Women Talking: Duduk Sepanjang Hari Menyaksi Para Perempuan Ngobrol

“Apakah permintaan maaf yang dipaksakan itu benar?”

Luar biasa, dan ini berdasarkan kisah nyata, diinspirasi kejadian sebenarnya di sebuah koloni Manitoba, Bolivia, diadaptasi dari novel karya Miriam Toews. Setiap menitnya menegangkan, lebih dari sekadar ngobrol. Main stage-nya adalah ruang pertemuan di rumah pertanian, dengan jerami mendominasi, dengan kursi-kursi kayu seadanya. Tatanan kisah sangat kuat, sebab menentukan nasib banyak orang, nasib anak-anak generasi berikutnya. Jadi ini bukan tentang ibu-ibu ngerumpi di arisan, bukan pula ngobrol di atas meja makan, ini tentang perempuan berbicara misi penyelamatan, untuk itulah terasa sungguh menegangkan di tiap ucapannya. Turut pula ketakutan, hasil voting akan memecah belah, mereka adalah orang-orang buta huruf, dan begitulah, menit-menit mencekam di koloni asri, hamparan hijau daun sepanjang mata memandang.

Inilah masyarakat yang dikendalikan oleh kepentingan dasar bertahan hidup, para ibu lebih mengkhawatirkan anaknya (lebih dari dua kali kudengar: demi masa depan anak-anak), dan luapan kata itu telah merefleksikan kepentingan-kepentingan perempuan untuk waktu yang lama. Dan jujur saja, persoalan yang dibahas sangat rumit, jadi saya tak ingin terlalu menyederhanakannya. Kita pantas memaklumi saling lempar bentakan, saling maki, bahkan beberapa kata tampak menyakitkan hati.

Lima menit pertama sungguh menghentak, hulu ledaknya dahsyat sebab ini tentang solusi bertahan hidup, melawan kekuatan besar. Sekumpulan perempuan, tua muda, dan remaja duduk di rumah pertanian membahas jalan keluar masalah mendesak. Jadi dalam koloni mereka ada lelaki-lelaki jahat yang melakukan tindakan kriminal. Mencekoki perempuan dengan bius sapi, saat pingsan terjadilah pelecehan. Suatu saat, salah seorang remaja memergoki, mengenali wajahnya, dan penjahat berhasil ditangkap. Dari satu pelaku, merentet ke pelaku lain. Dan kini, dalam proses persidangan. Para lelaki ditugaskan ke kota untuk mengawasi jaminan.

Para perempuan yang tak bisa baca tulis ini lalu melakukan pemungutan suara. Dibantu guru lokal August (Ben Whishaw, kita sebut saja Agus di sini biar membumi) yang jadi notulen, mencatat semua isi diskusi termasuk perhitungan pro-kontra. Satu-satunya pria dalam kerumunan wanita. Sedih melihat Agus, dia pernah dibentak ketika seakan memberi usulan. “tugas lu notulen, tak punya suara!” Padahal niatnya ia hanya ingin gegas saja meeting ini. Atau sat identitasnya diungkap, sebagai warga pengusiran. Atau saat dia nantinya mengangkat tangan, ketika akan bicara, lalu sama simbah tak perlulah mengangkat tangan, suaranya didengar. Sungguh dilema berat, duduk sepanjang hari menyaksi para perempuan ngobrol. Lebih mencengangkan, eksekusi akhir untuk Agus. Duh! Nanges sekencang-kencanganya.

Waktu dua hari untuk menentukan sikap; dalam bentuk gambar, isi pilihan adalah: Diam tak melakukan apa-apa, atau bertahan dan melawan balik, atau pergi. Dibuat sedemoktaris mungkin, tapi tak rahasia, sebab dalam memberikan suara, kita bisa melihat persentase pemilihan yang tak tertutup.

Hasil voting, antara melawan dan pergi imbang. Di sinilah, Salome (Claire Foy) yang tampak sangat ingin bertahan dan melawan bersikap begitu keras. Lebih baik, tinggal. Tembak para penjahat, kubur di sini! Ia baru saja mengambil antibiotik buat anaknya. Ia kesal sama kaum perempuan lembek, yang pasrah. Pendapatnya didukung oleh Mejal (Michelle McLeod) dan Ona (Rooney Mara) yang kini hamil, korban pemerkosaan. Sementara Mariche dan kaum tua ingin bertahan, sebab dengan melawan kita menjauhkan diri dari kerajaan surga, kualat. Pengampunan adalah jalan baik. Sementara swing voter yang yang bisa gegas menentukan bertahan ataupun pergi, mengimbangi. Duduk-duduk ngobrol, senantiasa menjalankan perang kata secara intens. Contoh, saat Salome marah, ia membatasi kebebasan Uno sekaligus melindungi hak Salome. Secara umum, opsi pertama dicoret itu menampilkan kenyataan bahwa melawan adalah satu-satunya jalan, menentang pertalian, kurang lebih sama dengan menampik diplomasi, yang selalu melibatkan isu-isu yang lebih luas.

Kekuatan kata-kata, debat esensi hidup, hingga kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi di kelak jika pilihan diambil. Hal terbaik yang bisa dilakukan dalam film ngobrol adalah membuat sejumlah spekulasi yang masuk akal. Bayangkan, membahas “pergi” dan “kabur” saja lama, sebab maknanya lain. Mereka adalah para pemimpin, dan keputusannya akan mempengaruhi koloni secara keseluruhan. Maka, wajar, terasa sangat wajar pembelaan dan sanggahan dilontarkan. Para orang tua tampak kalem, memang pengalaman hidup itu penting untuk mencari solusi. Seperti duo kuda yang mengalah kabur ke kebun saat bertemu anjing, bahkan binatang lebih peka terhadap ancaman. Peran para orang tua, yang mengingin bertahan melawan, lebih masuk akal rasanya. Jika mereka tak bisa melakukannya, maka merekalah yang harus menggerakkan kekuatan sendiri.

Satu paragraf ini saya dedikasikan bagi pria pembaca blog ini yang menanggung keraguan menyatakan cinta pada perempuan yang jelas-jelas mencintaimu. Di sini, Agus dan Ona adalah contoh bagus bagaimana cinta tanpa syarat patit digenggam erat. Saat diskusi segala keputusan Ona didukung Agus, isyarat cinta sering kali disampaikan. Ada tiga adegan mereka berdua yang patut dicatat. Pertama, saat di pompa air, Ona yang hamil seakan muntah, dibantu diambilkan air dan pernyataan cinta diungkap, lalu di-sstttt… sebab akan merusak suasana. Berikutnya, keheningan mereka saling melengkapi. kita tidak bisa mencegahnya. Itu natural. Kedua, saat di atap. Setelah meneyerahkan peta, dan menjelaskan duduk lokasi dan arah yang seharusnya ditempuh. Mereka meraih bintang, menunjuk langit dan memposisikan jemari ke petunjuk arah. Romantis dalam kekakuan. Semua itu dibebat oleh kasih. Ketiga, tentu saja perpisahan. Kata cinta itu, dibalas oleh simbah, yang meluluhkan hati kita. Agus adalah pria baik, dan untuk itulah harus kita apresiasi. Hatinya lembut, dan keputusan akhir dengan menyerahkan sesuatu ke Salome, adalah keputusan bijak yang melegakan. Satu hal yang perlu kita antisipasi, nyatakan cinta kepada perempuan yang kamu cinta. Serahkan tuhan, apapun jawabannya. Kalian takkan tahu, selama rasa itu dipendam.

Kekuatan film memang di naskah yang kuat, ngobrol sepanjang film dengan mayoritas di gubuk pertanian. Kita dipaksa mengamati. Mengikuti tingkah pola, dua remaja yang tak mau diam. Naik ke langit-langit, berisik. Atau saat ada petugas sensus datang bermobil dengan pengeras suara, mereka saja yang mendekat. Duo imut untuk mengimbangi kekakuan. Atau hubungan Agus dan Uno, timbul tenggelam. Kata-kata cinta ditahan, lalu diurai dengan gamblang, hebat. Pas lontaran kalimat itu, sedih rasanya. Suaranya bergetar dan hampir menangis. Pintar sekali yang mencipta adegan itu. Perfect ending. Atau hubungan ibu-anak yang tak sepaham, saling silang marah. Sebuah film dikata berhasil bila penonton ikut merasakan sensasi emosi para pemerannya, dan Women Talking jelas tampak hidup. Salut!

Setting film mayoritas di gubuk peternakan. Sesekali keluar kelihat lingkungan koloni. Tanah hijau pertanian membentuk bukit-bukit berbaris sepanjang aliran sepanjang mata memandang. Adem. Lama menatapi padang rumput yang hijau di sana, merenungi langit, yang makin lama semakin biru warnanya setelah pagi merekah.

Apapun hasil akhir diskusi itu, kita hargai dan maklumi. Ada perjuangan dahsyat dibalik pilihan itu. Masalah demi pencapaian kenyamanan, saya kira tak ada formula untuk merumuskan hal ini. Tepuk tangan paling keras untuk kuda hitam Oscars tahun ini. Layak menang best picture, sangat layak menang naskah adaptasi. Salah satu yang terbaik 2022, meledak berkeping-keping rasanya menyaksi Agus sesenggukan di gubuk diskusi lantai atas, ia berusaha mengendalikan perasaanya yang terlanjut karut, setelah menyerahkan apa-apa yang harus diserahkan.

Remuk redam pria baik.

Women Talking | USA | 2022 | Directed by Sarah Polley | Screenplay Sarah Polley | Cast Rooney Mara, Claire Foy, Jessie Buckley, Frances McDormand | Skor: 5/5

Karawang, 080323 – James – Laid