
“Saya tidak tahu apakah saya harus berdoa qunut pada salat subuh atau tidak, juga membaca Bismillah terdengar atau tidak? Sekarang berijtihadlah dengan diri sendiri. Amati para imam (manzhab), siapa diantara mereka yang menurutmu lebih utama, juga yang fatwa-fatwanya lebih pas dengan hatimu. Sebagaimana kamu sakit dan harus ke dokter, karena saking banyaknya dokter di kampungmu… maka begitulah kamu berijtihad dalam beragama. Siapa yang paling mendominasi dalam sangkaan Anda sebagai yang paling utama, maka ikutilah dia.”
Buku tipis, dicetak mungil. Bagus sekali, saya menemukan cara pandang baru terhadap Al-Qur’an. Makin tertancap yakin. Banyak hal memang tak bisa dilogika, maka terjadilah percakapan antara si Fulan (F) dengan Al Ghazali (G). Fulan dari sekte Syi’ah Batiniyyah. Diungkapkan dengan segala kelemahan dan kelebihannya, mencipta pesona dan sesuai tujuannya, agar kita bisa mengambil manfaat dari dialog-dialog ini dengan merenungkan hal-hal yang lebih tinggi daripada sekadar meluruskan manzhab Ta’limiyyah.
Parameter-parameter timbangan Al-Qur’an pada dasarnya ada tiga: parameter ta’adul (ekuilibrium), talazum (ekuivalensi), dan ta’anud (kontradiksi). Ditambah parameter ekuilibrium yang dipetakan menjadi tiga, akbar (besar), awsat (tengah atau medium), dan asgar (kecil), jadi kalau dihitung semua ada 5 parameter. “Dan jangalah kamu tergesa-gesa dengan Al-Qur’an sebelum disempurnakan pewahyuannya kepadamu, dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan.” (QS. Taha: 114)
Ketika si Fulan semakin paham, ia malah mendukung beberapa argument Ghazali. “Saya tahu sekarang, mengapa orang-orang berbeda pendapat. Mereka tidak mencerdasi kerumitan-kerumitan ini sebagaimana Anda mencerdasinya, sehingga ada yang salah dan ada yang benar.”
Maka dijawab dengan bijak, “Seyogyanya kita tidak mengingkari, dalil-dalil Al-Qur’an, meskipun kita melihat sisi-sisi keraguan pada premisnya, sebab dalil-dalil tersebut, memberikan api penerangan tersendiri bagi orang-orang yang mengakui. Anda bisa belajar menimbang yang betul dan memenuhi syarat. Maka setiap kali ada permasalahan, Anda bisa menimbangnya dengan parameter, lalu mencerdasi syarat-syaratnya dengan pemikiran yang jernih dan jerih payah yang cukup, maka pikiran Anda akan terbuka.”
Lalu Fulan melanjutkan, “Seorang imam yang bisa dianut haruslah memiliki mukjizat atau berargumentasi dengan nass (teks suci) yang turun temurun dari nenek moyangnya. Lalu dimanakah teks suci dan mukjizat Anda?”
Dijawab, “Ketahuilah bahwa orang yang bisa disebut ‘iman’ adalah orang yang belajar dari Allah dengan perantara Jibril. Ini jelas tidak bisa kuklaim untuk diriku. Tapi saat ada yang bilang, ‘Saya hapal Al-Qur’an’ ada tiga orang, mana yang paling kamu percaya? “Buktinya saya akan membaca Al-Qur’an tanpa mushaf.” Saya pikir Anda tahu pasti mana di antara bukti-bukti itu yang paling jelas bagimu, dan mana yang paling bisa dibenarkan.”
Manusia terdiri atas tiga kelompok: pertama, awam, kalangan bodoh yang selamat penghuni surga. Kedua, khawwas (elit), kalangan intelegensia. Dari kalangan inilah muncul kelompok ketiga yaitu pakar debat dan korius yang mengorek-orek kerancuan paham dalam Al-Qur’an untuk menyalakan fitnah. “Agama memiliki susul (wilayah prinsipil, dasar) dan furu (wilayah sub divisi, cabang), dan friksi perbedaan sama-sama ada dalam keduanya…”
Manusia tidak dibebani untuk salat dengan baju suci, melainkan memakai baju yang mereka sangka suci. Manusia tidak dibebani salat menghadap ke kiblat, tapi dibebani untuk salat yang disangka menghadap kiblat dengan pedoman gunung, bintang, matahari.
Kebanyakan penghuni surga adalah orang bodoh, sementara surga-surga illiyyin diperuntukkan untuk para cendekia. Sementara orang-orang yang suka mendebat ayat-ayat Allah, mereka menghuni neraka dan Allah bertindak dengan kekuatan bagi orang yang tidak bisa ditindak Al-Qur’an.
Buku mungil yang nyaman dan layak dikoleksi. Karena sistem dialog maka, muncul perdebatan dan pelurusan. Penyampaiannya juga harus mudah dipahami orang awam. Jika yang satu mampu meragukan (dan melemahkan) argumentasi yang lain maka konsklusinya harus ia terima. Yang diajarkan di sini, bagaimana cara menimbang hal rasional dengan bersandar pada manqul (tekstual) agar ujaran yang ada menjadi mudah diterima. Penalaran dan analogi. Dan terpenting, bila masih ragu juga, nasehatnya jelas. “Ambillah ilmu pengetahuan dari orang yang melalangbuana, mengenal dan meneliti. Serahlah diri Anda pada orang pakar.”
Neraca Kebenaran | by Al-Gazali | Penerbit Pustaka Sufi | Alih bahasa Kamran As’ad Irsyady | Penyunting Sabrur R. Soenardi, Pahrurroji M. Bukhori | Desain sampul A. Sobirin | Tata letak Ataya | Pracetak Abdullah, Rudi Parlin | Cetakan pertama, Januari 2003 | Pencetak Futuh Printika | xvi + 120; 12×18 cm | ISBN 979-97400-0-2 | Skor: 4/5
Karawang, 050722 – 150722 – 210722 – Maroon 5 – Sugar
Thx to Ade Buku, Bandung