Top Gun: Maverick – Wahana Orang Tua

“Ini bukan pesawatnya, ini pilotnya.”

Tipikal film-film aksi jadul yang memuja kepahlawanan secara dramatis. Bedanya ini di udara. Menampilakn pose-pose yang cocok dijadikan poster atau altar pemujaan ciwik-ciwik. Pria tamvan dengan jaket kulit, potongan rambut rapi, kaca mata hitam, dan moge stylist. Tom Cruise yang kini berkepala enam, masih tampan dan pemberani. Orang tua, dan ia masih menyukai aksi. Pikirkanlah! Namun tetap, wajah tak bohong. Kerutan itu asli, tak bisa ada yang mengalahkan waktu. Sedari mula sudah dengan mudah alurnya ditebak, ini bakalan full senyum di akhir. Kenapa? Ada rasa bersalah yang harus ditebus, ada tanggungjawab lebih untuk memberi bukti, ada tantangan yang bisa membalas cemooh, dan hanya dengan misi sukses yang bisa memberi akhir gembira, untuk semua orang. Nyaris semua orang, sebab akhir dengan konveti perayaan seperti ini rasanya hambar. Sensasi terbang dan ketakutan jatuh itu terasa hanya dolan ke Dufan main halilintar, degubnya sementara, tak ada nada khawatir. Saat wahana itu selesai, semua boleh dilupakan. Tak perlu telaah lebih. Tak ada luka membekas. Benar-benar film yang cocok untuk orang tua. Safety belt-nya mengekang erat.

Saya belum lihat yang versi 1986, jadi sekuel ini kurasakan retakannya, kita langsung disuguhi Kapten Angkatan Laut Pete “Maverick” Mitchel (Tom Cruise) dengan penuh gaya naik moge, melewati area terlarang dengan gaas terus, dan saat sampai di gedung landasan pesawat tempur, ia diberitahu bahwa project “Darkstar” dibatalkan. Pete yang pengalaman, sudah punya banyak prestasi, seorang pemain lapangan tak terima, dan secara sepihak mengubah kecepatan target menjadi Mach 10. Ia dengan pede langsung nge-gas untuk beri bukti.

Tipikal film aksi yang memberi keterpurukan sang jagoan di awal, uji coba itu gagal, dan pesawat itu remuk. Pete mendarat darurat dan mampir di kedai, yang oleh seorang anak kecil saat ditanya, di mana nih? Dijawab datar, “bumi”.

Untung ada sobat lamanya, Laksamana “Iceman” Kazansky (Val Kilmer) yang memberinya kepercayaan. Ice yang sudah redup dan tua, berbicara dengan tulisan di layar, dan saat ngomong langsung sudah tak jelas, mengirimnya ke sekolah Top Gun. Menjadi guru? Ia langsung membuang manual book ke tong sampah, dan meminta murid-muridnya langsung gaas saja di udara. Begitulah, sekolah ini menjadi tempat menempa pasukan untuk sebuah misi berat. Misi menghancurkan pabrik penganyaan uranium tanpa izin di bawah tanah.

Konfliks dari dalamnya adalah, pro-kontra pemilihan murid Rooster (Miles Tiller) yang merupakan putra almarhum sobat Pete. Dituduh kekuatan orang dalam, disebut oleh teman-temannya, terutama Hangman, bahwa cara terbang Rooster terlalu hati-hati. Dan keragu-raguan, saling sikut misi penerbangan, sampai akhirnya uji layak pasukan. Bagaimana akhirnya misi itu dijalankan. Dan kembali ke awal, ini film pembuktian. Melawan orang yang meragukan, dibuat dengan sangat dramatis, dengan tema kepahlawanan. Tipikal film aksi lama, yang akan menyenangkan para simbah untuk bernostalgia.

Bagian terbaik film ini bisa jadi adalah menerbangkan pesawat versi jadul, yang sudah layak di-museum-kan. Melawan kecanggihan, manuver dengan sangat berani, dan mengalahkannya. Lihat, bahkan barang bekas yang ditunggangi pun memihak para orang tua.

Top Gun dengan cerdas tak menyebut siapa sebenarnya pihak lawan, tak secara spesifik Negara mana. Negera yang memiliki bukit bersalju. Rusia? China? Korut? Bisa jadi, yang jelas di era keterbukaan ini, tanpa menyebut dan menyinggung permusuhan, bakalan lebih mendapat respect. Itu terbukti dengan angka box office-nya. Meng-global bisa dinikmati siapa saja, dari mana saja. Tidak merusak pasar internasional. Dengan bujet besar, dengan pesawat-pesawat asli, untuk apa menyentil politik? Cuan lebih penting, ini untuk hiburan, bukan tunggangan pesan dari Gedung Putih. Untuk ini, saya salut. Dengan dalih melawan sebuah Negara yang memiliki senjata nuklir, mencegah perang yang lebih besar, sehingga opsi menghancurkan fasilitas illegal itu tampak sungguh mulia. Tema kepahlawanan, rela berkorban. Suatu hari nanti kita semua akan meninggal. Hanya Negara kita yang akan tetap hidup.

Daya jual utamanya memang pengalaman terbang. Dengan close up Tom Cruise yang menyupir peaswat, kita mengikuti laju dan atraksi di udara. Langit seputih mutiara dan matahari yang berwarna merah tua yang tenggelam sebagai latar. Bisa jadi saat menyaksi di 3D saat menemui titik rendah, lalu dengan tiba-tiba menarik tuas untuk kembali ke atas, kita akan turut mendongak, atau saat manuver itu berbelok tajam, tubuh kita ikut menyamping. Sayangnya, saya hanya saksikan di layar kecil, di malam hari sebagai pengantar tidur, jadi daya jual utama itu tak maksimal. Dan seperti biasa, saya lebih melihat cerita. Sungguh biasa. Mengejutkan, bisa masuk kategori tertinggi. Prediksiku, bakalan menang di sisi teknis saja. Music, suara, efek, sejenisnya. Susah untuk menang di cerita, apalagi di puncak. Cukup F-14 saja yang mustahil, bisa menang melawan kecanggihan, hanya itu bisa jadi nyata.

Top Gun hanya jadi film pamer kehebatan di udara, menjadikan film nostalgia kejayaan masa lalu, wahana orang tua. Tom Cruise dan pasukan terbangnya adalah pahlawan, dan kita diharapkan menikmati nostalgianya. Jelas secara cerita, bakalan dibantai lawan-lawannya, kecuali Avatar yang z z z… Cerita film Oscars bisa lucu, sedih, menyenangkan, menakutkan, dramatis, atau sentimentil, tetapi cerita film dengan bintang Tom Cruise haruslah mengandung semuanya.

Ujung ending-nya bahkan lebih normatif. Berpesawat berdua, romantika pilot dan kekasihnya, yang secara tak langsung bisa kita bayangkan permulaan kalimat, “Sekarang kita sendirian, tidak seorangpun bisa mendengar kita kecuali desiran angin.” Dan di angkasa, mereka menari menembus keberadaan.

Top Gun: Maverick | USA | 2022 | Directed by Joseph Kosinski | Screenplay Enren Kruger, Eric Warren Singer, Christopher McQuarrie | Cast Tom Cruise, Miles Tiller, Jennifer Connelly, Ed Harris, Val Kilmer | Skor: 3.5/5

Karawang, 070323 – Image Dragon – Believer