A Room of One’s Own #4

“Buku catatanku sendiri berisi coret-coretan liar yang kontradiktif. Catatan itu menyedihkan, membingungkan, memalukan. Kebenaran telah mengalir di jari-jariku. Setiap tetes alirannya telah lenyap.”

Luar biasa. Buku yang (rasanya) sulit dipahami, terutama saat awal mula. Namun setelah berhalaman-halaman yang melelahkan, kita akhirnya diajak memasuki maksud utama sang penulis. Lima bab awal, seolah esai ini berputar-putar tak keruan, curhat panjang lebar kehidupan, mengelilingi dunia pustaka di London, sulit dicerna mau ke arah mana. Dan bab penutup, bab Enam menjelaskan segalanya. Gamblang, bahwa untuk menjadi penulis, Virginia Woolf mensyaratkan dua: Jika kau ingin menulis fiksi atau puisi perlu memiliki uang lima ratus pound per tahun dan kamar beserta kuncinya tergantung di pintu. Lima ratus pound setahun berarti kekuatan untuk merenung bahwa kunci yang tergantung di pintu berarti kekuatan untuk berpikir mandiri, tetap saja kau dapat mengatakan bahwa pikiran harus naik di atas hal-hal seperti itu; dan bahwa penyair yang hebat seringkali adalah orang-orang miskin.

Buku melelahkan sekali, tapi puas. Kok bisa? Ya, melelahkan dan puas. Bukankah bercinta juga begitu?

Mari kita kupas satu per satu intinya.

#Satu

Catatan ini ditulis tahun 1928, masa pasca Perang Dunia Pertama, perempuan dengan segala keterbatasannya. Ini tentang fiksi dan perempuan. Di British Museum, kita diajak berkelana dalam rimba kata-kata.

Membaca, kenikmatan luar biasa itu. Apa yang didapat dari buku? Pengetahuan. Lantas buku itu memberimu kebenaran murni setelah satu jam bicara lalu merangkumnya di antara pagina buku catatanmu dan setelah itu berakhir di atas rak selamanya. Berdebu, tak tersentuh.

Seorang perempuan harus memiliki uang dan ruang sendiri jika ia ingin menulis fiksi. Banyak jalan melakukan perjuangan. Semua relatif. “Kebodohan akan mengalir dari bibirku, tetapi mungkin ada beberapa kebenaran tercampur dengannya; tugasmu mencari kebenaran ini dan memutuskan apakah ada bagian yang layak disimpan.”

Kata-kata dipilih dengan bagus, menggambarkan perempuan-perempuan penulis di masa sebelumnya. Dan bagaimana perang mengubah banyak hal. “Dan Fiksi di sini sepertinya mengandung lebih banyak kebenaran daripada fakta. Fiksi harus tetap berpegang teguh pada fakta, dan semakin bernar fakta maka semakin baik pula fiksi.”

#Dua

London dengan penggambaran apa adanya. Lantas bagaimana Woolf mengutip para laki-laki tentang perempuan? Sedikit di antaranya: Samuel Butler berkata, “Laki-laki bijak tak pernah mengatakan apa yang mereka pikirkan terhadap perempuan.” Pope bilang, “kebanyakan perempuan tidak memiliki karakter sama sekali.”

Sosok laki-laki berkuasa, di banyak jajaran profesi. Kita (laki-laki) menjalankan dunia. Kecuali urusan cuaca berkabut, kita mengendalikan semuanya. Seorang laki-laki yang memiliki semua kekuatan ini harus marah. Kepentingan besar bagi seorang patriarki adalah harus menaklukkan, harus memerintah, merasa sejumlah besra manusia, separuh dari ras manusia, pada dasarnya lebih rendah daripada dirinya sendiri.

Namun begitulah, faktanya banyak hal dilakukan dengan tak rela. Melakukan pekerjaan yang tak ingin dikerjakan, melakukannya seperti budak, menyanjung dan menjilat, kadang memang tak perlu, tetapi tampaknya perlu dan taruhannya terlalu besar untuk menanggung resiko.

#Tiga

Bab ini banyak mempertanya fakta/fiksi. Apakah kebenaran? Dan perlu digarisbawahi, fiksi itu karya imajinatif, tak dijatuhkan seperti kerikil di atas tanah, seperti mungkin demikianlah sains, fiksi seperti jaring laba-laba, melekat sangat ringan, tetapi masih terkait pada kehidupan di keempat sudutnya.

Woolf menggambarkannya sebagai, “perempuan tak eksis kecuali dalam fiksi yang ditulis oleh laki-laki, orang akan membayangkan bahwa perempuan adalah sosok yang sangat penting; sangat beragam, heroik sekaligus kejam, megah sekaligus kotor, indah tiada tara sekaligus seram, sehebat seorang laki-laki, sebagian orang bahkan memandangnya lebih hebat dari laki-laki.

Maka dia dengan meyakinkan bahwa, “Aku berani menebak bahwa Anom yang menulis begitu banyak puisi tanpa membubuhkan namanya, adalah seorang perempuan. Aku pikir Edward Fitzgelard juga seorang perempuan, ia membuat balada dan lagu-lagu rakyat, menyanyi bersama anak-anaknya, berjoget bersama mereka, sepanjang malam musim dingin.”

#Empat

“Bahwa orang akan bertemu perempuan dalam keadaan pikiran seperti Shakespeare pada abad keenam belas jelas mustahil.” Pembuka yang menohok, perempuan di zaman dulu tak ‘kan mencuat dengan karya, di masa itu laki-laki lebih dominan dan bahkan William Shakespeare yang misterius. Kenapa? Sebab karya besar tak pernah lahir sendiri dan soliter, mereka hasil dari pemikiran bertahun-tahun bersama yang lain, pemikiran dalam tubuh orang banyak, menjadikan pengalaman orang banyak itu berada di belakang suara tunggal.

Novel lahir dari segala macam emosi yang bertentangan dalam diri kita.

#Lima

“Ia tak memiliki cinta akan Semesta, imajinasi berapi-api, puisi liar, kecerdasan cemerlang, kebijaksanaan yang bersumber dari ketidakbahagiaan pikiran mendalam yang dimiliki para pendahulunya yang hebat: Nyonya Besar Winchilsea, Charlotte Bronte, Emily Bronte, Jane Austen, dan George Elliot.”

Kepada perempuan-perempuan itulah Woolf dan generasinya berterima kasih. Sehingga bisa kita simpulkan, zaman sekarang, perempuan-perempuan penulis bisa dengan lantang berterima kasih kepada Woolf.

#Enam

Penggambaran dua manusia laki dan perempuan yang bertemu lantas naik taksi menjadi pembuka, bahwa dunia ini berjalan dengan banyak cara. Kalau diamati, banyak spekulasi sedang apa mereka dan mau ke mana. itu bersumber dari pikiran, penasaran. Pikiran tentu saja merupakan organ yang sangat misterius, sesuatu yang tak kita ketahui meskipun kita bergantung padanya. Coleridge mengatakan pikiran yang heba titu androgini. Ketika fusi terjadi, pikiran sepenuhnya terbuahi dan mampu menggunakan semua daya pikirnya.

Nasihat bagus tentang menulis, “… Karena itu aku akan memintamu untuk menulis semua jenis buku, soal subjek sepele atau berat. Kau menulis buku-buku perjalanan dan petualangan, penelitian dan ilmu pengetahuan, sejarah, biografi, kritik, filsafat, dan sains. Dengan melakukan itu kau tentu akan menguntungkan seni fiksi. Sebab buku saling memengaruhi. Fiksi akan jauh lebih baik jika berdiri tegak bersebelahan dengan puisi dan filsafat.”

Saya suka membaca, saya suka membaca buku dalam jumlah besar. Fiksi, non fiksi semua saya lahap. Semua genre, segala bacaan. Termasuk sedikit mengulasnya. Walaupun sejatinya tulisan ulasan di blog ini lebih seperti rangkuman dan uneg-ueng singkat, tapi sebenarnya lebih pas sebagai penyimpan memori. Untuk menulis kritik dan tulisan detail kudu ditelaah lebih dalam. Tidakkah tinjauan sastra saat ini merupakan ilustrasi abadi dari kesulitan memberi penilaian?

“Selama kau menulis apa yang ingin kau tulis, itu yang terpenting. Apakah tulisan itu akan berguna untuk selamanya atau hanya selama berjam-jam, tak ada yang bisa tahu. Kebebasan intelektual tergantung pada hal-hal materi. Puisi tergantung pada kebebasan intelektual. Dan perempuan selalu miskin, bukan hanya selama dua ratus tahun, tetapi sejak awal waktu dunia mulai berputar.”

Virginia Woolf tentu salah satu penulis besar yang pernah ada, baru satu buku yang kubaca, dan luar biasa membingungkan. Mrs Dalloway dibuat dengan membuat pembaca tak nyaman, tak ada bab, semuanya ndelujur saja. Namun kualitas tak bohong, cara menyampaikannya luar biasa indah. Temanya jelas tentang perempuan, yang kecewa, yang lelah akan perkawinan. Bulan ini akan saya ulas juga. Jadi buku ini buku kedua beliau yang kubaca, dan jelas ini salah satu tulisan esai terbaik. Cocok bagi kalian yang ingin menjadi penulis, sekalipun nasihat ini bukan hanya untuk perempuan.

Ruang Milik Sendiri | by Virginia Woolf | Diterjemahkan dari A Room of One’s Own | London, Grafiton Books, 1977 | Penerjemah Khoiril Maqin | Editor Cep Subhan KM | Penata letak @dazdsgn | Perancang sampul @sukutangan | ISBN 978-623-90739-8-5 | xiv + 136 hlm. | 13 x 20 cm | Cetakan pertama, Desember 2020 | Penerbit CV Jalan Baru | Skor: 4.5/5

Karawang, 040622 – Lady Gaga – Pokerface

Thx to Haritson, Yogyakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #4 #Juni2022

Ontologi: Sebuah Penuturan Sederhana #2

Ontologi: Sebuah Penuturan Sederhana #2

Ontologi adalah keheningan sekaligus permainan bahasa itu. – Sartre

Pada masa cahaya bintang | Belum disalin ke dalam bahasa | Ilmu dan puisi belum membanjiri dunia | Cukup mengikuti hukum alam | Manusia bisa menjadi bijak dan bahagia | Sebagaimana burung-burung terbang | Dan ikan-ikan berenang – Faisal Kamandobat, Kisah Kemurungan Adam

Karena beli daring, kukira ini adalah buku terjemahan filsafat. Eh ternyata lokal, ini seperti kumpulan pelajaran dasar seri filsafat. Berhubung saya masih awam untuk hal ini wajar buku Ontologi lumayan bervitamin, apa yang disampaikan memang sangat dasar. Banyak mengambil referensi lain, banyak menguntip dan menulis ulang dari era sebelum Masehi, abad pertengahan sampai yang tergres. Ga masalah, mending memberi sumber dan mencantumkan itu kata dan tulisan siapa ketimbang ke gap, suatu ketika. Saya mengira akan jadi sebuah penuturan boring, eh enggak jua. Dilahap cepat dalam stabilo warna untuk hal-hal yang bagus. Sayangnya banyak typo, untuk buku yang berhalaman tak lebih dari seratus, tim Quarks Book harus punya proof reader mumpuni guna mengantisipasi kesalahan ketik di kemudian hari.

Filsafat muncul karena manusia merasa heran (thaumasia) dan sangsi (skeptis) atas segala hal baik di dalam maupun di luar dirinya, juga merasa diri terbatas di hadapan ketidakhinggaan di sekeliling.
Metafisika sering disalahartikan dengan cara dipaksakan oleh para penggunanya. Kesalahan tersebut kira-kira sama seperti istilah politik diartikan sebagai kekuasaan dan ekonomi sebagai uang dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal politik dan ekonomi sesungguhnya adalah moralitas yaitu kebiasan baik (phronesis) yang didasarkan pada keutamaan (arete) untuk mendukung terciptanya kehidupan yang sejahtera, penuh dan utuh (eudaimonial well being) secara bersama-sama dalam sebuah komunitas.

Protagoras (480 – 411 SM) menyatakan bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya, baik yang ada maupun yang tidak ada. Bagi Aristoteles, kenyataan atau benda konkret adalah benar-benar ada dan tidak ada kaitannya dengan ide-ide yang ada di atasnya.

Epikuros (341-271 SM) menyatakan bahwa alam semesta ada dan berjalan karena gerak atom-atom. Para dewa tidak menciptakannya dan tidak ikut campur tangan dalam urusan dunia. Manusia bertanggung jawab sendiri atas diri dan dunianya. Oleh sebab itu tidak perlu takut pada dewa.
Kaum Neophytogorean yang memegang teguh dualisme Plato yang menentangkan antara yang rohani dengan bendawi. Mereka percaya tidak ada hubungan antara yang Ilahi dengan dunia ini. Yang Ilahi adalah yang ada, tak bergerak, realitas sempurna, subtansi yang bukan benda. Yang Ilahi itu terlalu tinggi dan terlalu jauh untuk dijangkau umat manusia. Ia tak terhampiri sehingga tak dapat dipujasembah. Bagi mereka alam semesta ini tidak diciptakan oleh Yang Ilahi melainkan dibuat oleh perantara, yaitu demiurgos. Dinatara Ilahi dan manusia ada dunia demon dan manusia setengah dewa.

Plotinos (204-269 SM) dari Lykopolis, Mesir bahwa Yang Satu (to Hen) merupakan asas pertama dan terdalam dari pikiran serta segala sesuatu yang ada. Yang Satu bukanlah pikiran, bukan Ada dan bukan juga sesuatu yang ada, melainkan Adi-Ada, Yang Tak Terhingga, dan Absolut.
Hakikat sejati dunia materi adalah bersifat rohani. Posisi jiwa sama dengan demiurgos, dengan dunia material sebagai taraf terendah emanasi dan Yang Satu. Adapun tujuan dunia material adalah remanasi, yaitu kembali ke Yang Satu. Ada tiga cara remanasi, Kembali ke Yang Satu: Manusia harus menyucikan diri dengan melepaskan diri dari dunia materi; Mendapat penerangan dari Nous tentang Yang Satu; dan menyatukan diri dengan yang Satu dalam ekstasi.

Konsep adalah suatu tanda alami (signum naturale) yang diungkapkan dalam suatu sebutan atau nama (nomen) atau dalam suatu istilah khusus tertentu (terminus) melalui bahasa yang bersifat konvensional. Tidak ada hubungan antara kenyataan dengan penamaannya; kalaupun ada hanya dugaan saja.

Tujuan Kung Sung-Lung adalah berusaha mengubah dunia ini dengan cara membenahi pemahaman manusia mengenai hubungan anatar nama dan pemahaman manusia mengenai hubungan nama dan kenyataan. Baginya terdapat kesalahan pemahaman terkait ini. Misalnya, manusia ingin damai di negaranya, namun tak jarang mereka melakukan perang demi kedamaian itu. Maka sebuah kekeliruan, harus diperbaiki sebagai langkah pertama dengan mengubah keadaan tersebut.

“Wacana tentang Kuda Putih” dia membuat penyataan utama bahwa ‘Kuda putih adalah bukan seekor kuda’. Alasan pertama bahwa kata kuda menunjuk pada suatu bentuk, kata putih menunjuk pada suatu warna. Apa yang menunjuk warna tidak dapat menunjuk pada benda. Maka kuda putih bukanlah seekor kuda. Alasan kedua, bahwa seekor kuda akan selalu memerlukan sebuah warna, bukan memerlukan seekor kuda berwarna putih. Alasan ketiga, kuda pastinya memiliki warna, tidak ada kuda yang tanpa warna. Oleh sebab itu menurut Kung-sun Lung, kuda putih adalah bukan seekor kuda (yang tanpa warna).

Filsafat identitas berusaha mendamaikan antara subjek dan objek, yang tidak terbatas dengan yang terbatas, pada zaman itu menjadi problem dan skandal dalam filsafat. Dengan filsafat identitasnya, Spinoza berhasil melebur-hilangkan perbedaan subjek-objek. Realitas kemudian dipahami sebagai satu keseluruhan yang utuh, di mana subjek sekaligus merupakan objek.
Manusia dengan tubuh (extensio) dan pemikirannya (cogitato) merupakan ciri hakiki dari subtansi Allah. Dalam filsafat identitas ini Spinoza, Allah yang tiada batasnya dipahami sebagai aktivitas yang tak terhingga, meliputi pemikiran murni, dan menghendaki yang murni. Allah adalah pikiran yang sedang memilikirkan dan menyadari pikiran dan diri-Nya sendiri.

Bagi Schelling, Yang Mutlak tidak memiliki prioritas atau lebih utama daripada yang tidak mutlak. Atau sebaliknya, yang tidak mutlak tidak lebih unggul dibandingkan dengan Yang Mutlak, karena keduanya bersumber yang sama dan bersifat sama sekali netral, yang oleh Schelling diberi nama sebagai Identitas Mutlak atau Indiferensi Mutlak Murni.

Pyrrho of Elis (365-270 SM) menyatakan bahwa sikap hidup yang skeptis akan membawa seseorang kepada kedamaian jiwa dan ketenangan batin (ataraxia) yang membuat seseorang tak tergoyahkan dalam segala kekacauan situasi kehidupan. Orang yang hidup tenteram adalah orang yang hidup mandiri dan swasembada (autarkia) karena bermental dan bertekad kuat.

Materi adalah data indrawi dan bentuk adalah a priori yang ada dalam pikiran. Bentuk a priori ini oleh Kant disebut sebagai ‘kategori’. Ada 12 kategori Kant: Kuantitas (kesatuan, kejamakan, dan keutuhan); kualitas (realitas, negasi dan perbatasan); modalitas (kemungkinan, keniscayaan, peneguhan); hubungan (subtansi-aksidensi, kaulitas dan resiprositas); setelah itu barulah akal budi mengatur pengetahuan rasional ke dalam kesatuan dan kesempurnaan, yaitu menarik kesimpulan dan membuat argumentasi-argumentasi tentangnya. Inilah yang disebut sebagai putusan sintetis a priori.

Pengetahuan manusia terbatas pada realitas dunia alami. Oleh karena itu Allah ‘berada’ diluar jangkauan pengalaman manusia, maka tidak mungkin kita mengetahui secara teoritis tentang Allah. Namun Kant juga menegaskan bahwa penyangkalan kemungkinan pengetahuan teoritis tentang Allah sekaligus berarti keberadaan Allah juga tidak dapat dibantah.

Menurut Hegel, sejarah manusia kemudian hanyalah mengulang bentuk dan tahapan lama, tidak ada lagi peristiwa yang sungguh-sungguh baru akan terjadi.

Heidegger melihat Ada bukan sesuatu yang terisolasi pada dirinya dan lepas dari manusia. Manusia tidak terisolasi pada dirinya dan lepas dari Ada. Hakikat Ada dan hakikat manusia berkaitan satu sama lain. Untuk menyingkap Ada membutuhkan manusia. Manusia adalah ruang tempat Ada mengambil tempat untuk berada. Manusia adalah tempat (statte) Ada menjelma, tempat Ada mengambil tempat. Hanya melalui perantara manusia, Ada yang tersirat pada berbagai adaan, dapat memberita.

Tetapi Ada bukan produk sama sekali hasil pikiran manusia. Pikiran adalah pemberian, rahmat Ada (Gnade des Seins). Berfikir adalah membantu Ada tampil sebagaimana mestinya. Karena itu berfikir adalah bentuk terima kasih dan berbicara adalah mendengarkan. Tugas pemikiran adalah menjaga terjadinya peristiwa Ada dengan penuh rasa kasih.
Menurut Jacques Derrida, manusia adalah teks yaitu tanda sekaligus sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya Ada, bahkan mempertegas ketidakhadiran Ada.

Penyataan tertinggi Wittgenstein adalah bahwa mempertanyakan atau meragukan kenyataan pun harus didasari keyakinan/keyakinan bahwa kenyataan itu harus diragukan atau keraguan itu adalah suatu hal yang harus meyakinkan dan pasti.

Waktu sebagai sebuah entitas adalah sebuah momen yang memiliki ciri khusus tersendiri. Namun sebagai sebuah bukan-entitas, waktu merupakan bagian dari sebuah kesatuan rangkaian, di mana ketika seseorang mengatakan ‘sekarang’ namun pada saat waktu yang sama ‘sekarang’ itu sendiri telah berlalu.
Inti pemikiran Nagarjuna (150-250 M) adalah bahwa hakikat keberadaan realitas adalah kekosongan (emptiness/sunyata). Bahwa tidak ada sesuatu di atas sana, bahwa seseorang tidak dapat lagi pergi ke sana dan tidak dapat lagi yang digapai.

Lao Tzu (604 M) bahwa jalan yang dapat dijalani bukanlah jalan. Nama yang dapat disebut adalah bukan nama. Jika diungkapkan dengan kalimat lain, “Yang tahu tidak bicara, Yang bicara tidak tahu.” Wittgenstein juga mengulangnya bahwa, “Apa yang seseorang tidak dapat katakan, harus dibiarkan dalam diam.”

Secara langsung Budha berhadapan dengan variasi logika Jainisme, atau juga boleh disebut sebagai variasi logika catuskoti Madyamika. Pandangan ini dikenal dengan nama teori ‘Belut Berkelit’ (amaravikkhepavada, ‘theory of eel-wrigglers’). Mereka berdebat apakah ada kehidupan setelah kematian? Sanjaya Belattputta (6-5 SM) yang hidup pada tahun yang sama dengan Budha dan Mahavira menjawab: Tetapi saya kira itu tidak ada. (1). Saya tidak mengatakan bahwa itu tidak ada, dan (2) Saya tidak mengatakan sebaliknya. (3) Saya tidak mengatakan itu tidak ada, dan (4). Saya tidak tidak mengatakan itu tidak ada.

Kaon adalah permainan kata-kata di mana bahasa dibolak-balik untuk menggoncangkan pemahaman subjek tentang sesuatu. Kaon berusaha menyadarkan seseorang terhadap keterbatasan bahasa dan sifat ilusif bahasa dengan cara mengejek dan mengolok-olok sifat dan hakikat bahasa. Ada dua jenis kaon: (1) Tidak ada jawaban atas suatu pertanyaan yang sesungguhnya kosong. (2). Jawaban pertanyaan itu harus ditemukan dengan meditasi yang mendalam. Singkatnya menurut Zen bahasa dapat dan selalu menjadi penghalang terhadap pengalaman langsung. Bahasa adalah simbol, lambang, tanda atau jari menunjuk, namun tidak pernah membawa seseorang kepada apa yang ditunjukkannya.

Jika seseorang sudah mengenal dirinya sendiri maka dia sudah tidak jauh mengenal Tuhannya. Manusia selalu terkecoh dengan keinginannya sendiri.

Ontologi: Sebuah Penuturan Sederhana | oleh Tony Doludea | cetakan pertama, September 2017 | Penyelaran bahasa Faisal Kamandobat | Perancang sampul dan tata letak Faisal Kamandobat | gambar sampul Melanncholy (1891) karya Edvard Munch | Penerbit Quark Book | bekerja sama dengan Cak Tarno Institute (CTI) | ISBN 978-602-61928-1-3 | Skor: 3/5

Karawang, 020618 – Nikita Willy – Maafkan

#2 #Juni2018 #30HariMenulis #ReviewBuku

Kinderjaren / Pengharapan

Featured image

#30HariReviewBuku #5

Lagi, kekejaman nazi dilukiskan dalam cerita, kini dengan sudut pandang anak kecil. Novela karya Jona Oberski ini menceritakan era saat Nazi berkuasa yang mencoba membumihanguskan kaum Yahudi. Bersetting di Belanda tahun 1938. Dengan sudut pandang ‘aku’, seorang anak tunggal dari pasangan Yahudi yang menjadi korban keganasan perang. Buku yang berdasarkan kisah nyata ditulis atas ingatannya semasa kecil di kamp konsentrasi Westerbork di Belanda dan Bergen-Belsen di Jerman. Sayangnya kata pengantar yang ditulis oleh Pengajar Bahasa dan Sejarah dari Universitas Indonesia (UI) oleh Dr. Lilie Suratminto, memberikan bocoran besar atas cerita ini. Jadi kejutan yang disimpan terungkap saat buku belum mulai ku baca. Beliau dengan entengnya bercerita sejarah buku ini dan bilang, karakter penting akhirnya mati. Duh, sungguh disayangkan cerita bagus ini bocor, sehingga kenikmatan cerita berkurang.

Aku, dalam kisah ini diawali dengan kebahagian bersama kedua orang tuanya. Dari keluarga berada, merayakan ulang tahun dengan kue dan hadiah-hadiah, tumbuh dengan kecupan sayang setiap hari. Kebahagian masa kecil yang terenggut karena perang, saat Nazi berkuasa kaum Yahudi disingkirkan dari masyarakat lalu dikumpulajn di kamp konsentrasi. Westerbork adalah kamp konsentrasi yang didirikan Belanda untuk menampung pengungsi Yahudi dari Jerman. Aku dalam kisah ini tak disebutkan nama, hanya aku anak kecil yang bersama ayah dan ibu terpaksa mengungsi. Terdiri dari lima bab yang dijelaskan secara kronologis dan dipisahkan sub bab yang dinamis.

Bab pertama mengenai keluarga yang bahagia. Bab kedua mengenai pengungsian. Bab ketiga mengenai kehidupan di kamp konsentrasi. Bab keempat mengenai keruntuhan Nazi yang berarti mereka kembali merdeka. Bab kelima mengenai pengharapan di masa depan. Alurnya maju terus, kekejaman perang tak digambarkan secara detail. Hanya disebutkan sepintas, seperti saat serdadu memanggul bedil, lalu menembaki para tahanan yang mencoba kabur. Lalu dalam sebuah sub bab yang panjang, dijelaskan mayat-mayat yang ditumpuk dalam ruang ketel (knekel) yang sudah mulai membusuk. Ga ada yang implinsit dan berdarah-darah, buku ini sangat aman dikonsumsi remaja.

Dalam sebuah cerita yang singkat, Aku dalam kisah ini ditipu oleh Trude, teman seperjuangan bertahan. Bahwa sesuatu yang mengerikan telah terjadi, nanti saat kamu dewasa akan mengerti.  Dan buku ini ditutup dengan sangat manis, bahwa saat kita terpuruk pun, selalu ada harapan.

Detail ini tak ada dalam cerita, namun sebuah fakta yang terjadi di akhir bab: tanggal 9 april 1945 sebanyak 2500 tawanan diangkut dari Bergen-Belsen ke Theresienstadt. Nasib tawan tak menentu karena pertempuran antara sekutu dan Jerman semakin seru. Kereta pengangkut ini sulit mencapai tujuan selama, dua minggu berganti-ganti arah sebentar ke utara, lalu balik ke selatan. Ke timur, lalu tiba-tiba kereta terhenti di hutan dekat desa Trobitz di Jerman Timur. Tawanan inilah yang kemudian dibebaskan oleh tentara Rusia. Titik akhir kereta adalah Mokum, sebutan lain kamun Yahudi untuk kota Amsterdam yangartinya “tempat berlindung yang mana”. Inilah yang terjadi saat tokoh Aku kebingungan mengapa kereta terhenti di hutan tanpa kejelasan. Aku sendiri akhirnya tertidur lama, setelah terserang demam saat tahu fakta yang menyakitkan.

Sekali lagi, bukti bahwa perang banyak membuat orang menderita.

Pengharapan / Kinderjaren | a novela by Jona Oberski, Amsterdam copyright 1978 First publised by Uitgeverij BZZTOH, Den Haag, 1978 | Penerjemah: Laurens Sipahelut | Penerbit Pionir Book | cetakan pertama, Maret 2012  | x + 86 hlm; 14 cm x 21 cm | ISBN 978-979-15417-4-9 | Skor: 3/5 Karawang, 120415

Kiss The Lovely Face of God: Aku Adalah Rahasiamu

image

#30HariReviewBuku #4

Hanya dalam semalam, novel ini selesai kubaca. Setiap lembarnya memberi  tanya apa yang akan terjadi berikutnya. Salah satu syarat buku bagus adalah, pembaca penasaran dan ketertarikan itu diganjar dengan kejutan yang bagus. Hebatnya buku ini mewujudkannya, padahal ketika beli saya ga tahu siapa itu Mustapa Mastoor. Hanya karena ada embel-embel ’23 kali cetak ulang’ dan ‘Pemenang Kalam Zarim Award’ dengan hiasan daun khas penghargaan tentunya.

Dengan sudut pandang orang pertama, Yunes mengalami kehampaan hidup dan menghadapi pertanyaan besar semesta ini, ‘Apakah Tuhan ada?’. Cerita dibuka dengan Yunes menjemput sahabat lamanya di bandara, sahabat karib yang sudah 9 tahun tak bertemu. Mehrdad ke  Amerika setelah terjerat cinta sahabat pena sehingga harus keluar dari kuliah. Suka puisi dan romantis. Tak berubah, saat Yunes menyambutnya di pintu bandara dia dipeluk dengan bunga mawar dalam genggaman. Dua sahabat lama itu lalu bernostalgia. Bahwa di Amerika sama saja, banyak orang gila. termasuk Julia, istri Mehrdad yang ditinggalnya sementara. Ternyata Julia kena kanker, yang membuat frustasi. “Apa yang hilang dari mayat yang ada pada orang hidup. Apa yang membedakan mayat dengan orang hidup?”

Yunes yang kini sedang terjerat tugas akhir doktoral tentang motivasi bunuh diri yang dilakukan seorang fisikawan senior. Sedang dilema, mau sampai kapan tesisnya selesai? Padahal gelar tersebut adalah syarat mutlak dari orang tua Sayeh untuk meminangnya. Hidupnya seakan tergantung pada seonggok mayat. Keharusan segera lulus tersebut membuatnya stress. Suatu malam dia mengalami panas yang hebat. Terjaga dari tidur, dia mencoba mengambil minum. Rasa panas bertubi-tubi mengalir di sekujur tubuh. Keringat mengalir, rasa haus mencekik. Namun sebelum mendapati minuman dia terjatuh, seperti ada yang mengayun ke atas dan ke bawah. Perlahan dia mencoba duduk lagi, lalu mengambil air untuk meredam kakinya. Suhu dingin mulai menjalar, namun tak lama tiba-tiba kembali panas menusuk. Apakah aku akan mati? Sampai sekarang aku belum manjadi apa-apa, sebelum mati aku harus mendapatkan posisiku, menancapkan kuku-kuku ini ke bumi agar jika nyawa merenggutku ada yang tersisa di bumi. Jika hari ini tidak ada prestasi yang kuukir, di hari mendatang siapa yang akan mengenang keberadaanku? Jika jejak langkahku tidak dapat lagi dilacak, artinya aku tidak pernah ada. Aku tak ingin seperti kebanyakan orang yang datang dan pergi tanpa melakukan apa-apa, terpinggirkan oleh sejarah. Tidak, Yunes tidak meninggal. Belum, masih banyak hal yang harus diperbuatnya.

Dengan bergulirnya waktu, Yunes mulai mempertanyakan agamanya. Mulai menggunakan logika dalam menganalisa kenyataan hidup. Salah satu puncak yang membuat greget adalah ketika Yunes akhirnya bertengkar hebat dengan Sayeh sampai akhirnya pernikahan mereka terancam kandas. Yunes mempertanyakan ‘dongeng’ nabi Musa saat berdialog dengan Tuhan. Apakah itu nyata ataukah cerita pengantar tidur? Sayeh sebagai seorang muslim yang taat tentu saja marah besar. “Aku yang mana, aku yang sekarang sudah begitu berjarak dengan aku yang dulu. Yang sekarang kupahami semua hanyalah dongeng belaka.”

Yunes yang tinggal pasangannya mencoba bangkit dengan memberi bukti bahwa dirinya harus segera lulus. Kembali ditelusurinya kasus kematian sang fisikawan. Penelusuran yang menghantarnya kepada Doktor Mirnashr. Doktor muda yang berfikiran open minded namun punya disiplin tinggi, “Di dunia yang begitu besar ini masih banyak hal menyenangkan ketimbang radio dan televisi, setuju?”

Lalu muncul karakter ali yang religius yang katanya bisa mencium bau kematian. Karakter paling cool dalam novel ini. Dalam sebuah adegan Ali mendengar bisikan lirih dari sebuah tembok yang berlubang, lalu dia pun mengamatinya ternyata ada kecoa yang berbalik sambil memegang makan berusaha bangkit. Dengan sekali sentuh Ali membalikkannya, bisikan tersebut adalah erangan kematian yang bisa didengarnya. Lalu ketika ketemu seorang perempuan frustasi yang ditinggal suaminya, dia dengan suka rela memberikan seluruh uang yang ada di kantongnya. Dan muncullah dialog yang membeberkan arti judul novel ini.

Akhinya apakah Yunes berhasil menyelesaikan gelar S2 nya? Apakah Mehrdad bisa bangkit dari keterpurukan rumah tangga? Apakah arti tagline “Oh.. neraka lebih baik asalkan bersamamu daripada surga tanpamu?” dan pertanyaan besar semesta, “Apakah Tuhan ada?” Semuanya disimpan rapat sampai lembar akhir yang mengejutkan. Sungguh buku yang komplit. Selain ilmiah, novel ini juga romantis. Berikut puisi yang dibacakan Yunes yang luar biasa disadur dari karya Furugh Farakhzad:

“Aku bermimpi melihat seseorang, aku bermimpi berkencan dengan bintang kejora, bola mataku seakan berloncatan, lalu diriku membuta, mungkinkah aku berdusta, seseorang itu datang, seseorang yang berbeda dan lebih baik, seseorang yang tak mirip siapa pun, seseorang yang demikianlah adanya, wajahnya bersinar terang laksana wajah para Nabi, namanya kerap disebut ibuku di setiap akhir salatnya, wahai yang memenuhi setiap hajat, dengan mata terpejam ia mampu mengeja aksara, kuseka tangga tangga menuju atap rumah, kutuang perasaan anggur merah dalam cawan dan aku sedang bermimpi”

Overall tanpa ragu saya memberi nilai 5 dari 5 bintang. Setelah membacanya saya sempat berujar ini sepadan novel Dan Brown, ‘Da Vinci Code’. Menukil salah satu review-nya, “Novel yang akan mengguncang iman Anda!” dan kurasa tak berlebihan. Kalau yang ini versi Islam, namun dibawakan catchy tanpa membuat kening berkerut. Sebagai penutup, Meski keberadaan Tuhan sama sekali tak ada hubungannya dengan keimanan kita, tetapi untuk dapat merasakan kehadiranNya sangat dipengaruhi oleh kadar kayakinan kita. Catat itu!

Kiss The Lovely Face of God | a novel by Mustafa Mastoor copyright 2006 | cetakan pertama April 2010 | Penerjemah: Bundahakim | penerbit Ufuk Press | ISBN 978-602-8224-88-8 | skor: 5/5

Karawang, 080415
Laz4-0Emp

Dikatakan Atau Tidak Dikatakan Itu Tetap Cinta

image

#30HariReviewBuku #3
Kumpulan sajak yang sangat biasa dari penulis produkstif Tere Liye. Ga tahu kenapa awal tahun  buku ini bisa masuk daftar beli, padahal sudah sering dikecewakan bung Darwis. Dan buku ini menambah daftar tersebut. Berisi 24 sajak pilihan disertai ilustrasi, ga ada sesuatu yang wah sama sekali dari buku tipis ini.
Dibuka dengan ‘Sajak UN’, isinya sepele “Jangan mengeluh, jangan risau, hanya orang-orang terbaik yang akan lulus”. Lalu kedua ‘Saat Hujan’, ini juga bukan sesuatu yang baru saat Tere bilang, “Dan menangislah saat hujan, ketika air membasuh wajah agar tidak ada yang tahu kau sedang menangis, Kawan”. Ratusan cerita, puluhan lagu sudah mengulas orang membiaskan diri menangis di bawah hujan. Lalu ‘Rahasia Kecil’ yang sederhana sekali, “sssttt tapi ini rahasia kecil, jangan bilang siapa-siapa” sampai diakhiri ‘Bilang’, “Dan tidak mengapa kita tahu persis, tidak berkurang nilainya”.
Dari empat sajak itu saja kita sudah tahu ini akan mengecewakan. Dan benar saja setelah 30 menit membacanya, rasanya hambar. Saya heran apa daya jual buku ini? Ilustrasinya? Juga biasa. Dari 10 gambar hanya 2 yang ku suka, ‘Angin, Hujan, dan Sakit Hati’ dengan gambar seorang gadis menatap bintang di tepi telaga dengan posisi membelakangi. Ini misteri, apa yang ada dalam pikiran si gadis? Dan saya memang suka memandang langit. Satu lagi ilustrasi, ‘Sendiri’ dengan pose (lagi-lagi) membelakangi kita, ada 4 orang sekeluarga: ayah, ibu, 2 orang anak sedang memandang purnama. Kalau yang ini ga misteri karena sudah dijabarkan (penjabaran yang klise dan berulang ) mereka melihat bulan yang indah namun (berprasangka) bulan itu kesepian. Selain dua gambar itu ga ada yang istimewa.
Sajaknya? Jelas tidak. Sajak sederhana seperti ini bisa dibuat dalam semalam, dan bisa lebih dari 24 buah, kalau mau… Ga ada yang ambigu, ga ada penafsiran ganda. Ga ada yang puitis, padahal sajak kan nilai utamanya di sana. Lurus dan klise. Kalau mau baca puisi atau sajak indah, baca Rabindranath Tagore. Tulisannya jleb dan berarti sangat mendalam. Eh kejauhan ya pembandingnya, yah karena saya memang jarang baca puisi jadi ga tahu mau bandingin siapa. Nanti deh akan saya review salah satu buku Tagore.
Tere? Ya bisa jadi. Dengan nama mentereng daya jual buku ini jelas bung Darwis. Ibaratnya beliau nulis resep makanan saja pasti laku. Namun tetap, yang utama adalah kualitas. Saya jadi ingat salah satu penulis favorit saya, Jonathan Stroud. Karena keterpukauan saya terhadap ‘Bartimaeous Trilogy’ saya beli banyak buku lainnya. Tapi ternyata memang nama penulis ga sebuah jaminan sepenuhnya. Seperti piring yang terhempas di lantai, saya kecewa berat dengan ‘The Last Seige’. Amburadul.
Yang mengherankan, buku dengan 72 halaman ini dijual dengan bandrol Rp 35.000,- termasuk mahal. Sebagai pembanding, bulan lalu saya beli ‘A Russian Affair’ nya Anton Chekhov dengan 174 halaman hanya Rp 25.000,- jadi penasaran pakai resep apa ya beliau. Jadi apakah buku ini worth it untuk dibeli? Nope! Kecuali Anda adalah fan berat Tere dan menginginkan koleksi lengkapnya di rak. Lebih baik silakan ke toko buku dan baca di sana. Sederhana. Dan ‘Kesedihan Dihabisi Oleh Waktu’
Dikatakan Atau Tidak Dikatakan Itu Tetap Cinta | Kumpulan sajak oleh Tere Liye terbit tahun 2014 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama cetakan ketiga, November 2014 | ISBN 978-602-03-0718-3 | 72 hlm; 20 cm | Skor: 1/5
Karawang, 090415
Lazio the Great