
Wasripin & Satinah by Kuntowijoyo
“Mereka yang tidak kasihan dengan dirinya sendiri, tak berhak dikasihani. Nanti tentara atau polisi datang menjemput.”
Tak menyangka arah buku ini akan ke sana. Ini adalah novel kedua Kuntowijoyo yang kubaca, setelah Pasar yang fenomenal itu. Yang ini tampak lebih kompleks dengan ending yang lebih berani. Kritik politik dari arus bawah hingga pusaran pusat yang njelimet. Pasangan yang saling mencinta, dengan segala kekurangan dan segala kehebatan masing-masing, di puncak ketenaran dan kegemilangan, segalanya berbalik. Wasripin yang bak nabi, dan Satinah yang secantik merak, akhir yang tak terduga. Benar-benar dibawakan dengan sangat bagus, mengalir dengan sangat nyaman dan begitu rapinya. Ah, rasa itu, kenapa terlambat disampaikan, dalam lamaran aneh dengan hasil pancing di pantai sepi ikan, dan jelmaan indah, lantas dihempaskan. “Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”
Kisahnya tentang Wasipin, anak piatu yang dibesarkan oleh ibu angkatnya di Jakarta. Bapaknya tidak disampaikan terbuka, tapi secara tersirat kalian bisa menemukan jawabnya di akhir. Di ibukota, ia jadi anak penurut, membantu ibunya, termasuk menjadi pemuas nafsu tante-tante. Saat menemui suatu titik jenuh, ia memutuskan pulang kampung, ke kampung ibu kandungnya, di pantura Cirebon – Semarang. Nama ibunya tak tahu, tapi dapat ancer-ancer, ia berasal keluarga petani, besar di gunung, memiliki kepandaian memasak, makanya cita-cita jadi penjual ketoprak. Namun sebagian besar kisah akan di pesisir pantai, di mana Pasar TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dengan sebuah surau menjadi titik sentral.
Saat Wasripin sampai di kampung yang diperkira tempat ibunya, ia tidur di surau lebih dari dua hari dua malam. Orang-orang heran, sampai-sampai ada yang mengira ia mati. Jelas tidak, ia tetap bernapas, teratur dan tenang. Maka saat Wasripin terbangun, ia diagungkan bak keturunan Nabi Khidir. Hanya orang hebat yang bisa tidur sepulas itu, tanpa makan. Seorang kere yang dijamu, banyak warga lalu memberikan barang dan makanan. Melimpah ruah, Pak Modin-lah yang menjaganya. Dan nantinya Pak Modin inilah yang jadi tetua, dihormati, dan seolah menjadi orangtua Wasripin.
Ketenaran Wasripin makin menjadi-jadi saat ada orang bisu yang datang, dipijat sehingga bisa bicara, lalu orang sakit berdatangan, dipijat sembuh. Semua orang lantas menjadikannya ikon, dan ditawarkan menjadi bagian dari organiasai. Partai Randu, partai penguasa bahkan menawarkan jadi wakil ketua region. Nelayan, menawarinya jadi bagian, saat cari ikan dengan Wasripin lebih mudah ikan ditangkap, bahkan foto/gambarnya dipajang di banyak tempat termasuk di perahu nelayan! Sampai tawaran satpam TPI juga melakukan hal yang sama. Yang terakhir inilah yang diambil Wasripin, tampak gagah dengan seragam, dan merakyat. Manjaga pasar, untuk lulusan SD sudah cukup membanggakan. Namun tidak selancar itu, birokrasi yang ruwet mencipta banyak masalah. Ada momen polisi baik, diminta merancang kejahatan untuk sang satpam, ia menolak, bahkan mending mengundurkan diri dari jabatan polisi. Oh, tak semudah itu. Ia kena batunya, dibelit keadaan. “Kadang-kadang orang menjadi korban kebaikannya sendiri.”
Nantinya Wasripin juga menemui banyak pasien, seolah ia dukun. Banyak rongrong dari partai penguasa sebab membahayakan kondisi perpolitikan. Dituduh dukun, tukang santet, dituduh PKI, makar, hingga teroris. Kita tahu, di era Orde Baru, komunis disingkirkan, harus punya KTP dan SKCK, Wasripin tidak memilikinya, dibuatkan KTP palsu, dengan polosnya iya-iya saja sama petugas, dan inilah mula petaka baginya. Sebaik-baiknya ia, ada orang jahat yang merancang kehancurannya. Orang-orang baik yang terseret busuknya kehidupan. Sampai di titik rencana jahat, “Menculik Wasripin? Tidak masuk akal.”
Sementara itu, Satinah adalah perempuan cantik yang memiliki masa lalu buruk (atau lebih pas kita sebut takdir apes). Namanya berulang kali diganti, sebab mendatangkan petaka keluarga. Ia menjadi korban seks Pamannya. Dan dalam pusaran arus nasib, pamannya meminta maaf tapi itu dirasa tak cukup. Maka tiba-tiba pamannya melakukan tindakan ekstrem dengan mencungkil kedua bola matanya, yang langsung mencipta luluh Satinah. Keduanya terusir dari keluarga, dan keduanya kini menjadi penampil rutin di Pasar TPI. Pamannya memainkan seruling atau sintren, Satinah bernyanyi.
Nah, di suatu hari Pasar inilah kedua karakter pertama kali bertemu dan saling jatuh hati. Wasripin dengan polosnya memberikan semua uangnya ke kencleng, dan keduanya saling terpesona. Wasripin mandi di sungai, Satinah menyembunyikan pakaiannya. Keduanya memainkan sandiwara Damar Wulan dan Kencana Wungu (walau dibalik gendernya). Mengakrabkan diri, menjalin hubungan. Membuka masa lalu pahit.
Pamannya yang buta melihat, Satinah jatuh hati. Dan begitulah, seharusnya kalau novel umum, keduanya harusnya bersanding dengan baik, memberi hari-hari cerah, menyongsong masa depan. Namun tidak, novel yang baik tentu saja menawarkan konfliks berlapis, dan sungguh berat. Perpolitikan yang birokratif menjadi begitu dominan, dan pada akhirnya yang berkuasalah yang menang dan berdiri paling tinggi di akhir. “Bagaimana kamu ini! kekuasaan itu kuasa, termasuk kuasa menciptakan nama-nama.”
Kritik politik banyak sekali disampaikan. Sangat dominan. Seperti saat demo, selalu membuka dengan membacakan surat protes yang dimulai dengan dukungan kepada Pancasila, UUD ’45 dan Kepemimpinan Presiden Sudarto (plesetan Pak Harto tentunya). Begitu pula tiga partai yang ada saat itu. Partai Randu, Partai Langit, Partai Kuda. Dan karena pertain kuning yang berkuasa, maka konfliks akan terus berkutat dengan Partai Randu. Begitu pula saat huru hara terjadi, dalam analogi yang sangat pas. “Orang-orang keluar rumah dengan senjata di tangan: golok, linggis, tangkai besi, cangkul, dan sabit. Pada tahun 1965 teriakan itu berarti bahwa bahaya datang.”
Banyak falsafah Jawa disampaikan. Beberapa di antaranya: Emprit abuntut bedhug (perkara kecil menjadi besar). Ia itu jalma limpat seprapat tamat (diberitahu seperempat bagian saja sudah tahu keseluruhannya). Mereka bekerja dengan ogah-ogahan dengan prinsip nggih ora kepanggih (disanggupi tapi tidak dilaksanakan sungguhan). “Layah itu simbol wanita, dan uleg-uleg itu simbol laki-laki.”
Ada satu bagian yang luar biasa aneh, saat pemilihan kepala desa. Penyaringan dilakukan, pemilihan dilakukan, dan berulang kali gagal, sebab saat ada kotak kosong, kosong-lah yang menang. Pantura yang kuat akan golput dan kanan ekstrem inilah yang dikejar pemerintah. Maka, saat orang baik menang: Pak Modin banyak halangan dicipta agar ia tak dilantik. Tapi karena pada dasarnya Pak Modin tak mau jabatan itu ia mengusulkan batasa usia 65 tahun. Dan Camat dan Bupati pun menyetujui putusan itu. Pak Modin sendiri sudah enam puluh enam, karenanya harus lengser, bayangkan lengser sebelum dilantik. Hahaha… war biasa.
Ada masa ketika malam sudah larut dan sang Paman menemui titik akhir, ia memainkan alat musik di kamar, dengan sayatan lagu mendayu dan trenyuh. Dan paginya, ia sudah tak bernyawa. Satinah yang sudah tahu kepribadiannya, menolak fakta itu. “Paman tidak pernah bunuh diri, ia meninggal karena rohnya meninggalkan badan dan tidak kembali, ia tidak bunuh diri, rohnya meninggalkan badan dan tidak kembali.”
Salut sama proses dan laur buku ini. Nyaman sekali, komposisinya sudah sangat pas semuanya. Simpati pada para tokoh berhasil, emosi yang dibangun sukses berat. Temanya umum, dengan masalah merakyat. Maka kalau boleh menyimpulkan dalam satu kalimat, hikmah yang didapat seusai membacanya jelas, “Maka dia telah membunuh seluruh ras manusia, artinya, siapa menyakiti seorang tak bersalah, ia menyakiti seluruh manusia.”
Wasripin & Satinah | by Kuntowijoyo | Copyright 2003 | Penerbit Buku Kompas | KMN: 30205130061 | Perancang sampul Wiko Haripahargio | vi + 250 hlm.; 13 cm x 19 cm | ISBN 978-979-709-744-8 | Cetakan pertama, September 2003 | Cetakan ekdua, September 2013 | Skor: 5/5
Karawang, 301122 – Take 6 – Biggest Part of Me
Thx to Latifah, Yogyakarta
Ping balik: November2022 Baca | Lazione Budy