
A Maiden’s Grave by Jeffrey Deaver
“Ya!” Gadis kecil itu tersenyum, matanya tak lagi membara, tapi sedingin batu. “Aku Jubilee! Tidak ada yang bisa menghentikanku.”
Hari ini akan menjadi luar biasa. Be forewarned. Berhati-hatilah.
Tebal, lebar, dan luar biasa menegangkan. Drama dengan setting mini, nyaris satu tempat, dalam satu hari. Luar biasa, thrilling hingga lembar terakhir. Ini adalah buku kedua Jefrey Deaver yang kubaca setelah The Blue Nowhere, dan keduanya bagus. Tentang pelarian tiga narapidana, melakukan pembunuhan dalam prosesnya, menawan bus sekolah tuna rungu beserta isinya. Mereka adalah penghuni penjara federal berpengaman maksimun Callana di luar Winfield, Kansas, dekat perbatasan Oklahoma: Loius Jeremiah Handy, Shepard Wilcox, dan Ray “Sonny” Bonner. Lantas terpojok di sebuah rumah jagal tua dekat hutan, lorong-lorong Webber & Stoltz Processing Company Inc., rumah jagal, sepanjang halaman kita disuguhi negosiasi, tawar-menawar pelarian dengan jaminan pelepasan sandera. Delapan murid, dua guru dari sekolah Laurent Clerc untuk Tunarungu di Hebron, Kansas. Namun, pembukanya sudah sangat brutal. Korban pertama, Susi, murid paling cemerlang dilepas bebas sebagai jaminan akan nogosiasi, tapi ditembak mati segera saat di luar gedung. Berikutnya, mencekam. Ini sulit, berbahaya, dan bukan menyangkut pemilihan ulang. Ini mengenai kebajikan dan kehidupan. Nyawa para tawanan menjadi taruhan. “Delapan burung kelabu, duduk dalam gelap. Angin dingin bertiup, tak ramah.”
Tokoh utamanya adalah sang negosiator Arthur Potter, duda yang memiliki masa traumatis. Namun sudut pandang berganti-ganti sesuai keadaan. Saat tahu ada drama penyanderaan, tim dan segalanya dikerahkan. Lokasi di rumah jagal, dan setelah negosiasi pakai pengeras suara, mereka mengirimkan telepon untuk komunikasi. Begitulah, dari pagi hingga nantinya tengah malam, mereka agak saling silang pendapat, tawar-menawar solusi. Negosiator sebisa mungkin tidak membicarakan sandera. Kau harus membuat para penjahat berpikir bahwa tawanannya tidak lagi memiliki nilai tawar. “Setiap situasi penyanderaan pada intinya merupakan proses bunuh diri.”
Setelah penembakan sandera pertama Susi, keadaan benar-benar menegangkan. Pihak kepolisian bersama tim sniper-nya berulang-ulang meminta izin melakukan penyerbuan, dengan resiko para sandera tewas. Namun berulang kali pula, Art meminta bersabar. Sementar Lou dengan pede dan tawa mengerikan meminta pengiriman helikopter guna pelarian ke Meksiko. “Tuhan tidak memberi kita jaminan.”
Tawaran berikut meminta amunisi, makanan, dan menjaga hubungan. Sandera ada yang dilepas, makanan secap saji itu diberi pula obat asma sebab sandera ada yang sesak dan sakit, dan sekaligus dipasang kamera, untuk mengintai. Sementara Lou terus mendesak meminta helikopter, bila tak gegas dikirim, ia akan menembak salah satunya. Negosiator berusaha membangun kedekatan dengan penyandera dengan membicarakan hal-hal pribadi. Tapi pertanyaan mengenai topik sensitif bisa memicu kemarahan penyandera yang gelisah, bahkan mendorongnya membunuh.
Tersebutlah seorang sandera cerdas nan keren, Melanie. Imajinasinya liar, dan novel banyak mengambil sudut darinya. Menjadi saksi bu gurunya Mrs. Harstrawn diperkosa oleh maniak seks Bonner. Menjadi saksi pelarian teman-temannya lewat pintu belakang, terjun ke sungai lantas ada tim SAR yang membantunya. Menjadi saksi pula kekejaman fisik para penjahat. Melanie bisa menggunakan berjuta-juta kata untuk menjabarkan malam ini dan tak pernah mampu menyampaikan kengerian yang dirasakannya. Melanie sang penggemar komik, imajinaif, dan memuja Abbe de L’Eppe. Juru selamat kaum tuna rungu, seorang legenda.
Tunarungu sering berpikir dalam kerangka puitis. Tunarungu tidak pernah memejamkan mata dalam situasi yang mereka miliki. Untuk alasan yang berakar pada ambisi, bukan ideology Melanie jatuh berlutut, ia pingsan bukan karena sakit, tapi lebih karena ngeri kalau-kalau kegelapan yang merampas pandangannya berasal dari saraf mata yang putus, dan kekhawatiran bila ia sekarang buta dan tuli untuk selama-lamanya. Helen Keller mengatakan bahwa kebutaan memisahkanmu dari benda-benda, ketulian memisahkan dari orang lain. Tuna rungu mengompensasinya.
Jelang malam, Potter yang melakukan upaya meyakinkan meminta timnya mengirim helikopter, tak mengapa yang biasa dan sederhana yang penting bisa meyakinkan Lou ada bunyi baling-baling melintas dan mendaratkannya di sekitar rumah jagal. Hal itu baru terrealisasi malamnya. Sementara korban terus berkurang sebab, ada yang kabur lagi, dan bahkan Melanie sejatinya punya kesempatan melakukannya, tapi ia begitu berjiwa besar, kembali untuk menyelamatkan temannya.
Terjadi pula mis-komunikasi, sebab ada pasukan sniper yang mendekat dan ditangkap lalu dibunuh keji, sebab menurut Lou itu menyalahi aturan. Dan boleh ada yang mendekat, kalaupun banyak sniper, mereka selalu menjauh dari jangkauan. Begitulah, sampai akhirnya muncul karakter baru, yang menyelesaikan segalanya.
Sempat kaget, sebab antiklimaks seolah segala upaya Art sepanjang halaman menjadi sia-sia. Dan penjahatnya kok semudah itu kalah, padahal halaman buku masih puluhan lagi. dank arena sudah baca buku lainnya, kok thrillernya kurang. Ternyata, ada kejutan di akhir. benar-benar luar biasa, memenuhi harap. Salut!
Keren banget, pas menjelaskan detail bagaimana Potter mencoba mengelabui para penjahat. Ada papan, yang sama timnya dibagi dua: Kebenaran dan Kebohongan. Jadi janji-janji yang disampaikan dipilah sama tim, lalu ditelaah kemungkinan-kemungkinan. Kalau Mark Twain bilang, orang membutuhkan ingatan yang bagus untuk dapat menjadi pembohong andal. Dan itu dimainkan dalam tempo menantang dan sesingkat mungkin agar tampak meyakinkan. Ketidaksabaran, musuh bebuyutan Arthur Potter. Negosiator harus netral (dan hatinya perih karena ia tidak merasakan kejijikan yang seharusnya dirasakan). Negosiator tidak boleh mengalami sindrom Stockholm dengan para sandera. “Tapi apa sebenarnya kebohongan itu, Charlie?” Kebenaran sebenarnya sangat licin. Adakah kata yang seratus persen jujur?”
Potter adalah pribadi yang luar biasa, pengalaman membentuknya jadi kuat dan kepedihan menciptanya untuk melawan balik. Potter percaya orang lain kembali ke cinta romantis pada usia enam puluh atau lebih. Tapi di usia empat puluh atau lima puluhan, ia curiga prosesnya memang ditakdirkan gagal. Ada masalah tidak fleksibel, dan harga diri. Oh, dan selalu ada keragu-raguan.
Bagaimana ini akan berakhir?
Ada tiga hal yang saya catat di sini yang layak disampaikan. Pertama, ini novel thriller. Untuk mencipta sukses kejut pembaca, susunan batanya harus sabar, disampaikan dengan detail, dan setiap akhir bab mencipta kesan penasaran. Kedua, ending yang menipu. Mungkin bagi sebagian orang, alur yang bagus tidak cukup, harus kasih twist. Ketiga, selalu diselipkan humor. Mau buku jenis apapun, humor itu penting, sekalipun menyangkut nyawa yang dipertaruh, jelas ada hubungan menarik antara Lou dan Potter seolah mereka tertawa bersama dengan kencang dengan satu tangan memegang secangkir kopi, sementara tangan lainnya memegang senjata mengarah ke teman tawa. Ketiganya ada di A Maiden’s Grave, dan sungguh aduhai.
Oiya, jangan lupa judulnya. Sebuah permainan kata dari judul lagu yang terkenal. Bagus, mengelabuhi, sekalipun trivia sederhana. Bolehlah…
Lagu Untuk Sang Perawan | by Jeffery Deaver | Judul asli A Maiden’s Grave | Copyright 1995 | GM 402 01 10 0005 | Alih bahasa Sendra B. Tanuwijaya | Desain & ilustrasi cover Marcel A.W. | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Januari 2010 | 632 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-5367-2 | Skor: 4.5/5
Kepada Diane Keene
Karawang, 081122 – Titi DJ – Sang Dewi
Thx to Kang Ade Buku, Bdg