
“Ketika Anda kelaparan, Anda akan melakukan apapun.”
Epic war. Luar biasa. Salah satu film perang terbaik yang pernah kutonton. Gambaran perang yang mengerikan. Dengan setting Perang Dunia Pertama, pihak Jerman dan Prancis dalam masa menegangkan. Di tanah La Malmasion utara Prancis yang diperebutkan, drama penuh ledakan terjadi. Dengan sudut pandang pihak Jerman, kita diajak bersafari hal-hal yang terjadi di baliknya. Tata kelola perekrutan yang mengerikan, bayangkan saja, mereka anak baru lulus sekolah, tanpa pelatihan militer yang memadahi, seolah mengejar kuantiti. Dikirim untuk perang, di front terdepan pula. Maka wajar, penggambaran mula film sungguh-sungguh menegangkan. Rekrutan itu kocar-kacir, dan hingga akhir film kita turut merasakan betapa kasihan sekali jiwa-jiwa muda ini, yang seharusnya menikmati masa indah malah berperang.
Adegan pembukanya ngeri, dengan terang-terangan merekrut pemuda awam, yang di sini ditampilkan lewat penggambaran seragam perang. Para serdadu tewas, bajunya diambil, di-laundry, dijahit lagi bila rusak, lalu disiapkan lagi untuk calon tentara berikutnya. Nah, salah satunya merasa janggal, sebab masih ada nama orang lain di sana, yang secara visual kita tahu, adalah korban tewas perang. Ngeri sekali kawan.
Salah satu tentara yang mendaftar itu adalah, Paul Baumer (Felix Kammerer). Ia bersama ketiga temannya Franz, Albert, dan Ludwig mendaftar perang setelah mendengar ceramah gurunya yang menggebu. Kepahlawanan, tindakan kepahlawanan membela Negara. Apes, langsung ditaruh di front depan. Dan malam itu sahabat karibnya Ludwig langsung tewas. Ia juga berteman dengan para senior, salahnya Kat, bertahan hidup semaksimal mungkin. Air bersih minim, makanan seadanya. Menyaksi satu per satu mantan teman sekelasnya tewas. Dalam sebuah adegan mengerikan, saat pasukannya kena serangan bertubi dari Prancis, dengan bom-bom dilempar, senjata api disemburkan, rentetean peluru dimuntahkan, sepasukan tank maju, sehingga memaksa mereka mundur. Tampak gambaran neraka, ngeri dan brutal. Paul lari mundur, dan dalam kubangan air seolah danau mini terjadi head-to-head dengan pisau dan adu fisik, sadis sekali. Secara instan, gambaran perang yang heroic runtuh.
Di kamp, makan seadanya. Maka daging jadi makanan mewah. Sehingga, ada inisiasi mencuri binatang peliharaan di rumah warga. Itupun dengan ancaman tembak, dan kabur dengan gemilang. Nantinya adegan ini diulang, dengan hasil yang jauh berbeda. Hanya ingin makan daging! Ya Allah, betapa enaknya zaman kita, memiliki makanan berlimpah.
Dalam lingkar pertemanan satu kompi, ada yang tak bisa baca tulis sehingga saat mendapat surat atau membuatnya, dibantu. Latar belakang keluarga diungkap. Miris. Ada juga yang kena tembak, sehingga cedera. Naas, saat makan malam, dengan keterbatasan fisik, dan kekecewaan keadaan, melakukan tindakan ekstrem.
Betapa rakusnya saat mereka berhasil menginvasi, mengambil makanan musuh, sebuah kemewahan hasil rampasan. Makan cepat-cepat, lalu serangan muncul lagi, pergi cepat-cepat. Dibuat dengan ketakutan bergema, serombongan tikur kabur, getaran bungker, lalu rentetan senjata. Epic.
Sampai akhirnya rencana perdamaian dilakukan. Pertemuan dua pihak di atas gerbong kereta api yang akan menentukan arah berikutnya. Pihak Prancis yang merasa unggul menekan Jerman mengikuti permintaannya. Pihak Jerman yang keberatan menundanya, meminta waktu lain untuk mempelajari draf perjanjian damai. Ingat, setiap penundaan, berarti nyawa-nyawa pasukan tercerabut. Semakin lama semakin banyak korban. Para pasukan ini, orang-orang lapangan, mereka bahkan tak tahu apa yang tengah berlangsung pada level pengambil keputusan yang jauh dan rahasia, yang menentukan nasib mereka.
Seperti catatan sejarah, Perang Dunia Pertama berakhir juga tahun 1918. Nah, inilah kehebatan film ini, dibuat dengan amat dramatis. Sebagai pihak yang kecewa, Jerman masih angkuh dan membawa harga diri yang tersisa, hingga menit-menit akhir. Di sinilah, betapa nyawa manusia tak berharga di hadapan perang, dan nasib kita ditentukan dari serangkaian kejadian tangan besar yang tak kasat mata. Ending yang luar biasa menyentuh. Apalagi closing note-nya, daratan sekecil itu membunuh banyak tentara. Angkanya mencengangkan.
Untuk sebagian besar orang, sebuah kelegaan besar saat waktu yang disepakati itu berhasil dilewati. Seolah, inilah masa untuk membentuk dunia baru pasca perang. Sayangnya, seperti yang kita tahu, ini ada sekuelnya dua puluh tahun kemudian. Emang dasar manusia, tak bisa belajar dengan bijak akan sejarah. Benar bahwa Prancis menghendaki perdamaian, benar Inggris menghendaki perdamaian, dan benar pula Hitler juga demikian di sesi dua. Segala peranan otoriter membutuhkan justifiksi. Peranan otoriter itu tak boleh menjustifiksi dirinya sendiri. Setiap orang menginginkan perdamaian. Pertanyaannya, dalam terminologi apa? Mereka memberinya waktu untuk menghancurkan orang-orang yang tak sepaham, orang-orang di luar lingkarannya, di luar ras, atau apapun yang berbeda dengan cara kekerasan. Perdamaian dengan cara kekerasan? Orang-orang penggemar “perdamaian” ini, seakan-akan tidak ada tugas yang lebih besar dalam kehidupan ini. Konsepnya ‘paradox of grace’ yang intinya adalah tak peduli seberapa keras kamu mencoba melakukan hal yang baik, kamu senantiasa akan melakukan hal buruk.
Prediksiku di Oscars tampak abu-abu kali ini. sebagai film Oscars mula yang kusaksikan, tak gegas kuulas sebab masih ada rasa terpesona. Ini film anti-perang yang bagus sekali. Sembilan nominasi untuk film asing, sungguh-sungguh hebat. Di bagian Best Internasional jelas locked. Cinematografi juga kemungkinan besar menang. Begitu juga original score dan musik, keduanya menghantui. Namun saya lebih condong ke skoringnya yang mengahntui. Untuk kategori tertinggi sebenarnya momen yang sangat amat pas, setelah apa yang terjadi di Ukraina. Namun ini film dari bahasa asing, dan hanya Parasite yang bisa. Masak momen itu berulang, tak berjarak jauh? Apa tak menghajar logika sineas Hollywood? Berat, makanya abu-abu di sini.
Tak bisa disangkal, All Quiet on the Western Front adalah film aksi terbaik 2022. Secara cerita bagus, secara aksi lebih bagus lagi. 1917 bisa saja menjadi film aksi hebat, tapi cerita biasa. All Quiet on the Western Front, mencabik-cabik nurani. Kemegahan sinema yang seharusnya bisa menyatukan kaum daging dan daun.
All Quiet on the Western Front | 2022 | German | Directed by Edward Berger | Screenplay Edward Berger, Ian Stokell, Lesley Paterson | Novel Erich Maria Remarque | Cast Felix Kammerer, Albrecht Schuch, Daniel Bruhl | Skor: 5/5
Karawang, 060323 – Blur – Tender