
“Di Lembah ini, Buyung, sejak keturunan pertama sampai saat ini, kaum kita adalah orang-prang panutan. Kesetiaan kita kepada adat senantiasa menjadi ukuran bagi orang lain untuk memberikan penghargaan! Penghormatan!”
Sederhana, dan menarik. Pusat cerita sejatinya bukan sang ibu, tapi cinta yang kandas dengan berbagai sebab. Pertama di Padang, dengan kegalauan akut mudik untuk meminta restu dan kelonggaran adat demi sang kekasih. Kedua, mahasiswa galau mencinta perempuan aneh yang di persimpang jalan. Ketiga, kali ini bukan rentang asmara kekasih, tapi kegalauan pasangan yang mendamba anak tapi belum siap program punya anak. Ribet ya? Enggak juga, manusia memang pusatnya kegalauan. Atas nama eksistensi, ketiganya dibaur samar. Padang, Banjarmasin, dan kembali ke Padang. Secara ketiganya memang tak berhubung langsung, tapi cinta ibu menentukan langkah antisipasi untuk diambil di kemudian hari.
#1. Cinta 1, Lembah Berkabut
Jun mudik ke Padang, ia membawa misi berat. Berkenalan dan lantas bepacaran dengan gadis perantau juga di Jakarta, Yani ternyata adalah saudaranya. Dan hubungan kasih ini menurut adat dilarang dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Jun yang galau, menatap nanar lembar tempatnya lahir, tempatnya berasal. Pertentangan hati itu dibawa pulang untuk didiskusikan, saudara-saudaranya dimintai pendapat, terutama tetuanya. Walaupun sudah tahu jawabannya, walaupun bakalan ke arah mana izin ini, ia tetap ingin memastikan. Mereka sama diwisuda, merencana menikah, dan petir menggelegar.
Pertentangan batin antara maju terus demi cinta atau mengikuti adat menjai bumbu pahit yang selalu menarik. Pemikiran modern melawan tradisional, kita turut bingung dan merasakan pula kekhawatiran, maju mundur kena soalnya. Dan pikiran positif yang disampaikan Yani, jika kita mampu menyesuaikan diri dengan masa dan kondisi, kesenangan memang akan terdapat di mana-mana. Ada benarnya, bahagia itu sekarang, tak perlu menanti esok. Maka apapun keputusannya, itu adalah jalan hidup. Dan begitulah, betapa banyak manusia yang baru memikirkan sesuatu apabila ia telah berkepentingan dengannya.
“Hanya di Lembah inilah segala omong kosong masih mendapat tempat!”
#2. Cinta2, Riu
Hasbi menelusur masa lalu Riu, teman kuliahnya yang tiba-tiba menghilang. Kekasihnya itu dirudung kegalauan, telusur Hasbi menghasilkan informasi bahwa Riu yang piatu, ‘dijual’ ayahnya, Pak Sumau yang tukang mabuk dan judi. Demi materi dan kelangsungan hidup, ia menikah dengan bos kaya Kanyu. Riu lantas mencari dana untuk mengadakan upacara penghormatan arwah ibunya, menurut adat hanya dengan upcara Ijambe itulah arwah ibunya akan sampai di surga. Sekalipun Riu sudah mualaf, ia tetap menghormati kepercayaan orang terkasih. Dekat, namun sekaligus jauh.
Dalam perjalanannya, saat menghadiri upacara Ijambe 14 mayat. Ia berkenalan dengan turis lokal yang juga mencari jawab. Ternyata Victor bukan sembarang turis, ia memiliki misi dan akhirnya berbenturan dengan niat Hasbi, dengan segala kelimbungan hati, banyak hal perlu dibenahi.
Di bagian kedua mirip, atau bisa dibilang sama saja. Cinta kandas, yang kali ini terbentur masa lalu pasangan, dan seberapa layak cinta itu diperjuang. Perjalanan waktu mengikis apa saja, senantiasa. Perjalanan waktu juga menyodorkan yang baru, selalu begitu. Bukankah setiap perubahan selalu mengandung konsekuensi? Kalau yang ini semua jelas, keputusan bulat sudah diambil. Hasbi, tak perlu meminta petunjuk Ibunya, segalanya sudah diputuskan, waktu yang akan mengobati lukanya.
“Beberapa kali kami berbaku tatap, namun seperti ada sesuatu yang kaku menandingi.”
#3. Cinta 3, Masih Bagai Butir
Pasangan suami istri Jap dan Ina menunda memiliki anak, sang istri yang lebih tua mengingin usia 30 adalah masa yang tepat, itu berarti mereka harus lebih sabar. Jap yang seorang penulis berita, lebih jarang di rumah. Lalu muncul ide, menadopsi anak. Uni Sasmi saudara mereka, memiliki anak enam tahun Budi yang belum sekolah, lalu diajaklah Budi tinggal di sana, menemani Ina dan pembantunya Rukma.
Kebahagiaan ada anak di rumah ternyata tak berlangsung lama. Budi yang memang anak kampung, susah diatur. Suka main tanah dan kotor-kotor, baju bagus yang dibelikan tak mau dipakai, lebih dekat sama Rukma ketimbang padanya, memilih pakai baju lusuh dari ibunya, hingga kahirnya merengek kangen ibu. Hufh…
Menurutku, ini yang paling lemah. Konfliks dicipta sendiri, dengan penyelesaian sendiri, mudah dan sederhana sekali. Kita tahu semua orang adalah pembelajar, tak peduli berusia berapapun. Kalau sudah memutuskan menunda punya anak, ikuti konsekuensi itu. Kalau sudah memutuskan mengadopsi anak, ikuti pula konsekuensi itu. Makanya, cerita ini seolah tampak meriah atau malah turut murung, tentu saja bergantung kepada suasana hati mereka yang menatapnya. Perempuan yang mengikuti mood yang berayun.
“Betapa sekejap usia kebahagiaan.”
Kubaca cepat dalam tiga hari, satu cerita per hari. Jumat, 1 Juli hingga Minggu kemarin. Tipis, sehingga bisa gegas. Nama Gustafrizal Busra atau lebih terkenal dengan Gus TF Sakai adalah sastrawan pemenang Kusala Satra Khatulistiwa dengan bukunya Perantau. Belum kubaca, ini adalah buku beliau pertama yang kutuntaskan. Kemarin pas memutuskan beli, karena nama beliau saja yang sudah kukenal, minimal perkenalan satu buku dulu sebelum melahap Perantau. Secara keseluruhan, lumayan enak. Bahasanya nyastra, tapi inti cerita masih nyaman, dan poin utama: cerita, bagus. Mengusung tema cinta, dengan pijakan seorang ibu, kita diajak sepintas lalu menelusur cinta-cinta yang kandas. Yang paling kusuka, jelas cerita pertama. Endingnya yang gantung, cinta yang terhalang adat dan norma, hingga dibawakan dengan puitik. Konfliks yang takkan lekang, cinta tak sampai.
Cerita dengan pilihan diksi yang meliuk-liuk itu tak salah, dinarasikan dengan indah melalangbuana, membumbung tinggi dengan gegap gempita indah, kata-kata mutiara melimpah ruah di setiap lembarnya, tak mengapa. Namun balik lagi, intinya adalah cerita yang bagus. Cerita dengan konfliks berat, makin berat dna rumit bakalan makin meriah. Makin aduhai, apalagi penyelesaiannya juga hebat, makin menambah jempol.
Tiga Cinta, ibu memenuhi itu. Hanya sayangnya terlampau tipis, ibarat bercinta yang nikmat, durasinya kurang lama. Mungkin di buku berikutnya yang lebih tebal, penguat itu ada. Semoga…
Tiga Cinta, Ibu | by Gus TF Sakai | GM 201 02.004 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, 2002 | Pewajahan Sofnir ali | Ilustrasi sampul Mirna Yulistianti | Setting Fransiska Aries Dian Lestari | 108 hlm.; 14 x 21 cm | ISBN 979-686-604-8 | Skor: 4/5
Mak dan Cul, Cinta yang tak henti mengalir
Karawang, 040722 – Blink 182 – First Date
Thx to Kang Asep, Bandung