Saudaraku, Sahabatku, Adeleida


Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja

“Hujan sudah reda. Kita jalan lagi? ya, hujan sudah reda. Betapapun hujan akan datang lagi, hujan yang baru…”

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

Kisah dimula di usia remaja. Terlahir di Sumedang, sebagai sulung yang tangguh. “Kamu sudah diberi nama Etty Hadiwati oleh ayahmu. Konon, itu maunya berarti: perempuan yang jantan. Tapi kamu harus tahu, hanya jiwamu saja yang boleh jantan. Tidak untuk tingkahmu. Mengerti?”

Ayahnya adalah tentara, dan dengan kedispilan tinggi, Etty meraih juara kelas. Cerdas dan membanggakan keluarga. Ada masa-masa terjadi cekcok dengan saudaranya, rebutan tanah warisan dan konfliks internal keluarga. Ada suatu masa, di mana Pa terkadang tak dapat mengontrol timbunan kekecewaan masa silam. Semacam dendam untuk kenyataan pahit, kerap dilampiaskannya menjadi kemarahan tak karuan pada anak-istrinya. Saat-saat begitu, Ma akan ditakar lebih jauh kadar kesetiaan dan ketakwaannya sebagai istri Pa.
Sebuah sisa paham picik peninggalan kolonialisme Belanda. Pancakaki, semacam aturan memantas-mantaskan garis keturunan (B. Sunda).

Dan begitulah, awal mula sakit Etty tak diketahui apa. Pucat, lemas, dan mual. Sempat dirahasiakan oleh orangtuanya, transfusi darah berulang-ulang dilakukan. Mereka mempertanyakan kenapa wajahku selalu pias dan sekitar bola mata itu begitu kuning. Ada kelainan dalam darah. Dan karena bolak-balik ke Rumah sakit, ia ketinggalan banyak pelajaran di sekolah. Belajar keras mengejar ketinggalan demi orang tua. Sebuah keberhasilan yang gemilang dan patut kalian teladani. Aah, tak ada sesuatu pun lagi yang menarik minatku. Tak ada yang hendak kukerjakan, kecuali menulis dalam catatan harian ini. Ya, waktu istirahat yang banyak itu digunakan untuk menulis buku harian di ranjang. “Ayo, paculah waktumu, Sang Juara! Cag.”

“Ulang tahun pada 16 Mei 1973, ke enam belas dirayakan di ranjang rumah sakit. Apa itu leukemia? Pokoknya kanker darah. Perjuanganku melawan kanker darah. Perjuanganku melepaskan diri dari kejaran maut-Mu. Tuhanku. Begitu penuh kemustahilan. Tanda tanya ebsar. Mengonak di urat-urat syarafku. Ini benar-benar sebuah penyiksaan yang tak terperikan. Deritaku, siksaan menunggu kenyataan omongan di sinting. Harapanku sendiri, harapan seorang anak yang menginginkan kesehatan, pendidikan, masa depan yang gemilang.”

Sekolah di Jakarta yang rawan mencipta kenangan remaja tak terlupa. Seorang pria misterius menolongnya dari kejailan, mengantarnya pulang naik bus. Dan berulang kali. Akhirnya berkenalan. Namanya Sonny, non muslim. Setelah berulang kali janji temu, maka berdasarkan diary yang ditulis, pada tanggal 19 Maret 1974, bersama Sonny di sore yang cerah. Di tugu Pembebasan Irian Barat sebagai tempat pertemuan. “Baiklah kalau begitu sejak ekarang. Detik ini, hari ini, sore ini, saya akan panggil kamu dengan Pipit saja. Ejaannya…” Biar keren mestinya pakai huruf ‘e’ sebelum huruf ‘t’ di akhir itu. “Pipiet…” lantaran sering bertemu kalau sore hari, senja hari macam gini. Kita tambahkan saja kata Senja di belakangnya. Jadilah Pipiet Senja. Begitulah awal mula nama pena itu. “Kalau saja keadaanya seperti begini untuk selamanya…”

Masalah Pipiet memang bertumpuk. Keuangannya yang tak stabil, ayahnya bahkan cari uang tambahan jual perlengkapan sehari-hari di tanah rantau. Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya begitu besar. Ia berpikir terus, bagaimana caranya membalas semuanya ini. Ditamba Ma sakit pula, ia dimasukkan ke bangsal zal 13, apa yang sebenarnya terjadi? Zal orang gangguan jiwa. Ibumu hanya terserang gangguan syaraf, Neurosis epilepsi diagnosanya. “Kamu tak boleh begitu, Piet. Ayolah, hapus air matamu. Kamu tahu, masih banyak, oh begitu banyak yang lebih menderita.”

Maka perasaan pesimis dan sentimental itu, tabu baginya. Ia telah menyerahkan segalanya kepada Sang Kholik. Keyakinan bahwa dirinya berasal dari-Nya. Harus kembali pada-Nya. Ia memang dilahirkan dalam lingkungan muslim. Tetapi apa salahnya kalau merasa bisa menikmati keindahan arti ayat suci agama lain?

Judul buku diambil dari penggalan catatan ini, “Sepotong jiwa yang mungil, sedang menelusuri perjalanannya. Sepotong jiwa mungil yang masih sesekali goncang.”

Dengan berjalannya waktu, setelah divonis usianya tak lama tapi faktanya berhasil bertahan. Piet lantas terjun ke dunia seni. Lingkar pergaulannya di teater. Setumpuk ide masih akan ditambah ide-ide lainnya, tetapi di belakang hari tak satu pun dari ide itu diwujudkan. Seharusnya ia tak usah kaget. Bukankah Jakarta adalah gudangnya kejanggalan? Kekontradiksian? Seniman UL, pernah jua disebut sebagai penyair kiloan. Barangkali karena segebung puisi bisa diciptakan dalam tempo sesingkat mungkin.

Ia lalu berkenalan dengan banyak seniman. Salah satunya yang masih muda dari tanah Sumatra, Risko yang usianya lebih muda. Piet lalu bertaruh. Taruhan, sejak 1 Januari 1978 sampai 1 Januari 1980. Dua tahun waktu yang cukup lama untuk bertaruh soal beginian bukan? Taruhan untuk menerbitkan karya tingkat nasional. Demi sebuah pengakuan.
Dengan cara mengumpulkan sisa-sisa semangatnya yang ada. Ia harus melakukannya. Ia harus menumbuhkan jiwa besar dalam dirinya. Oh, oh kenapa secengeng ini? Untuk menjadi seniman yang baik itu harus mampu melenyapkan tuntutan ego yang macam-macam. Bukan penghargaan lahiriah yang penting, melainkan penghargaan pemenuhan kebutuhan batin. Itulah yang lebih hakikat. Kembali mereka membongkar kenangan lama. “Sudah kau yakinkah atau masih ragukah hatimu merenangi dunai seni? Dan menetapkannya sebagai duniamu yang tak bisa dipisahkan lagi dari dirimu?”

Meraih masa depan itu, dan menikmati hasilnya kelak. Apa yang masih bisa dikerjakannya, itulah bekalnya untuk melangkah. Melepas lelah, dipandanginya suasana sekitarnya. Suasana yang sendu dan sedikit muram. Sikap yang selalu manis sikap yang mencemaskan hatinya. Dan biasanya di sela kemanisan yang berlebihan itu tersimpul sesuatu yang sebaliknya.

Pada akhirnya memang Piet jadian dengan Risko. Saling mencinta walau takarnya masih saling mengukur. Di depan kamar biru, beranda rumah itu mereka berpandangan, saling menakar kadar rasa masing-masing, saling menyelami isi hati masing-masing. Rikso menarik jemari pucat itu ke wajahnya, menciuminya dengan lembut. Berulang-ulang… “Cinta kasih yang bening berdasarkan pada budi dan kenyataan yang hakiki.”

Buku ditutup tahun 1980-an. Pipiet Senja sudah menerbitkan beberapa karya di usia 23 tahun. Dengan keterbatasan fisik, ia berhasil melawannya. Menentang vonis yang pernah didapatkannya. Merentang jauh kea bad Millenium ini, bahkan punya dua anak, dan kini memiliki cucu. Luar biasa, salut dan takjub saya menekurinya.

Pipiet Senja jelas salah satu penulis besar kita, kebanggan dan panutan banyak orang.

Sepotong Hati di Sudut Kamar | by Pipiet Senja | 81/SB/01 | Rencana sampul Rufi | Tata letak Partono | Penerbit Sinar Harapan | Jakarta 1981 | Cetakan pertama | Diocetak Sinar Agape Press, Jakarta | Skor: 4/5

Cinta kasih saya kepada: pa ageing dan ma alit, saudara-saudaraku sedarah semua

Karawang, 061222 – Forget Me Not

Thx to Literasi Rongsok (Sri Agustin), Bdg ( Penjual Buku Penipu

Satu komentar di “Saudaraku, Sahabatku, Adeleida

  1. Ping balik: November2022 Baca | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s