Tragis hingga Tetes Pedih Terakhir

Hidup by Yu Hua

“Dulu kala nenek moyang keluarga Xu cuma pelihara seekor ayam, ayamnya besar jadi angsa, angsanya besar jadi kambing, kambing dipiara terus sampai besar jadi sapi. Beginilah keluarga Xu hingga menjadi kaya.” – Ayah Fugui

===catatan ini mungkin mengandung spoiler===

Tragis. Ini adalah cerita kehidupan warga biasa di China di abad 20. Dari keturunan kaya raya, miskin karena judi, lalu bertahan hidup menjadi petani. Dan ditengah gempuran zaman, mereka dibantai kekejaman kehidupan. Satu demi satu tempaan cobaan disajikan, hingga sisa-sisa akhir. saya yang biasanya suka cerita dengan akhir yang kelam, bahkan sampai berharap, harapan terakhir Kugen, tak sampai dimatikan. Mengerikan memang, era China yang bergolak, pantas bukunya dilarang terbit. Mungkin seperti buku-buku Indonesia era Orde Baru yang membredel buku-buku yang menyerang Pemerintahan. Atas nama kestabilan, banyak sekali pengorbanan diapungkan.

Kisahnya tentang Xu Fugui, yang menceritakan kepahitan hidup kepada Aku, sang pencerita yang seorang pejabat yang mendapat tugas mengumpulkan lagu rakyat dari desa ke desa. Karena singgung dengan warga setiap hari, dan sering maka banyak keakraban tersaji. Dari sekian banyak cerita, kehidupan Fugui-lah yang terasa istimewa, maka plot pun bergulir.

Fugui terlahir kaya, hobinya main ke pelacuran Wisma Hijau dan main judi sampai pagi. Dipanggil Tuan Muda oleh para warga yang menghormati. Saat judi, seolah mengalami trance, ia melakukan banyak hal seolah tanpa sadar. Karena reputasinya, ia sampai diperboleh mengutang bila uangnya habis.

Tersebuatlah pejudi tak terkalahkan Tuan Shen. Setelah bertahun-tahun menghebat, suatu malam datanglah Long Er yang dengan misterius berhasil menyingkirkannya dari Shen. Dan begitulah, kekuasaan meja judi beralih. Long memang sesekali kalah, tapi saat taruhan besar tak pernah. Maka setelah sekian kali melawan Fugui, dan di puncak kekalahan mengutang, Fugui menghabiskan tanah warisan 100 mu (1 mu sekitar 0.0667 hektar) yang terakhir dari keturuan Xu. Malam itu, padahal istrinya Jianzhen yang sedang hamil tua anak kedua sudah memohon agar Fugui pulang, malah diusir. Sang istri padajal dari anak orang kaya pula, gadis Tuan Chen si Juragan beras.

Mereka lantas jatuh miskin seketika. Ayahnya sudah menghilangkan 100 mu dulu, kini ia juga. Utang harus dilunasi, maka gegas segala urusan diselesaikan. Lantas mereka tinggal di gubuk reot pinggir sawah. Fugui meminjam 5 mu kepada Long Er tuan tanah baru, dan begitulah kehidupan miskin akhirnya harus dijalani. Tinggal di dusun, jauh dari hingar bingar kota.

Ayahnya meninggal di hari kepindahan, ibunya yang sakit-sakitan tetap sayang. Istrinya dibawa pulang mertuanya, maka di gubuk itu tinggal bertiga sama anak pertama Fengxia Xu. Kehidupan keras, berangkat pagi ke sawah, pulang malam. Setelah beberapa bulan, istrinya datang. Anak kedua, diberi nama Youqing Xu. Istrinya memilih mengabdi padanya, sampai kapanpun ia adalah istri Fugui, mau susah atau senang, dilewati bersama. Membuat Fugui mengharu.

Apes tak dapat ditolak, saat ibunya sakit, Fufgui dengan bekal uang yang ada dari istrinya, ke kota untuk memanggil tabib. Dan agar tak melewati rumah mertuanya, mengambil jalan memutar. Saat itu, ada anak kecil iseng memencet bel di sebuah rumah orang kaya. Dikira tangannya tak sampai, dibantunya. Saat tuan rumah, maksudnya pembantunya keluar, anak tersebut lari. Fugui termangu, kena omel. Berdua berantem, saat itulah sebuah konvoi pasukan perang lewat, dan membawa serta mereka. Dengan ancaman tembak di tempat bila lari, Fugui terpaksa mengikuti arus pasukan ke jauh Utara melawan pasukan komunis.

Dalam sekejab, dua tahun sudah Fugui ikut berperang. Berkawan dengan sesepuh yang sudah banyak ikut perang Quan Tua dan Chungsen yang kelak jadi Camat di kota. Bertahan hidup demi melihat anak istri, kematian begitu dekat, setiap saat tembakan dan bom bisa mengenai. Makan seadanya, benar-benar gambaran mengerikan perang.

Saat pasukan komunis menang, dan memporakporandakan pasukan. Fugui diberi kebebasan, kembali ikut perang atau pulang dengan uang pesangon. Sempat khawatir, ambil pilihan kedua, nanti ditembak, tapi saat ada prajurit mengambilnya, dan dibiarkan selamat, ia tentu saja memilih pulang.

Dua tahun itu waktu yang lama, sesampainya di rumah barulah ia tahu, ibunya meninggal beberapa waktu setelah ia menghilang. Anak pertamanya, pernah sakit panas dan merenggut indera dengarnya. Youqing sudah di usia sekolah. Namun karena jarang bertemu, masih malu-malu. Dan begitulah kehidupan bergulir kembali mereka bersatu. Tampak keluarga kecil ideal, dengan istri setia, dua anak laki dan perempuan, dan walaupun miskin, mereka bisa menghadapinya dengan bahagia.

Takdir sayangnya berkata lain. Fengxia membantu ke sawah, Youqing mulai sekolah dan di tengah rutinitas belajar, memelihara dua kambing. Pagi sebelum sekolah mencarikan makan, siang sepulang sekolah mencarikan makan. Betapa ada ikatan batin yang kuat di sana. Tragis plot mulai dari sini. komune rakyat memaksa semua orang yang membagi sama rasa sama rata. Tuan tanah dihukum mati, Long ditembak di lapangan. Tanahnya dibagi. 5 mu-nya sah digarap keluarga Xu. Lalu semua orang tak boleh memasak. Panci dan peralatan masak disita komune, semua orang makan di warus yang disiapkan komune, gratis tinggal ambil. Menu komplit, sayur, daging, semua melimpah. Tampak hebat bukan? Namun tak lama.

Mendirikan pabrik pelemburan logam, untuk perang. Makanan untuk semua warga sampai kapan? Hingga akhirnya, tragedi keluarga itu disajikan. Si bungu yang jago lari, sebab terbiasa melakukannya, suatu hari mendonorkan darah. Apes. Si sulung yang tuna rungu, sudah saatnya menikah tapi belum juga ada yang lamar. Akhirnya seolah sedapatnya saja, minta tolong sama Pak Wakil. Ditambah, istrinya kini sakit-sakitan. Divonis sakit berat. Hingga di ujung kepedihan, kepiluan itu diceritakan semua-muanya kepada sang Aku. Termasuk menantunya yang apes, cucunya yang apes, terakhir sapinya yang tua dan merana, berbagi penderitaan ditumplek blek. Fugui dihajar perihnya hidup: dari perang saudara, Revolusi Kebudayaan, hingga bencana kelaparan. Tragis hingga tetes pedih terakhir.

Pertama, saya jelas menangkap ini bukan cerita yang blink-blink bahagia. Ini penuh dengan derita, setiap lembarnya berisi derai air mata. Maka wajar buku ini dilarang terbit. Sebab banyak bagian yang mengkritik pemerintah. Kegagalan mensejahterakan rakyat. Masa Mao diceritakan dengan begitu mengerikan, kematian setiap hari terjadi, Revolusi Kebudayaan itu merenggut siapapun yang tak sepaham. Mirip masa pemberantasan PKI di Indonesia.

Bagi yang mengagungkan sosialis, kalian juga bisa melihat kekejamannya di sini. Sama rasa sama rata-pun tak bisa berhasil juga. Jadi sejatinya sistem pemerintahan seperti apa yang paling bagus di dunia? Kalau kata Mark Manson di bukunya Segala-galanya Ambyar, “Tidak ada Negara yang sepenuhnya adil dan aman. Tidak ada filsafat politik yang mampu mengatasi masalah setiap orang dalam sepanjang waktu.” Mau pakai apapun bakalan ada benturan. Republik, demokrasi, kapitalis, sosialis, komunis, khilafah, dst. Semuanya ada sisi minusnya. Makin besar janjinya makin tak masuk akal. Makanya saat ada politisi bilang bakal memberantas kemiskinan, jangan pernah percaya. Kemiskian selalu ada di Negara manapun.

Kedua, ini buku pertama Yu Hua yang kubaca, kuselesaikan baca hanya dalam satu hari tepat pas libur 17 Agustus 2022 kemarin, dari pagi, disela-sela lomba 17-an, hingga tengah malam selepas main futsal di kampung. Badan lelah, tapi kupaksakan baca lewat tengah malam. Memang buku bagus banget, luar biasa. Benar-benar mantab sekaligus mengerikan. Beliau adalah orang China pertama yang memenangkan piala bergengsi James Joyce Foundation Award dan  buku ini memenangkan Premio Grinzane Cavour dari Italia 1998. Hebat, ada dua buku lainnya yang sudah diterjemahkan Agustinus Wibowo, rasanya tinggal kukejar Brothers dan Chronicles of a Blood Merchant.

Ketiga, buku ini takkan ada di rakku besok. Sebab kukirim-barter ke Yogya demi Red Queen.

Terima kasih.

Hidup | by Yu Hua | Diterjemahkan dari To Live | Copyright 1993 | GM 402 01 15 0027 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Agustinus Wibowo | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 2015 | ISBN 978-602-03-1382-5 | 224 hlm; 20 cm | Skor: 5/5

Karawang, 190822 – Peterpan – Sally Sendiri

Thx to Gramedia World Karawang.

Salah satu buku yang dibarter ke Dhika, Yogya.

Hidup, Dekut Burung Kukuk, dan Salju (+ John Grisham) dengan Red Queen dan sekuel.