
Larung by Ayu Utami
“Kalau kamu bersama orang yang kamu suka dan kamu tahu cara menikmatinya, maka seks akan menyenangkan. Tapi kalau kamu tahu cara menikmatinya, seks juga menyenangkan tanpa orang yang kamu suka.” – Shakuntala
Sekuel yang biasa. Bab-bab awal sungguh cantik Larung Lanang mau membunuh neneknya yang seolah abadi, sudah berusia seabad lebih, dan memiliki jimat yang kudu dilepas agar bisa ke alam seberang. Benar-benar ciamik bagian ini. Sampai sempat membuang jauh-jauh ‘teguran’ temanku bahwa kamu akan kecewa. Sayangnya saat masuk ke dunia Saman, melanjutkan kisah sejatinya, malah down. Mbulet-mbulet sampai lelah cuma mau membenarkan main seks sama pasangan orang lain. Ya, selingkuh itu malah diudal-udal panjang. Dan bagaimana mengatasinya, benar-benar tak bagus ditiru. Seolah kewajaran, teman-temannya yang hedon ke New York turut membantu para perempuan ini untuk bertemu lelaki beristri. Dan Yasmin yang sudah bersuami, dibantu bertemu lelaki lain. Gerombolan si berat, mau maksiat, mau bagaimanapun disampaikan tetap saja itu zina dan dilarang agama, tak bagus untuk norma. Dibuat dengan bahasa se-sastra apapun, tata kelola selingkuh tetaplah busuk.
Larung Lanang dalam perjalanan kereta api ke luar kota. Ia memiliki misi untuk melepas jimat neneknya Anjani yang sudah lebih seabad. Ada yang mengganjal kehidupannya sehingga ia tak mati-mati, maka dari satu kota ke kota lain Larung mencari kunci kematian. Dari hutan ke pantai, dari remang kota sampai ke kegelapan gua. Semua dijabani demi misi itu. Sejatinya bukan hanya ia yang menginginkan kematian neneknya, ibunya dan sebuah kepentingan mendesaklah yang juga mengganduli tindakannya. Ketika orang menjadi tua maka keindahan pergi ke luar dirinya.
Setelah hampir setengah buku, lalu kita diajak ke New York bertemu gerombolan wanita sukses secara material. Laila Gagarinam sang fotografer yang mengingin Sihar yang sudah beristri. Yasmin Moningka, yang tampak sempurna: cantik dan baik, istri solehan tampaknya, tapi tentu saja tidak. Ia adalah Pengacara yang sudah surat-suratan dengan Saman, janji temu kangen. Cokorda Gita Mageresa, pengusaha hotel yang hedon keluar negeri. Dipanggil Cok Gita. Dan Shakuntala sang penampil yang biseksual. ACDC Ok, tersentuhlah sama Laila yang kangen Sihar.
Mereka memang ada perlu pameran, ada bisnis di sana, tapi dibaliknya terjadi misi perselingkuhan. Atas nama cinta dan kebebasan kehendak! Melawan nurani? Oh tidak bisa. “Kamu bukan nggak bisa, kamu nggak mau.”
Lalu sebuah misi penyelamatan diemban. Para aktivis di era 1997-1998, masa akhir Orde Baru itu diburu. Maka Saman yang pernah dibantu kabur, kini memiliki tugas mulia membantu para aktivis yang tersudut di pulau Sumatra menuju Singapura, yang lantas ke luar negeri lebih jauh. Togog, Bilung, dan Koba. Potret aktivis Solidarlit, dibantu Larung Lanang sebagai penghubung.
Misinya tak semulus yang dikira, sebab ada kecurigaan di antara mereka. Ada kekhawatiran akan keluarga yang ditinggalkan. Hanya melihat orang berseragam tentara jalan di pantai saja mereka saling tunjuk, adakah penghianat? Larangan komunikasi pakai pager atau telepon malah dilanggar. Dan di tengah ketegangan itu, tindakan genting harus dilakukan. Berhasilkah Saman meloloskan mereka?
Banyak bagian yang disajikan dengan diksi bagus. Dipilih dan diolah secara estetik. Seperti kalimat, “Janganlah kau tertawa dan menganggapnya sebagai kedunguan yang puitis. Tak banyak orang mendengar cerita ini.” Atau, “Akan mengalami yang takterkatakan: semacam gangguan jiwa bahkan alam tak punya tujuan.” Atau, “Lalu tiba saatnya ketika bunga-bunga api itu semakin tak beraturan. Bertubrukan satu sama lain dalam imaji-imaji yang aneh.” Atau, “Seperti tunas yang baru mengayu.” Dst. Sejujurnya buku-buku dengan pola seperti ini benar-benar mengasyikkan. Enak ditelaah, enak dilahap.
Kepercayaan akan klenik juga banyak disaji. Terutama bagian pertama, sebab memang misinya melawan malaikat maut. “Tetapi burung dadang-haus tetap berkitar-kitar meski fajar akan segera menelanjangi segala yang muncul dari permukaan bumi ke dalam cahayanya yang conak. Orang menyebut kehadirannya tanda buruk.” Atau, “Sayup-sayup kudengar orang membaca lontar di kebun belakang. Sebuah kisah tua tentang rangda yang menghirup darah.” Atau, “Tetapi alangkah ganjil jika segala hal diputuskan oleh akal.” Dst. Sama, membaurkan realita itu menarik, novel mistik dengan tata cara membumi. Masuk akal, dan tampak masuk logika. Sebuah kontradiksi yang mengejutkan? Atau kelumrahan?
Novel kedua Ayu Utami yang kubaca setelah Saman. Sebuah penurunan, sayang sekali. Endingnya bagus sebenarnya, saya suka ending yang menghentak seperti itu. Awal bagus, tengah lemah, akhir biasa, tapi ujung akhir-nya luar biasa. Dua lembar akhir yang sangat layak diberi aplaus. Jelas, Ayu Utami masuk daftar penulis lokal favorit, di rak sudah beberapa bukunya tersedia. Next, Bilangan Fu yang legendaris itu. Mari kita buktikan…
Larung | by Ayu Utami | KPG 901 13 0663 | Gambar sampul Lukisan kaca oleh Ayu Utami | Desain sampul Wendie Artwenda | Cetakan ke-1 November 2001 | Cetakan ke-4 Mei 2013 | viii + 295; 13.5 cm x 20 cm | ISBN 978-979-91-0569-1 | Skor: 3.5/5
Karawang, 290822 – Avril Lavigne – My Happy Ending
Untuk G.M. & Putri
Thx to Lifian, Jakarta