Karena aku pun menari-nari
Dan minum dan bernyanyi
Sampai sebuah tangan tak bermata
Meremukkan sayapku
— William Blake, Songs of Experience “The Fly”, Stanza 1-3 (1795)
Tahun yang berat dan sungguh aneh. Pandemi berlangsung dan lama, hingga kini. Oscar mundur ke April, secara otomatis daftar terbaik mundur 2 bulan pula. Setelah kejar sana-sini, akhirnya saya susun film terbaik 2020. Tanpa film lokal sebab sepanjang diumumkan kasus pertama Corona, saya otomatis tak ke bioskop.
Dari remaja melakukan aborsi sampai jiwa yang melayang di dunia antara, dari manusia tak terlihat yang mendendam sampai wanita muda yang mendendam, dari film berisi obrolan sepanjang samudra dari Amerika ke Eropa sampai lelaki tua yang tersingkir, dari sapi istimewa yang didatangkan sampai satu malam di hotel ngegoliam, dari deklamasi puisi dalam kunjungan ke calon mertua sampai proses rekaman jazz. Inilah film-film terbaik 2020 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):
#14. Never Rarely Sometimes Always – Eliza Hittman
Inilah film sedih dengan kemuraman akut menyelingkupi, sepanjang menit, sepanjang kisah, selama satu setengah jam yang muram. Proses pendewasaan manusia. Tumbuh besar itu pasti, tapi tak otomatis menjadi dewasa. Ada yang lebih cepat terutama kaum perempuan, dan kisah dalam Never Rarely Sometimes Always menampilkan sosok remaja yang harus mengambil keputusan penting kala seharusnya masih menikmati masa-masa menyenangkan di dunia pendidikan. Hamil di luar nikah, bersama temannya berkelana ke kota asing untuk melakukan aborsi. Lihat dunia yang sesak, hal-hal yang sejatinya damai menjelma sesak dan penuh keabu-abuan. Alur berat, aborsi. Ini masalah yang mencipta gema kolektif.
“Your partner has threatened or frightened you. Never? Rarely? Sometimes? Always?”
#13. Promising Young Woman – Emerald Fennell
Tidak ada perselisihan tentang rasa dan merasakan. Ini adalah film komedi, tapi ternyata tawa itu pahit. Ini film thriller, tapi ketegangannya merajah mual, ini film drama romantis, ah ga juga. Adegan pembunuhannya menampar roman indah para pujangga. Ini jelas kisah yang kompleks, aduhai sampai menang Oscar. Tepuk tangan untuk kelihaian plotnya. Menakjubkan, rentetan kepedihan menguar sampai menit akhir, bahkan setelah layar ditutup saya tak tahu mau bilang apa. Tema yang ditawarkan adalah dendam yang disimpan, lalu direncana dibalaskan dengan kesabaran tinggi dan gaya jungkir balik. Endingnya mungkin membuat shock, tak selancar itu tatanan rencana yang dibuat. Menohok dengan keras para penikmat happy ending Disney. Semua itu menyembur dari kalian bagaikan sebersit api dalam kegilaan balas dendam. Dan bilamana mereka menyebut diri manusia benar, hhhmmm… bagaimana ya menyebutkan, sederhananya takdir mencoba senyum dalam, yang baik dan yang adil.
“Aku memaafkanmu.”
#12. Invisible Man – Leigh Whannell
Dengan hanya mengenal Elizabeth Moss, saya benar-benar menikmati segala kejutan itu. Nyaman sekali, enak sekali, tanpa kena bocoran. Ga tahu cast and crew dibaliknya selain Moss, mencipta daya ledak luar biasa. Gabungan horror untuk musuh yang tak terlihat, sci-fi untuk temuan jubah gaib-nya, sampai thriller penuh ketegangan. Setiap detik begitu berharga, setiap helaan napas menjadi begitu mencekam karena musuh tak terlihat! Bisa dimana saja, bisa di pojok ruangan mengamati kita, bisa di kolong meja, menghitung kuman di jari kaki kita, bisa juga menatap tembok, hening. Sebuah pilihan tak terduga bisa dicipta setiap saat.
“He said that whatever I went, he would find me, walk right up to me, and I’m wouldn’t be able to see him.”
#11. Soul – Pete Docter
Kehidupan setelah kematian yang diselimuti jazz, impian yang kandas karena ‘kematian’ mendadak lalu berhasil mengelabuhi malaikat maut sehingga muncul kesempatan bangkit dari dunia antara. Tema yang sangat berat, memainkan dunia gaib, dunia antah. Disampaikan dengan fun karena warna-warni animasinya benar-benar istimewa.
“A Spark isn’t a soul’s purpose. Oh, you mentor and your passions. Your ‘purpose’. Your ‘meaning of life’. So basic.”
#10. Let Them All Talk – Steven Soderbergh
Dia yang tersesat dari kita, kecuali mereka yang berdiri cukup diam untuk mendengarkan. Isinya orang ngobrol di atas kapal dari awal sampai menit menyisakan belasan. Ini adalah kisah yang mengedepankan kekuatan akting dan improvisasi. Para aktor diberi keleluasaan berbicara, naskahnya hanya memberi garis besar (30%, sisanya improvisasi). Lalu membiarkan mereka berbicara sesuka dan semenarik mungkin.
“Kuharap kamu tidak kecewa, yang penting kamu sudah mencoba, mencoba adalah segalanya. Jika kamu tak mencoba, kamu tak akan tahu resikonya.”
#9. The Father – Florian Zeller
Pikun di usia senja, melupakan banyak hal. Orangtua yang tinggal sama anaknya di apartemen, menjadi beban karena sang anak mau melalangbuana ke negeri jauh. Nasib, ingatan menjadi hal yang sangat penting, menjaganya, membuatnya tetap hidup saat usia tak lagi muda. Dunia telah menjadi tua dalam sesaat, sekejap mata, dan kita menjelma bersamanya. Hebat sekali yang bikin cerita, kita turut menjadi seorang Anthony, turut merasa bingung dan menempatkan diri dalam kebimbangan. Kenangan, memori, pori-pori samar apa itu dunia maya yang berkelebat di kepala, di awang-awang. Tanpa ingatan, setiap malam adalah malam yang pertama, setiap pagi adalah pagi pertama, setiap sapaan dan sentuhan adalah yang pertama. Semuanya serba kejadian baru. Lantas apa itu masa lalu?
“I feel as if I’m losing all my leaves.”
#8. First Cow – Kelly Reichardt
Persahabatan yang erat, setia, saling mengisi selalu mengharukan saat tertimpa masalah. Dunia dengan ringannya memberi warna pada sajian kue istimewa, membentuknya menjadi makanan idola. Dengan antrian panjang pembeli, setiap orang normal pasti bertanya apa resepnya. Rencana Plankton sudah melegenda hanya untuk mencurinya dari Tuan Crab. Namun kita tak usah berpikir panjang dan rumit akan rumusnya, duduk nikmatilah. Maka saat para pembesar memintanya menyajikan makanan khas itu dalam jamuan menyambut tamu besar, duo kita kelimpungan. Resep rahasia itu melibatkan susu haram yang ditarik di gelap malam, milik peng-order-nya sendiri! Sapu pertama selalu istimewa, selanjutnya terasa biasa.
#7. Quo Vadis, Aida? – Jasmila Zbanic
Jika perang selalu menjadi anakronisme sosial, masalahnya tidak akan selesai dengan menjadikan militer dan perang sebagai kambing hitam. Manusianya yang bermasalah, ideologinya hitam. Anarki dengan obsesi membunuh. Militer pada dasarnya tetap dibawah naungan politik, dan para elit militer di kawasan perang ini terjebak dalam persaingan militer. Korbannya tetap rakyat biasa. Kita tahu apakah itu kejahatan perang, dan kita tahu itu kenyataan.
“General Mladic is looking for a civilian representiative with him. Are there any volunteers?”
#6. Tenet – Christopher Nolan
Tenet memiliki misi sejati menyelamatkan dunia, mulia sekali Nolan, ia mencoba mencegah kiamat. Bertiga merencana, rencananya sangat sederhana, pengaturan waktunya sempurna. Sepuluh menit itu dibagi dalam dua frame: di Siberia penuh ledakan guna membatalkan kiamat, dan di yatch dimana pembunuhan harus dilakukan setelah klik, Sator tak boleh mati sebelum dapat kode. Merah maju, biru mundur, catet! Seperti dalam lukisan yang baik, latar belakang merupakan bagian yang integral dari seluruh lukisan. Maka ledakan itu terasa hambar. Opini seni gambar harusnya dilakukan sedetail mungkin. Ini gambar gerak yang melibatkan Boeing-737, Booom! Happy ending. Hiburan ‘adegan perang’ dalam film menunjukkan ambivalensi pada pesta pora pembunuhan yang mencapai puncak.
#5. Little Big Women – Joseph Chen-Chieh Hsu
Kisahnya dibuka dengan muram, saya suka. Kabar duka menyelingkupi keluarga. Ada yang meninggal dunia, seorang ayah dan suami yang bermasalah. Setelah pergi lama, ia meninggal di saat sang istri sedang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Pesta dibatalkan? Oh tentu tidak, karaoke di restoran bersama orang-orang terkasih di tengah kabar duka. Prosesi pemakaman lebih bermasalah lagi, sebab tata cara dan hubungan apa di baliknya menyeret banyak poin, menyangkut hati dan kepercayaan.
“Menjadi suami istri memang harus seumur hidup.”
#4. I’m Thinking of Ending Things – Charlie Kaufmann
Kesepian, gembira, cemas, sedih. Dunia angan dan segala yang merombaknya. Selalu menarik saat kita memperbincangkan fantasi berbalut permainan waktu, ditambah sepanjang menit puisi-puisi berserakan, lagu klasik menyelingkupi. Tak ada yang lebih menyenangkan saat segala absurditas disatukan, ditumpukkan dalam gegap dingin salju yang menggigil, lalu segalanya tak jelas atau setidaknya tak terjelaskan dengan clir, kenapa si anu berdansa, kenapa sisa minuman menumpuk, kenapa muncul bersamaan di ruang sekolah itu beberapa karakter yang saling silang, dst. Dunia sejatinya seperti itu, maya lebih masuk akal ketimbang nyata, dan segala hal yang ditampilkan seolah maya. Semakin penonton bingung, Kaufman akan semakin girang. Duduk menyaksi film-film Kaufman adalah duduk di pangkuan kemewahan.
“Mungkin aku sudah tahu selama ini. Terkadang pikiran lebih mendekati kebenaran, kenyataan, daripada tindakan. Kau bisa berkata atau berbuat apa pun tapi tak bisa memalsukan pikiran.”
#3. One Night in Miami – Regina King
Ini malam yang aneh. Empat lelaki dewasa di dalam kamar hotel, ngobrol sepanjang malam. Luar biasa. One Night in Miami adalah film kedua Oscar tahun ini yang kuberi lima bintang. Powerful! Mereka diskusi tentang tujuan hidup, rencana-rencana ke depan, sebagai kumpulan influencers yang harus dilakukan, dan apa yang sudah menjadi komitmen harus dilakukan sepenuh hati, tak ada jalan kembali. Merenungkan sebuah euforia. Sebagai contoh dan cermin keindahan intelektual. Senyum yang sedikit terdistorsi dari keputusasaan. Untuk menemukan kedamaian dalam kesempurnaan adalah keinginan seseorang yang mencari keunggulan; dan bukankah ketiadaan merupakan bentuk kesempurnaan?
“How many roads must a man walk down before you call him a man?”
#2. Ma Rainey’s Black Bottom – George C. Wolfe
Proses rekaman lagu Ma Rainey’s Black Bottom yang menggairahkan. Apa yang terjadi: akan, sedang, dan setelah rekaman sepanjang satu setengah jam benar-benar luar biasa. Meledak bak delapan granat yang dilempar secara serentak. Berdentum bermenit-menit bahkan setelah film usia. Sinisme, harga diri, perjuangan persamaan hak, hingga apa arti kebersamaan. Tema yang asyik dengan durasi yang pas. Setting utama hanya di studio rekaman, hanya berkutat di situ. Apa yang ditampilkan sudah cukup mewakili suara para pihak yang terlibat. Ini adalah penghormatan terakhir Chadwick Boseman, Sang Black Panther yang meninggal dunia tahun lalu.
“I can smile and say yessir to whoever I please. I got my time coming to me.”
#1. The Trial of the Chicago 7 – Aaron Sorkin
Kita akan menemukan apa yang kita bayangkan sejak awal. Perang harus diakhiri, dan itu butuh darah pengorbanan di jalanan kota. Film yang luar biasa menghentak. Segala peluru amunisi ditembakkan secara membabibuta di gedung pengadilan. Rentetan bom diledakkan seolah tak berujung. Setiap jebakan kata bisa meledak kapan saja. Adu cerdik, adu taktik di depan Yang Mulia menjadi pertempuran akbar tujuh aktivis kemanusiaan yang memperjuangkan Anti-Perang melawan Negara yang semena-mena. Semua ini masalah kemanusiaan, harga diri diredam, dan tameng-tameng itu kena rentetan tembak membabi buta. Mereka kalah jumlah, kalah senjata, kalah pasukan, kalah sebelum berperang. Namun tidak, tidak sepenuhnya sang raksasa berhasil mencincang sepasukan jagoan kecil ini. penonton dan warga dunia menyaksikan, dan mari kita beri aplaus yang paling meriah untuk laporan akhir yang mengguncang pengadilan yang terhormat.
“Those are two contradictory instructions.”
Karawang, 310521 – A.J. Croce – Which Way Steinway