
“Akan jadi sarang kutu saja janggut itu, menambah-nambah kerja awak.”
Suka sama kesedehanaannya. Suka sama polanya yang mengalir lancar, beberapa mengundang tawa, beberapa getir. Bagaimana manusia zaman dulu mendapati nama panggilan. Orang berjanggut panjang, Pak Janggut. Orang berbadan kurus, Si Kerempeng. Orang berbadan gemuk, Bu Pan. Orang suka ceramah, Pak Ustadz, dst. Nama-nama yang didapat dari orang-orang sekitar, dari pergaulan, dari dampak sosial. Umum, dan sangat membumi. Untuk itulah, saya suka. Seri satra Nostalgia.
Nama aslinya Pak Daud, perantau sejak muda, dan saat senja ia menepi ke kampung halaman. Awalnya tak memiliki janggut, tapi karena tiap kenduri melihat orang-orang berjanggut diperlakukan istimewa sama tuan rumah, karena dituakan, karena dihormati, ia pun memeliharanya. Malahan jadi ikon, janggutnya lebar dan panjang. Dan begitulah, akhirnya warga memanggilnya Pak Janggut.
Istrinya Nyonya Fatimah menemani di hari tua, dipanggil Bu Rubu, saat makin tua jadi Nek Rubu. Sebab suatu ketika ada gerhana matahari yang menghebohkan warga, semua teriak dan kabur, dan berhamburan keluar rumah. Hanya rumah Pak Janggut gemetar ketakutan di dalam, Bu Fatimah yang panik kabur keluar rumah, berhamburan. Beberapa orang di jalan diseruduk, ia merubu hilir merubu mudik, ke mana ia akan lari, ia tak tahu. Kabar itu menyebar, dan sejak itulah ia dipanggil Bu Rubu.
Kisah sesungguhnya trejadi pada suatu siang, saat keduanya sedang menikmati hari, Pak Janggut yang giginya tinggal sebiji disuguhi sayur petai. Komplainlah ia, sebab gmana makannya. Komplain itu ditanggapi dengan gurau marah, zaman muda ia suka petai. Ih sekarang beda soal Rubu. Pak Janggut lantas pergi ke sawah, dan di sinilah petaka datang.
Ia jalan terus sampai ke tengah sawah, dan mendengar kodok-kodok bernyanyi. Karena masih marah, suara itu dianggap menyinggung. Dianggap mengejek, diambilnya batu, dilemparinya kodok-kodok jahanam itu. Apes, ia malah kena kencing segingga terjerebab sehingga basah sudah pakaiannya. Karena basah dan kena lumpur, ia pun berinisiatif melepas pakaian, hanya tinggal celana dalamnya. Lantas menjemur, sembari menanti kering, ia membakar api. Sejenis api unggun biar selain kena angin juga dipanasi, sekalian menghangatkan badan.
Di dangau-dangau itulah, api yang semula kecil, membesar, janggutnya terbakar. Kesal, dan lapar, ia tetap memutuskan melanjutkan ngambeknya. Lantas ia santuy dekat api, rebahan yang melalaikan. Saat tertidur itulah api menyambar pula ranting dan benda kering lainnya, mencipta api besar, kebakaran. Haha, apes.
Sementara itu dari pusat desa melihat api berkobar di dangau, heboh. Bergegas datang, warga berbondong-bondong memadamkannya. Yang tersisa dari kebakaran itu adalah pakaian Pak Janggut, dan salah satu warga mengetahui identitasnya. Mereka mengira Pak Janggut adalah korban, binasa oleh api, sehingga mereka menuju ke rumahnya, Nek Rubu yang tak tahu apa-apa heran, banyak orang ke rumah, dan setelah mendengar penjelasan kemungkinan Pak Janggut tewas dilalap api.
Padahal Pak Janggut yang terbangun, saat ramai menyaksi warga memadamkan api, sembunyi. Takut di-massa. Ia lantas mengendap-endap pergi, karena hanya memakai cangcut, ia lalu berinisiatif ke rumah saudaranya untuk pinjam baju.
Naas, di situ dikira maling. Gelap-gelap, mengendap. Kentongan segera dipukul bertalu, dan warga kembali mengerumun menangkapnya. Menggelandangnya, dan butuh waktu untuk kembali menjelaskan duduk masalah. Saat semua dijelaskan, tertawalah semuanya. Ini berpangkal dari sayur petai! Hehe…
Ini jelas masuk cerita komedi. Setelah kejadian itu, ada kasus unik lainnya, misal gigi tunggal-nya yang mencoba memecah petai lantas tanggal, sementara ada maling bernama tunggal yang sembunyi di balai, mengira ia ketahuan. Lantas kabur, dan Pak Janggut heran.
Begitulah, cerita rakyat dengan kearifan loka. Diterbitkan di masa Kolonial dengan segala kesederhanaan. Kentongan misalnya, untuk memanggil warga dan memberitahu ada bencana. Atau ketika Pak Janggut memutuskan memelihara janggut agar tampak bijaksana demi makanan, dst. Di zaman now jelas hal-hal itu tak ada, serba instan.
Ini adalah terbitan Balai Pustaka, jadul. Bagus untuk nostalgia, bacaan tipis dan memberi petuah tanpa menggurui. Membumi, dan jenis buku-buku yang dipajang di rak perpustakaan sekolah. Dibaca cepat, diselesaian instan. Tak masalah, saya akan membacai semua jenis buku, dan beberapa bacaan sejenis terbitan BP sudah tersedia. Pak Janggut yang malang, Pak Janggut yang kocak.
Aman Datuk Majoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat. Lulusan Sekolah Raja di Bukittinggi, HIS di Solok dan mendapat diploma Klien Ambtenaar. Tahun 1919 menjadi guru di Padang, dan tahun 1920 – 1932 bekerja di Balai Pustaka. Meninggal di Sirukan, Solok, Sumatra Barat.
Pak Janggut | by Aman Dt. Majoindo | Penerbit Balai Pustaka | BP No. 1310 | Cetakan pertama – 1938 | Cetakan ketujuh – 2007 | viii, 68 hlm., 21 cm: Seri BP No. 1310 | ISBN 979-666-202-7 | Tat letak Sakun | Desain sampul Arditya | Skor: 3.5/5
Karawang, 201222 – Andre Previn, Herb Ellis, Ray Brown, Shelly Manne – I Know Oh So Well
Thx to Ade Buku, Bdg