
Kubah by Ahmad Tohari
“Ketika kau merasa berada dalam pikiran yang amat gelap, ketika kau merasa benar-benar tak berdaya, sesungguhnya ada tangan-tangan terjulur kepadamu…”
Novel pertama Ahmad Tohari yang kubaca. Lurus-lurus saja, dalam artian tokoh utama keluar dari penjara, menemukan jalan terang, lantas menikmati hari tua dalam ibadat. Hitam putih-nya jelas. Pemerintah sebagai badan yang memerangi PKI, menyapu semua hal yang bersinggungan, sang tokoh salah satu yang kena sapuan, selepas dibersihkan, ia kembali ke masyarakat, sempat bimbang dan galau, tapi nyatanya, ia disucikan. Segalanya terang benderang.
Kisahnya tentang Karman, yang dipenjara selama 12 tahun di Pulau Buru karena bersinggungan dengan partai Komunis. Ia kini bebas, menemukan dunia merdeka, dunia yang telah lama ditinggalkannya. Pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Ia tak serta merta bisa beradaptasi. Keluarganya kini memiliki kehidupan keluarga sendiri. Istrinya Marni telah menikah lagi. Maka ia di tengah kebimbangan. Saat sampai di kampung halaman Pagetan, ia ragu apakah bisa kembali diterima? “Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya dan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan yang sedang dipijaknya.”
Kisah lalu flashback ke masa lalunya, di masa kecil sebagai anak dari keluarga miskin. Sekolah hanya sampai SMP dan bekerja sebagai pembantu di keluarga kaya Haji Bakir. Di sinilah ia bergolak, Pak Haji punya anak cantik sekali, Rifah. Ia jatuh hati, tapi kemiskinan mencipta ragu, apakah pantas, apakah bisa? “Sungguh dunia, seluruhnya, telah membelakangiku.”
Petaka tiba saat ia berkenalan dengan Partai Komunis lewat agennya, Kawan Margo. Pelan nan pasti ideology merah merasukinya, meyakinkannya. Karman memang didorong untuk membuang jauh semua kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak membenda. Ajaran partainya mengatakan, apa yang tidak membenda sama dengan omong kosong. Bagaimana kaum miskin tertindas, bagaimana para jutawan semena-mena. Hal ini tentu juga disangkutkan dengan nasibnya sendiri. Cintanya yang kandas, memandang materi sebagai pertimbangan utama. Ia sesat, dan mendalami PKI, yang jua meninggalkan ibadah salatnya. Karman menjadi sekretaris dan mendedikasikan hidupnya untuk partai. Hingga akhirnya, sesuai sejarah tahun 1965, komunis digulung.
Kenapa saya bilang ini novel hitam putih, sebab jelas yang baik selalu diselamatkan, yang jahat terlunta-lunta. Baik-buruk juga dilihat dari sudut umum. Artinya, komunis itu jahat, makanya saat mereka dihilangkan, pemerintah seolah melakukan hal yang benar. Makanya, setelah Karman tobat, ia mendapat hidayah. Termasuk setelah berbagai kegalauan, ia mendapatkan hal-hal yang diharapkan. Istri, pertobatan, hingga kesempatan kedua. Sangat jelas, dan begitu memihak sisi malaikat.
Lihat bagian ini, “Kini satu-satunya taruhan yang menyebabkan dia masih ingin hidup, yakni harapan bisa hidup kembali bersama istri dan anak-anaknya, telah runtuh. Karman merasa dirinya benar-benar sudah selesai, tamat, hilang.” Bagian yang menjadikan sungguh segala kebaikan akan menuai kebaikan, sungguh pertobatan akan diterima dan segalanya akan indah pada masanya. Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban yang benar.
Termasuk saat sakit, bagaimana setelah terpuruk dan lalu terlihat tanda sembuh. Ia meminta rokok. Bila orang sakit sudah ingin merokok itulah pertanda baik. Dan seperti semua harapan manusia, pada dasarnya manusia sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan: sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. “… Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu, kau harus memulai dari kepercayaan. Ya kepercayaan.”
Tuhan semesta alam, selalu memberi kesempatan bagi mereka yang mau bertobat. Bahwa ia mengatur segalanya, ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu. Pokoknya kau hanya memiliki kekuasaan yang kecil atas dirimu sendiri. “… Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-galanya. Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.”
Novel ini juara tahun 1981 dari Yayasan Buku Utama Kementerian P & K. Jelas, di masa itu hal-hal yang terasa mendukung program pemerintah, didukung. Era tak seterbuka sekarang, maka provokasi dari satra dirasa juga efektif. Ini termasuk buku-buku mula yang berani membahas tragedi 1965. Dan karena terasa sekali memihak pemerintah, partai yang terpinggirkan seolah isinya buruk semua.
Setelah Kubah, saya baca Di Kaki Bukit Cibalak. Malah terasa feel-nya. Bagaimana politik di desa memberi dampak serta pemecahannya yang bagus. Berikutnya, di rak saya ada Lingkar Tanah Lingkar Luar. Total punya tiga buku itu. Mungkin tak sampai membuatku jadi fans Ahmad Tohari, tapi jelas buku-bukunya laik dikoleksi. Termasuk yang fenomenal, Sang Penari.
Kubah | by Ahmad Tohari | GM 40101120067 | Penerbit Gramedia | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 1995 | ISBN 9789792287745 | 216 hlm; 20 cm | Cetakan keenam, September 2017 | Skor: 4/5
Karawang, 150722 – 260722 – John Coltrane – Ruby my Dear
Thx to Gramedia World Karawang