berarti kekuatan untuk berpikir mandiri, tetap saja kau dapat mengatakan bahwa pikiran harus naik di atas hal-hal seperti itu; dan bahwa penyair yang hebat seringkali adalah orang-orang miskin.
Buku melelahkan sekali, tapi puas. Kok bisa? Ya, melelahkan dan puas. Bukankah bercinta juga begitu?
Mari kita kupas satu per satu intinya.
#Satu
Catatan ini ditulis tahun 1928, masa pasca Perang Dunia Pertama, perempuan dengan segala keterbatasannya. Ini tentang fiksi dan perempuan. Di British Museum, kita diajak berkelana dalam rimba kata-kata.
Membaca, kenikmatan luar biasa itu. Apa yang didapat dari buku? Pengetahuan. Lantas buku itu memberimu kebenaran murni setelah satu jam bicara lalu merangkumnya di antara pagina buku catatanmu dan setelah itu berakhir di atas rak selamanya. Berdebu, tak tersentuh.
Seorang perempuan harus memiliki uang dan ruang sendiri jika ia ingin menulis fiksi. Banyak jalan melakukan perjuangan. Semua relatif. “Kebodohan akan mengalir dari bibirku, tetapi mungkin ada beberapa kebenaran tercampur dengannya; tugasmu mencari kebenaran ini dan memutuskan apakah ada bagian yang layak disimpan.”
Kata-kata dipilih dengan bagus, menggambarkan perempuan-perempuan penulis di masa sebelumnya. Dan bagaimana perang mengubah banyak hal. “Dan Fiksi di sini sepertinya mengandung lebih banyak kebenaran daripada fakta. Fiksi harus tetap berpegang teguh pada fakta, dan semakin bernar fakta maka semakin baik pula fiksi.”
#Dua
London dengan penggambaran apa adanya. Lantas bagaimana Woolf mengutip para laki-laki tentang perempuan? Sedikit di antaranya: Samuel Butler berkata, “Laki-laki bijak tak pernah mengatakan apa yang mereka pikirkan terhadap perempuan.” Pope bilang, “kebanyakan perempuan tidak memiliki karakter sama sekali.”
Sosok laki-laki berkuasa, di banyak jajaran profesi. Kita (laki-laki) menjalankan dunia. Kecuali urusan cuaca berkabut, kita mengendalikan semuanya. Seorang laki-laki yang memiliki semua kekuatan ini harus marah. Kepentingan besar bagi seorang patriarki adalah harus menaklukkan, harus memerintah, merasa sejumlah besra manusia, separuh dari ras manusia, pada dasarnya lebih rendah daripada dirinya sendiri.
Namun begitulah, faktanya banyak hal dilakukan dengan tak rela. Melakukan pekerjaan yang tak ingin dikerjakan, melakukannya seperti budak, menyanjung dan menjilat, kadang memang tak perlu, tetapi tampaknya perlu dan taruhannya terlalu besar untuk menanggung resiko.
#Tiga
Bab ini banyak mempertanya fakta/fiksi. Apakah kebenaran? Dan perlu digarisbawahi, fiksi itu karya imajinatif, tak dijatuhkan seperti kerikil di atas tanah, seperti mungkin demikianlah sains, fiksi seperti jaring laba-laba, melekat sangat ringan, tetapi masih terkait pada kehidupan di keempat sudutnya.
Woolf menggambarkannya sebagai, “perempuan tak eksis kecuali dalam fiksi yang ditulis oleh laki-laki, orang akan membayangkan bahwa perempuan adalah sosok yang sangat penting; sangat beragam, heroik sekaligus kejam, megah sekaligus kotor, indah tiada tara sekaligus seram, sehebat seorang laki-laki, sebagian orang bahkan memandangnya lebih hebat dari laki-laki.
Maka dia dengan meyakinkan bahwa, “Aku berani menebak bahwa Anom yang menulis begitu banyak puisi tanpa membubuhkan namanya, adalah seorang perempuan. Aku pikir Edward Fitzgelard juga seorang perempuan, ia membuat balada dan lagu-lagu rakyat, menyanyi bersama anak-anaknya, berjoget bersama mereka, sepanjang malam musim dingin.”
#Empat
“Bahwa orang akan bertemu perempuan dalam keadaan pikiran seperti Shakespeare pada abad keenam belas jelas mustahil.” Pembuka yang menohok, perempuan di zaman dulu tak ‘kan mencuat dengan karya, di masa itu laki-laki lebih dominan dan bahkan William Shakespeare yang misterius. Kenapa? Sebab karya besar tak pernah lahir sendiri dan soliter, mereka hasil dari pemikiran bertahun-tahun bersama yang lain, pemikiran dalam tubuh orang banyak, menjadikan pengalaman orang banyak itu berada di belakang suara tunggal.
Novel lahir dari segala macam emosi yang bertentangan dalam diri kita.
#Lima
“Ia tak memiliki cinta akan Semesta, imajinasi berapi-api, puisi liar, kecerdasan cemerlang, kebijaksanaan yang bersumber dari ketidakbahagiaan pikiran mendalam yang dimiliki para pendahulunya yang hebat: Nyonya Besar Winchilsea, Charlotte Bronte, Emily Bronte, Jane Austen, dan George Elliot.”
Kepada perempuan-perempuan itulah Woolf dan generasinya berterima kasih. Sehingga bisa kita simpulkan, zaman sekarang, perempuan-perempuan penulis bisa dengan lantang berterima kasih kepada Woolf.
#Enam
Penggambaran dua manusia laki dan perempuan yang bertemu lantas naik taksi menjadi pembuka, bahwa dunia ini berjalan dengan banyak cara. Kalau diamati, banyak spekulasi sedang apa mereka dan mau ke mana. itu bersumber dari pikiran, penasaran. Pikiran tentu saja merupakan organ yang sangat misterius, sesuatu yang tak kita ketahui meskipun kita bergantung padanya. Coleridge mengatakan pikiran yang heba titu androgini. Ketika fusi terjadi, pikiran sepenuhnya terbuahi dan mampu menggunakan semua daya pikirnya.
Nasihat bagus tentang menulis, “… Karena itu aku akan memintamu untuk menulis semua jenis buku, soal subjek sepele atau berat. Kau menulis buku-buku perjalanan dan petualangan, penelitian dan ilmu pengetahuan, sejarah, biografi, kritik, filsafat, dan sains. Dengan melakukan itu kau tentu akan menguntungkan seni fiksi. Sebab buku saling memengaruhi. Fiksi akan jauh lebih baik jika berdiri tegak bersebelahan dengan puisi dan filsafat.”
Saya suka membaca, saya suka membaca buku dalam jumlah besar. Fiksi, non fiksi semua saya lahap. Semua genre, segala bacaan. Termasuk sedikit mengulasnya. Walaupun sejatinya tulisan ulasan di blog ini lebih seperti rangkuman dan uneg-ueng singkat, tapi sebenarnya lebih pas sebagai penyimpan memori. Untuk menulis kritik dan tulisan detail kudu ditelaah lebih dalam. Tidakkah tinjauan sastra saat ini merupakan ilustrasi abadi dari kesulitan memberi penilaian?
“Selama kau menulis apa yang ingin kau tulis, itu yang terpenting. Apakah tulisan itu akan berguna untuk selamanya atau hanya selama berjam-jam, tak ada yang bisa tahu. Kebebasan intelektual tergantung pada hal-hal materi. Puisi tergantung pada kebebasan intelektual. Dan perempuan selalu miskin, bukan hanya selama dua ratus tahun, tetapi sejak awal waktu dunia mulai berputar.”
Virginia Woolf tentu salah satu penulis besar yang pernah ada, baru satu buku yang kubaca, dan luar biasa membingungkan. Mrs Dalloway dibuat dengan membuat pembaca tak nyaman, tak ada bab, semuanya ndelujur saja. Namun kualitas tak bohong, cara menyampaikannya luar biasa indah. Temanya jelas tentang perempuan, yang kecewa, yang lelah akan perkawinan. Bulan ini akan saya ulas juga. Jadi buku ini buku kedua beliau yang kubaca, dan jelas ini salah satu tulisan esai terbaik. Cocok bagi kalian yang ingin menjadi penulis, sekalipun nasihat ini bukan hanya untuk perempuan.
Ruang Milik Sendiri | by Virginia Woolf | Diterjemahkan dari A Room of One’s Own | London, Grafiton Books, 1977 | Penerjemah Khoiril Maqin | Editor Cep Subhan KM | Penata letak @dazdsgn | Perancang sampul @sukutangan | ISBN 978-623-90739-8-5 | xiv + 136 hlm. | 13 x 20 cm | Cetakan pertama, Desember 2020 | Penerbit CV Jalan Baru | Skor: 4.5/5
Karawang, 040622 – Lady Gaga – Pokerface
Thx to Haritson, Yogyakarta
#30HariMenulis #ReviewBuku #4 #Juni2022