Egoisme Bertopeng Adat, Budaya, Hukum, Agama, dan Semua yang Muluk Lainnya

Persiden by Wisran Hadi

“Sepertinya pada setiap pojok kehidupan kita ada misteri. Dan kita tidak dapat memecahkannya sendiri-sendiri. Kukira itulah sebabnya Rangkayo tidak dapat menjawab secara pasti apa yang kau tanyakan.”

Macam-macam cara orang mencoba mencari jalan keluar dari hukum dan peraturan. Kenapa kesalahan orang lain tampak begitu besarnya, sedang kesalahan sendiri selalu ditutup-tutupi? Kenapa mereka tak menyalahkan diri sendiri, bahwa semua itu akibat orang-orang tua membuat jarak dengan orang muda.

Persiden adalah tempat segalanya. Dan dimula kita disuguhi sudut-sudut lain tempat itu. Seperti rumah warisan yang tua yang juga pusat segalanya (bagi keluarga), persiden menua dihajar perkembangan zaman, dan juga semua penghuninya. Antara Saraung dan Persiden seperti kehidupan hitam putih. Selalu berkerlap-kerlip dalam diri orang-orang muda di sana. Satunya surau penuh pengajian, satunya tempat dugem. Sarauang adalah benteng kedua setelah Rumah Bagonjong. Hitam putih yang jelas bukan? Namun bagaimana kalau dari surau itulah muncul kasih terlarang?

Luar biasa. Menggetarkan. Butuh waktu lama untuk loading masuk ke cerita sebab awal mulanya agak boring. Mencerita keadaan Persiden dan sekitar. Pengantar yang nyaris membuat pesimis. Untuk kubaca cepat, tiga hari 3, 4, 5 Dec 2022 selesai. Jadi mood untuk terus berada di pusaran kisah terjaga. Konfliks keluarga, sebuah keluarga ternama menemui titik kehancuran sebab antar saudara terjadi gap. Empat lelaki dan satu perempuan, saat salah satunya punya anak, semuanya seharusnya memiliki rasa kuat saudara, saling mengingatkan, saling melindungi, sebab otomatis keempatnya jadi paman. Namun sayang, keponakan tersayang terlahir dari perbuatan zina. Malati, anak solehan yang jadi juara pertama mengaji itu hamil di luar nikah, kasih terlarang dengan guru ngajinya. Melahirkan tersembunyi, lalu keluarga ini ribut. Persoalan Malati telah melanggar dua hal penting, adat dan agama. “Globalisasi hanya boleh berlaku dalam dunia ekonomi dan politik, tapi tidak dalam budaya dan agama.”

Begitu pula endingnya, butuh loading lagi untuk masuk ke pengandaian yang acap kali disampaikan, tak sekali dua kali tapi berulang. Ibarat lubang cacing, tindakan apa yang mungkin kita ambil ke masa depan, kita tak bisa memilih lebih dari satu, jadi pengandaian. Umpamanya mengambil keputusan ini, akibatnya ini. jika memutuskan itu maka konsekuensinya itu, dst. Bikin kzl, tapi memang kehidupan kan seperti itu. Selalu bisa mengandai.

Mereka hanya kakak beradik lima orang. Empat laki-laki dan seorang perempuan. Keempat laki-laki begitu akrab, bercanda, berdebat, dan berdiskusi tentang persoalan. Namun keempatnya tidak bisa berbuat apa-apa di Rumah Bagonjong beserta segala persoalan yang terjadi di sana.

Banyak hal lantas dikupas. Bagaimana kehidupan dan masalah masing-masing orang. Si sulung Pa Tandang yang gagal mengkoordinasi adik-adiknya. Seorang realistis, tak percaya hal-hal gaib, pikiran selalu mencoba rasional. Kenapa agenda yang dibuat Pa Tandang menjadi begitu luas, rumit, dan sulit untuk dilaksanakan? “Bagiku, saudaraku adalah mereka yang mau seia sekata denganku. Yang mematuhi ketentuan yang kita sepakati bersama…”

Pa Rarau yang merantau, coba melupakan keruwetan di kampung halaman. Pulang sesekali untuk ikut rembug, berkali-kali pula tak membuahkan hasil. Ia dipanggil, diajak diksusi, lantas tindakan apa yang pantas diambil. Namun sayang, masa-masa mudik yang seharusnya berharga untuk nostalgia, malah dibumbui masalah pelik. Pa Minke yang galau akibat keuangan yang kurang Pa Ragih yang juga galu akibat pilihan dan beban hidup yang meningkat.

Dan pusatnya ada di Ci Inah yang menggadaikan rumah warisan demi menjadi anggota DPRD. Memiliki anak perempuan satu-satunya, yang cerdas tapi melakukan kesalahan sehingga memiliki anak di luar nikah. Dan segalanya meliar, seolah semua ingin memberi jalan yang baik dan bijak.

Dengan budaya Minangkabau yang kental, sisi adat sejatinya paling kental. Sekalipun, sindiran terhadap pemerintah juga sesekali muncul. Kalau mau jadi pegawai negeri yang penting adalah ketrampilan, bukan ijazah. Tidak sulit untuk jadi pegawai negeri. Menjadi orang yang dapat bekerja sendiri, mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain, itu yang sulit.

Dan juga agama, Islam sebagai kepercayaan mayoritas melarang zina. Agama mengajarkan bahwa seorang ayah bertanggung jawab kepada anak-anak dan istrinya sampai ke akhirat, tetapi bukan kepada dik atau kakak. Maka, saat perselisihan dengan saudara, ada sisi ajar, tak perlulah terlalu dalam. Yang utama dalam kepelikan ini adalah anak istri.

Kisahnya sendiri berlarut, pencarian Malati, pencarian anak Malati, pencarian suaminya (kalau sudah nikah siri), dan pencarian lainnya. Seolah melawan tembok, hampa. Seperti yang telah disepakati, semua persoalan ini ditutup. “Kita bisa jadi gila dengan main kucing-kucingan seperti ini.”

Ada bagian yang begitu menyentuh, sekaligus bikin geger dan geram. Bagaimana ada anak ngaji yang cantik, menjadi pacar seorang anak Persiden. Remaja alim yang naas, meninggal dunia tertabrak kendaraan. Saat di kamar mayat, geger sebab dia memakai kalung salib! Pihak keluarga ingin memakamkan dengn tata cara Islam, sementara jamaat Kristen yang mengklaim bahwa ia adalah umatnya meminta dikremasi di Gereja. Mungin pertikaian di depan pintu kamar mayat itu akan merebak menjadi pertikaian antaragama, pertikaian yang sangat sensitive, rawan, dan sulit untuk diredam dalam waktu yang singkat.

Kritik sosial juga diapungkan, bagaimana zaman sekarang tayangan tv banyak merusak. Cerita sinetron hanya impian-impian orang miskin terhadap kehidupan yang mewah dan kaya. Kehidupan orang-orang superkaya yang sudah kalau balau rujukan adat, agama, dan budayanya. Cerita sinetron secara perlahan dan pasti adalah cerita yang membakar-bakar nafsu agar orang berbuat zina.

Pertentangan antar golongan tampak dengan jelasnya. Anak-anak Persiden berbadan kurun karena kurang makan, anak Pila kurus karena kecanduan obat terlarang. Anak-anak Persiden berani dan suka berkelahi, anak Pila tidak mau bertarung. Mereka lebih suka membayar anak-anak Persiden untuk keamanan dirinya. “Dosa? Abang, abang. Dimana-mana dosa tersedia. Tinggal lagi pada orangnya. Sekarang semua orang bebas memilih. Juga memilih mau berdosa atau tidak. Ah, itu, kan, bahasa kita sewaktu mengaji di surau.”

Dibuat dengan pola unik, dimana berulang kali pencerita menyebut Bung seolah pambaca adalah pendengar. Ia bercerita, mengurai masalah, bernarasi panjang lebar, dan kita diposisikan sebagai pengdengar, pengamat, serta penganalisis. Padahal ini adalah media buku, kita hanyalah pembaca. Namun tidak, kalian tak akan turut pusing, duduk dan simaklah. Sekalipun pilihan-pilihannya sulit, sejatinya semuanya ini menggelinding nyaman, seperti kehidupan ini, waktu akan terus bergerak, suka tak suka, pahit manis, segalanya dilintas sang waktu.

Jadi sejatinya, mengapa mereka getol menolong Malati? Apakah demi adat? Ataukah agama? Kedua pertanyaan itu juga sulit untuk tidak ditanyakan karena kebenaran yang mereka pertahankan punya kepentingan sendiri-sendiri.

Pada akhirnya semua kembali ke pribadi masing-masing. Apakah sejatinya tujuan hidup ini. mengapa begitu egois memertahankan pendirian, sementara sisi luar begitu keras menentang. “Rakus, kita berantakan karena masing-masing kita rakus, rakus dengan segalanya.”

Sebagai novel unggulan DKJ 2010, Persiden kurasa sangat pantas. Menghibur, sangat menyenangkan. Dan novel menyenangkan, perlu mikir. Kita disuguhi banyak sekali masalah sekalipun kutatnya jelas konfliks keluarga, tapi jalan keluar itu sungguh-sungguh rumit. Buku pertama beliau yang kubaca, dan jelas masuk daftar penulis yang buku-bukunya wajib antisipasi.

Persiden | by Wisran Hadi | Cetakan pertama, Mei 2013 | Penyunting Dhewiberta | Perancang sampul Fahmi Ilmansyah | Pemeriksa aksara Intan Ren, Neneng | Penata aksara Supardi | Penerbit Bentang | xvi + 380 hlm; 20.5 cm | ISBN 978-602-8811-39-2 | Skor: 4.5/5

Karawang, 201222 – Dee – Firasat

Thx to Anita Damayanti, Jkt

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s