
1Q84 Jilid 2 by Haruki Murakami
“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa entah di mana.” ucap Tamaru. / “Sampai jumpa entah dimana…” ulang Aomame secara refleks.
Dunia nyata yang menuh robekan, ketidaksesuaian, dan antiklimaks. Karena ini buku 2, endingnya masih menggantung. Masih tanda tanya besar. Seperti buku satu yang bernarasi dengan sudut bergantian: Tengo dan Aomame, di 1Q84 jilid 2 kita diajak berpetualang langsung lanjut, bulannya maju ke xx. Keputusan besar Aomame yang mendapat tugas membunuh sang iman akhirnya dilakukan, Tengo yang krisis identitas, mencari jawab sejatinya apakah anak kandung, sehingga kunjungan ke bapaknya di wisma panti jompo, akhirnya menemui titik temu. Masalahnya, kedua kejadian besar itu dipenggal di akhir. Misteri kepompong udara yang muncul, serta pencarian lubang cacing di tangga darurat di tol Metropolitan menjadi kejutan fantastis. Aomame si keren seperti biasa. “1Q84, aku sedang hidup pada tahun yang disebut 1Q84, bukan tahun 1984 yang sesungguhnya.”
Sebenarnya polanya masih sama, atau bisa dibilang miriplah. Sudut pandang bergantian. Lalu tingkah dan pemikiran mereka dikupas seluas-luasnya. Karena ini lanjutan, apa yang didapat tak banyak kejutan, kecuali tiga hal. Pertama, membuka misteri identitas Orang Kecil. Dohta lahir dari kepompong udara, dan rembulan bertambah menjadi dua. Dan 1984 berubah menjadi 1Q84. Dunia lama telah sirna, tak bisa kembali ke situ lagi. “Itu Dohta-mu. Dan kamu disebut Maza. Dohta bertugas sebagai wakil Maza.”
Dengan keren, disertai halilintar yang merobek langit, kita jadi tahu bagaimana proses kepompong udara bermetamorfosis. Kalau halilintar menggelegar terus seperti ini, tidakkah langit koyak-monyak? Bukankah koyakkan itu tidak bisa lagi diperbaiki oleh siapa pun?
Kedua, perjalanan ke panti jompo dengan lanskap cerita ‘mampir’ ke kota Kucing. Tak lama setelah masuk panti jompo khusus untuk penderita demensia di Chikura. Hanya dua kali Tengo pernah menjenguk ayahnya. Dan perjalanan itu Luar biasa, menakutkan, begidik. Sensasi tersesat seorang pejalan di dunia mistik. Walau itu merupakan cerita Penulis Jerman, Tengo dengan memposisikan perjalanan kereta seolah simpang lintas masa. Saya hanya dibuat merasa aneh-aneh oleh rasa takut.
Sebuah perjalanan reliji, pamit sama ayahnya yang sudah renta. Saya pernah membaca cerpen ini di buku ‘Kota Kucing’ dari penerbit Indie. Ternyata dinukil dari Novel ini. dan sempat pula kubacakan di kantor saat Inspirasi Pagi. “Sini peluk aku. Kita berdua harus ke kota kucing sekali lagi.”
Ketiga, penelusuran Aomame ke jalan tol di tangga darurat. Sebagai adegan pembuka, jadi ending yang sungguh-sungguh mengejutkan. Tak menyangka, setelah lari dari kejaran para palayan Orang Besar, menginap di hotel, menyepi, lantas merenungi kehidupan, sisian dunia antara. Ia melakukan tindakan radikal di tempat segalanya bermula. Shock, sungguh terkejut saya atas pilihan tindakan itu.
Ingat di tengah kisah Murakami membuat paragraf panjang ini, “Tidak seperti dalam film. Dalam film, orang bunuh diri begitu saja. Tanpa kesakitan. Mati dengan gampang. Tapi dalam kenyataan, tidak seperti itu. Gagal mati, berbaring terus di tempat tidur sambil ngompol dan sebagainya selama 10 tahun.”
Suka sekali, akhirnya hubungan Fuka-Eri dan Tengo berlanjut. Tindakan malam menggelegar itu patut dimaklumi, udara dingin dan suasana panas. Apalagi ternyata Fuka-Eri bukanlah sosok sembarangan. Tengo dan Fuka-Eri seperti Sonny dan Cher, duo tanpa tanding. The beat goes on. “Uang tak masalah,” kata Fuka-Eri. / “Lalu apa masalahnya?” Tengo mencoba bertanya.
Begitupula keputusan kepergian pacar Tengo, sangat natural. Istri orang dan seolah menemukan tombol klik tobat, pergi menatap masa depan yang lebih pasti. Sah-sah saja. Orang-orang yang hidup di dunia itu, dan waktu yang mengalir di sana.
Yang disayangkan adalah adegan di taman malam yang harusnya menjadi pertemuan membuncah, setelah perpisahan 20 tahun. Sayang sekali, menyedihkan akhirnya. Jadi ingat video klip lagu ‘Jika’ di mana Melly Goeslow dan Ari Lasso berdendang sepanjang lagu, dan akhirnya tak bertatap muka. Gemas, sedih, sangat menyedihkan. Ada yang mengucapkan salam perpisahan sebelum pergi, ada yang tiba-tiba lenyap pada suatu hari tanpa pamit. Huhuhu… (nangis). Selama 20 tahun ini, Tengo hidup bersama kenangan tentang sentuhan tangan gadis itu. Dia pasti bisa melanjutkan hidup bersama kehangatan ini.
Sebenarnya rasa simpati kita pada Aomame memang perlu dipertanya, ia adalah penjahat yang kebetulan diambil sudut pandangnya. Meski Aomame membunuh orang demi kebaikan dan keyakinan, pembunuhan tetaplah pembunuhan. Menurut hukum, tak perlu dipertanyakan lagi, Aomame adalah penjahat. Aomame berada di pihak yang ditangkap, sedangkan Ayumi berada di pihak yang menangkap. Keadaan seperti itu membingungkan Aomame, dan kebingungan bukan hal yang diinginkannya. “Saat senjata api diurus, diserahterimakan atau dibawa. Pada dasarnya harus dilakukan tanpa diisi sebutir peluru pun, kecuali dalam keadaan darurat… senjata api dibuat dengan tujuan membunuh atau melukai orang. Harus hati-hati lebih dari apa pun. Tidak ada kata yang terlalu hati-hati untuk senjata api…”
Carl Jung pernah bilang begini dalam salah satu bukunya, “Sejauh mana kita adalah entitas yang positif, sejah itulah menjadi manusia yang baik, berkemampuan tinggi, dan sempurna, semakin jelas kehendak bayangan untuk menjadi gelap, jahat, dan menghancurkan. Saat manusia hendak menjadi sempurna melebihi kepasitas dirinya sendiri, bayangan turun ke neraka dan menjadi setan. Karena bagi manusia, menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri sama berdosanya dengan menjadi sesuatu yang lebih rendah daripada dirinya sendiri.”
Bahaya imaji, melamun di tengah kegalauan memang berbahaya. “Berarti aku sedang berada dalam cerita yang digulirkan Tengo, batin Aomame. Bisa juga ditafsirkan aku berada di dalam tubuhnya. Aomame menyadari itu. Bisa dikatakan aku sedang berada di dalam tempat suci itu.”
Oh satu lagi. Keempat, bulan terbelah menjadi dua di tahun 1Q84. Mengingatkan pada kisah Nabi Muhammad yang termakjub dalam Quran. Alqamar ayat 1: “Saat (hari kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah.” Di negeri imaji Murakami, bulan menjadi dua.
Mulai dibaca 14.04.22 jam 23:15, selesai baca 29.10.22 jam 13:20. Memang dibaca santuy. Pernah kubaca di Masjid Depok saat jadi sopir. Pernah kubaca di Blok H, pernah pula kubaca saat istirahat kerja. Paling dominan memang di rumah, depan perpus keluarga dengan kopi dan jazz merajalela.
Tak sabar menikmati buku 3. Januari depan? Gass…!
1Q84 Jilid 2 | by Haruki Murakami | Diterjemahkan dari 1Q84 Book 2 | Copyright 2009 | Originally published in Japan by Shinchosha Publishing Co., Ltd., Tokyo | KPG 59 16 01183 | Penerbit KPG, Mei 2013 | Cetakan kelima, Juli 2019 | Penerjemah Ribeka Ota | Penyunting Arif Bagus Prasetyo | Perancang sampul Andrey Pratama | Penataletak Dadang Kusmana | vi + 452 hlm.; 13.5 cm x 20 cm | ISBN 978-602-424-006-6 | Skor: 5/5
Karawang, 091222 – Gerry Mulligan – Capricious
Thx to Gramedia World Karawang