Guillermo del Toro’s Pinocchio: Jangkrik Bijak Sebagai Narator

“Aku tidak suka disebut boneka.”

Cakep. Tak hanya animasinya, secara cerita ternyata tetap cakep. Template-nya sudah kita tahu semua, ini bakal kemana, tentang apa, dan mengapa. Nama Pinocchio terlalu besar untuk kembali dibuat. Versi film atau buku sudah sangat banyak, terlalu banyak malah. Jadi mau apa lagi sutradara sebesar Del Toro ikut meramaikan cerita anak ini? Tentu saja menggali dari sisi lain. Seperti Elvis yang mengambil sudut pandang manajernya, Pinocchio melalui jalur yang sama. Mengambil sudut pandang makhluk lain. Kali ini seekor serangga yang menjadi saksi perjalanan. Oh bukan hanya saksi, tapi juga memiliki misi mulia. Dan begitulah, template itu diikuti, ditata sedemikian rupa hingga si si jangkrik bijak sebagai narator menutupnya.

Kisahnya mengambil setting Perang Dunia Kedua (novelnya padahal pertama terbit abad 19) di mana Italia memainkan peran dengan Benito Mussolini sebagai ujung tombak. Seorang tukang kayu Geppetto (disuarakan oleh David Bradley) kehilangan putranya dalam perang besar, Carlo. Di sebuah gereja yang seharusnya dihormati, bom serangan udara meluluhkan gereja, di mana mereka sedang bekerja memasang salib. Kesedihan mendalam kehilangan putra tercinta mencipta depresi.

Lantas ia membuat boneka kayu dari pohon pinus. Boneka Pinocchio (Gregory Mann) itu ternyata hidup. Dipinjami nyawa oleh makhluk dunia lain Dewi Kayu warna biru (Tilda Swinton), dan seekor serangga Sebastian J. Cricket (Ewan McGregor) yang mulanya hidup dalam pohon mendapat tugas untuk menjaga sang boneka. Dari sinilah, ia mengambil alih cerita. Ia bernarasi sepanjang film.

Pinocchio lalu disekolahkan, nakal. Berbohong, hidung memanjang. Dan apesnya bertemu pemain sirkus keliling Count Volpe (Christopher Waltz) dengan monyetnya Spazzatura. Karena keunikannya, mereka ‘menculiknya’, menjadikannya bintang utama dalam sandiwara boneka, mendatangkan cuan.

Karena Pinocchio abadi, ia bolak-balik ke dimensi seberang setiap petaka menimpanya. Adegan surealis yang ditampilkan dengan bagus, peti mati dibuka, bonekanya keluar, memandang makhluk-makhluk main kartu, lantas diskusi.

Keabadiannya membuat pihak militer kepincut, merekrutnya untuk dididik perang. Maka seketika, banyak pihak menginginkannya. Apes, ia sudah tanda tangan (gambar matahari berwajah, ya Allah imut sekali) kontrak sama sirkus, dan diancam denda 10 juta lira bila mangkir. Karena ia tak ingin ayahnya menderita (memarahinya sebab jadi beban), dan ingin membantu, maka dimulaikan pertualang ia berkeliling kota-kota. Selanjutnya cerita menjadi agak monoton, mengikuti alur novel. Kalian pasti bisa menebaknya.

Ada tiga adegan bagus yang kucatat, pertama setiap masuk ke dunia antah di mana Dewi Kayu bertanduk memberi nasehat. Di meja bundar, para binatang ini main kartu, memaki kepolosan Pinocchio dan mendepaknya lagi. Dunia antara dibuat fun, melihat para binatang ini berdiskusi. Lucu. Lalu bocah kayu dengan nyawa pinjaman ini, masuk ke ruang sebelah, tertutup pintunya, dan “Hello”. Gelombang gelap nan samar itu seakan-akan berasal dari mimpi-mimpi absurd David Lynch. Hehe, tak mengenal waktu. Sebuah kata yang bagi manusia, tak bisa diajak bercanda.

Kedua, saat Pinocchio disuruh berbohong agar hidungnya bisa menyelamatkan hidup mereka. Kayu itu memanjang tak terkendali, terus menerus panjang segaris lurus dengan kata-kata buruk yang dicipta, “Aku suka perang”. Ingat, mereka masih dalam perut monster (bukan paus, mungkin dengan pertimbangan bakalan diledakkan sehingga diganti), dan itu pada akhirnya gagal mencapai titik cahaya! Yah, walau akhirnya nyembur juga.

Ketiga, saat Pinocchio pamit, ia dengan gemas memenjara si jangkrik dengan gelas. Pergi untuk membantu ayah tercinta, dan kata-katanya begitu menggema, suaranya pelan namun jernih, “Katakan padanya aku akan mengirimi dia uang. Sampaikan aku menyayanginya, dan aku tak akan jadi beban lagi.”

Kebetulan saya sudah membaca bukunya, banyak versi terjemahan dari berbagai penerbit sebab sudah berusia lebih dari 50 tahun sehingga bebas diterjemahkan. Sayang, lupa keulas. Mungkin tahun ini bakal kubaca ulang untuk ulas. Tak pernah bosan membaca ulang buku bagus.

Best animated locked. Saya baru nonton ini dan Puss, secara cerita sama-sama bagus. Namun ini unggul jauh kalau dilihat dari patahan stop-motion kartunnya. Lebih susah dicipta, lebih dapat hormat. Film ini didedikasikan untuk ayah dan ibu Del Toro, muncul di akhir credit title. Sebuah penghormatan yang baik, mengingat proses adaptasi ini berliku sejak tahun 2000-an, sampai akhirnya Netflix mengambil alihnya.

Cocok ditonton ulang sama keluarga. Mungkin setelah pengumuman, di-bundling dengan Turning Red?

Guillermo del Toro’s Pinocchio | USA | 2022 | Directed by Guillermo del Toro Mark Gustafson | Screenplay Guillermo del Toro, Patrick McHale | Cast Ewan McGregor, David Bradley, Gregory Mann, Cate Blanchett, Tilda Swinton, Christopher Waltz | Skor: 4/5

Karawang, 100323 – Artic Monkeys – Do I Wanna Know?