Cahaya Benar-benar Mengalahkan Kegelapan

Poison by Sara Poole
“Apakah keadian yang kaucari… atau pembalasan dendam?” – Rocco

“Apakah keadian yang kaucari… atau pembalasan dendam?” – Rocco

Santo Agustinus yang agung mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas sebagai hadiah dari Tuhan. Tetapi juga mengajarkan bahwa Tuhan tahu tentang nasib kami sejak awal. Bagaimana bisa apa yang sudah diketahui ilahi menjadi subjek pilihan manusia? Tetapi jika tidak ada pilihan, bagaimana kita bertanggung jawab secara adil untuk dosa-dosa kita?

Novel renaisans di Italia. Tentang hari-hari menuju penunjukan Paus baru. Ini bisa jadi fiksi di sisian sejarah. Paus lama, yang sudah tua dan sakit-sakitan segera mengeluarkan dekrit yang sama dengan perintah dari Spanyol bahwa warga Yahudi akan dimusnahkan, atau diusir dari negerinya, tapi sebelum dektrit itu dirilis, drama terjadi di dalam istana. Racun menjadi alat bunuh yang umum, dan begitulah Francesca Giordano, ahli racun itu melaksanakan tugasnya. Di Roma yang panas, dan sejarah mencatat Rodrigo Borgia menapaki puncak kekuasaan. “Vengeance is mine, sayeth the Lord” – Pembalasan adalah milikku, sabda Tuhan.

Bukunya tebal, tapi sebenarnya kutat cerita tak banyak beranjak. Hanya melulu di katedral dan sekitarnya. Balas dendam, motif pembunuhan Paus yang tua dan sakit-sakitan tanpa diketahui khalayak sebagai pembunuhan (arsenik adalah favorit lama, tentu saja, dan gejala-gejalanya bisa disalahtafsirkan dengan gejala malaria). “Jika tujuannya hanya sekadar untuk membunuh, tak ada terhitung cara untuk melakukannya. Tetapi untuk membunuh tanpa menimbulkan kecurigaan adalah masalah yang sepenuhnya berbeda.”

Cinta yang tumbuh di antara pelaku misi, keinginan di tampuk puncak pimpiman, hingga tujuan mulia menyelamatkan umat manusia (baca kaum Yahudi) dari teror tragedi pengusiran. Sejatinya pergolakan yang ditawarkan melimpah dan benar-benar seseruan, yang disayangkan, kutat itu melingkar, terus-menerus sang protagonist dibelenggu impian dan harapan. Dan sayangnya, happy ending. Mungkin karena buku pertama sehingga kelanjutan kisah, nasib tokoh harus dipertahankan.

Fransesca adalah putri sang ahli racun yang baru saja dibunuh. Ahli racun dari Spanyol didatangkan guna menggantikan, tapi oleh Fransesca dibunuh dengan racun. Sejatinya ia diujung tanduk untuk dihukum mati, tapi dengan penjelaskan mengagumkan, bahwa bukti bahwa putri ahli racun bisa melakukan tugas dengan bagus, dan siap mengambil pada Borgia, malah menjadikannya sebagai anak buah. Fransesca, seorang ahli racun profesional yang menghargai kehidupan jauh lebih baik daripada orang lain, yang akan melemparkanmu ke dalam lubang Neraka tanpa berpikir panjang. “Aku akan mengatakan bahwa cara paling sederhana untuk memasukkan racun adalah dengan menyembunyikannya di dalam hidangan pedas – rebusan misalnya, atau hidangan lain yang diharapkan memiliki rasa yang kaya dan rumit.”

Memasukkannya dalam tim untuk mengantarkannya menjadi Paus. Sebuah sarana untuk melibatkannya dalam pembunuhan berencana seorang Paus. Saat resmi direkrut, “Aku menandatanganinya dan merasa senang karena tanganku tidak gemetar.”

Ia dibantu oleh pasukan kardinal, misinya besar. Membunuh Paus dan menempatkan bosnya sebagai pengganti, untuk itu prosesnya melingkar jauh dan rumit. “Apakah kauyakin ingin melakukan semua ini?”

Spanyol sudah mengeluarkan dekrit pengusiran kaum Yahudi. Dan Italia gegas mengikuti, nah sebelum dekrit itu ditandatangai Paus, Fransesca harus membunuhnya. Ada rencana yang sedang dipersiapkan untuk mengeluarkan dekrit kepausan untuk mengusir semua orang Yahudi dari dunia Kristen. Innosensius belum menandatanganinya tapi dia akan melakukannya.

Dan Borgia setuju, bila ia berhasil menjadi Paus untuk syarat menolak dekrit. “Kardinal melambaikan tangan dan, bagaikan sihir, mereka semua pun lenyap. Mereka mungkin juga sudah menguap seperti yang terjadi pada hujan di atas batu panas, begitu cepatnya mereka pergi.”

Fransesca harus mencari tahu masa lalu ayahnya, bahwa ternyata ayahnya adalah Conversi, orang Yahudi yang beralih agama Kristen untuk menghindari pengusiran. Mereka adalah orang-orang pertama yang akan dinyatakan sebagai bidat dan yang pertama akan dibakar. “Ayahmu converso, apakah kau tidak tahu itu?”

Dari perkampungan Yahudi, ia lantas tahu, cara mencipta racun dari darah. Darah yang sudah terkontaminasi bisa menjadi barang mematikan buat yang mengkonsumsinya. Nah, Paus yang kini menjabat Innosensius desusnya meminum darah orang-orang muda untuk bertahan hidup. Klop.

Maka, iapun memasukkan agenda, mengganti darah yang siap saji buat Paus untuk diganti dengan darah kontaminasi racun. Untuk bisa masuk ke lingkaran vatikan, ia harus menyamar sebagai lelaki, mengelabui penjaga, hingga – seolah film action – kejar-kejaran kabur dengan dramatis kudu masuk terowongan sapitenk!

Berhasilkah ia membunuh paus dan mengantar Borgia sebagai Paus berikutnya?

Banyak hal filosofis ditampilkan, santo Agustinus paling sering. “Lebah adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mengagumkan, jauh mengangumkan dari Manusia itu sendiri. Mereka bekerja dengan rajin dan tak memikirkan diri sendiri untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan…”

Endingnya sendiri menggantung. Sebab misi balas dendam itu tak tuntas. “Lelaki yang kutahu menjadi arsitek sesungguhnya dalam membunuh ayahku masih bebas berkeliaran, kemungkinan besar masih berada di dalam lingkungan Vatikan.”

Poison adalah permulaan seri Fransesca Giordano dan keterlibanatannya dengan keluarga Borgia, buku kedua, Serpent dan seri ketiga Malice.

Ini adalah kisah fiksi sejarah. Bagaimana Borgia naik ke puncak detail-detailnya fiksi, tapi fakta ia melakukan dengan korup dan licik. Kombinasi antara ambisi yang lalim, kecerdasan yang brilian, dan sensualitas tak terkekang yang mereka wujudkan sangat menawan dari sudut pandang seorang penulis. Fiksi sejarah dikategorikan sebagai ‘infotainment’ dan memang benar adanya. Maka fun saja, tak perlu ambil pusing, yang jelas memang kisahnya menegangkan. Menulis fiksi sejarah adalah jalinan kenyataan dan imajinasi ke dalam sbeuah kisah yang masuk akal dengan satu harapan, memikat.

Ide cerita sendiri sebenarnya ada di sekeliling kita. Sara mengaku, “Beberapa tahun lalu saya tertarik berbagai tumbuhan liar di dekat ambang pintu rumah saya,yang dalam hal tertentu beracun.” Lihat, dari pemikiran ada racun di sekitar kita, ditautkan sejarah Paus abad 15, jadilah buku setebal 500 halaman.

Mungkin bukan novel lima bintang penuh puja-puji, mungkin juga bukan cerita sastra dengan bahasa indah. Namun jelas ini buku seru, memikat cara menyampaikannya. Kegalauan Fransesca yang masih muda, dan mengemban misi besar, menyelamatkan umat (walau jelas ada misi dendam), sejatinya alur cerita usang, ditambah bumbu cinta berbahaya. Yah, jangan terlalu muluk berharap memang, anggap saja ini cerita fun dengan perjalanan berliku panjang. Kalau ada kesempatan melanjutkan lahap seri lain, atau buku lain Sara Poole, jelas saya sangat antusias.

Poison, Sebuah Novel Renaisans | by Sara Poole | diterjemahkan dari Poison, a Novel of the Renaissance | Copyright 2010 | Terjemahan Indonesia copyright Penerbit Tiga Serangkai | Penerjemah Dina Begum | Editor A. Mellyora | Desain sampul da nisi Rendra T.H. | Penata letak isi Prasetyo Santoso | Cetakan pertama, November 2011 | Edisi pertama Indonesia diterbitkan oleh Metamind, Creative Imprint of Tiga Serangkai | Cetakan I, Solo | November 2011 | vii, 568 hlm.; 20 cm | ISBN 978-602-9251-07-4 | Skor: 4/5

Karawang, 081122 – Sheila on 7 – Dan

Thx to Erii, Jakarta

Tetapi Kemudian Kawanan Tersebut Terus Berkembang, Terus Berevolusi

Prey by Michael Crichton

“Kenapa kawanannya berperilaku seperti itu? Untuk meniru mangsa?” – Mae

Keren banget. Partikel dan bakteri dicipta, dengan kamera berukuran nano, dan jadilah penemuan dahsyat. Awalnya jinak, lalu lepas, dan pada akhirnya mereka dengan cepat beradaptasi, menjadi makhluk hidup yang menuntut eksistensi. Di sebuah lab di tengah gurun, Jack sang perancang program, seorang IT expert itu tercengang sebab kode yang ia cipta kini menjadi liar dan mengancam umat manusia. Ternyata penyebabnya justru istrinya sendiri yang juga seorang penemu, Julia yang beberapa hari tak waras. Pasangan ini saling silang, dan sebelum makhluk itu membunuh orang lebih banyak, harus dimatikan, harus dimusnahkan.

Buku dibuka dengan dua kutipan yang sangat bagus tentang masa depan yang mungkin dari eksistensi makhluk ciptaan manusia, salah satunya ini:

Banyak orang, termasuk saya sendiri, agak was-was ketika membayangkan konsekuensi teknologi ini terhadap masa depan. – K. Eric Drexler, 1992

Lalu pengantarnya yang luar biasa, memberi ilmu baru. Kata pengantar idealnya seprti ini, bukan basa-basi busuk yang sederhana. Salah satu paragraph penting saya kutip, “Kita adalah satu dari hanya tiga spesies di planet in yang dapat dikatakan sadar diri (makhluk hidup yang secara meyakinkan telah terbukti memiliki kesadaran diri hanyalah manusia, simpanse, dan orang utan. Berlawanan dengan pendapat umum, lumba-lumba dan monyet tidak termasuk dalam kelompok ini), tetapi kebiasaan untuk mengelabui diri sendiri mungkin ciri kita yang lebih signifikan.”

Jack yang galau sebab baru saja dipecat, ia seorang pemrogram yang kini menganggur. Menjadi bapak rumah tangga, merawat anak-anak, memasak, berbelanja. Sementara istrinya seorang wanita karier, Julia adalah peneliti. Perusahaan yang ia dirikan kini sedang mengembangkan penemuan. Mencipta makhluk berukuran nano, dengan banyak kamera. Nanoteknologi adakah upaya membuat mesin-mesin berukuran sangat kecil, dengan besaran seperti itu seribu kali lebih kecil daripada garis tengah rambut manusia. Kini telah dicapai berbagai kemajuan praktis, dan pendanaan pun meningkat pesat. Tetapi begitulah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Perusahaan Xymos Fabrication Facility terbut merger dengan Perusahaan IT, eks tempat Jack bekerja.

Perusahaan-perusahaan di Silicon Valley adalah yang paling kompetitif dalams ejarah planet kita. Semua orang bekerja seratus jam per minggu. Semua orang berpacu dengan waktu. Apakah sebuah program dapat mempunyai kesadaran diri? Sebagian besar pembuat program menganggap hal itu mustahil. Ada yang mencobanya tapi gagal.

Kejanggalan-kejanggalan muncul. Julia yang pulang larut, sering kali menginap di kantor, melupakan makan malam keluarga, patut dicurigai selingkuh. Apalagi, kebiasaan setiap pulang kerja ia tak pernah mandi, kini ia selalu mandi. Sesama laki-laki takkan terus terang seandaianya mereka mengetahui sesuatu mengenai istri temannya, tetapi kaum perempuan pasti berbagi cerita jika mengetahui perselingkuhan seorang suami.

Kasus berat pertama muncul, sang bayi sakit, kulitnya muncul bintik-bintik banyak, dibawa ke UGD, dirawat inap, dan penyakitnya tak diketahui, lalu saat dilakukan di CT scan, bintik dan penyakitnya mendadak lenyap. Aneh sekali. Klu pertama.

Setelah lama menganggur, akhirnya Jack dihubungi mantan bosnya, diminta kembali bergabung sebab program yang ia buat kini sedang dalam masalah. Kode program harus diperbaiki, dan karena Jack yang buat, ia pula yang harus menanganinya.

Laboratoriumnya ada di tengah gurun. Jack diantar dengan helicopter, lalu ditinggal landas. Dalam lab, orang-orang sudah mengenalnya, teman-teman kerja lamanya. Lalu identifikasi masalah dilakukan.

Ternyata pelik, program yang ia cipta, kini merger dengan teknologi nano. Di mana kamera kecil itu bersatu, dan kemudian, membentuk kawanan, lepas kendali keluar lab.

Di siang yang terik, mereka tahu, kawanan datang, mendekat ke pintu, mencoba masuk. Lab berpengaman ketat, mereka gagal. Menurut Ricky, kepala lab, kejadian itu berulang-ulang. Kawanan datang secara kontinu, dan setiap hari bertambah banyak. Bahkan lewat CCTV terlihat, seekor kelinci tewas disergap. Mengerikan, makhluk buatan itu membunuh hewan. Kawanan ini akan pergi bila terkena terpaan angin. Mereka mengisi energi lewat sinar mentari, jadi berbahay hanya di siang dan di kala cuaca teduh.

Kawanan itu hidup! Wow… Setiap tonjolan adalah mesin, mesin itu bermanuver dengan mendaki viskositas udara. Para pemrogram membuat program yang meniru perilaku serangga. Algoritma kecerdasan-kerumun telah menjadi alat penting dalam pemrograman komputer. PREDPREY ternyata berfungsi sempurna. PREDPREY hanyalah analogi biologi. Pemangsa sungguhan, tentu saja akan memangsa mangsanya, tapi tidak ada perilaku analog untuk kawanan mikrorobot. “Ini kawanan nanorobot yang lepas kendali. Dan entah karena ulah siapa. Kawanan ini sepenuhnya mandiri dan tidak bergantung pada sumber energy eksternal.”

Untuk mengetahui penyebabnya, mereka keluar. Sungguh riskan, sebab kalau hewan dengan mudah dibunuh, tak menutup kemungkinan manusia jua, tapi Jack nekat. Ia harus melakukan otopsi, mengetahu sejatinya penyebab kematian apa. Dari semua ilmuwan, hanya Mae yang percaya, dan bersedia menemai. Mae ahli dibidang botani, seorang ilmuwan yang terbiasa pula otopsi mayat. Sebagai peneliti lapangan, ia memang lebih terlatih mengira-ira risiko di dunia nyata dibandingkan rekan-rekannya.

Apes, saat otopsi melakukan pembedahan, alat swab ketinggalan, Mae masuk. Jack masih diluar, dan angin tiba-tiba mereda. Jack belum sempat masuk pintu, kawanan mencegatnya. Dengan cerdik, ia melakukan perlawanan. Dan untung selamat, terluka berat, tenggorokannya tersumbat, nyaris sesak, benar-benar mencekam. Sementar Ricky terus berkeras mereka tak boleh dimusnahkan. Proyek mahal ini belum mau ditutup! “Begini. Kita menghadapi kawanan lepas kendali yang tampaknya mematikan. Ini tidak bisa dianggap main-main.”

Manusia memang bisa dipandang sebagai suatu kawanan besar. Atau lebih tepatnya , kawanan yang terdiri atas berbagai kawanan, sebab setiap organ – darah, hati, ginjal – merupakan kawanan tersendiri. Apa yang kita sebut ‘tubuh’ sebenarnya kombinasi dari semua kawanan organ tersebut.

Pengendalian perilaku kita tidak terpusat pada otak, melainkan di seluruh tubuh. Jadi dapat dikatakan manusia pun diatur oleh “Kecerdasan kawanan”. Keseimbangan diatur kawasan otak, dan jarang kita sadari. Seluruh struktur kesadaran, serta kemampuan pengendalian diri dan perilaku bertujuan yangkita anggap sebagai ciri manusia, hanya ilusi. Kita tidak dapat mengendalikan diri secara sadar. Kita hanya beranggapan seperti itu.

Nah, antisipasi harus dilakukan. Alat-alat di gudang harus diambil, salah satunya adalah peledak. Makhluk kawanan ini harus dimusnahkan. Harus dilakukan segera, sore itu terjadi bencana. Saat di gudang, kawanan mengepung, dan begitulah, dua ilmuwan tewas. “Gawat.” Charley bergugam, “Ini benar-benar gawat.”

Lynn Margulies terkenal karena menunjukkan bahwa bakteri pertama kali mengembangkan inti sel dengan cara menelan bakteri lain. Ini sudah di level darurat tingkat tinggi. Jack terus bertanya, tapi Ricky terlihat jelas menutup-nutupi poin-poin penting. Aku semakin yakin ada yang tidak beres . Aku serasa menjadi bagian dari sebuah sandiwara, di mana setiap orang memainkan peran masing-masing. Aku tahu ada sesuatu, aku hanya belum tahu siapa… maksudnya… biarpun aku sudah curiga, aku tetap saja terpukul. “Sebenarnya aku tidak mau mencari perkara, Ricky, tetapi tingkahmu selalu membuatku kesal.”

Mengerikan, mereka melawan makhluk buatan manusia, yang berevolusi dengan cepat. Berkembang biar instan, serta perlahan memiki jiwa dan kesadaran. Ini harus dihentikan, ini benar-benar kondisi darurat, sebelum menjadi bencana dunia, sebelum manusia tersingkirkan. Prey menjadi buku misi penyelamatan dunia, dan begitulah, hal-hal mendesak harus dilakukan sebelum terlambat. Berhasilkah?

Ini buku ketiga Crichton yang say abaca setelah Disclosure dan Timeline, ketiganya saya rating sempurna. Alhamdulillah, saya kembali menemukan penulis hebat. Temanya selalu teknologi yang mencekam, manusia melawan dirinya sendiri. Seperti mesin waktu yang rasanya seram. Rencana itu hanya setengah matang, penuh improvisasi, dan dipersiapkan dengan terburu-buru untuk mengatasi masalah sesaat, tanpa memikirkan masa depan. Di sini, makhluk-makhluk buatan yang berpikir.

Para pengamat meramalkan rekayasa genetik, pemograman komputer dan nanoteknologi akhirnya menyatu. Sudah banyak buku yang mengupasnya, kemungkinan-kemungkinan mesin atau kloning yang bisa berpikir, memiliki jiwa. Semuanya melibatkan kegiatan serupa – dan saling terkait.

Kembali lagi. Teknologi merupakan bentuk pengetahuan, dan seperti semua pengetahuan lainnya, teknologi pun tumbuh, berkembang, menjadi matang. Masa depan yang misterius, kekhawatiran itu bukan serangan dari luar angkasa, atau serbuan makhluk asing, kekhawatiran itu justru dari dalam. Manusia mencipta komputer super canggih yang bisa melawan manusia, bahkan mungkin merusak eksistensi manusia. Manusia, malah jadi mangsa?

Mangsa | by Michael Crichton | Copyright 2002 | Judul asli Prey | Alih bahasa Hendarto Setiadi | GM 402 03.023 | Sampul dikerjakan oleh Marcel A.W. | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, Agustus 2003 | 608 hlm, 18 cm | ISBN 979-22-0449-0 | Skor: 5/5

Karawang, 071222 – Garasi Band – Hilang

Thx to Ade Buku, Bandung

Saudaraku, Sahabatku, Adeleida


Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja

“Hujan sudah reda. Kita jalan lagi? ya, hujan sudah reda. Betapapun hujan akan datang lagi, hujan yang baru…”

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

Kisah dimula di usia remaja. Terlahir di Sumedang, sebagai sulung yang tangguh. “Kamu sudah diberi nama Etty Hadiwati oleh ayahmu. Konon, itu maunya berarti: perempuan yang jantan. Tapi kamu harus tahu, hanya jiwamu saja yang boleh jantan. Tidak untuk tingkahmu. Mengerti?”

Ayahnya adalah tentara, dan dengan kedispilan tinggi, Etty meraih juara kelas. Cerdas dan membanggakan keluarga. Ada masa-masa terjadi cekcok dengan saudaranya, rebutan tanah warisan dan konfliks internal keluarga. Ada suatu masa, di mana Pa terkadang tak dapat mengontrol timbunan kekecewaan masa silam. Semacam dendam untuk kenyataan pahit, kerap dilampiaskannya menjadi kemarahan tak karuan pada anak-istrinya. Saat-saat begitu, Ma akan ditakar lebih jauh kadar kesetiaan dan ketakwaannya sebagai istri Pa.
Sebuah sisa paham picik peninggalan kolonialisme Belanda. Pancakaki, semacam aturan memantas-mantaskan garis keturunan (B. Sunda).

Dan begitulah, awal mula sakit Etty tak diketahui apa. Pucat, lemas, dan mual. Sempat dirahasiakan oleh orangtuanya, transfusi darah berulang-ulang dilakukan. Mereka mempertanyakan kenapa wajahku selalu pias dan sekitar bola mata itu begitu kuning. Ada kelainan dalam darah. Dan karena bolak-balik ke Rumah sakit, ia ketinggalan banyak pelajaran di sekolah. Belajar keras mengejar ketinggalan demi orang tua. Sebuah keberhasilan yang gemilang dan patut kalian teladani. Aah, tak ada sesuatu pun lagi yang menarik minatku. Tak ada yang hendak kukerjakan, kecuali menulis dalam catatan harian ini. Ya, waktu istirahat yang banyak itu digunakan untuk menulis buku harian di ranjang. “Ayo, paculah waktumu, Sang Juara! Cag.”

“Ulang tahun pada 16 Mei 1973, ke enam belas dirayakan di ranjang rumah sakit. Apa itu leukemia? Pokoknya kanker darah. Perjuanganku melawan kanker darah. Perjuanganku melepaskan diri dari kejaran maut-Mu. Tuhanku. Begitu penuh kemustahilan. Tanda tanya ebsar. Mengonak di urat-urat syarafku. Ini benar-benar sebuah penyiksaan yang tak terperikan. Deritaku, siksaan menunggu kenyataan omongan di sinting. Harapanku sendiri, harapan seorang anak yang menginginkan kesehatan, pendidikan, masa depan yang gemilang.”

Sekolah di Jakarta yang rawan mencipta kenangan remaja tak terlupa. Seorang pria misterius menolongnya dari kejailan, mengantarnya pulang naik bus. Dan berulang kali. Akhirnya berkenalan. Namanya Sonny, non muslim. Setelah berulang kali janji temu, maka berdasarkan diary yang ditulis, pada tanggal 19 Maret 1974, bersama Sonny di sore yang cerah. Di tugu Pembebasan Irian Barat sebagai tempat pertemuan. “Baiklah kalau begitu sejak ekarang. Detik ini, hari ini, sore ini, saya akan panggil kamu dengan Pipit saja. Ejaannya…” Biar keren mestinya pakai huruf ‘e’ sebelum huruf ‘t’ di akhir itu. “Pipiet…” lantaran sering bertemu kalau sore hari, senja hari macam gini. Kita tambahkan saja kata Senja di belakangnya. Jadilah Pipiet Senja. Begitulah awal mula nama pena itu. “Kalau saja keadaanya seperti begini untuk selamanya…”

Masalah Pipiet memang bertumpuk. Keuangannya yang tak stabil, ayahnya bahkan cari uang tambahan jual perlengkapan sehari-hari di tanah rantau. Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya begitu besar. Ia berpikir terus, bagaimana caranya membalas semuanya ini. Ditamba Ma sakit pula, ia dimasukkan ke bangsal zal 13, apa yang sebenarnya terjadi? Zal orang gangguan jiwa. Ibumu hanya terserang gangguan syaraf, Neurosis epilepsi diagnosanya. “Kamu tak boleh begitu, Piet. Ayolah, hapus air matamu. Kamu tahu, masih banyak, oh begitu banyak yang lebih menderita.”

Maka perasaan pesimis dan sentimental itu, tabu baginya. Ia telah menyerahkan segalanya kepada Sang Kholik. Keyakinan bahwa dirinya berasal dari-Nya. Harus kembali pada-Nya. Ia memang dilahirkan dalam lingkungan muslim. Tetapi apa salahnya kalau merasa bisa menikmati keindahan arti ayat suci agama lain?

Judul buku diambil dari penggalan catatan ini, “Sepotong jiwa yang mungil, sedang menelusuri perjalanannya. Sepotong jiwa mungil yang masih sesekali goncang.”

Dengan berjalannya waktu, setelah divonis usianya tak lama tapi faktanya berhasil bertahan. Piet lantas terjun ke dunia seni. Lingkar pergaulannya di teater. Setumpuk ide masih akan ditambah ide-ide lainnya, tetapi di belakang hari tak satu pun dari ide itu diwujudkan. Seharusnya ia tak usah kaget. Bukankah Jakarta adalah gudangnya kejanggalan? Kekontradiksian? Seniman UL, pernah jua disebut sebagai penyair kiloan. Barangkali karena segebung puisi bisa diciptakan dalam tempo sesingkat mungkin.

Ia lalu berkenalan dengan banyak seniman. Salah satunya yang masih muda dari tanah Sumatra, Risko yang usianya lebih muda. Piet lalu bertaruh. Taruhan, sejak 1 Januari 1978 sampai 1 Januari 1980. Dua tahun waktu yang cukup lama untuk bertaruh soal beginian bukan? Taruhan untuk menerbitkan karya tingkat nasional. Demi sebuah pengakuan.
Dengan cara mengumpulkan sisa-sisa semangatnya yang ada. Ia harus melakukannya. Ia harus menumbuhkan jiwa besar dalam dirinya. Oh, oh kenapa secengeng ini? Untuk menjadi seniman yang baik itu harus mampu melenyapkan tuntutan ego yang macam-macam. Bukan penghargaan lahiriah yang penting, melainkan penghargaan pemenuhan kebutuhan batin. Itulah yang lebih hakikat. Kembali mereka membongkar kenangan lama. “Sudah kau yakinkah atau masih ragukah hatimu merenangi dunai seni? Dan menetapkannya sebagai duniamu yang tak bisa dipisahkan lagi dari dirimu?”

Meraih masa depan itu, dan menikmati hasilnya kelak. Apa yang masih bisa dikerjakannya, itulah bekalnya untuk melangkah. Melepas lelah, dipandanginya suasana sekitarnya. Suasana yang sendu dan sedikit muram. Sikap yang selalu manis sikap yang mencemaskan hatinya. Dan biasanya di sela kemanisan yang berlebihan itu tersimpul sesuatu yang sebaliknya.

Pada akhirnya memang Piet jadian dengan Risko. Saling mencinta walau takarnya masih saling mengukur. Di depan kamar biru, beranda rumah itu mereka berpandangan, saling menakar kadar rasa masing-masing, saling menyelami isi hati masing-masing. Rikso menarik jemari pucat itu ke wajahnya, menciuminya dengan lembut. Berulang-ulang… “Cinta kasih yang bening berdasarkan pada budi dan kenyataan yang hakiki.”

Buku ditutup tahun 1980-an. Pipiet Senja sudah menerbitkan beberapa karya di usia 23 tahun. Dengan keterbatasan fisik, ia berhasil melawannya. Menentang vonis yang pernah didapatkannya. Merentang jauh kea bad Millenium ini, bahkan punya dua anak, dan kini memiliki cucu. Luar biasa, salut dan takjub saya menekurinya.

Pipiet Senja jelas salah satu penulis besar kita, kebanggan dan panutan banyak orang.

Sepotong Hati di Sudut Kamar | by Pipiet Senja | 81/SB/01 | Rencana sampul Rufi | Tata letak Partono | Penerbit Sinar Harapan | Jakarta 1981 | Cetakan pertama | Diocetak Sinar Agape Press, Jakarta | Skor: 4/5

Cinta kasih saya kepada: pa ageing dan ma alit, saudara-saudaraku sedarah semua

Karawang, 061222 – Forget Me Not

Thx to Literasi Rongsok (Sri Agustin), Bdg ( Penjual Buku Penipu

“Hei, Malam Walpurgis!”


Penyihir Cilik by Otfried Preubler
“Lumayan, sebagai permulaan! Kurasa kau punya bakat untuk menjadi penyihir yang baik!” – Abraksas

Keren. Cerita fantasi anak yang sejatinya umum, tapi ini ditulis tahun 50-an. Dan endingnya luar biasa. Jadinya tak umum lagi, meluap-luap dalam suka cita. Bab penutup yang sempurna. Tak menyangka apa yang dilakukan, tak kukira bakalan berani melawan, berani balas dendam. Penyihir Cilik jelas adalah cerminan kebaikan akan menang, berbuat baiklah sekalipun melawan arus, tak dilihat orang, tanpa pamrih, benar-benar demi niat menolong. Maka alam akan bersatu menolong balik. Dan jangan lupa, ini juga balasan bagi siapapun yang rajin membaca buku, rajin berlatih, rajin melakukan tindakan mengarah perwujudan mimpi. Mantra sim salabim pun butuh keringat dan air mata untuk menjadi nyata, taka da yang instan sekalipun di dunia sihir.

Diceritakan Penyihir Cilik (karakter tanpa nama) menginginkan mengikuti malam Walpurgis, malam pesta para penyihir tiap tanggal 1 Mei di gunung Blocksberg. Hidup dengan burung gagak hitam yang bijak. Sering kali mengingatkan dan saling tanya jawab diskusi. Usianya masih muda, 127 tahun, dan belum diperbolehkan, apalagi ia sering kali salah menyihir. Ilmunya belum tinggi, perlu banyak belajar. Namun karena keinginannya kuat, ia melanggarnya. Diam-diam naik sapu terbang, dan turut serta dalam pesta. Apes, saat seru-serunya berdansa, ia kepergok bibinya sendiri Rumpumpel. Dan karena bibinya jahat, mengadu, Penyihir Cilik disidang, dan dihukum. Ia harus berkelakuan baik, bila berhasil, tahun depan boleh turut serta. Hukuman instannya, sapu terbangnya disita, maka ia turun dari gunung dengan jalan kaki tiga hari tiga malam. Hufh…

Penyihir Cilik yang pada dasarnya suka iseng, akhirnya tobat. Membaca dan memperlajari buku ilmu sihir tujuh jam sehari, biasanya hanya enam jam. Belajar giat sampai tahun depan! Dan dimulailah kebaikan-kebaikan itu..

#1. Tiga nenek mencari kayu bakar, taka da angin lewat sehingga ranting-ranting tak mau jatuh. Dengan cerdik, Penyihir mencipta angin ribut.

#2. Penjaga hutan yang melarang pencarian kayu bakar, bila memergoki akan dihukum. Maka Penyihir Cilik pun berakting cari kayu bakar, kepergok dan sim salabim, sang Penjaga Hutan menurut saat diminta mengangkatnya, jadi kuda tunggangan.

#3. Di hari pasar, seorang pedagang bunga kertas tampak sedih sebab barang dagangnya tak laku, dan sim salabim, Penyihir Cilik mencipta wewangian, dan bunga kertasnya tak habis-habis saat dijual. Antrian pembeli panjang.

#4. Di kedai minuman, gerobak pengangkut bir dengan dua kuda dikendarai, kusirnya galak betul, suka memecutnya. Kedua kuda tampak lesu dan sedih, sim salabim. Penyihir Cilik mencipta cemetinya mengenai kusir tiap kali dilecutkan!

#5. Tiap hari Jumat, tak boleh ada sihir yang digunakan sebab hari istimewa ini hari libur. Penyihir Cilik kedatangan dua anak kecil yang menanyakan arah, sekalian saja dijamu. Dan untuk memukau mereka ia menutup korden jendela, memamerkan skill sihirnya. Ssttt… jangan bilang siapa-siapa.

#6. Thomas dan Vroni mengundang Penyihir Cilik untuk datang ke pesta rakyat, ayahnya adalah orang berpengaruh, sayangnya di acara jago tembak itu, berhadiah sapi kesayangan Thomas, Korbinian. Siapapun yang menang, pasti akan membuat pesta dengan menyembelihnya. Oh, Sang Penyihir Cilik punya ide.

#7. Di musim salju, penjual kantanye bakar sakit flu, bersin-bersin dan sungguh kakinya sangat dingin. Penyihir Cilik ditawari, dan atas kebaikannya, ia membuat penjualnya tak kedinginan. Saat ia terbang, datang dua anak kecil membeli kastanye.

#8. Kali ini untuk si burung Abraksas, cuaca dingin keduanya menggigil. Kenapa tak kau gunakan sihir agar keduanya tak kedinginan? Betul juga.

#9. Boneka salju yang dibentuk oleh anak-anak dengan tekun, suatu saat dirusak oleh gerombolan tujuh nakal yang berbadan lebih besar. Sedih, saat Penyihir Cilik tahu, ia mencipta boneka salju yang membalas.

#10. Di karnaval kota, berbagai bangsa hadir. Penyihir Cilik bilang umurnya 127,5 tahun dan membuat mereka ketawa. Hehe, lantas muncullah kanibal yang jahat, sim salabim dikalahkan dengan mudah.

#11. Kali ini Penyihir Cilik pengen mengadakan karnaval dalam hutan, para binatanglah yang diundang. Datang ke pondoknya, pesta pora para binatang. Saat muncul Si Musang, semua ketakutan. Ia sering kali memangsa sesama. Tenang, semua terkendali.

#12. Seorang istri yang sedih sebab suaminya gemar main kegel, judi sehingga lupa memberi nafkah keluarga. Penyihir Cilik meminta sehelai rambutnya, sim salabim. Si Pembuat sirap malah ditolak di kedai judi sebab bola yang dilemparnya mencipta kecing, haha…

#13. Saudara burung gagak Kreks was-was sebab sarangnya kini dalam ancaman, ada dua anak nakal sering kali memanjat pohon dan akan mengambil telurnya. Sim salabim, Fritz anak tukang jahit dan Sepp, anak tukang sepatu yang suka usil itu terjebak di pohon sebab melekat! Hehe, Penyihir Cilik baru melepas sihirnya saat mobil pemadam kebakaran datang menolong.

Itulah tiga belas kebaikan yang dilakukan setahun ini, maka saat sidang dibuka kembali apakah ia diperbolehkan ikut pesta atau tidak. Awalnya hampir lulus, tapi sang bibi yang jahat lantas membeberkan kelakukan usilnya. Mulai dari larangan menggunakan sihir di hari Jumat singga fakta-fakta kebaikan yang dilakukannya. Ternyata selama ini sang bibi yang merupakan penyihir cuaca mengamati, pantas saja ada awan hitam berarak dengan sebatang sapu menjulur pernah dilihat. Persidangan itu malah memberatkannya, Penyihir Cilik dapat hukuman lebih berat.

Namun kali ini, ia tak tinggal diam. Ia harus melakukan sesuatu yang luar biasa. Ini harus dihentikan.

Ini adalah buku pertama penulis fantasi Jerman Otfried Preubler yang kubaca. Langsung jatuh hati, sederhana, jitu, menyenangkan. Seolah mengantar kembali masa lalu yang memang genre fantasi adalah genre favorit. Lama rasanya tak menemukan kesederhanaan yang sungguh-sungguh menghibur seperti ini. Kubaca dalam sekali duduk pada Sabtu pagi, 3 Desember 2022. Fresh sebab malamnya rencana nonton bola gatot, alarm menyala kencang, Cuma dimatikan, lanjut tiudr, makanya selepas subuh benar-benar segar, dapat buku segar, klop deh. Jelas, semua buku Otfried Preubler amat pantas diburu dan dikoleksi. Semoga dapat, semoga berhasil.

Tampilan gambarnya juga sangat pas, sederhana, sungguh jitu. Tampilan ciamik, ilustrasi mantab. Benar-benar seperti inilah fantasi remaja harusnya ditampilkan, nyaman dibaca, aman buat anak-anak, penuh pesan moral, hingga sedap dipandang, sangat pantas dipajang di rak. Sejatinya untuk memukau pembaca, tak perlu muluk-muluk, tampilkan aja realitas buruk, kasih karakter masalah hingga biarkan memecahkan konfliksnya. Tak kusangka saja, akhirnya seperti itu. Apa yang dirasakan Penyihir Cilik, itulah yang dirasakan pembaca. Lepas, lega, puas. Bukankah semua orang suka keadilan? Bukankah semua orang senang kebaikan menang? Bukankah Penyihir Cilik tak sekecil itu pemikirannya? Nah, seperti katanya di puncak kemenangan, ia pantas bersorak dan dibalas ruing gema menarik, “Hei, Malam Walpurgis!”

Penyihir Cilik | by Otfried Preubler | Copyright 1957 by K. Thienemanns Verlag, Stuttgart | Judul asli Die Kleine Hexe | Alih bahasa Agus Setiadi | GM 106 01.277 | Ilustrasi oleh Winnie Gebhardt-Gayler | Sampul dikerjakan Marcel A.W. | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | November 1985 | Cetakan kedua, Maret 2001 | 144 hlm; 20 cm | ISBN 979-686-277-8 | Skor: 5/5

Karawang, 051222 – Ella Fitzgelard & Louis Armstrong – They Can’t Take That Away from Me

Thx to Pak Saut, Jakarta

Temani Aku, Sebab Sebenarnya Aku Takut Sendiri


Tabula Rasa by Ratih Kumala

“Karena kau perempuan, Nduk. Cah ayu yo kudune menikah, punya suami lantas mengabdi. Kuwi kodrate wong wedhok.”

Politik Negara adalah urusan pemimpin Negara, urusan perut adalah hak asasi manusia.

Kisah sedih di Rusia, kisah sedih di Yogyakarta, kisah sedih di Kanada. Asmara yang yang melilit para karakter. Temanya berat, sebab melibat homo dan lesbi serta kematian-kematian orang terkasih. Mainnya jauh, sampai Benua Amerika dan Eropa. Bagi jelata macam saya, jelas tak relate. Banyak kejanggalan, atau mungkin tak nyaman dinikmati orang kebanyakan. Mahasiswa pintar yang mengikuti kemanapun ayahnya ditempatkan bekerja, tak main-main antar kota, tapi sudah melintang ke Rusia. Dan sesuai catatan sejarah di awal 1990-an terjadi perebutan kekuasaan yang mengambil banyak nyawa warga, termasuk sang kekasih. Lalu masa merentang sedasawarsa di Yogya, kini ia sudah dewasa dan menjadi dosen. Menemui rasa cinta lagi kepada salah satu mahasiswinya. Gayung seolah disambut, tapi enggak juga sebab, sang kekasih memiliki penyimpangan seksual. Dan begitulah, aliran kisahnya berkutat di masalah hati, dan tindakan. Mengikuti kata hati ataukah menjadi warga kebanyakan yang legowo?

Mengambil dua sudut pandangan judul yang mengindikasikn bocoran. “In memoriam…” Pertama Galih, seorang makasiswa Indonesia yang kuliah di Rusia, jatuh hati sama perempuan lokal Krasnaya, seniman yang sedang menggambar di ruang public. Berkenalan, makan bersama, kencan. Alurnya khas hubungan pada umumnya. “Aku tak mau menghitung ini yang keberapa kali, tapi muncul angka di kepalaku yang menunjukkan jumlahnya. Aku tak peduli, tak akan kusebutkan berapa. Sebab, kuning telah membuatku jatuh cinta lagi.”

Di tahun 1990-an di mana Rusia sedang bergolak, perubahan kekuasaan yang mengakibat banyak jatuh korban warga sipil. Termasuk Krasnaya dan ayahnya. Dari telaah lebih lanjut, ada indikasi mereka berhubungan dengan Galih, dan dicurigai punya kepetingan politik. Sang nenek menuduh efek perkenalan tersebut, dan dalam duka cita mendalam, Galih dan kelurag mengungsi pulang ke Indonesia.

Sekitar sepuluh tahun kemudian, Galih kini menjadi dosen di Yogyakarta. Jatuh hati sama mahasiswi seni Raras. Kali ini mengambil sudut dari perempuan. Dan ternyata Raras memiliki ketertarikan sesama. Violet yang merdeka, yang merupakan kekasih idaman. Sayang, akibat pergaulan bebas, mengonsumsi narkoba hingga overdosis dan meninggal dunia. Nah, Raras mencoba move on. Ia ada di persimpang jalan.

Sementara, Raras memiliki sahabat pena dari Kanada, pasangan homo yang siap menampungnya, Zack dan Argus. Menjadi tempat bercerita, dan kabur dari realita. Mereka lantas memutuskan menikah sah di Belanda, di mana pasangan homo berhasil diresmikan. Masalah yang ditimbulkan malah beragam sebab Raras hamil, keputusan ada di tangannya, mengugurkan atau melahirkannya, pasangan homo tersebut bahkan siap menampung sang anak. “Kesemuanya dapat aku gandakan dalam gerak lalu selalu terpantul pada cermin.”

Keduanya lalu bertemu di titik puncak, setelah lama berpisah akibat amarah. Keputusan penting harus diambil, lanjutkan hubungan, atau pisah jalan? Manusia khawatir akan banyak hal, ada beban yang di masa depan dan ada sisa dari masa lalu. Tidak ada hubungan cinta atau asmara mana pun yang bisa memberi jaminan apa pun. Well, sebenarnya memang segala pilihan tindakan kita ke depan tuh tak ada jaminan. Mau memilih homo ataupun normal, memilih si A atau si B, atau bahkan 99% yakin besok bisa bernapas pun, tak ada jaminan. Bisa saja kalian bilang, main aman. Tapi tetap, ia bukan jaminan.

Karena ini bersetting era Orde Baru, maka komunis dienyahkan. Sempat disinggung pula masa keemasannya, dan jelang keruntuhannya. Di mana, pada ulang tahun PKI 23 Mei 1965, D.N. Aidit mengomando massa PKI dan meningkatkan sikap revolusioner. Pemer kekuatan, dan menicipta slogan-slogan: “Ganyang Kebudayaan Nagk-Ngik-Ngok”, “Bentuk Angkatan V” (butuh dan tani). Setelah slogan-slogan ini dipropagandakan, digaraplah desa-desa untuk membasmi ‘Tujuh Setan Desa’; tuan tanah, lintah dasat, sistem ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat.

Pilihan diksinya mungkin bagus-bagus, dan layak didedah serta dibaca ulang untuk ditelaah lebih lanjut. Misal, “Sebab, di mata manusia makhluk seperti malaikat tak kasat mata, hanya hewan yang bisa merasakannya, seperti juga gonggong anjing di malam hari pertanda setan keluar di tengah bumi.”

Banyak pula menyinggung dunia Jawa. Bagaimana masa mula agama masuk ke Indonesia. “Kejawen adalah perpaduan antara Hindu dan Islam, yang mitosnya saat orang Gujarat datang ke tanah Jawa bukan hanya untuk berdagang, tapi juga mengembangkan alam pemikiran Islam, sementara pendeta-pendeta Hindu sudah lebih dulu masuk dan menyebarkan Hindu secara filsafatnya. Inilah agama asli Orang Jawa, ‘Kejawen’ yang dinamakan “Ilmu Kesempurnaan Jiwa”. Filsafat Islam menyebutnya sebagai ‘Suluk”.”

Bagiku, segala kutipan yang berbahasa asing, termasuk Inggris rasanya kudu diterjemahkan ke Indonesia. Atau kalaupun tetap ingin menyertakannya, harus ada Indonesianya. Kenapa? Ya, ini buku bahasa Indonesia. Bisa juga sih, bagi pembaca seperti saya buka kamus untuk beberapa kata yang tak paham, atau menafsir sederhana, tapi rasanya kurang worth it. Ditemui lumayan banyak di sini.
Baru tahu bahwa segitiga emas – Thailand, Myanmar, dan Laos – jenis opioid atau opiate atau opium, dari bunga opium tanaman Papaver somniverum, heroin aliasn putau dibuat. Kekuatan dua kali lebih kuat dari morfin.

Jelas banyak hal tak relate sama saya sebagai pembaca. Dengan entengnya kuliah ke Rusia. Dengan gampangnya ke Kanada. Dengan santuy-nya kemapanan. Di mata umum-pun problematik ini terasa janggal. Entah bagi kalian yang memilih jadi kaum pelangi, apakah konfliks batinnya sekeras itu? Sejatinya, pilihan hidup adalah rangkaian takdir yang sudah diambil, jadi kalau sudah memilih jalan tersebut harusnya tak mengeluhkannya. Apalagi, menyalahkan keadaan. Tidak, ini bukan dunia sandiwara umum. Ini adalah cerita yang khusus bagi mereka yang bermasalah.

Untuk buku pertama Ratih yang kubaca, rasanya ada yang kurang. Saya seringkali mengedepankan cerita ketimbang unsur aneh-aneh. Dan secara cerita Tabula so so. Apakah Gadis Kretek bisa lebih baik? Mari kita coba…

Terjadi typo di beberapa halaman, salah satunya halaman 38 yang krusial menurutku adalah keluarnya SK no. 1/3/1996, Taps MPRS No. XXV/MPRS/1996 tentang pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang. Hehe, tahunnya itu lho.

Hidup Fiksi Lokal!

Tabula Rasa | by Ratih Kumala | GM 20101140040 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan pertama edisi cover baru September 2014 | Editor Mirna Yulistianti | Copy editor Rabiatul Adawiyah | Ilustrasi dari Shutterstock | Desain sampul Suprianto | Setter Nur Wulan Dari | ISBN 978-602-03-0946-0 | Skor: 3.5/5

Karawang, 021222 – Duke Ellington & His Cotton Club Orchestra – The Moochers

Thx to Boekoe Kita, Semarang

November2022 Baca

Karena kau perempuan, Nduk. Cah ayu yo kudune menikah, punya suami lantas mengabdi. Kuwi kodrate wong wedhok.” – Tabula Rasa, Ratih Kumala

Bulan Anniversary ini dilewati dengan banyak degub mengkhawatirkan. Pekerjaan menuntut untuk keluar kota hampir setiap minggu. Piala Dunia sudah dimulai, kini memasuki partai-partai akhir grup, hingga kesibukan di rumah yang memang butuh perhatian. Yang paling menyedihkan, teman istriku divonis sakit parah, #GWSAbu sakit kepalanya ternyata tak sekadar sakit kepala.

Lalu keputusan mengambil sepeda listrik (4.4 juta tunai, dari koperasi) merupakan langkah maju untuk membantu transpotasi, tapi langkah mundur dengan cicilan sejutaan di koperasi, makin banyak utangnya.

Dan hilangnya Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2022, setelah kepergiaan Richard Oh, belum ada yang meneruskan. Sehingga November yang biasanya rekap baca buku lokal melimpah, kini sedikit sekali. Saat menyadarinya, baru baca fiksi lokal 21 buku. Jauh dari rekap tahunan, makanya Desember ini saya fokus mengejarnya. Namun tetap, semuanya mengalir sahaja…

#1. A Dash of Magic by Kathryn Littlewood

Kisahnya tampak klise. Kompetisi masak Internasional di Paris dengan sihir menyertai, dan peserta finalnya adalah saudaraan. Kemungkinan seperti itu sangat amat kecil terjadi di dunia nyata. Seperti kompetisi catur dunia, apakah pernah terjadi final dalam satu keluarga? Atau mungkin satu Negara? Sekalipun fiksi, tetap pijakan utama adalah kehidupan kita. Sekalipun sihir, tetap logika kehidupan harus dijadikan acuan. Dan banyak sekali trik yang disampaikan juga tak se-majic yang diagungkan, atau seseru buku satu. Trik-trik curang demi menjadi nomor satu, disajikan dengan plot kanak-kanak. Cara pemilihan pemenang juga begitu sederhana, tak serumit kompetisi Chef memasak tingkat RT, apalagi tingkat TV Nasional yang lebai. Jelas, kisah di buku ini sebuah penurunan. Dengan bekal kata, “Mengalir saja”, semuanya memuncak di Paris yang glamor. Nyaris tak ada kejutan berarti. Mungkin keunggulan utama buku ini adalah cover yang ciamik. Enak dipandang mata saat disusun rapi di rak.

“Kita selesaikan masalah satu-satu, Mi Hermana, pertama kita dapatkan bunyi lonceng dulu.”

#2. How the World Works by Noam Chomsky

Lega. Itulah perasaanku setelah bertahun-tahun coba menyelesaikan baca buku ini. Kubeli tahun 2015, sempat menggebu membaca di awal. Down di tengah jalan,. Tahun 2016 sempat pula coba kulanjutkan, dan kembali tertunda. Dan begitulah, tertimbun buku-buku lain. Terlupakan. Memang bukan buku yang santuy, bahasannya berat. Politik, dan begitu kritisnya banyak ungkapan-ungkapan yang bikin pemerintah panas.

“Ada kasus yang sangat solid untuk didakwa setiap presiden Amerika sejak Perang Dunia Kedua bertanggung jawab atas berbagai peristiwa berdarah di seantero dunia. Mereka semua merupakan penjahat perang atau setidaknya dalam kejahatan perang yang serius.”

#3. Marxisme, Seni, Pembebasan by Goenawan Muhammad

Penuh dengan kutipan. Sampai-sampai tak tahu mana pemikiran asli penulis, mana kutipannya. Buanyaaaak banget. Aneh rasanya membaca kutipan bertumpuk-tumpuk dalam satu paragraph panjang. Menelusur masa lalu dengan Marx sebagai pusatnya, didedah dan diuji ketahanannya oleh masa. Dan setelah lebih seabad Marx rasanya abadi, dilihat dari sudut manapun, layak didiskusikan. Sosialisme mengklaim, reliji juga, seni, ideology hingga manzhab lebih tinggi terkait tafsirnya sungguh liar. Dan buku ini hanya sebagian kecil darinya. Apalagi saya sedang baca Teori Sosiologi Modern, di mana Marx menyita halaman (otomatis perhatian) sangat tinggi.

“… keindahan yang benar-benar, yang tertinggi adalah keindahan yang dijumpai oleh manusia di dalam dunia kenyataan dan bukanlah keindahan yang diciptakan seni.” – Chernishevski

#4. The Hundred Secret Sense by Amy Tan

Ini jelas lebih mudah dicerna ketimbang The Joy Luck Club yang plot-nya berlapis. The Hundred Secret Senses sekalipun menyertakan dunia yin yang absurd dan mengundang arwah untuk berdiskusi, mengunjungi hantu-hantu masa lalu untuk membantu memahami masa kini, setidaknya alurnya masih runut. Sudutnya fokus pada Olivia, yang lainnya hanya sempalan, atau kalaupun keluar jalur, hanya mencerita detail yang menunjang. Kwan jelas begitu dominan menemani, sebagai kakak-nya yang paling setia, Kwan justru tokoh terpenting, terutama aspal cerita yang padat, dan eksekusi kunci di endingnya yang tak terduga.

“Janji mengajakku ke bioskop atau kolam renang akan mudah terhapus dengan dalih lupa, atau lebih buruk lagi, variasi-variasi licik mengenai apa yang dikatakan dan dimaksud.”

#5. The Art of Novel by Milan Kundera

Kundera menulis dengan semangat merayakan lelucon. Dari judul-judulnya sudah terlihat. Harus membaca buku-bukunya dulu untuk bisa menikmati secara maksimal buku ini. Saya baru membaca empat: Pesta Remeh Temeh, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Identitas, dan Kealpaan. Dan itu tak cukup. Selain mengupas novel-novelnya, kita juga diajak bersafari ke novel-novel hebat sebelumnya. “Kita sering mendengar trinitas suci novel modern: Proust (belum baca), Joyce (Ulysses belum baca), Kafka (sudah baca). Menurut saya, trinitas itu tak ada. Kafka memberikan orientas baru, yaitu orientas post-Proustian. Caranya memahami diri sungguh-sungguh mengejutkan.” Ya, ketiganya sangat dominan dikupas, ditambah Cervantes (belum kubaca), Schweik (sudah kubaca), hingga Balzac. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang kunikmati. Ada tiga kebijakan utama yang wajib dikembangkan manusia: toleransi, humor, dan imajinasi.

“Novel memiliki kekuatan untuk menggabungkan puisi dan filsafat, bukan sebaliknya.”

#6. Menyingkap Rahasia Akhirat by Al Ghazali

Luar biasa. Karena ini hal yang baru, saya terpesona. Alam akhirat yang misterius itu dijelaskan dengan gamblang, bagaimana kehidupan setelah kematian. Dari mulai detik-detik kematian, hingga putusan akhir penghakiman pada-Nya. Ini versi Islam, artinya segalanya bersumber pada Al Quran dan Hadist sehingga, diluar itu tak disinggung sama sekali.

“Tak ada yang bisa menyingkap rahasia-rahasia akhirat kecuali orang yang menguasai ilmu-ilmu keakhiratan.”

#7. Tabula Rasa by Ratih Kumala

Kisah sedih di Rusia, kisah sedih di Yogyakarta, kisah sedih di Kanada. Asmara yang yang melilit para karakter. Temanya berat, sebab melibat homo dan lesbi serta kematian-kematian orang terkasih. Mainnya jauh, sampai Benua Amerika dan Eropa. Bagi jelata macam saya, jelas tak relate. Banyak kejanggalan, atau mungkin tak nyaman dinikmati orang kebanyakan. Mahasiswa pintar yang mengikuti kemanapun ayahnya ditempatkan bekerja, tak main-main antar kota, tapi sudah melintang ke Rusia. Dan sesuai catatan sejarah di awal 1990-an terjadi perebutan kekuasaan yang mengambil banyak nyawa warga, termasuk sang kekasih. Lalu masa merentang sedasawarsa di Yogya, kini ia sudah dewasa dan menjadi dosen. Menemui rasa cinta lagi kepada salah satu mahasiswinya. Gayung seolah disambut, tapi enggak juga sebab, sang kekasih memiliki penyimpangan seksual. Dan begitulah, aliran kisahnya berkutat di masalah hati, dan tindakan. Mengikuti kata hati ataukah menjadi warga kebanyakan yang legowo?

“Kamu jangan mondar-mandir aja, kayak setrikaan.”

#8. Jejak Sufi Modern by Abu Fajar Alqalami

Lucu. Mungkin tak seberat buku-buku sufi kebanyakan, mungkin pula dan sak-klek sama aturan Islam yang kaku. Ini malah jadi sejenis diskusi, seorang awam agama, bertanya kepada pendiri pondok pesantren. Rasanya tepat, sebab biar ahlinya yang menjawab. Maka kiai Badrun memberi petuah-petuah hidup, yang mungkin bagi kita sudah umum (atau malah usang). Dasar agama, tuntunannya, hingga rasa syukur. Yang menarik, diskusi itu mengalir nyaman, dan apa adanya.

“Hujan sudah reda, kita jalan lagi.”

#9. Poison by Sara Poole

Novel renaisans di Italia. Tentang hari-hari menuju penunjukan Paus baru. Ini bisa jadi fiksi di sisian sejarah. Paus lama, yang sudah tua dan sakit-sakitan segera mengeluarkan dekrit yang sama dengan perintah dari Spanyol bahwa warga Yahudi akan dimusnahkan, atau diusir dari negerinya, tapi sebelum dektrit itu dirilis, drama terjadi di dalam istana. Racun menjadi alat bunuh yang umum, dan begitulah Francesca Giordano, ahli racun itu melaksanakan tugasnya. Di Roma yang panas, dan sejarah mencatat Rodrigo Borgia menapaki puncak kekuasaan.

“Apakah kauyakin ingin melakukan semua ini?”

#10. Wasripin & Satinah by Kuntowijoyo

Tak menyangka arah buku ini akan ke sana. Ini adalah novel kedua Kuntowijoyo yang kubaca, setelah Pasar yang fenomenal itu. Yang ini tampak lebih kompleks dengan ending yang lebih berani. Kritik politik dari arus bawah hingga pusaran pusat yang njelimet. Pasangan yang saling mencinta, dengan segala kekurangan dan segala kehebatan masing-masing, di puncak ketenaran dan kegemilangan, segalanya berbalik. Wasripin yang bak nabi, dan Satinah yang secantik merak, akhir yang tak terduga. Benar-benar dibawakan dengan sangat bagus, mengalir dengan sangat nyaman dan begitu rapinya. Ah, rasa itu, kenapa terlambat disampaikan, dalam lamaran aneh dengan hasil pancing di pantai sepi ikan, dan jelmaan indah, lantas dihempaskan.

“Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”

#11. Logika Falus by Tomy F Awuy

Kumpulan cerpen dari penebit Metafor yang legendaris. Temanya lebih banyak menelusup di area psikologi. Dari hubungan lesbi, pemikiran liar para lelaki, hingga kehidupan malam para Jakartan. Sebagai cerpen yang diambil judul, Logika Falus justru malah yang paling biasa, di mana dua pria mendebat seorang penyanyi kafe yang elok. Lalu berjudi, dan bagaimana diakhiri dengan antiklimaks.

“Ayahmu converso. Apakah kau tidak tahu itu?”

#12. Ranah 3 Warna by A. Fuadi

Buku lanjutan Negeri Lima Menara yang sungguh biasa sekali. Sebuah penurunan drastis, ini seperti orang yang menceritakan pengalaman hidupnya, dari lulus pesantren hingga meraih impian keluar negeri. Kuliah di jurusan Hubungan Internasional, ke Kanada impian itu diwujudkan. Tersebab saya sudah membaca Laskar Pelangi dan lanjutan, seolah ini pengulangan. Dan, karena ini lebih mapan, lebih tampak menjaga image. Artinya, orang pesantren yang alim ini tak banyak mencipta konfliks, sungguh main aman. Jadi tentu saja, membaca novel dengan minim konfliks adalah sebuah pengalaman standar.

“Logika bahasa penutup kau tidak jalan, terlalu lemah. Tapi yang lain sudah baik.”

#13. Prey by Michael Crichton

Keren banget. Partikel dan bakteri dicipta, dengan kamera berukuran nano, dan jadilah penemuan dahsyat. Awalnya jinak, lalu lepas, dan pada akhirnya mereka dengan cepat beradaptasi, menjadi makhluk hidup yang menuntut eksistensi. Di sebuah lab di tengah gunung, Jack sang perancang program, seorang IT expert itu tercengang sebab kode yang ia cipta kini menjadi liar dan mengancam umat manusia. Ternyata penyebabnya justru istrinya sendiri yang juga seorang penemu, Julia yang beberapa hari tak waras. Pasangan ini saling silang, dan sebelum makhluk itu membunuh orang lebih banyak, harus dimatikan, harus dimusnahkan.

“Jadi kesimpulannya sederhana. Mengelompoklah dan jangan menonjol.”

#14. Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

Karawang, 011222 – Bon Jovi – Always