
“Tak ada yang mustahil bagi mereka yang pemberani. Percayalah padaku, dan kau akan bahagia nanti…” – Sang Sahib, Matthew Lewis
Dua buku harus kembali, maka gegas kubaca dan ulas. Banyak buku tebal sejatinya sedang kunikmati, tapi ya bertahap dan santuy saja. Februari sejatinya mengejar film-film Oscars jadi enam juga tak buruk amat. Banyak malah, dan akhirnya saya berhasil menamatkan buku terbitan Moooi. Koleksi mahal dan worth it untuk disikat. Pengalaman pertama yang bagus, sebab memang bukunya bagus.
#1. The World Until Yesterday by Jared Diamond
Buku yang melelahkan. Tebal, lebar, non fiksi. Dan utamanya, cara bercerita yang berbelit-belit, seperti membaca laporan ilmiah. Ini memang buku laporan perjalanan selama di Papua, meneliti kehidupan di sana. Makanya, apa yang dilakukan adalah laporan kehidupan sehari-hari. Benar-benar dibuat runut dan mengikuti masa. Sempat terlunta-lunta belum separo buku, diletakkan lelah di rak berbulan-bulan. Dan kembali kupaksa gegas baca sebulan terakhir sebab harus dikembalikan. Berat dipermulaan, lelah di tengah, tapi saat mencapai bagian singgung tentang agama, buku ini menyala menarik sampai jelang akhir. bagian akhir kembali ke dasarnya, laporan kegiatan. Untuk buku non fiksi, bolehlah seperti ini. memang bervitamin, bagus sih untuk penelitiannya, langsung ke tempatnya asli, bukan dari hasil baca. Sebuah upaya riset yang patut dihargai, hanya sayangnya tak semulus narasi indah. Ingat, saya benar-benar terpesona Sapiens yang tebal dan luar biasa melelahkan. Kuncinya memang narasi. Dan The World Until Yestersay, sukses di gizi bukunya, tapi kurang berhasil dalam membangun narasi menarik.
“Agen-agen supranatural tidak hanya mengganjar orang-orang baik yang mematuhi aturan dan menghukum para pelaku kejahatan dan penaggar aturan, melainkan juga bisa dibujuk melalui doa, sumbangan, dan pengorbanan untuk ikut campur secara menguntungkan bagi manusia yang mengajukan permohonan.”
#2. O by Eka Kurniawan
Cinta, pengorbanan, ketololan. Hewan-hewan yang berpikir, dan bagaimana secara simbolis membentuk semesta kehidupan singgung dengan makhluk lain. Demikianlah O, monyet merana dan melamun itu memandang rona kehidupan. Bukankah manusia juga? Setiap yang bernyawa akan mati, jadi apa bedanya?
Sejujurnya, cerita dengan pola sejenis ini kurang suka. Banyak buku masterpiece berpola normal, tak seperti ini. Di mana, berisi hanya penggalan-penggalan paragraph, hanya satu sampai sepuluh lalu diputus tanda baca strip (“-“). Polanya acak, tapi tetap saja tak suka. Memang lebih enak menulis seperti ini, pecah-pecah seenaknya, tapi tentu saja untuk novel panjang, rasanya tak nyaman. Pola yang sama dengan Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Lunas.
“Tidak pernah. Aku telah berjanji untuk terus mengaji. Kepada kekasihku.”
#3. Sang Rahib by Matthew Lewis
Luar biasa, menggelisahkan. Mengerikan, dahsyat, benar-benar mengejutkan. Sang Rahib yang saleh membentengi diri di tempat ibadah. Menjauhkan diri dari godaan dunia. Benar-benar mengejar akhirat, suatu ketika ada kelanggaran berat di gereja, dihukum berat tanpa ampun. Sampai akhirnya ia yang kuat terjerumus, godaan Madonna, gambar wanita yang dipuja itu menyusup dan menggodanya. Dari satu dosa merentang dosa yang lain. Hingga ending yang mengejutkan.
“Aku mendustai diris endiri seandainya kubayangkan diriku bisa seperti itu. Justru aku meyakini sebaliknya, bahwa segenap keteguhanku sekalipun tidak dapat membantuku untuk tidak menyerah kepada perasaan melankolis dan jenuh…”
#4. Burung-Burung Nyasar by Rabindranath Tagore
Kubaca dalam beberapa kali kesempatan, tapi hanya dua yang terkesan. Pertama pada malam saat hujan, seusai Isya saya santuy sama teh hangat, Hermione sedang main sama stiker dan tempelan gunting, May sedang menonton bulu tangkis di HP. Malam tengah pakan 01.02.23 itu tampak seperti malam ideal, keluarga kecil dengan kehangatan penuh. Musik mengalun tenang, saya pilih kumpulan jazz. Hujan di luar juga tak gemuruh. Dan buku puisi ini menyapa. Waktu baca kedua yang terngiang, tentu saja saat melakukan pendakian ke Curug Penganten, Loji, Karawang pada 18.02.23. Bersama Babeh Boy, Leni Marlina, dan M Iqbal. Berempat melakukan hiking, perjalanan Karawang kota ke Loji dua jam bermotor. Dari titik Grand Canyon ke titik curug dua jam. Jam 15:00 saatnya balik, saya sempatkan lima menit berpuisi di bawah air tejun, berdeklamasi dengan riang 8-10 lembar sebelum pulang. Syahdu, nyaman, seru. Nah, selain kedua waktu itu hanya selembar-dua-lembar saja sesekali waktu di tengah kesibukan.
Ketika semua dawai kehidupanku telah dilaraskan, Tuanku, maka pada setiap sentuhanmu terdengan musik cinta.
#5. Theodore Boone: Kid Lawyer by John Grisham
Grisham memiliki buku anak/remaja juga ternyata. Buku tentang persidangan dari sudut remaja 13 tahun, Theo yang cerdas menjadi pijakan buat konsultasi teman-teman sekelasnya. Kedua orangtuanya adalah pengacara perdata. Memiliki hubungan istimewa sama pak hakim, sehingga saat ada sidang bisa menghadiri. Nah saat ini ada kasus pembunuhan, seorang wanita terbunuh di siang hari, dengan tersangka utama suami. Persidangan mendekati akhir, sampai akhirnya Theo memiliki kunci utama, saudara temannya menjadi saksi potensial, tak mau muncul sebab ia seorang imigran gelap. Pemecahannya pun tampak kalem, dan tak meledak. Buku Grisham paling tenang. Ada lanjutannya, ini buku serial.
“Sudah kuduga Anda akan berkata begitu.”
#6. The New Life by Orhan Pamuk
Puitis sekali. Mahasiswa yang berada di persimpang jalan. Menemukan buku dengan dirinya sebagai tokoh utamanya. Seolah buku itu dicipta untuknya. Mengubahnya seketika. Mula ia membaca buku, adalah mahasiswi cantik memikat dalam sekejap. Lantas, ia mengikuti alur. Dari pengembaraan mencari orang, penulis buku yang ternyata dalam lingkar kenalnya, hingga pencurian identitas para korban tabrakan. Sangat puitik, ini novel dengan gaya yang mendayu.
“Selagi kami merokok berhadapan, dia menjelaskan segala sesuatunya.”
Karawang, 010323 – Bran Van 3000 – Drinking in LA