
Ketika Lampu Berwarna Merah by Hamsad Rangkuti
“Semak menjalar disepuh cahaya bulan menjadi keperakan.”
Transmigrasi jadi tempelan cerita. Waduk Gajah Mungkur di Desa Karanglo, Wonogiri, bagaimana terbentuknya. Di tempat pertemuan kedua sungai itu akan dibangun waduk raksasa Gajah Mungkur. Air akan melenyapkan semua kenangan mereka. Jelas ini sejarah, diselipkan dalam kisah kepiluan warga Jakarta yang terpinggirkan di gubuk-gubuk kumuh sepanjang rel kereta api. Lalu dikemas drama keluarga. Jadilah Ketika Lampu Berwarna Merah. Saat mobil berhenti, mungkin membuat kesal karena perjalanan tertunda. Tetapi bagi anak-anak, ketika lampu berwarna merah satu harapan baru telah tiba. Dengan bekal kasihan, pengemis melakukan pekerjaannya. Meminta-minta di sepanjang jalan saat warna rambu lalu lintas berwarna merah. Dengan pusat kasihan anak lelaki berkaki buntung. Menggendongnya, mengetuk hati para sopir. “Itu sekolah yang dapat dari kebiasaan kita. Kita tidak akan bisa pergi dari situ. Dunia kita adalah dunia orang minta-minta.”
Kartijo adalah warga Wonogiri yang akan melakukan program pemerintah, transmigrasi ke Sumatra. Sebuah konvoi membawa mereka ke Desa Sitiung, Sumatra Barat. Desanya akan dibumihanguskan, dikeduk dijadikan Waduk raksasa. Kartijo masih berdiri di atas tanah pematang di antara rumput berduri, di hari-hari akhir di tanah kelahiran. Semua warga diberi kompensasi, ada yang bertahan di sekitarnya dengan membeli tanah dan rumah baru, ada yang hijrah, jauh ke tanah seberang. “Mengapa tiba-tiba menjadi emosional melihat itu semua pada hari-hari belakangan ini, ketika pamong menyuruh mereka meninggalkan desa itu.”
Kenangan masa lalu akan dipersatukannya dengan harapan masa datang. Istrinya Surtini sedih sebab salah satu anaknya Basri minggat ke ibukota, gara-gara terpesona Monas. “Barangkali aku akan menceritakannya kepadamu di bagian selanjutnya cerita ini, yaitu tentang terciptanya kehidupan lain ketika lampu berwarna merah.”
Basri menjalani profesi ngemis. Gabung sama anak-anak terlantar lainnya. Pipin yang buntung menjadi pahlawan mereka sebab jadi modal utama. Maka sore itu Pipin janji akan mentraktir semua anak-anak. Ada yang pengen telur goreng, ayam bakar, hingga ikan. Pipin sendiri ingin martabak. Maka malam itu jadi pesta anak-anak. Untuk mendapatkan martabak sendiri ada drama, sebab para pemabuk memborong, dan menunda lama kedatangan makanan. “Bir dengan martabak yang panas adalah sesuatu yang nikmat!”
Malam itu ada banyak hal terjadi seolah tumbukan batu. Pesta miras yang rusush. Para pemusik dapat melihat bagaimana para penjoget berlarian dan hiruk pikuk. Semuanya tampak seperti sampah yang diterbangkan angin. Digerebek polisi. Pelacuran yang terjadi di pinggir jalan dan tembakan nyasar ke penonton saat terjadi pembekukan penjahat. Karena mereka adalah sumber kegaduhan di daerah-daerah pemukiman. “Demikianlah segalanya berputar-putar sehingga memberi kehidupan bagi orang yang sempat menyentuhnya.”
Sementara ibu Pipin sakit keras, terbaring di gubuk pinggir rel. malam itu ternyata jadi malam terakhirnya. Para tetangga gelandangan solidaritas. Mencarikan teman yang paham pengobatan, mencari orang sekitar yang dikenal. Lucunya, jenazah malah dijadikan modal memeras orang kaya. Diletakkan di depan gerbang toko, pura-pura tidur di sekitar, dan saat tuan rumah tahu ada gelandangan mati, ia meminta rekan gelandangan, yang sudah stand by di situ, untuk menyingkirkannya, sebab malesi urusan sama polisi. Begitulah, mereka paginya memeras orang-orang kaya. “Panas pergi telah masuk di antara pelepah pohon pisang.”
Kembali ke Kartijo, yang galau. Keberangkatan ke Sumatra tinggal menghitung hari, dan anaknya masih belum juga jelas titik temunya. Daripada menyesal suatu hari Basri pulang kampung dan tak menemukan mereka, ia nekad ke Jakarta naik bus. Rencanaya, warga termasuk istrinya berangkat naik kereta ke Jakarta sore itu, dan ia ke Jakarta naik bus mencari anaknya, janjian bertemu di Pelabuhan Tanjung Priok sorenya untuk ke tanah seberang. “Tidak pernah alam mau akrab dengan manusia. Karena alam itu tahu, manusia yang merusaknya…”
Dalam bus, Kartijo berkenalan dengan seorang sopir baik hati Sutrisno. Awalnya basa basi, lalu menjurus lebih dalam masalah keseharian, dan apa niat yang membawa mereka ke Jakarta. Sutrisno adalah sopir orang kaya raya, pejabat yang baru saja berduka. Bosnya meninggal karena kekenyangan, padahal baru juga melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang wargany kelaparan. Maka untuk membungkam alasan kematian (paling gampang karena jantung), ia diberi cuti panjang dan uang. Ironis bukan? “Saya hanya seorang sopir. Mungkin kalau saya di atas sopir, mungkin saya tidak sebaik ini. orang akan berubah kalau status sosialnya berubah.”
Ia kini dalam perjalanan, dan setelah mendengar penjelasan teman seperjalanan, ia berjanji akan membantu. Sungguh karakter baik hati dan tidak sombong. Benar-benar sopir berbudi, membantu tak hanya mencari Basri, tapi juga secara dramatis menyongsong harapan keluarga ini.
Dengan petunjuk minim, Basri mengemis di perempatan. Di Jakarta banyak sekali lampu merah. Oh Basri suka Monas, dikerucutkan lampu merah dekat area tersebut. Dan waktu yang mepet sebab mau tak mau sore itu ke Pelabuhan, apakah keluarga ini berhasil disatukan?
Saya besar di era akhir Orde Baru. Program transmigrasi tak kurasakan dalam hiruk pikuk berita. Seolah jadi rempah masa lalu, hanya sesekali kubaca di Koran, kulihat di tv, atau dalams ebuah novel yang pernah kubaca di Perpus. Dalam garis singkatnya, transmigrasi bisa jadi niat baik dan luhur. Pemerintah telah mengubah strategi program transmigrasi dengan dua hal yang sangat ideal untuk masa depan bangsa. Penyebaran penduduk ke tempat kosong di luar pulau Jawa, dan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan di sana. Pemerataan, tak hanya penduduk, tapi juga teknologi.
Ini adalah buku pertama Hamsad Rangkuti yang kubaca, bagus sekali. Temanya mungkin sederhana, tapi sangat menyentuh. Mewakili lapisan masyarakat bawah. Memupuk kebaikan, menjadikan pelajaran moral. Novel ini merupakan cerita bersambung di Koran Kompas tahun 1981 dan merupakan salah satu pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 1981). Buku-buku beliau rasanya hanya masalah waktu untuk berjejer di perpus keluarga. Mungkin endingnya yang kurang jleb, tapi jelas niat dan prosesnya sangat luhur. Recommended!
Ketika Lampu Berwarna Merah | by Hamsad Rangkuti | Penyunting Kenedi Nurhan | Penyelaras akhir RN | Tata sampul Joni Ariadinata | Lukisan karya Tarman, Ekspresi (2010), acrylic on canvas, 290 cm x 170 cm | Tata isi Violeta | Pracetak Antini, Dwi, Wardi | Cetakan pertama, Mei 2016 | Penerbit Diva Press | 228 hlm; 14 x 20 cm | ISBN 979-602-391-148-6 | Skor: 4.5/5
Karawang, 291222 – Michael Buble – Cry Me a River
Thx to Rusa Merah, Jkt