Kronik Singkat Pasca Tragedi 1965 di Bali dan Kisah lainnya

Rindu Terluka by Putu Oka Sukanta

“Dan sabungnya ini kan di Pura kita. Tentu dewa memihak kita.”

Ngeri. Permulaan cerpen ini banyak mencerita pasca tragedi 1965 di Bali. Bagaimana tokoh utama bisa selamat, dengan berbagai juang, dengan ke pulau Jawa sebagai tahanan, dengan legowo dan menyisihkan egoism, dengan banyak cara. Termasuk bagaimana ada adegan setelah masa genting lewat, ia pulang ke Bali dan bertemu dengan para algojo, walau tak sampai dibunuh juga sebab sudah lewat jauh, kengerian itu masih sangat terasa. Mengherankan, sungguh heran bagaimana bisa dunia bisa berputar dengan keganasan dan tata kelola sadis membantai teman/saudaranya sendiri.

Sebagian lagi tema lain, tema umum bisa sampai Batam atau kehidupan sehari-hari yang biasa mistik. Ini Bali, dunia seberang dengan sering disinggung dan dupa dinyalakan lebih tajam.

#1. Pan Blayan

Rapat desa untuk memutuskan masuknya industry ke desa mereka, Pan Blayan antusias sebab tanahnya yang kena gusur dapat ganti rugi dan ia bisa mendapati jalan mulus dekat rumahnya. Begitu pula rencana membuka usaha, tapi harapan tak semulus kenyataan.

“Hidupmu di jalan becek berlumpur. Bukan jalan licin beraspal.”

#2. Made Jepun

Kehidupan sehari-hari warga Bali, ibu jualan, ayah kerja, adik kakak sekolah, dst. Lalu segalanya berubah tersebab tragedi 1965. Segala yang berbau PKI dihilangkan, tak peduli kamu orang mana, siapa, dan mengapa.Made Jepun dituduh anggota Gerwani, dan ia kena coduk, tapi tak sembarangan, karena nantinya ia menggila dan ‘sakit kotor’. Ada karma di sana.

“Bilang aku tidak ada. Mati.”

#3. Rindu Terluka

“Jangan dulu.” Melarikan diri ke Jawa untuk bertahan hidup, sampai kapan? Dipenjara sampai kapan? Kerinduan di tanah kelahiran Bali berulang kali dipendam, sebab setiap saat bisa saja kena ciduk. Putu Sarka yang bertahan dan menyadari semua temannya sudah dibunuh.

“Semua orang bilang kamu sudah mati. Meme tidak percaya. Meme tidak membolehkan orang membuatkan pengabenan untuk kamu. Ada balian goblog yang juga bilang kamu sudah dibunuh, jauh di sana.”

#4. Kerbau Betanduk Emas

Ini seperti lanjutan, sebuah surat ditujukan kepada I Putu Mustika, bila jika sudah bebas dan ingin bertemu I Plutut bisa menemui saya, Suaeb. Dan begitulah, ia memutuskan mudik ke Bali, katanya zaman sekarang sudah berubah dan ia tak akan diburu. Dan ia bertemu dengan teman-temannya, yang dianggap PKI tapi tak PKI bisa bertahan hidup, dilecehkan. Seih.

“Ah, kalau dulu kamu menemuiku, pasti kelewangmu yang menghabisi nyawaku. Apa yang mereka pikirkan tentang diriku sekarang?”

#5. Tukang Kebon

Lucu, bisa jadi ini cerita terbaik. Sederhana tapi sangat mengena. Putu Mastra mencita anaknya bisa sekolah sampai SMA dan bisa kerja menjadi pegawai di kantor. Terus berdoa padaNya. Galang yang sudah lulus tak kunjung mendapat kesempatan, jadi ikut ayahnya ke sawah. Sampai suatu hari tukang kebon kantor Gubernuran meninggal, Putu Mastra bertemu Nengah Sandi, dan meminta tolong anaknya untuk bisa bekerja di sana. Mulanya optimis, sebab memang harus dari bawah. Namun suatu hari, bukan kenaikan pangkat yang Galang terima, tapi pukulan telak tersebab hal esensial.

“Berat mana Galang, jadi pegawai kantor atau di sawah?”

#6. Batu

Batu dan mitos keramatnya, ditaruh sesajen, ada penghuninya, dan orang yang berani menghina, apalagi mengencinginya akan kena kutuk. Cerita masa lalu, yang kini bisa jadi banyak yang sudah tak percaya. Batu itu masih ada, dan kembali ke masing-masing orang untuk percaya atau tidak, hingga suatu hari ada yang sakit keras.

“Tergantung kacamata yang kau pakai melihatnya.”

#7. Lengking Puisi

Ini cerita tentang kelahiran bayi terkasih, dibuat dengan syahdu meliuk-liuk puitik. Kahadiran yang dinanti, buah hati perempuan yang mengalir dalam syair.

“Dalam semua hal, anakku yang perempuan dan laki-laki adalah sama.”

#8. Mangku Dauh

Sabung ayam yang dilarang, tapi tetap dilakukan. Bambu-bambu disiapkan, jagoan sudah siap bertarung, penonton pun sudah menanti. Ah, judi, sering kali berujung petaka. Kali ini sungguh besar pengorbannya.

“Tidak ada penjudi yang aman hidupnya, berhentilah berjudi sebelum hidupmu sengsara.”

#9. Dewi Bulan Jatuh di Batam

Niah dan kegiatan medis masyarakat melawan penindasan di Batam. LSM mungkin identik dengan image negatif, tapi memang kalau dijalankan benar akan benar-benar bermanfaat. Dan perjuangan pembela kaum perempuan di tanah rantau yang sibuk di Batam terjadi.

“Ya, orang hidup, sering kayak burung, hinggap sebentar di dahan pohon, kemudian terbang lagi.”

#10. Beny

Beny si bungsu yang nakal, sering kena tegur tetangga sampai Pak RT, sering jail ke anak-anak lain, dan orangtuanya sering kena kritik. Begitu pula di sekolah, orangtua dipanggil sebab nakal sekali. Karena masalah bertumpuk, dan tak ada solusi bagus yang bisa dilakukan, muncullah ide untuk menitipka Beny ke kakeknya di Jawa Timur. Dan begitulah, si nakal itu malah jadi dirindukan.

“Mereka menangis, Kek.” / “Mereka kehilangan kau, Beny.”

#11. Bermula dari Lidia

Lidia sang penyanyi keliling, dalam sebuah seminar ia-lah yang bermula mendaku menderita Aids, masih muda dan menjadi bahan diskusi. Apakah ada kesempatan kedua? Bagaimana kalau menikah, dan pasangan akan turut kena? Anaknya juga, dunia berjalan dengan anehnya.

“Kok ada lelaki yang mau?”

#12. Bongkar

Ini masalah empati, tinggal nyaman di rumah tapi melihat sekeliling yang tak hidup susah, tak punya rumah. Kadang nitip jemur, kadang minta barang. Kasihan, tinggal di pondok bambu. Hingga suatu hari, terjadi penggusuran. Mereka akan tinggal dimana?

“Kasihan mereka, Pa.”

#13. Jembatan Cahaya

Lubang buaya dan misteri sejarah. Ketika ke museum Lubang Buaya, dengan relief dan segala detail yang disajikan, apakah bisa dipercaya catatan sejarah itu? Menelusuri sejarah dari berbagai sudut, menuntut kebenaran.

“Saya mencari apa yang tidak saya temukan.”

Kubaca santuy, sudah dua bulan tapi terbengkelai sama bacaan lain, nah awal pekan lalu, kebetulan dapat tugas luar kantor ke Bandung, bawa dua buku. Diluar duga Menembus Kabut bisa kuselesaikan baca cepat sewaktu berangkat, maka separo buku ini kutuntaskan selama perjalanan baliknya. Lumayan asyik, memang teman baca perjalanan tuh idealnya yang sederhana, cerpen sejenis ini, jangan yang berat kek bahas filsafat atau tasawuf.

Ini buku pertama Bung Putu Oka Sukanta yang kubaca, dari identitas penulis, terlihat beliau adalah salah satu korban tragedi 1965, dipenjara tanpa diadili. Terliaht cerpen-cerpen ditulis berdasar pengalaman pribadi. Bagus, terasa nyata, tak ngawang-awang. Terlebih, ini terbitan Metafor yang memang terkenal bagus di tahun 2000-an yang konsen di sastra. Semoga ada kesempatan menikmati buku-buku lain beliau.

Rindu Terluka | by Putu Oka Sukanta | Penerbit Metafor Publishing | 2004 | 13579108642 | Penyunting SiSi Arsianti | Cover dan Layout Muhammad Roniyadi | ISBN 979-3019-22-0 | Skor: 4/5

Kupersembahkan kepada Ibu dan Bapak di khayangan: Made Sukanta, Ketut Taman, dan Ketut Sringanis

Karawang, 311022 – Ella Fitzgerald – Indian Summer (Live)

Thx to Anita Damayatnti, Jakarta

Rumah Kawin dan Hikayat Lainnya

Rumah Kawin by Zen Hae

“Nggak pakai mantra-mantra?” / “Aku bukan juru tenung.”

Bagus. Kumpulan cerita yang menyenangkan. Memainkan kata-kata dengan indah, plotnya berjalan dengan sangat rapi nyaman sehingga tak terasa selesai. Ini buku pertama Zen H?ae yang kubaca, dikumpulkan dari cerpen-cerpen yang sudah terbit di Koran Nasional. Dan seperti biasa, kalau sudah muncul di Koran Nasional, seolah jaminan. Sudah melalui kurasi, sudah dipilah dan dipilih orang-orang kmpeten, maka Rumah Kawin benar-benar mengalir bebas, asyik, dan berkelok-kelok syahdu.

“Pertanyananya tentang perempuan itu terus bergulung. Memintal-mintal hasratnya menjadi benang yang tak putus-putus. Makin panjang makin kuat.”

#1. Taman Pemulung

Dengan setting Indonesia sebelum merdeka, Koran yang dinukil masih menggunakan ejaan lama, dan sang Radja Djoesta beraksi. Sang pemulung yang mengais sampah, apapun asal jadi duit, Sakit bengek dan keluhan kemiskinan. Ah di taman itulah, ada bangku-bangku terbuat dari semen, di bawah pohon kosambi, framboyan, beringin, dan asam jawa. Patung gajah dan dinosaurus, dan tampungan orang tunawisma, anak-anak pengamen, pengemis, dan tentu saja sebagian besar pemulung.

Lalu kicau burung dan petualangan yang tersaji. Diasahnya lagi kicaunya, tetapi ada yang tak ikut sirna besama hembusan nafas, kibasan saya, dan kicau garing: geliat lidah api, asap gimbal, jerit nyawa sekarat, kata-kata iblis, kota tua di utara…

“Diseretnya terus diri yang mulai dirundung rasa putus asa. Ia berjalan sempoyongan menahan letih dan kantuk mahaberat.”

#2. Rumah Jagal

Mitos dan hikayat selalu menemai keseharian masyarakat kita. Orang kesurupan, dari pohon angker atau rumah kosong bisa saja masih kantal. Di era modern yang mana listrik sudah banyak tersedia, ahh… ada saja alasannya. “Setakn takut listrik. Mereka mengungsi ke pinggiran kampung yang belum masuk listrik dan masih banyak pohon besarnya.”

Ceu Tarni sering kerasukan, dan konon katanya orang yang memiliki ‘iga jarang’. Pengalamannya yang aneh ini diakuinya saat kesurupan yang ketiga. Dan anehnya, di akhir kesurupan, kalimat yang terlontar adalah, “… Kau akan hancur, wahai sang Minotour.” Kok bisa, masyarakat awam, sampai menyebut makhluk mitologi Yunani?

Begitulah, lalu masa lalu ditelusur. Sampai titik terang itu ketemu, ada masa lalu kelam dari seorang pendiam yang menghilang. “Kini kami datang dengan sepotong firman Tuahn. Pergilah dari lembah nista! Selamatkan dirimu dari neraka. Sebab di sana kau akan berkali hangus, wahai, perempuan lacur.”

#3. Rumah Kawin

Sebagai cerpen yang dipinjam judul, saya setuju ini yang paling bagus. Sudah pernah kubaca doloe di Koran, dan saat menelusur kata lagi, rasanya nyaman sekali. Ini tentang pendekar tua yang tak lekas sadar bahwa masa jayanya sudah berakhir. Mamat Jago yang merindu Sarti, penyinden wayang golek idola masyarakat. Di pagelaran terakhir, waktu sudah malam, izin keramaian sudah lewat, dan lagu terakhir sudah selesai. Mamat tetap menginginkan pesta berlanjut, membuat gerah banyak orang. \”Jangan takut, Koh. Mereka semua teman saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau gambang berhenti. Ayo, panjak.”

Sekarang sudah lain, kekayaan dan kehormatannya rontok sudah, seperti pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan mati. Tanahnya yang dulu hektaran kini tinggal sepetak, menciut bagai kelaras terbakar. Rumah megahnya kini tingga sarang kumbang, ngengat, dan laba-laba. Kosong, kusam, sepi. Ah betapa sesaknya kehilangan ini, Mamat terbatuk, dan sulit menerima kenyataan.

“Nggak, Abang pengen ke rumah kawin saja. Ke Dokter Sarti.”

#4. Hikayat Siti Rahima

Ini seperti reinkarnasi, dulu manusia. Perempuan kaya, dengan sawah dan kebun membujur. Dan kini ia adalah sebatang pohon asam. Dan ia suka sekali bercerita kepada siapapun yang berteduh di bawahnya. Cara bercerita yang unik, hanya orang-orang yang tertidur yang bisa ditenggarai kisah. Masa lalu, Siti Rahima yang sedih.

“Tapi pohon asam itu angker. Ingat, Rahima…”

#5. Kereta Ungu

Seperti dalam puisi paling murung, hujan terus terus di sepanjang stasiun. Menanti yang tak pasti itu tak mengenakan. Kereta dan perempuan, orang membawa kabar datang dan pergi, dan pemberontakan terjadi menyelingkupi. “Ada kereta dalam diriku, warnanya ungu.”

Seorang anak muda yang kurang makan dan banyak berpikir. Ini tentang revolusi, Rezim berganti-ganti, presiden datang dan pergi. Para perampok mengankangi parlemen, kini saatnya pergi. Menengguk anggur kenangan.

“Kau merasa diremehkan. Kau marah dan menyumpah.”

#6. Kota Anjing

Ada lelaki menenteng karung yang bergarak-gerak, dilempar ke tempat sampah lalu memukulinya, buk buk buk. Kaing-kaing terdengar, dan begitulah. Ada orang tega membuang dan menyiksa anjing. Saya, sebagai saksi lalu bermimpi buruk, berulang kali tentang anjing yang tersakiti. Lalu saya datang ke psikiater, berkonsultasi. Itu sesuautu yang naluriah, biasa. Namun sampai kapan, bangkai anjing itu menghuni kepalanya?

“Pada akhirnya, manusia modern akan merayakan keterasingannya dengan naluri-naluri kebinatangan yang purba, lebih dari sekadar pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan begitu ia telah kembali kepada akar-akar hidupnya yang asli dan asali.” – Rojek

#7. Segalanya Terbakar di Matamu

Sebuah janji temu dengan perempuan asing, pengarang yang diberi nomor telepon, dengan harapan berdebar, mengubungi dan mengajak kopi darat, “Aku memakai bandana.” Janji temu di restoran Cina di tepi kali besar yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Bagaimana resposnnya? Apakah ia cantik? Apakah ia akan kecewa bertemu saya? Apakah akan berlanjut? Ah, dasar ikan tawes.

“Seks adalah tema yang bermasalah. Suatu ketika dalam sastra kita ia pernag hadir dengan cara yang samar-samar, penuh perlambang. Tetapi kini sangat terang-terangan. vulgar malah…”

#8. Kelawang Batu

Si Naga Merah di kampung tua, Kampung Naga. Hikayatnya, dulu ada kelewang atau gergaji batu dimiliki seseorang yang ditemukan saat menggali sumur, lalu setelah dikumpulkan dan diteliti, itu benda purbakala, penggalian dilakukan, dan barang-barang museum ditemukan. “Aku akan mengundang kalian di pesta malam kematian ini. Mengapa kalian datang juga?”

Lalu muncullah berbagai cerita membentuk hikayat, masa-masa penuh pertarungan serta makhluk mistis. “Kini kita berada pada persimpangan antara ilmu pengetahuan dan dongeng. Keduanya sama-sama ingin menemukan satu masa yang hilang dan mengawetkannya.”

#9. Hikayat Petarung Kampung

Ini tentang legenda tarung, jagoan-jagoan kampung dengan nama beken dan termasyur. Jurus-jurus dilakukan, silat dengan gaya, dan begitulah Hikayat Petarung Kampung menaklukkan 15 jagoan dari Tanjung Burung. Sepuluh orang mati di tempat, lima orang mati dua-tiga hari kemudian. Sebuah pengakuan mahal dari era silat lama.

“Tusukkan golok itu ke jantungku. Beri aku kematian paling terhormat.”

Keputusan beli, lebih kepada ini terbitan Katakita, penerbit ini seringkali menerbitkan karya-karya bagus, baik terjemahan ataupun lokal. Kebetulan kemarin pas beli, ada buku lain dari Katakita, jadi seolah sepaket. Tema yang diusung adalah karifan lokal, sebagai orang Jakarte, tema pendekar Betawi jelas diapungkan, setting waktu bisa kapan saja, tapi setting tempat kokoh di ibukota. Mencerita keseharian jelas lebih mudah, dan nyaman. Apalagi dituturkan dengan bahasa enak. Semoga ke depan bisa menikmati buku-buku lainnya. Terima kasih.

Rumah Kawin | by Zen Hae | ISBN 979-98302-5-7 | Cetakan pertama, Oktober 2004 | Penyunting Sitok Srengenge | Tata letak Cyprianus Jaya Napiun | Desain sampul Iksaka Banu | Penerbit Katakita | Skor: 4/5

Karawang, 241022 – 281022 – Fats Waller – Handful of Keys (Remastered)

Thx to Mas Daniel, Yogyakarta

Menembus Kabut

“Tugas manusia yang beriman adalah menyeru dirinya, kemudian keluarganya, kemudian handai tolannya, kemudian masyarakatnya – untuk berbakti kepada Tuhan dan menjauhi larangannya…”

Novel tipis yang dengan cepat selesai kubaca. Dalam perjalanan tugas luar kantor hari ini ke Bandung, kumulai baca saat masuk tol Karawang Timur, dan sebelum sampai tol Buah Batu, 50 halaman itu sudah tandas. Memang tipis, kecil, dan ceritanya sangat sederhana. Dan karena ini buku proyek Departemen Agama, di mana ada misi di sana, maka apa yang disampaikan lurus-lurus saja. Novel, tapi berisi petuah. Ada hikmah dalam cerita, pesan-pesannya tersurat. Jelas dan sangat blak-blakan. Manusia harus hidup lurus, yang baik menang, yang jahat kalah, dan begitulah. Pesan moral itu disampaikan, apa adanya.

Kisahnya tentang Ismail anak yatim piatu yang hidup di gubuk liar Jakarta, merantau ke sana dengan bermodal nekad. Ia tinggal dengan tukang becak yang sudah tua dan sakit-sakitan Mang Simin. Hidup sebatang kara, maka untuk saling melengkapi: Ismail menganggap Mang Simin ayahnya, Mang Simin menganggap Ismail anaknya. Mereka saling menguatkan akan kejamnya dunia.

Dibuka dengan Ismail yang pulang kerja sebagai penyemir sepatu di warung makan Surya. Dicegat oleh preman Sam’un. Dengan penghasilan seribu perak diembat separonya, padahal awalnya mau buat beli obat demam Mang Simin. Keapesan ini dicerita pada bapaknya, dan mereka hanya bisa pasrah. Apa yang bisa diperbuat oleh orang miskin seperti mereka.

Malam itu, Mang Simin serasa tergugah mendengar suara adzan. Maka ia memutuskan untuk menunaikan salat berjamaah ke Masjid An-Nur. Di usianya yang sudah senja, ia menemukan kedamaian. Dimbimbing oleh Ustaz Makmun Razak, dan jamaah yang mendukung. Ismail sempat heran, sebab ayahnya tak ada di rumah saat kembali dari membelikan buah. Dan sekembali dari masjid berpetuahlah.

Besoknya, saat subuh ia kembali salat. Dan begitulah, ia akan berkomitmen menjalankan perintah Allah. Hari itu, Ismail dengan Yono yang sama-sama mencari nafkah menyemir sepatu, dan dari sopir-sopir truck yang baik mendapat rejeki lebih, beberapa karyawan yang makan di warung makan Surya memberi tips. Alahkah senangnya mereka.

Malamnya, Ismail pulang terlambat, dan preman Sam’un sudah menanti di gang tak menemukannya. Ia lalu ke gubuk langsung, mengobrak-abrik isi rumah, memaki, mencari ybs. Dan saat Ismail dan Mang Simin pulang mendapati gubuk mereka berantakan, terjadilah cekcok. Untung ada jagoan lokal, Mang Jalal yang menghantam balik sang preman. Terkaing-kainglah begundal tersebut.

Sementara aman, tapi sampai kapan? Besoknya saat tahu Jalal ada acara di kampung sebelah, preman ini kembali datang. Dan terjadi lagi kegegeran, tapi secara dramatis jagoan kita datang, melempar preman berengsek ini ke sungai. Kisah makin klise, saat di masjid ada lowongan untuk tukang bersih-bersih, dan sang tuan rumah makan mengulurkan tangannya untuk mengentaskan buta huruf. Sederhana, dan sangat klise. Kata-kata, “Jangan malu mengerjakan yang halal”, “Jadi orang jangan sangka buruk kepada orang lain”, “Menyantuni anak yatim yang sebagai mana anjuran Nab Muhammad SAW.” dst.. Isinya begitu penuh petuah.

Karena ini buku proyek pemerintah, jelas upaya untuk mengarahkan rakyat untuk bersyukur. Apalagi masa-masa setelah penumpasan PKI, maka agama diapungkan. Buku-buku lama banyak yang cari aman. Dulu pernah beberapa kali baca yang temanya, wirausaha, masyarakat yang aman dan sentosa, ketahanan pangan yang hebat, sampai pembangunan yang bagus dan laik dapat pujian. Ah, Orde Baru yang hebat. Nah, tema-tema sejenis itu sudah tak laku di era Reformasi. Sudah digerus oleh banyak fakta pahit. Namun, sejujurnya saya juga tak terlalu ikuti buku-buku proyek pemerintah saat ini, kurang mendapat perhatian untuk literasi. Sayang sekali…

Kubaca santuy sepanjang tol, ditemani Raisto. Bacaan ringan seperti ini cocok dilahap kala perjalanan. Tak butuh konsentrasi lebih, ngalir saja, intinya dapat. Memang sudah direncana, pas dapat tugas keluar kantor, langsung kupilih. Terima kasih.

Menembus Kabut | by Tim Penyusun | Ketua Drs. H. Zainal Arifin | Anggota Sukendar BA, Moh. Thohir | Proyek Pembinaan Generasi Muda Departemen Agama 1980/1981 | Skor: 2/5

Karawang, 241022 – Michael Buble – At This Moment

Thx to Derson, Jkt

Pemufakatan Jahat dalam Penjara

The Brethren  by John Grisham

“Momentum adalah binatang aneh dalam politik… Uang mengikuti momentum”

Diluardugaku, ini jadi buku pertama John Grisham yang selesai kubaca tahun ini, padahal tahun lalu dan sebelumnya sangat antusias dan banyak menyelesaikannya. Di rak juga numpuk buku-buku beliau. Untuk kali ini, tak ada twist. Lebih sederhana, tak rumit, dan mengalir tenang. Mungkin karena tokoh utamanya, para kakek-kakek, penghuni penjara yang membentuk majelis kejahatan, sementara di luar sana sedang hiruk pikuk menuju pemililhan Presiden USA. Dan dua tiga kepentingan itu bersinggungan, di tengahnya ada pengacara yang galau, dan terhimpit berbagai masalahnya sendiri.

Kisahnya terfokus pada sebuah majelis dalam penjara, terdiri atas tiga mantan hakim, di mana mereka melakukan kesalahan sehingga terjerumus di dalam jeruji besi. Mereka adalah Joe Roy Spincer, Finn Yarber, dan Hatlee Beech. Mereka melakukan sidang sederhana Pengadilan Rendah North Florida, lebih dikenal engan Majelis di Trumble. Keamanan di sana minimum, tak terlalu ketat sehingga banyak celah untuk melakukan negosiasi persekongkolan.

Dengan pengalaman melimpah, mereka tahu di luar sana ada noda yang bisa dimanfaatkan. Metodenya selalu sama, menjerat lelaki dengan memasang iklan di Koran, memancing lelaki dengan umpan pemuda yang depresi, tampan, dan butuh teman. Memasang kotak surat, dan berikutnya penghubungnya adalah L. Trevor Carson, pengacara dan penasihat hukum. Dia menjual etiknya, normanya, bahkan moralnya demi uang. Setelah terjerat, para korban lalu diancam akan disebarkan identitasnya ke publik bahwa dia gay. Ancaman dan permintaan uang tutup mulut itu lalu diolah oleh Carson, dibagi empat. Dalam sebulan ia memperoleh  sekitar $800.000 dalam bentuk uang gelap bebas pajak. Bisakah kecepatan datangnya uang ini berlanjut? Korban-korban majelis tidak buka mulut karena malu. Mereka tidak melanggar hukum, mereka cuma takut. Mangsanya adalah nafsu manusia dan imbalannya diperoleh dari perasaan takut.

Mereka merencanakan serangan mereka dengan baik, yang selalu merupakan unggulan nereka, karena mereka punya begitu banyak waktu. Tiga pria yang sangat pintar, dengan waktu kosong. Tidak adil memang, tapi begitulah. Gerakan ini menuntut ketelitian dan pengalaman. Sampai akhirnya mereka menemukan korban kelas kakap.

Amerika jelang pemilihan presiden. Direktur CIA Teddy Maynard yang kejam mengatur strategi untuk kemenangan kandidat yang ia pilih, Aaron Lake. Mengupaya segala siasat dengan menebar ancaman terorisme, Amerika butuh dana lebih, membutuhkan anggaran perang plus plus. Lake dimanipulasi untuk menang, maka segala yang mengganggu disingkirkan. “Saya rasa Anda sebaiknya mengumumkan dua hari setelah New Hampshire. Biarkan para pemenang menikmati kemenangannya dan biarkan para pecundang ribut sendiri dulu, lalu umumkan.”

Begitulah, luapan kampanye jelang pilpres, itu suatu hari harus tersandung noda. Sebab Sebuah surat sederhana bisa menghancurkan tatanan papan catur. Lalu Argrow ditugaskan Teddy melacak surat-surat Lake, dan menuntun ke Carson. Begitulah, akhirnya nasib mempertemukan mereka. Entah bagaimana caranya majelis harus disingkirkan, dank arena Majelis memiliki nilai tawar, mereka lantas menantang balik. “Tiga hakim kotor di penjara federal di Florida dapat mempengaruhi keamanan nasional? Aku ingin mendengar pembicaraan kalian.”

Sebuah kesepakatan win-win solution dilontarkan, dan segalanya lantas berakhir tenang dan tenteram.

Karena saya sudah berkali-kali baca buku Grisham, endingnya agak mengecewakan. Masih hebatan The Partner yang mengejutkan. Majelis seolah menjadi obat tawar untuk para manula yang pensiun, memberinya bekal di hari tua dengan jutaan dollar, lantas menikmati sisa hidup dengan fun. Walau di ujung sekali permufakatan jahat tetap dilakukan, dan beda regional, tetap saja ending-nya kurang OK.

Hal-hal yang diangkat juga umum. Kampanye perang contohnya, sudah pernah ada dan walau tampak jahat, logikanya seolah benar. Atau tentang aborsi, yang mana perdebatan masih relevan. “Anda dicecar soal aborsi, tapi Anda bukan yang pertama.”

Saya justru malah merasa simpati sama hakim tua yang apes. Seolah sudah tak ada guna. Tak seorang pun membela Yang Mulia Hatlee Beech. Ia dihukum, diceraikan, dipecat, dipenjara, dituntut, bangkrut. Beech kehilangan begitu banyak, jatuh begitu dalam. Maka terasa wajar mereka melakukan penawaran tinggi, “Mr. Lake punya uang yang lebih banyak uang daripada yang bisa dihabiskan. Enam juta dollar Cuma setetes air dalam ember.”

Untuk Lake, mungkin kalian muak. Bergitulah politik, kejam dan seringkali menghilangkan kemanusiaan. Saat kempanye, penuh senyum “Lake memeluk orang-orang yang belum pernah ditemuinya dan melambai pada orang-orang yang belum pernah ditemuinya lagi, lalu menyampaikan pidato kemenangan yang menggelora tanpa teks.” Pilpresnya sendiri, duel antara Gubernur Wendell Tarry melawan Congressman Aaron Lake tak disebutkan banyak, hanya sepintas lalu setelah segala gemuruh usai.

Memamg bukan buku terbaik Grisham, tapi jelas keunggulannya adalah plot yang sangat rapi, baik, dan begitu hidup. Masih, Grisham adalah penulis terbaik masalah pengadilan menurutku. Piawai memainkan kata, memainkan emosi pembaca, sampai-sampai kita percaya kasus seperti ini bisa terjadi. Pemufakatan jahat ini bisa berjalan. Kita tak tahu, di luar sana banyak sekali orang jahat, sehingga kejahatan turut update mengikuti perkembangan teknologi. Entah, buku-buku Grisham yang di atas 2010-an apakah juga memainkan kejahatan sesuai era sekarang.

Maka Majelis menurutku adalah sebuah tribute dari Grisham untuk para hakim. Memberi ending nyaman dan adil: materi, bebas, menuruti hobi di hari tua. Bukankah kita semua menginginkan tiga hal itu? Keadilan yang coba ditegakkan.

Dunia akan jadi jauh lebih gila, dan kita harus kuat untuk melindungi cara hidup kita.

Majelis | by John Grisham | Diterjemahkan dari The Brethren | Copyright 2000 by Belfry Holding, Inc. | Alih bahasa Diniarty Pandia | GM 402 00.651 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Maret 2000 | 496 hlm.; 18 cm | ISBN 979-655-651-0 | Skor: 4/5

Karawang, 290922 – 211022 – The Cranberries – Loud and Clear

Thx to Kahima Mahima, Jkt

Riwayat Singkat Hawking

Stephen Hawking and Black Holes by Paul Strathern

“Jika kita bisa menemukan jawabannya maka itu berarti kemenangan besar nalar manusia, karena saat itu kita akan tahu pikiran Tuhan.”

Buku tipis yang bervitamin. Saya belum baca satu bukupun milik Stephen Hawking, walau di rak ada buku karya istrinya, The Theory of Everything, tapi sampai sekarang belum gegas baca. Makanya, hal-hal yang disampaikan begitu penuh asupan. Buku ini lebih mirip biografi singkat, sebab mengupas kehidupan Hawking secara umum dari lahir, hingga puncak kariernya, dan update kabar hingga buku ini terbit. Hal-hal yang sejatinya mungkin mudah saja kita temui di internet, tapi pendapat dan tulisan kesan sang penulis justru yang nyaman dan asyik. Seperti Hawking yang suka humor, dan poster Marilyn Moonroe di dinding, Paul Strathern menbawakan buku ini dengan fun.

Terbagi dalam satu bab utuh yang membentang, buku ini lebih sebagai pengenalan sang tokoh. Pembukanya saja sudah terbaca komedi,”Stephen Hawking lahir saat Perang Dunia II tengah seru-serunya…” Dan begitulah, orangtua Stephen, Frank dan Isobel memindahkannya ke Oxford dan Cambridge untuk menghindari serbuan bom Jerman. Di situ ada kekayaan arsitektur yang tak ternilai, dan lucunya pihak Sekutu juga takkan mengembom Heidelberg dan Gottingen. “Sayang sekali, persetujuan yang beradab seperti ini tidak diperluas di tempat-tempat lain.” kata Isobel.

Frank seorang dojter yang terlibat dalam penelitian medis, sementara Isobel pernah sebagai petugas pajak, sekretaris di beberapa perusahaan. Dan saat perang, kaum wanita dipekerjakan dalam urusan pemerintahan. Isobel yang awalnya pemegang komunisme, lalu melunak, dan berkomitmen pada sosialis. Lantas ia ikut dalam kampanye penolakan senjata nuklir, melakukan long march dari Aldermaston hingga London.

Tahun 1950, keluarga Hawking pindah ke St. Albans, kota katredal 30 mil dari London. Kota terpencil yang tenang, Frank bekerja sebagai kepala divisi parasitology di Nasional Institute for Medical Research. Dan begitulah, keluarga ini dipandang eksentrik dengan mempertahankan kehidupan intelektual ortodoks. Mendengarkan Third Programme (acara drama dan musik klasik yang disiarkan khusus bagi kaum awam di pembuangan). Di waktu luang, Frank menulis novel yang tak pernah dipublikasikan, dan diledek istrinya sebagai hasil bualan belaka. Tokoh idola Stephen adalah Gandhi bukan bintang olehraga atau bintang film.

Stephen lahir di keluarga berada, dan bisa dibilang di sekolah mapan dengan asupan ilmu melimpah. Ia mulai tertarik pada kegiatan penelitian di laboratorium, dan kamarnya penuh dengan tabung uji, sisa-sisa eksperimen, hingga bubuk mesiu, racun, sampai gas air mata. Jelas, Stephen adalah manusia cerdas. Juara kelas yang aneh, teman sekelasnya Micahel menyebutnya ‘Jenius kecil yang aneh’. Suatu hari saat berdiskusi tentang hidup dan filsafat, Michael menyadari kehebatan temannya, “Saat itu aku menyadari untuk pertama kalinya bahwa ia tidak hanya cerdas, tidak hanya pintar, namun luar biasa.” Jenius kecil yang aneh tampak menghabiskan waktu cukup lama untuk memikirkan segala sesuatu: berusaha mencari arti tentang dunia. dan begitulan, Stephen menganggap, “Itulah tugas yang sesungguhnya dari filsafat: kosmologi.”

Berjalannya waktu, lalu ia membatasi diri pada usaha untuk mempelajari struktur semesta. Selama bertahun-tahun kosmologi dianggap sebagai ilmu semu, dan secara otomatis juga banyak menarik minat para ilmuwan-semu. Layaknya gagasan-gagasan dinosaurus ilmu pengetahuan modern: besar, sederhana, dan hampir punah. Relativitas berarti bahwa ruang adalah melengkung (kurva) dan semesta memiliki batas.

Ilmuwan Soviet membuktikan bahwa singularitas ruang-waktu (lubang hitam) sesungguhnya tidak mungkin ada. Menurut mereka, singularitas ruang-waktu semacam itu hanyalah dugaan teoritis yang salah dan muncul karena ada yang mengansumsikan  bahwa bintang-bintang besar yang runtuh menyusut secara simetris.

Menurut teori Hoyle, semesta meluas bahwa bintang dan galaksi secara terus-menerus tercipta di angkasa, karena itu memang sudah menjadi property semesta. Dan untuk melengkapinya, ia menambahkan bahwa bintang dan galaksi secara terus menerus juga menghilang ke dalam kegelapan jauh di sana.

Sebuah singularitas yang diciptakan oleh runtuhan gravitasional memiliki arti bahwa semua hukum fisika tidak berlaku. Ini mengejutkan, gila! Namun karena ini terjadi di lubang hitam, maka kita tidak bisa mengamati: kita tidak diizinkan mengamati peristiwa tersebut oleh semacam ‘badan sensor kosmik’, kita tak bisa memprediksi apa yang terjadi akan datang. Teori ini menandai ‘akhir’ dari teori fisika teoritis. Hawking mengakui bahwa setelah ini memang masih ‘banyak yang harus dilakukan’, tapi itu seperti ‘mendaki gunung setelah Everest’.

Tidak ada filsafat dan tidak ada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan filsafat hanyalah sistem yang kita tentukan, dan pandangan kita atas sistem-sistem tersebut terus berkembang. Kata Pytagoras, pikiran Tuhan pastilah sejalan dengan matematika. Para ilmuwan pusing karena banyaknya komplektivitas.

Saat Stephen divonis sakit syaraf, ia membatasi diri. Orangtuanya membutuhkan biaya besar dalam perawatan, sempat divonis takkan bisa bertahan hidup lama, tapi semangat Stephen berhasil meruntuhkannya. Ia menderita sclerosis lateral amiotrof (ALS) yang lambat dna langka, melumpuhkan tubuhnya secara perlahan selama puluhan tahun. Stephen berhasil membalikkan keadaan saat karyanya yang paling fenomenal rilis. A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes, pertama terbit April Mop 1988. Batam mengira buku akan terjual beberapa ribu kopi, tapi nyatanya malah meledak. Sisanya adalah sejarah.

Buku ini ditutup di tahun 2004, saat rilis. Tahun 2018, seperti yang kita tahu, Stephen Hawking mangkat, mewariskan Lubang Hitam yang akan ditelaah dan dikembangkan untuk umat manusia di masa depan. Apakah alien benar-benar ada?

Stephen Hawking dan Lubang Hitam | by Paul Strathern | Diterjemahkan dari Stephen Hawking and Black Holes (The Big Idea Series) | Anchor Books Edition: August 1998 Penerbit Ikon Teralitera | v + 83 glm.; 20 cm | ISBN 979-3016-37-X | Penerjemah Basuki Heri Winarno | Penyunting Maghastria A. | Desain dan ilustrasi sampul Tim Ikon Teralitera | Cetakan pertama, Juni 2004 | Skor: 4/5

Karawang, 290922 – 071022 – 2010222 – Dizzy Gillespie & His Orchestra – Night in Tunisia (Interlude)

Thx to Daniels, Yogyakarta

#September2022 Baca

“Jika kita bisa menemukan jawabannya maka itu berarti kemenangan besar nalar manusia, karena saat itu kita akan tahu pikiran Tuhan.” – Stephen Hawking

September ceria ini, masih dijejali buku-buku novel. Rencana mula mengejar buku Sosiologi yang tebalnya seribu itu, ternyata bulan September full tidak kubaca, Oktober bahkan sudah separuh jalan-pun tidak kusentuh lagi. Bakalan lanjut bulan depan. Yang mengejutkan malah buku Night Shift, buku yang dulu susah banget kuselesaiakan baca, dalam tempo singkat selesai. Dan segalanya mengalir senyaman biasanya.

#1. Menentang Sejuta Matahari by Abdullah Harahap

Mungkin tampak klise. Namun ternyata tak seklise itu. Pengelolaan cerita mengalir nyaman, cerita para remaja tentang kasih tak sampai, cinta segitiga mencipta bencana, karena status sosial, si miskin yang merindukan damba pasangan kaya. Orang tampan yang mengingin cinta gadis cantik. Hingga berantem marah akibat cemburu. Sebuah tusukan maut, mengacaukan tatanan kehidupan para muda-mudi ini. Liar, penuh amarah, jantan.

“Aku mendapat firasat, akan terjadi hal-hal yang tidak kita kehendaki. Mudah-mudahan saja pemuda lain yang diundang anak kita, berhalangan datang…”

#2. The Positif Approach by Peter Shepherd

Pelajaran positif adalah wawasan yang kamu temukan saat menyadari bahwa kamu telah memilih satu arah dan bisa berbalik jika mau. Buku self-improvement dengan tema positif thinking sudah banyak, sudah beberapa kubaca. Intinya sama, anjuran untuk memandang hidup lebih optimis, untuk mengapresiasi keadaan, syukur dan sabar, hingga bagaimana respons kita bila sedang terjatuh. Kubaca dengan nada pesimistis sebab buku-buku sejenis ini biasanya hanya berinti pada anjuran hidup bahagia. Namun setelah setengah buku, saya menemukan riak-riak yang bagus dan bermanfaat. Buku ketiga terbitan Bright Publisher yang kubaca, dan ini yang terbaik.

“Saya memang tidak kuasa mengubah masa lalu, tetapi saya mampu mengubah maknanya. Penafsiran saya terhadap peristiwa merupakan pilihan dan tanggung jawab saya sendiri.”

#3. The Glass Palace by Amitav Ghosh

Penerbit Hikmah lagi, beberapa kali terjemahan Hikmah (grup Mizan) begitu memuaskan. Yang ini sungguh tebal, kumulai baca 3 Juni, dan diharapkan selesai akhir Juli, ternyata mbablas panjang sampai 17 September 2022. Buku tebal, lebar, walaupun fiksi ini bisa jadi adalah fiksi dengan sisipan sejarah yang sangat kental. Karena saya tak tahu sejarah Myanmar, maka banyak fakta sejarah yang fresh. Beberapa bagian malah membuatku mencipta kerut kening, terutama bagian awal bagaimana sang raja yang menyerah dengan mudah terhadap tentara Inggris (yang jua menjajah India), sehingga saat serbuan kompeni itu campuran Inggris – India. Di sana sampai mencipta sentiment anti-India. Begitu juga fakta sejarah, bagaimana tentara Inggris warga asli India lalu membelot membentuk tentara Nasional India, masa tahun 1940-an yang riuh akan kemerdekaan.

“Bangsa kita akan berpacu bersama para jenderalnya, kapten-kaptennya disertai kekuatan besar indanteri, artileri, pasukan gajah, dan kavaleri, lewat darat dan air, dan dengan keperkasaan tentaranta akan menghadapi orang-orang kafir ini…”

#4. Rumah Boneka by H. Ibsen

Buku sandiwara lagi. seperti Menunggu Godot yang begitu hidup, buku ini begitu berhasil membuat pembaca begidik. Ingat, ini adalah buku sandiwara dengan kekuatan ngobrol sepenuhnya. Tokohnya ada delapan + tiga anak, sejatinya hanya lima yang meninjol. Tolvard Helmer sang suami; Nora istirnya; Dokter Rank, dokter keluarga yang sudah dianggap saudara sendiri karena sering ikut pesta dan makan malam; Nyonya Linde, teman lama Nora yang hadir setelah lama berpisah; dan Nils Krogstad, seorang petugas bank yang jahat. Semuanya diaduk di ruang tamu keluarga Helmer. Dan sungguh memikat, hanya dari kata-kata, kita turut tegang, dan pilu.

“Nyonya Helmer, sudikah kiranya Anda berbuat baik untuk menggunakan pengaruh Anda demi keperluanku?”

#5. Night Shift Jilid 1 by Stephen King

King lagi, dulu rasanya sulit sekali menuntaskan baca ini. Padat, terjemahan yang terlipat, hingga pembahasan horror yang tampak aneh, tapi entah kenapa seusai ulas Cell, saya ambil dari rak hari Minggu, 18 Sep dan berhasil dibaca cepat. Senin tak tersentuh karena ada tugas keluar kota, Selasa kubaca dua bab, Rabu, 21 Sep 2022 pagi sebelum kerja saya tuntaskan. Saya tak memahami aturan baca cepat/kilat, saya hanya baca saya, menikmati waktu. Santuy, hanya waktu luangnya diperbanyak aja. Nyaman, sangat nyaman sekalipun temanya horror.

“Jika ada tikus, hantam mereka!”

#6. The Cat and The Stinkwater War by Kate Saunders

Keren, tak kusangka ada kejutan di akhir. Perang klan antar kucing terjadi di perumahan, memperebutkan Sarden Suci. Pengakuan kekuasaan, saling sandera, saling ancam, hingga akhirnya bak roman Shakespeare, ada cinta terlarang di antara mereka. Mungkin tata kelola perubahan manusia menjadi kucing dan sebaliknya yang dirasa janggal dan kurang, dan terlampau instan serta mudah. Namun nikmati saja, ini buku anak yang fun. Ending-nya yang keren sebab setelah pengungkapan scenario tersembunyi, ada kejutan lain yang mewah, dan menurutku filosofis di mana kehidupan, sejatinya bak air mengalir, pilihan, hingga kembali ke dasar, sebuah kenyamanan itu sangat didambakan, tak peduli itu manusia, kera, kutu, hingga kucing.

“Dengan kekuatan dari Kuil, aku berharap aku pengabdi Pahnkh!”

#7. Extremely Loud and Incredibly Close by Jonathan Safran Foer

Dicetak dengan tak biasa. Dipenuhi kepadatan kata-kata, kalimat langsung bertumpuk dalam satu paragraf, ada gambar-gambar, bisa foto atau ilustrasi tangan, warna-warni sesuai mood Oscar, hingga aturan tak baku bagaimana lembar nyaris kosong hanya berisi satu dua kalimat, kata-kata tumpang tindih tak beraturan. Menabrak banyak aturan bahasa, tapi memang isinya sungguh bagus. Misinya terdengar sederhana, mencari Tua/Nyonya Black yang memiliki lubang kunci. Kunci peninggalan ayahnya yang meninggal dalam tragedi 11/9. Namun tak seserhana itu sebab berapa peluangmu menemukan lubang kunci dari seantero New York? Ada berapa orang bernama Black di sana? Maka Oscar mencari, menemui satu per satu, menanyakan, berkenalan, hingga petualang-petualang tak terduga.

“Semakin banyak yang kutemukan, semakin sedikit yang kupahami. Aku menghubungkan semuanya, seperti seorang astrolog.”

#8. Seri Tokoh Dunia: Thomas Alva Edison by Lie Ching le

Kubacakan untuk Hermione (8 tahun) dalam dua kali kesempatan duduk, pada Sabtu siang 17 September, tidak ke mana-mana, lagi flu. Dan tuntas Sabtu kemarin, 24 September siang hari beberapa saat sebelum jalan-jalan, ini timing-nya pas di sela ujian sekolah. Sempat dikomplain May karena, diminta belajar, tapi malah didongengin tokoh. Dan kebetulan juga, dia ikut ekstra kulikuler Sains, dan saat ini mencita-cita menjadi ilmuwan (8 tahun). Cita-citanya berubah terus: dari pengen jadi guru (6), arsitek (7), hingga bupati (5). Maka tepat sekali, buku pertama tentang ilmuwan yang kubacakan adalah Edison. Dan tentu saja dia sangat tertarik, banyak hal, menanyakan banyak hal, memastikan banyak hal.

“Bakat itu adalah 1% ilham, ditambah 99% kerja keras.”

#9. The Brethren by John Grisham

Diluardugaku, ini jadi buku pertama John Grisham yang selesai kubaca tahun ini, padahal tahun lalu dan sebelumnya sangat antusias dan banyak menyelesaikannya. Di rak juga numpuk buku-buku beliau. Untuk kali ini, tak ada twist. Lebih sederhana, tak rumit, dan mengalir tenang. Mungkin karena tokoh utamanya, para kakek-kakek, penghuni penjara yang membentuk majelis kejahatan, sementara di luar sana sedang hiruk pikuk menuju pemililhan Presiden USA. Dan dua tiga kepentingan itu bersinggungan, di tengahnya ada pengacara yang galau, dan terhimpit berbagai masalahnya sendiri.

“Begitulah, arena penuh sesak dengan gerombolan badut.”

#10. Stephen Hawking dan Lubang Hitam by Paul Strathern

Buku tipis yang bervitamin. Saya belum baca satu bukupun milik Stephen Hawking, walau di rak ada buku karya istrinya, tapi sampai sekarang belum gegas baca. Makanya, hal-hal yang disampaikan begitu penuh asupan. Buku ini lebih mirip biografi singkat, sebab mengupas kehidupan Hawking secara umum dari lahir, hingga puncak kariernya, dan update kabar hingga buku ini terbit. Hal-hal sejatinya mungkin mudah saja kita temui di internet, tapi pendapat dan tulisan kesannya justru yang nyaman dan asyik. Seperti Hawking yang suka humor, dan poster Marilyn Moonroe di dinding, Paul Strathern menbawakan buku ini dengan fun.

“Tidak ada filsafat dan tidak ada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan filsafat hanyalah sistem yang kita tentukan, dan pandangan kita atas sistem-sistem tersebut terus berkembang.”

Karawang, 171022 –  191022 – Image Dragon – Believer

Excel Training done, 15.10.22

Mencari Tuan Black

Extremely Loud & Incredibly Close by Jonathan Safran Foer

“Tidak ada yang indah sekaligus nyata.”

Dicetak dengan tak biasa. Dipenuhi kepadatan kata-kata, kalimat langsung bertumpuk dalam satu paragraf, ada gambar-gambar, bisa foto atau ilustrasi tangan, warna-warni sesuai mood Oscar, hingga aturan tak baku bagaimana lembar nyaris kosong hanya berisi satu dua kalimat, kata-kata tumpang tindih tak beraturan. Menabrak banyak aturan bahasa, tapi memang isinya sungguh bagus. Misinya terdengar sederhana, mencari Tua/Nyonya Black yang memiliki lubang kunci. Kunci peninggalan ayahnya yang meninggal dalam tragedi 11/9. Namun tak seserhana itu sebab berapa peluangmu menemukan lubang kunci dari seantero New York? Ada berapa orang bernama Black di sana? Maka Oscar mencari, menemui satu per satu, menanyakan, berkenalan, hingga petualang-petualang tak terduga.

Oscar Schell yang berduka, ditinggalkan ayahnya yang menjadi korban teroris 11/9. Ia mengalami insomnia, sakit kepala, depresi. Anak lelaki, tentu saja sangat dekat dengan ayah. Dan rasa kehilangan itu makin membentuk Oscar yang pada dasarnya pendiam aneh, makin terkucil. Keadaan makin menyebalkan, saat ibunya kini dekat dengan lelaki lain, Ron yang coba menggantikan kedudukan orang terkasih.

Dalam penguburan, di sebuah limousine mewah bersama keluarga lain yang berduka. Mereka mengubur peti kosong sebagai penghormatan. Oscar tak terima, tapi ia hanya anak Sembilan tahun. Ayahnya yang hebat, lenyap bagai debu. “Aku senang memiliki ayah yang lebih pintar dari New York Times, dan aku senang saat pipiku bisa merasakan bulu-bulu di dadanya menembus kausnya, aku masih bisa mencium aroma krim cukurnya meskipun hari telah malam. Menghabiskan waktu bersamanya menenangkan otakku. Aku tidak harus menciptakan apa-apa.”

Suatu hari secara tak sengaja sebuah van di kamar ayahnya yang ada di lemari ia pecahkan, menemukan kunci milik Black. Dan begitulah, petualangan dimulai. Rasa kasih pada ayahnya tak mau ia lenyapkan, dan ingin bersemanyam selama mungkin sekalipun digerus waktu. “Semakin banyak yang kutemukan, semakin sedikit yang kupahami. Aku menghubungkan semuanya, seperti seorang astrolog.”

Oscar berkenalan dengan manusia Tuan Black yang berusia lebih dari seabad. “Aku lahir pada tanggal 1 Januari 1900! Aku sudah menjalani semua hari di abad jedua puluh.” Bertemu dengan Nyonya Black yang berusia 48 tahun, dan berteman dengannya. Dan yang paling banyak menyita halaman, adalah narasi neneknya, ibu dari ayahnya. Masa lalunya dikupas dengan sangat mendalam.

Neneknya, dulu berkenalan dan berpacaran diam-diam dengan pendatang Thomas Schell Sr. Sejatinya Thomas jatuh hati sama Anna, kakak neneknya. Malang, Anna meninggal di peristiwa pengeboman Dresden saat Perang Dunia Kedua. Maka lantas menikahi neneknya, dan Thomas Sr. lalu menghilang saat kehamilan Thomas Jr.. Dari narasi neneknya, kita tahu, kakeknya terluka dan niat mula tak menginginkan anak, tapi kenyataan berkata lain.

Dalam penelusuran, ada seorang penyewa apartemen baru, yang begitu akrabnya walaupun tak pernah bertemu. Oscar dan Sang penyewa lalu mengubar kata-kata (dengan kode tangan ‘Ya’ dan ‘Tidak’). Dan begitulah, mereka sepakat melakukan misi terakhir. Sebuah penyampaian kata-kata yang tertunda, penyelesaian kata rindu yang membuncah. Mengubur apa yang sejatinya dikubur, yang secara harfiah, titik akhir perjalanan panjang ini.

Ini adalah novel dengan gaya. Ceritanya mungkin di tengah antara berat dan sederhana, berat sebab ini tentang anak yang kehilangan ayahnya, sederhana sebab misinya ‘hanya’ mencari lubang kunci demi rasa berkesinambungan. Namun jelas, cara penyampaiannya yang dahsyat. Sungguh mewah, detialnya mengagumkan. Enak sekali menelusur masa lalu orang-orang di sekeliling kita. “Aku sungguh-sungguh merasakan sepatu botku memberat saat memikirkan betapa kehidupan itu realtif sepele, dan betapa, jika dibandingkan dengan alam semesta dan waktu, keberadaanku sama sekali tidak penting.”

Ini buku pertama Foer yang kubaca. Satu buku lagi tentang vegetarian? ada di rak dan jelas gegas masuk daftar baca. Endingnya sendiri menurutku sempurna. Apa-apayang diperlukan kehidupan, apa yang perlu direspons dan yang biarkan segalanya berlalu. Dan sebuah fakta, bagaimana sebuah telepon berbunyi seharusnya ditanggapi, tapi malah jadi sejenis angin lalu, ahh… masa tak bisa ditarik kembali. “Manusia adalah satu-satunya binatang yang bisa tersipu malu, tertawa, memeluk agama, memecahkan perang, dan mencium dengan bibir… semakin banyak kamu mencium dengan bibirmu semakin manusiawi kamu.”

“Aku senang melihat ciuman dan tangisan, aku senang melihat ketergesaan, kisah-kisah yang meluncur lebih cepat daripada kecepatan mulut, telinga-telinga yang tidak cukup besar, mata-mata yang tidak mampu menyerap semua perubahan, aku menyukai pelukan, penyatuan, akhir dari merindukan seseorang.”

“Untuk pertama kalinya seumur hidupku, apakah kehidupan ini layak mendapatkan seluruh kerja keras untuk menjalaninya. Apakah tepatnya yang membuat layak? Apakah yang sangat buruk dari mati selamanya, dan tidak merasakan apa pun, dan bahkan tidak bermimpi? Apakah yang sangat hebat dari merasakan dan bermimpi?”

Suka sekali sama petikan puisi ini: “Aku merindukanmu bahkan ketika aku bersamamu. / Kami menghabiskan kehidupan kami untuk bekerja. / Setahun berlalu, setahun lagi, setahun lagi. lagi. / Kebutuhan itu muncul sebelum penjelasannya. / Semuanya baik-baik saja. Bahkan baik-baik saja tidak cukup. Semuanya akan sempurna.”

Atau percakapan ini: “Kenapa kamu berteriak-teriak?” / “Ceritanya panjang.” / “Aku punya banyak waktu.” Karena apa pun bisa membawaku lebih dekat dengan Dad adalah sesuatu yang ingin kutehaui,  bahkan meskipun itu akan menyakitiku. // “Jadi apa yang berarti?” / “Menjadi seseorang yang bisa diandalkan. Menjadi seseorang yang baik.”

Yang menyedihkan, sebuah fakta bahwa Ayah dan ibunya yang bentar lagi merayakan anniversary pernikaha. “Dia akan merayakan ulang tahun pernikahan seminggu lagi. 14 September, dia akan memberi kejutan untuk ibumu.”

Bergitulah, rasanya kok malah benar adanya, di dunia ini ya, bawah “Aku terus memikirkan betapa semua ini adalah nama orang yang sudah meninggal, dan betapa nama pada dasarnya adalah satu-satunya hal yang masih tetap bisa dimiliki oleh orang yang sudah meninggal.”

Bisa jadi Foer jadi penulis favorit terbaruku, tapi apakah bisa berharap buku-bukunya banyak dialihbahasakan Indonesia? Kalau ada, jelas layak sekali dikoleksi dan dinikmati. Semoga makin banyak penerbit melakukannya. Suatu saat, siapa tahu ia jadi pemenang Man Booker. Terima kasih.

Oiya, saya pernah nonton filmnya. Dibintangi Tom Hanks, tapi saya lupa detailnya karena saat nonton terputus-putus dan tak selesai. Setelah baca buku ini, jelas akan kutonton ulang sepenuhnya. Film Oscars.

Benar-benar Nyaring & Sungguh-sungguh Dekat | by Jonathan Safran Foer | Diterjemahkan dari Extremely Loud & Incredibly Close | Copyright 2005 | Penerjemah Antie Nugrahani | Penyunting Abu Ibrahim | Cover & Ilustrasi Penguin Books | Pewajah isi Muhammad Husen | Cetakn I: Maret 2010 | ISBN 978-979-19926-3-3 | Penerbit Mahda Books | Skor: 5/5

Untuk NICOLE, gagasanku tentang kecantikan

Karawang, 230922 – 280922 – 061022 – Tony Bennett – Let There be Love

Thx to Sri Purnawati

Hati Seorang Anak

A Child’s Heart by Herman Hesse

=== tulisan ini mengandung spoiler ===

“Setiap udara yang kita hirup dikendalikan oleh suatu kekuatan dari luar dan peranan takdir.”

Ini adalah cerpen yang dibukukan. Hanya satu cerpen, kubaca kilat semalam, dan terjeda tidur, subuh selesai. Tak sampai seratus halaman, dicetak mungil, dan plotnya yang sederhana, tapi sangat berkesan. Ini tentang hati murni yang memaafkan, sangat manusiawi anak-anak tergoda, lalu menyembunyikan kejahatan, lalu saat terdesak, ‘mengakui’ dan karena buku ini didedikasikan untuk sang ayah yang baru saja meninggal, jelas sang ayah di sini memaafkannya. Hangat, hangat sekali menyaksi hubungan ayah-anak ini sekalipun berpijak pada tindakan kurang baik.

Kisahnya bermula saat Emil Sinclair kembali dari sekolah, tak ada siapapun di rumah. Ia bermaksud menemui ayahnya di lantai atas, kamar rahasia yang jarang sekali ia masuki sekalipun ia tinggal di sana sebelas tahun. Dalam penggambarannya sebagai pegangan betapa familiar rumah itu, ia sudah memandangi pintunya ribuan kali, dan seperti hal-hal umum lainnya, banyak hal luput dari perhatian saking biasanya.

Nah, di kamar atas, ayahnya taka da setelah ia mengetuk dan memberi salam. Harusnya, ia balik badan dan nanti ke sana lagi. Namun tidak, siang itu, ia dirasuki rasa penasaran. Ia nekad masuk dan melakukan hal-hal terlarang. Membuka-buka laci, memeriksa lemari, melihat-lihat benda pribadi. Dan begitulah, rasa penasaran itu berbuah tindakan jahat. Ia mengambil mata pena, mengantongi buah ara, dan merasainya. Betapa manisnya. Sejatinya ia takut, dan sudah prediksi akan ketahuan, tapi entah ada kelebat setan mana yang memasukinya, ia tetap saja mencurinya. Ah, apapun itu, sekalipun dari kamar ayahnya, mengambil barang bukan miliknya sendiri tanpa izin tetap saja mencuri. Sekalipun, ia mencoba mengatur tata letak buah, dan benda-benda lainnya. Ah, hati seorang anak yang penasaran. Betapa polosnya.

Itu Sabtu siang, nantinya ada pelajaran sore olahraga. Maka setelah keluar kamar, dan lalu gegas keluar rumah, hatinya mengalami kebimbangan. Seharusnya ke sekolah, ia malah berkelana. Dan dalam pengelanaan bertemu dengan temannya, Weber. Sobatnya yang orang miskin, yang akrab sering bermain ini menjadi semacam pelampiasan kebimbangan. Uang yang dikumpulkan bersama untuk membeli pistol, dikembalikan, mereka saling caci, dan akhirnya berkelahi. Jadi tontonan orang-orang, menjadi aneh, seorang Emil yang polos menjadi beringas dan nakal seketika.

Malamnya, saat makan malam, orangtuanya tampak curiga akan gerak-gerik Emil. Dan Emil yang gugup menambahkan rasa itu. Minggu, hari bebas bangun siang, ia mau ke gereja atau ke sekolah minggu, tentu saja ke gereja sebab tak banyak tuntutan, menyanyikan himme, dst. Dan begitulah, hari itu ia ditemui ayahnya untuk ‘diinterogasi’.

Awalnya tak mengaku, ia membeli buah ara di toko kue Haager. Ayahnya memastikan, mengajaknya ke toko tersebut. Dengan kebimbangan, mereka ke sana, tapi saat di tengah jalan emil bilang tokonya hari Minggu tutup. Semakin mengelak, semakin panik. Maka diajak ke rumah penjualnya, dan begitulah, di depan pintu ia meragu. Dan pengakuan disampaikankan. Menggeleng dengan hati mengabu.

Bagaimana respons seorang ayah yang mendapati anaknya melakukan kesalahan patut diacungi jempol. Sang ayah mengajarkan kesabaran, pengakuan, berjiwa besar, dan tindakan dan ucapan yang sangat pas.

Emil sendiri di Minggu malam itu merasakan kedamaian, ya ia salah, dan ia dihukum. Namun respons ayahnyalah yang menciptanya, maka tepat rasanya ia bilang, “Ketika berbaring di tempat tidur aku yakin ia telah benar-benar memaafkanku, lebih daripada aku memaafkan dirinya.”

Ini buku ketiga Herman Hesse yang kubaca setelah Siddharta dan Steppenwolf. Suka semua. Ini karena cerpen yang dibukukan, sangat tipis, maka ya anggap saja membaca cerpen. Pemenang nobel sastra, yang patut dikejari baca.

Hati Seorang Anak | by Herman Hesse | Diterjemahkan dari A Child’s Heart | Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Richard dan Clara Winston | Edisi Picador, 1973 oleh Pan Books Limited | Penerjemah Anton WP. | Desain sampul Yudhi Herwibowo | Copyright 2006 | Penerbit Katta | Dicetaj Percetakan eL torros | Cetakan pertama, Juli 2006 | ISBN 979-99017-9-0 | 64 halaman, 12 x 18 cm | Skor: 4/5

Karawang, 041022 – Louis Armstrong feat Ella Fitzgerald – Summer

Thx to Erii, Jakarta