The Art of Novel


The Art of Novel by Milan Kundera

“Kita semua tahu hidup adalah perangkap: kita lahir tanpa ditanyai, terkunci di dalam tubuh yang tidak pernah kita pilih, dan ditakdirkan untuk mati. Di sisi lain dunia terbentang luas harus menyediakan kemungkinan jalan keluar yang konstan.”

Kundera menulis dengan semangat merayakan lelucon. Dari judul-judul bukunya sudah terlihat. Buku ini untuk orang yang berhati kuat. Maaf saja, semua aliran apapun ditampoli. Filsafat, agama, psikologi, ilmu pengetahuan, Komunis, sosial, dan sebagainya, bahkan humanisme tak luput kena sentil; semua ditertawakan! Dijadikan lelucon, bahkan sampai pada kesimpulan luar biasa bahwa Flaubert lebih hebat dari Freud atau Marx!

Harus membaca buku-bukunya dulu untuk bisa menikmati secara maksimal buku ini. Saya baru membaca empat: Pesta Remeh Temeh, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Identitas, dan Kealpaan. Dan itu tak cukup. Selain mengupas novel-novelnya, kita juga diajak bersafari ke novel-novel hebat sebelumnya. “Kita sering mendengar trinitas suci novel modern: Proust (belum baca), Joyce (Ulysses belum baca), Kafka (sudah baca). Menurut saya, trinitas itu tak ada. Kafka memberikan orientas baru, yaitu orientas post-Proustian. Caranya memahami diri sungguh-sungguh mengejutkan.” Ya, ketiganya sangat dominan dikupas, ditambah Cervantes (belum kubaca), Schweik (sudah kubaca), hingga Balzac. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang kunikmati. Ada tiga kebijakan utama yang wajib dikembangkan manusia: toleransi, humor, dan imajinasi.

Butuh kesabaran, sebab memang kudu dibaca santuy, dalam tiga hari: 11 cuti, 12 libur hujan mendekam di rumah, dan 13 Nov 22 akhirnya usai di siang harinya. Ada enam bab, dan mari kita telusuri dengan canda.

Dalam wawancara dengan novelis Phillip Roth, Kundera bilang tugas seorang novelis adalah “mengganggu” para pembacanya agar melihat dunia sebagai sebuah pertanyaan melalui novel. Bahwa ada tiga iblis yang memiliki kuasa untuk memaksa kita kehilangan kontak dengan kekuatan revolusioner novel. Pertama agelaste, mereka yang tidak bisa tertawa. Kedua, menerima ide-ide tanpa berpikir. Sebua virus yang meracuni kebutuhan manusia akan pembebasan, berolah nalar, bertanya, dan berimajinasi. Ketiga, kitsch alias minor art, yang “menyalin ide kebodohan menerima ide tanpa berpikir ke dalam bahasa keindahan dan perasaan.”

#1. Warisan Cervantes yang Tak Dihargai

Saya sudah baca Cervantes, tapi versi yang dipadatkan. Buku ribuan halaman itu jadi hanya beberapa lembar, tipis, jadi saya menikmati sisi luar apa yang bisa dinikmati.

“Kontribusinya yang begitu besar merupakan langkah langkah terakhir yang lambat dalam pembangunan sejarah ketimbang pada sesuatu yang tak terduga sama sekali, yang menunjukkan bahwa novel adalah suatu tempat di mana imajinasi bisa meledak seperti mimpi, dan novel bisa menghancurkan apa yang tampak sebagai kebenaran imperaktif yang mutlak dan tak dapat dielakan.”

Imajinasi Don Quixote memang legendaris. Dan Kundera begitu memujanya, hingga satu bab ini special untuknya. Bahkan ia sampai pada kesimpulan fantastic, “…Tapi jika masa depan bukan suatu nilai bagi saya, lalu untuk apa saya bekerja? Untuk Tuhan? Negara? Masyarakat? Diri sendiri? Jawaban saya yang edan dan tulus adalah: saya bekerja bukan untuk apa-apa, melainkan buat warisan turunan Cervantes.”

#2. Dialog tentang Seni Novel

Ini berisi wawancara dengan Christian Salmon. Dibuka dengan Dante yang pernah bilang: “Dalam banyak tindakan, tujuan utama subjek adalah untuk menyatakan imajinasinya sendiri.” Lalu menjelujur ke para novelis legendaris lainnya.

Saya berpikir tentang nasib formulasi Descartes yang terkenal: Manusia sebagai “tuan dan pemiliki alam”. Yang melakukan keajaiban-keajaiban dalama sains dan teknologi, “tuan dan pemiliki” tiba-tiba menyadarkan kita bahwa manusia tak memiliki apa-apa, juga bukan tuan dari alam (yang berangsur habis dan hilang, sedikit demi sedikit, dari planet), sejarah (yang telah memberangusnya), bahkan dirinya sendiri (dia dibimbing oleh kekuatan irasional jiwanya).

Sebuah novel bukan mempelajari realitas melainkan eksistensi. Dan eksistensi bukan apa yang terjadi, eksistensi adalah dunia kemungkinan-kemungkinan manusia, manusia bisa jadi apa saja, ia mampu melakukan apapun yang ia inginkan. Seorang novelis juga bukan seorang ahli sejarah dan juga bukan seorang nabi: dia adalah orang yang mengeksplorasi eksistensi.

3. Catatan-catatan yang Terinspirasi oleh “The Sleepwalkers”

Saya belum baca The Sleepwalkers, jadi benar-benar blank. Ini seperti ringkasan/sinopsinya. Fufufu, blas tak paham. Novel trilogi terdiri Pasenow (romantisme), Esch (anarki), dan Huguenau (realism, atau dalam bahasa Jerman Sachlikeit) memiliki rentang kisah 15 tahun, dan ketiganya tak memiliki hubungan sebab akibat. Kemungkinan-kemungkinan apa sajakah yang dimiliki manusia ketika terjebak dalam dunia yang telah ada ini?

Namun untuk K dan Schweik saya paham. Schweik menertawakan dirinya sendiri, ia menertawakan orang lain, dan dengan penyesuaian yang luar biasa ia dapat mengubah dunia menjadi lelucon yang mengesankan. Makanya, “Dunia telah terbagi dalam: dunia yang secara absolut serius (K) dan dunia yang secara absolut berisi ketakseriusan (Schweik).”

Ada lubang di sini, entah terjemahannya atau Kundera tak melengkapi. “K, Schweik, Pasenow, dan Huguenau merupakan lima kemungkunan dasar, lima bintang pedoman yang tanpa harus saya percaya kelimanya mampu menyusun peta hidup kita secara eksistensial.” Jadi satu lagi siapa?

Kundera sampai pada kesimpulan yang melawan: “Novel memiliki kekuatan untuk menggabungkan puisi dan filsafat, bukan sebaliknya.”

4. Dialog tentang Seni Komposisi

Ini masih tentang The Sleepwalkers dan pembedahan novel-novel Kundera. “Jacquest le Fataliste-nya menakjubkan! Sekali ia menyeberangi garis batas novel, ahli-ahli ensiklopedia yang serius menjelma menjadi pemikir-pemikir nakal. Tak satupun kalimat serius nongkrong dalam novelnya.” Ya, ini semacam dalam semua keremehtemehannya yang dahsyat.

#5. Tempat Tersembunyi

Saya langsung teringat Mahfud Ikhwan pas acara daring, saya tanya mengapa belum menulis puisi? “Penyair tak menciptakan puisi. Puisi ada di balik dunia. Ia ada di sana selama-lamanya. Penyair hanyalah menemukannya.” Itu kata-kata Jan Skacel. Dan begitulah, biografi resmi tak seakurat kehidupan.

“Ia terjerat dalam lelucon kehidupannya sendiri seperti seekor ikan dalam mangkok, ia tidak menemukan kelucuan itu. Memang, sebuah lelucon adalah sebuah lelucon jika Anda berada di lura mangkok, secara kontras, femonema Kafkian memasukkan kita ke dalam keberanian sebuah lelucon, di dalam kengerian komikal.”

#6. Enam Puluh Tiga Kata

Bagian terbaik buku ini ada di bab ini, dahsyat sekali. Jadi semacam kamus 63 kata yang menjelaskan makna di novel-novelnya. Agar saat menterjemahkan tak terlalu jauh dari maksud yang Penulis. Saya kutip satu yang paling hebat:

Kurang Pengalaman: Judul sebenarnya yang disediakan untuk Unbearable Lightness of Being adalah “The Planet of Inexperience”. Kurang Pengalaman sebagai sebuah kualitas dari kehidupan manusia. Kita lahir hanya sekali, kita tak pernah bisa memulai kehidupan baru dengan dilengkapi pengalaman-pengalaman yang telah kita peroleh dari kehidupan sebelumnya. Kita melewatkan masa kanak-kanak tanpa memahami arti masa muda, kita menikah tanpa mengerti apa artinya bersuami istri, dan bahkan ketika kita memasuki usia senja, kita tak tahu apa yang kita jelang: ketuaan adalah anak-anak tak berdosa dari usia tua mereka. Dalam pengertian ini, dunia manusia adalah planet kurang berpengalaman.

Lihat, kita semua pasti sepakat ‘kan. Bahkan untuk seorang Buddhis yang percaya reinkarnasi, tetap saja kehidupan baru adalah restart yang mengesahkan kehidupan ini di bumi adalah kurang pengalaman!

Satu lagi, saya nukil bagian Meditasi: tiga kenyataan elementer bagi novelis: ia mengisahkan sebuah cerita (Fielding), ia menggambarkan sebuah cerita (Flaubert), ia memikirkan sebuah cerita (Musil).

Hanya tiga kawan! Catet.

#7. Pidato Jerusalem: Novel dan Eropa

Ini berisi pidato beliau saat menerima penghargaan.

Novel adalah surga imajiner individu-individu. Ia adalah daerah territorial tempat tak seorangpun menyimpan kebencian, tak juga Anna atau Karenina, tempat seseorang memiliki hak untuk dipahami, termasuk Anna dan Karenina.

Rasionalisme Leibniz yang terkenal, nihil est sine ratione – tak ada apapun tanpa ada alasan. Dirangsang oleh keyakinan itu, ilmu pengetahuan secara energetik mengekploitasi mengapanya segala sesuatu, sehingga apapun yang ada selalu dapat dijelaskan, diprediksi, dikalkulasi.

Milan Kundera memang salah satu penulis hebat di zaman kita. Selain Haruki Murakami, setiap tahun selalu ku berdoa Nobel Sastra menyebutnya. Terjemahan Indonesia buku-bukunya sudah sangat banyak, mungkin harganya memang agak mahal, tapi kurasa worth it untuk dinikmati. Tak terkecuali.

Terakhir, rasanya sudah pernah saya bilang bahwa para penulis yang baik, alangkah baiknya menulis non fiksi yang menjelaskan bagaimana proses kreatif dicipta. Nah, sama Kundera beliau mencerita buku-buku berpengaruhnya, bagaimana ia menjadi penulis, sampai pandangan hidupnya yang tampak liar dan kontraversial. Makin hatuh hati saya sama Kundera. Lima bab pertama mungkin agak mumet, menjelas novel-novel dan para penulis yang penuh hiruk-pikuk. Bab 6 memberi pencerahan, amazing! Dan penutup yang sempurna saat di Israel. Saya mau Kundera, lebih…

The Art of Novel | by Milan Kundera | Judul asli The Art of Novel | Pertama terbit di Prancis 1986 berjudul L’art du Roman oleh Editions Galimard | Terjemahan Inggris 1988 oleh Grove Press | Edisi pertama Indonesia, April 2002 | Penerbit Jalasutra | ISBN 979-96337-10-6 | Alihbahasa Nuruddin Asyhadie, Husni Munir | Penyunting Anton Kurnia | Kulit muka M Bakar Wibowo | Ilustrasi kulit muka * “Sesungguhnya Kamu Tidak Melihat Apa yang Kamu Lihat”, Galam 2001 | Pracetak Ambar, Diah, Narto | Skor: 5/5

Karawang, 141122 – Louis Armstrong – Go Down Moses

Thx to Ricah Rofiqoh, Malang