The Whale: Dua Jam Duduk Menyaksikan Karakter Utama Terduduk

“Saya perlu tahu bahwa saya telah melakukan satu hal yang benar dalam hidupku.”

===catatan ini mengandung spoiler===

Best actor locked. Film dengan setting minim. Hanya dalam satu ruangan, menampilkan pria gemuk, over gemuk duduk, hampir sepanjang film. Kenapa ada orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama bertahun-tahun tanpa menjadi gila? Lantas para tamu bergantian hadir, atau beberapa adegan bersamaan, mengunjunginya. Kekuatan film memang di cerita, jiwa-jiwa frustasi. Membedah pengalaman masa lalu, yang indah dikenang untuk menyatukan senyum, yang buruk dijadikan pemicu perbaikan kualitas hidup. The Whale hanya seminggu, dan selama seminggu yang ganjil, si pria gemuk dalam posisi di titik pengambilan keputusan terpenting dalam hidup. Sekarat, dan bisa jadi hidupnya tak kan lama lagi. Lantas saat tahu, hidupmu tinggal hitungan hari, apa yang akan kau lakukan?

Charlie (Brendan Fraser) adalah pria yang memiliki dosa besar di masa lalu, ia ingin memperbaiki kesalahannya, terutama pada putrinya. Ia berbadan super besar. Sampai-sampai untuk berjalan saja pakai alat bantu. Nantinya sama perawat sekaligus sobatnya Kim (Hong Chau) diganti dengan kursi roda. Sepanjang film kita disuguhi ruang dalam rumah. Maka kutatnya tak kan beranjak jauh.

Ia mengajar kuliah bahasa Inggris tentang penulisan esai secara daring. Agar identitas fisiknya tak terlihat, kamera dimatikan. Penulisan esai kini tentang novel terkenal Moby Dick karya Herman Melville. Dan sesuai bentuk badannya, paus di sini secara metafora bisa jadi adalah dirinya. Mula-mula dia sangat berapi-api tentang suatu proyek tulisan esai yang bagus, tak henti membicarakannya. Nantinya di akhir, menjadi luapan emosi, lalu mengiringi ‘penerbangan’.

Dari Kim, kita tahu kondisi Charlie memprihatinkan. Sekarat, perlu dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut, takut gagal jantung, tapi ia selalu menolak, tak ada asuransi, tak ada duit, mau bayar pakai apa? Bermuram durja, mengeluhkan biaya. Segala penanganan ini bersifat ala kadar, sehingga berbahaya. Kim memang tampak dekat, tampak memujanya malah. Sehingga sering kali berkorban waktu dan uang.

Setelah menit-menit berlalu, kita diperkenalkan oleh beberapa orang penting dalam hidup Charlie. Statusnya duda, dan kini menjadi homo penyendiri. Mari kita ungkap orang-orang yang mengelilingi hari-hari terakhirnya. Kedatangan pertama, si penebar injil, seorang misionaris kepercayaan akhir dunia sudah dekat dari New Life. Pria tampan Thomas (Ty Simkins), yang selalu mengajaknya bertobat. Nantinya kita tahu ada sesuatu yang disembunyikannya. Ganja, uang kotor, kabur. Sayang sekali, kelegaannya dibarengi keyakinan bisa mengubah mindset orang lain.

Kedua, Kim sang perawat. Ya secara umum, mudah ditebak ia jatuh hati samanya. Berkorban hingga maut datang. Rasanya sedih saat ia ternyata dihianati. Ada sesuatu yang akan membuatnya marah, tapi esoknya redam lagi. kita bisa meyakini dengan pasti, otak Charlie pastilah encer dan pria dengan pengetahuan hebat sehingga bisa meluluhkan hatinya. Ciuman akhir itu sungguh melegakan. Perpisahan yang pantas.

Ketiga, putrinya Ellie (Sadie Sinks) yang sudah ditinggalkan lama, delapan tahun tak bertemu. Remaja SMU yang rebel abis. Entah kenapa tiba-tiba datang dan mau menulis esai tentang paus. Dibimbing Charlie dengan sabar. Tampak ia tak terlalu berminat di ruang tersebut. Nantinya kita tahu, ada sebuah rahasia mengapa ia datang. Charlie ingin memperbaiki hubungan, maka ini adalah kesempatan langka tersebut. Indah sekali, esai itu. Ditulis jujur dan menyala benderang. Bagi sebagian orang ia remaja susah diatur, bagi ayahnya ia adalah putri yang cantik.

Keempat mantan istrinya Mary (Samantha Mortons). Ia datang diajak Kim, diberitahu bahwa Charlie sekarat. Nah, dari tokoh inilah segalanya dibuka. Mulai dari masa lalu penyebab pecahnya hubungan. Tampak memalukan, ditinggal pergi suami demi lelaki lain! Membesarkan anak sendiri, terlunta-lunta. Ia menjadi link yang menghubungkan akhir dramatis the Whale. Kata-kata tegasnya adalah kemarahan bertahun-tahun kekecewaan. Maka saat permintaan maaf itu diucapkan, ia makin mempertegas posisi, menebalkan garis tugas tiap orang tua.

Kelima, Dan (Sathya Sridharan) pengantar pizza yang muncul sekilas. Karena jadi langganan, dan mencurigakan. Beberapa kali menawarkan bantuan. Memang janggal sebab uangnya ditaruh di kotak luar, makanan di taruh depan pintu saja. Tak pernah tatap muka. Dan nantinya ia tahu secara langsung, walau sebentar fisik paus pelanggannya. Saat akhirnya bersirobok, sebuah keheningan seberat sekotak pizza tercipta, tanpa banyak komen lantas berjarak lagi.

Tokoh lainnya sama sekali tak muncul, seperti Alan yang sudah mati, namanya sering disebut sebab dirinyalah yang mengakibatkan Charlie seperti ini sekarang, dan secara lisan ia diungkap bunuh diri menjatuhkan dari jembatan.

Cukup. Tak ada tokoh lain, hebat. Film dengan setting minimalis, karakter minimalis, cerita berat, hasil maksimal. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Mayoritas mengandalkan kata-kata. Saya suka bagaimana kata-kata berdatangan ketika konfliks yang satu belum selesai, ditabrakan dengan masalah yang lain.

Adegan saat interogasi itu sungguh-sugguh hebat. Charlie ‘dibius’ dan Ellie melakukan penyelidikan langsung. Dengan terpisah ruangan, diskusi direkam itu menghasilkan pengakuan-pengakuan. Suasana beku itu menggenangi seluruh ruangan. Remaja hebat, keras, melawan hal-hal yang tak disukai. Di zaman digital sekarang, memang perlu direkam sebagai bukti. Foto, video, rekaman suara. Khas anak muda, dan itu menjadi barang bukti yang jelas dan tak terbantahkan. Superb sekali, debat terpisah saling lempar teriakan dan makian itu. Dahsyat, hidup, menohok.

Semua karakter itu tumplek blek, diaduk-aduk dalam satu ruang saja selama hampir dua jam! Haha, cerdas sekali yang buat cerita. Dua jam duduk menyaksikan karakter utama duduk. Hanya ngobrol, ngoceh tak tentu arah, dan kita terkesima. Salut pokoknya. Saya suka film duduk-duduk seperti ini, hanya imajinasinya saja yang berpetualangan. Tak capek, nyaman.

Endingnya luar biasa. Semua orang, atau hampir semua orang pastinya ingin melewati hari-hari terakhir dengan orang terkasih. Maka Charlie yang sepanjang film terpuruk, menemukan kedamaian. Semua orang, atau hampir semua orang pastinya ingin melewati hari-hari terakhir dengan apa yang ia cintai. Sastra jelas jadi pegangan hidup Charlie, maka saat ia menemukan tulisan cantik, sangat memikat itu dibacakan, ia melayang. Semua orang, atau hampir semua orang pastinya ingin mati dalam keadaan dosa tertebus, membahagiakan orang terkasih, sehingga senyum-lah bentuk wajahnya saat malaikat maut datang. Sungguh-sungguh ideal kematian seperti itu. Dan The Whale menyelimutinya dalam cahaya. Cahaya alaminya yang lembut menenangkan dan menghibur hati orang. Sama seperti aliran air jernih atau desir lembut daun-daun pohon. Pada saat bersamaan ruangan itu seperti dijungkirbalikkan, kedua mata kita tersilaukan, lalu semuanya memudar, berdenyut-denyut, dan kita dikirim ke masa lalu. Ah pantai, lagi-lagi mencipta kenyamanan. Sebuah bentuk penghormatan bagi kaumnya yang bertobat.

Untuk dua kategori lainnya, saya lebih suka menunjuk di make up. Susah menyandingkan dua nominasi di akting untuk menang. Dapat satu sudah sangat bagus, tahun ini rasanya saya menemukan film-film berkelas dalam daftar. Nama Darren Aronofsky jelas nama tenar, karyanya bagus-bagus, maka sungguh tak terkejut saya terpesona. Yang mengagetkan justru Bredan Fraser, film-filmnya cemen, rerata film aksi kelas B yang mudah dilupakan. Mayoritas jelas tak layak masuk daftar tonton, makanya saat ia ditangani sutradara hebat, seketika masuk Oscars. Moga makin selektif memilih peran.

Kebetulan saya sudah baca Moby Dick, versi ringkas. Secara garis besar tahu petualangan laut itu. Memang novel sastra yang butuh perjuangan untuk klik, kata-katanya terpilah dengan baik dan tak langsung mudah dicerna. Buku ini diulang ucap, didedah berkali-kali, seolah kitab yang perlu ditafsir. Sastra memang seperti itu, karyanya abadi.

The Whale | USA | 2022 | Directed by Darren Aronofsky | Story Samuel D. Hunter | Cast Brendan Fraser, Sadie Sink, Hong Chau, Ty Simpkins, Samantha Morton | Skor: 5/5

Karawang, 090323 – The Righteous Brothers – Unchained Melody

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s