Love Will Tear Us Apart: Bersakit-sakit Dahulu, Malah Mati Kemudian


“Sejak kita berpisah dua jam yang lalu, aku sudah merindukanmu.”

===Catatan ini mengandung spoiler berat===

Judul film jelas spoiler, maka judul catatan ini juga spoiler. Ini kisah sedih, cinta remaja membuncah, diperjuang selepas lulus, rintangan membelit di banyak sudut, tapi tak peduli apapun jua, cinta ini harus dipertahankan. Merentang sepuluh tahun. Tak peduli badai, tak peduli terjangan ombak dahsyat, tak peduli bencana masif menatap di depan. Bucin tiada tanding, cinta tanpa syarat macama-macam, cinta ini layak dijunjung tinggi. Yang terjadi di antara mereka adalah cinta yang seluas dan seteguh langit.

Dan seperti judul filmnya, cinta ini justru memisahkan. Wah, kok bisa. Seperti judul catatan, mati. Segalanya ambyar, dihempaskan, hancur berkeping-keping. Fakta pahit yang tak remaja sadari, cinta butuh uang. Kehidupan sehingar bingar apapun, butuh materi untuk menyelingkupi. Kenyataan itu muncul sebelum penjelasannya. Cinta terhalang materi memang keparat, tak diragukan lagi.

Kisahnya tentang cinta yang bersemi dan janji akan dituai bunganya kelak di kemudian hari. Dibuka dengan catatan hari ke 3650, Lu Qin Yang (Qu Chu Xiao) jatuh hati pada Ling Yi Yao (diperankan cantiiiik sekali oleh Zhang Jing Yi). Ia sedang di tengah badai salju mengukur jarak mengukur waktu, sebuah perbatasan tanah nasional. Lantas terlempar ke adegan surealis di sebuah acara pernikahan segera digelar, dan pesta yang meriah di balik tembok mendadak sedih, sang pengantin pria panik ia terkunci, ia dicari, saat pintu coba dibuka tak bisa, kekhawatiran yang ditimbulkan menuai tanya. Saat akhirnya bisa dibuka, kita dibentangkan kembali ke tengah salju.

Kembali ke masa silam, pada hari Qin jatuh hati pertama kalinya. Hari 1, pola yang mengingatkanku pada (500) Days of Summer. Qin remaja sedang mencari barang bersama temannya di ruang sekolah, dan menemukan sebuah Walkman tergeletak di meja di atas catatan ujian, dengan musik riuh rendah masih berderak. Yiyao, nantinya panggilan sayangnya “Yaoyao”. bersembunyi di balik tirai, saling pandang dengan kain sebagai selubung, dan begitulah. Mereka saling jatuh hati pada pandangan pertama.

Selama sekolah, mereka pacaran. Teman-teman dan guru sudah paham dan maklum, walau ada adegan dihukum sebab mengirim surat cinta, walaupun ditegur sebab menjadikan tak fokus belajar. Yah, begitulah masa muda yang merdeka. Sebuah jalan pasti mereka akan menikah kelak. Qin yang badung, tampak sangat setia. Yiyao yang cantek sekale, tampak setia. Lalu apa masalahnya? Andai kamu gagal mendapatkan apartemen-pun kamu akan tetap dapat menikahinya, sebab kamu mendapatkan orang yang tepat.

Pertama dan utamanya, keluarga. Yiyao kuliah dan karena memiliki pendidikan tinggi, rasanya pantas mendapat pasangan sepadan. Ibunya sewot, dan tak setuju ia pacaran dengan jagoan kita. Adegan makan malam yang menyedihkan digelar. Qin bercerita bagaimana pertama kalinya mereka bertemu, “Kaset itu Mak, diganti dengan kaset bahasa Inggris! hahaha” tertawa terdeam, yang lalu disumpal makanan oleh Yaoyao. Sayang, fokus ibunya bukan itu. Ia mendamba menantu mapan. Cinta itu kuat, bodo amat. Yiyao melawan, dan tetap mengasihi sang kekasih yang hanya bekerja sebagai kontraktor apartemen. Ekonomi sulit, gmana mau menikahi gadis pujaan, buat memenuhi kebutuhan dasar: sandang, pangan, dan terutama papan yang layak saja belum bisa.

Yiyao benar-benar tak mengapa, ia tetap setia. Cinta ini justru akan semakin menguatkan, tak peduli miskin dan butuh kerja berat. Makanya, saat ibunya sakit, ditempatkan di antrian panjang cari kamar sebab pakai BPJS, Qin sedih tak dapat membantu. Pontang-panting cari solusi, bisa dari mengutang misalkan. Namun tiba-tiba pas Qin ke rumah sakit, calon mertua sudah dipindahkan ke kamar elit, kaget. Oh ternyata, ada pahlawan idaman ibu. Cowok ganteng lulusan Aussie dengan mobil jaguar. Menampar abis.

Sekali lagi, si cantik tak peduli. Cintanya tetap pada belahan hati, selama cinta ini diperjuang bersama, ia tak peduli suara apapun yang bergaung di luar. Malah, Qin yang apes. Di kerjaan kena gebuk aliansi pejabat jahat. Sebagai supervisor lapangan, ia mementukan pengecoran bangunan, harus sesuai standar kualitas, harus bagus sesuai audit. Nyatanya di lapangan ia kena perlakuakn buruk. Susah memang, jadi orang baik di kumpulan pekerja tamak. Bahkan, suatu malam ia mendapati sogokan, seamplop uang tunai di loker. Sempat bimbang, sempat penuh tanya. Ia lagi butuh yang jika diterima bisa membereskan banyak hal, ia ingin beli rumah yang layak untuk kekasihnya, dengan uang itu, ia bisa menuntaskan hasrat. Namun tidak, ia pekerja yang jujur dan berintegritas (malaikat baik bertepuk tangan). Ia kembalikan uang itu, dan kukuh sama pendirian. Ia berdiri dengan kebanggaan, dan menatap masa dengan angkuh. Dasar jiwa muda.

Dan dari situ pula segalanya mulai runtuh. Ada lobi-lobi jahat yang menjatuhkannya. Ada kesalahan temannya menggunakan uang simpanan, ada kesalahan investasi, dst. Intinya ia terpuruk dan terlilit utang. Sementara Yiyao tetap kasih dukungan, menolak perjodohan dengan lelaki lain yang kaya dan mapan. Kenyataan yang makin membuat Qin terpojok dalam kegalauan akut. Maka saat ada kesempatan untuk menuai hapus kesalahan, menuai kembali uang untuk masa depan, ia ambillah itu. Kesempatan itu ternyata menjauhkan sepasang kekasih ini, sebab pekerjaan itu ada di ujung dunia. Membentang ratusan kilometer, tak ada sinyal, tak komunikasi, terpenjara lautan salju. Di tempat yang begitu dingin, jauh, dan liar, hampir seperti negeri asing.

Dengan dramatis Qin pergi, meninggalkan tanah impian. Dalam adegan, bahkan dibuat dengan begitu mendayu, tanpa pamit bertemu langsung, hanya via surat, via HP. Lalu kereta api gegas berangkat, Yiyao menangis tersedu di jembatan atas menyaksi ular besi pergi. Dan dengan demikian terputus sudah jarak. Begitu juga, mereka otomatis menggantungkan tali kesempatan menikah di area rawan, hingga adegan kembali di pembuka. Hari ke 3650, bergerak sehari lagi janji temu di stasiun. Byar… ambyar semuanya.

Ada tiga bagian adegan yang laik dikenang. Pertama, saat pertama kali pindahan ke tempat baru. Mereka memimpikan benda-benda yang akan ditempatkan di tiap sudutnya. Yiyao membayangkan di sini lemari, di sini meja, di situ tv, di area situ nanti ada foto-foto pernikahan yang dipajang, dst. Sungguh manis. Lalu berbelanja barang-barang dengan misi tak boleh melebihi anggaran. Mengingatkanku pada masa awal ke rumah baru. Memang pada dasarnya perempuan lebih ceriwis, lebih imajinatif ke depannya bagaimana. Apalagi pesona Zhang Jing, seorang model yang cantek, suka sekali ia menunjuk-nunjuk tembok dan sekitar. Menghempaskan ke kasur, lelah tapi puas. Gemesin. Cewek bucin abis, yang akan memberi segala-galanya pada kekasih. Perempuan langka.

Kedua, semua adegan saat kamera yang menyorot leher Zhang Jing secara close up, dan itu banyak. Dengan rambut dikucir kuda. Ya ampun, meleleh. Kenapa? Sebab saya jatuh cinta pertama pada teman sekolah doeloe gaya rambutnya model itu! Entah kenapa, menyaksi cewek gaya kucir tampak tambah cantik. Menggairahkan. Sedap dipandang. Makanya, kameraman dengan cerdas mengexplore potongan adegan seperti itu. Kamera adalah mata jenis lain, yang mampu merlihat sejuta partikel perak mewakili penonton. Pesona utama film ini, jelas sang model. Yang berhasil memaksaku duduk anteng, sekali tonton tuntas. No jeda-jeda.

Ketiga, adegan pas di rumah sakit. Qinyang yang sedih, Qinyang yang malang. Saat kembali ke rumah sakit untuk menindaklanjuti calon mertua pindah kamar rawat inap, mendapati sudah pindah ke kelas eksekutif, dibayari calon mantu ideal. Ia dengan sedih pergi, duduk di tangga sesenggukan. Yao mencarinya, dengan kamera menyosot dari belakang (lagi-lagi close up leher jenjang dengan kucir kuda bergoyang). Memainkan rambutnya, mencari di mana kekasih bersembunyi. Saat menemuinya di ujung tangga, makan snack dengan lelehan air mata, Yao memainkan perannya dengan sempurna. Menyandarkan kepalanya, mengusel-uselkannya, memberi support. Perbuatan selalu lebih banyak pengaruhnya daripada kata-kata. Sedih, sekali. Tanpa kata-kata, menuai kepahitan hidup. Memicu banyak hal. Buat apa Yao menderita selama dengannya? Huhuhu… Suaranya terdengar majal, mirip lonceng yang dipukul tapi tidak berdentang. “Yaoyao, sabarlah. Tunggulah aku sebentar ya, aku akan kerja keras untuk memberimu kehidupan yang layak. Akan kubuat semua orang iri padamu!” Menangis adalah kemewahan manusia lemah.

Ketiganya ternyata malah terfokus pada Zhang Jing. Benar-benar elok dan jelita. Artis yang satu ini menyenangkan, istimewa. Layak ditandai.

Kutonton selama selepas nonton Timnas sama May di tengah cuaca Karawang yang dingin. Film sejenis ini sudah banyak diproduksi. Dan akan terus dibuat. Walaupun suka sama endingnya yang tragis, sayangnya klise. Entah karena timing, atau tersebab benar-benar gagal menautkan emosi. Ketika akhirnya catatan harian yang tergeletak itu disorot dekat, saya sudah terlanjur kuat. Tak ada air mata. Murakami banget gmana Bung Tak? Tak ada kucing hitam, tak ada gagak, tak ada sumur, tak ada perselingkuhannya.

Love Will Tear Us Apart | 2021 | China | Directed by Mo Sha | Screenplay Wang Zhi | Cast Qu Chu Xiao, Zhang Jing Yi | Skor: 3.5/5

Karawang, 030123 – Hoobastank – The Reason

Thx to Bung Takdir atas rekomendasinya

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s