
“Kita mempunyai kenangan-kenangan mendalam, apakah kenangan itu membuat kita bahagia atau sedih, itu tergantung kita. Aku takkan melupakanmu, dan aku akan kembali.”
Tebal dan lebar, butuh waktu intens selama sebulan ini untuk menuntaskannya. Filmnya sudah pernah kutonton, tapi agak lupa. Samar saja tentang tentara Italia yang ditugaskan ke sebuah pulau di Yunani di masa penjajahan, kala Perang Dunia Kedua, lalu jatuh hati sama penduduk lokal. Maka saat kutelusuri kata-kata, makin takjub detailnya. Langsung browsing pulau Cephallonia, setelah saya googling, nama pulaunya sekarang Kefalonia, terletak di Yunani Barat, dinamai dari mitologi Cephalus, meskipun artinya ‘Pulau dengan Kepala’. Bahkan air laut sekalipun lebih tembus pandang daripada udara di tempat lain mana pun. Orang bisa terapung di air dan memandangi dasarnya yang jauh, dan dengan jelas melihat ikan-ikan pari, yang entah mengapa selalu disertai ikan-ikan flasfish mungil.
Langsung cari sejarah Siprus, cek google map setting cerita, dan membayangkan pendaratan militer dari Jerman, Inggris, dan Italia, hingga bagaimana Yunani bangkit pasca gempa besar tahun 1953. Sejatinya buku bagus, salah satu efeknya adalah mencipta penasaran. Dan rasa penasaran itu mencipta riak ilmu fakta-fakta yang ada.
Kita semua punya noda historis yang harus dihapuskan, perhitungan yang belum tuntas. Kalian insiden Tellini tahun 1923. Kalau kata Pelagia, “Semua (perlu) melakukan penebusan dosa. Kami punya perang saudara, kau punya Mussolini, mafia, dan semua skandal korupsi itu, Inggris masuk dan meminta maaf tentang Kerajaan dan Siprus, Amerika minta maaf tentang Vietnam dan Hiroshima. Semua minta maaf.”
Kisahnya berkutat pada gadis Yunani yang sedang mekar, anak seorang dokter yang tinggal di pulau eksotis Cephallonia, di tahun 1930-an hingga 1960-an. Yunani takluk oleh Italia dan Jerman yang bersekutu, mereka dalam pendudukan. Kyria Pelagia tinggal bertiga sama adiknya Lemoni yang imut, dan ayah bijaksana Dokter Iannis. Ibu mereka sudah meninggal sejak kecil, jadi mereka dibesarkan sendiri. Memelihara kambing menggemaskan yang suka makan apa saja yang ada di dekatnya, termasuk kertas berisi tulisan-tulisan sang dokter. Tinggal pula kucing, atau pine marten, seperti musang yang dinamai Psipina. Mereka menemukannya terjepit pagar dan sekarat, diobati, hingga jinak.
Pelagia memiliki tunangan nelayan Madras, mereka tampak bahagia. Namun Madras yang buta huruf serta tak memiliki kebanggaan di mata sang dokter lalu tergerak hatinya. Saat perang pecah, ia memutuskan turun ke arena. “Aku mencintai Pelagia, tapi aku tahu bahwa aku tidak akan pernah menjadi laki-laki sejati sampai aku melakukan sesuatu yang penting, sesuatu yang hebat, sesuatu yang bisa kubanggakan, sesuatu yang berharga. Itulah sebabnya aku berharap perang akan pecah.”
Sayangnya, surat-surat rindu Pelagia tak pernah dibalas, padahal isinya romantis dan begitu indah. Nantinya baru diketahui, saat Madras pulang dengan tubuh ringsek dan babak belur, bahwa surat-surat itu diterima baik, tapi tak dibaca, atau tak mau minta tolong rekan tentara lainnya untuk membacakan, lantas membalasnya. Ia malah meminta sang kekasih membacainya langsung, dalam setumpuk kertas, Pelagia justru tersiksa, menelusur kalimat-kalimat ciptaannya, pedih dan sakit hati.
Lalu muncullah pendudukan Italia, pulau itu makin riuh saat perwakilan Jerman juga hadir, dalam diri Gunter Weber, muncul pula dari Inggris Letnan ‘Bunny’ Warren dari King’s Dragoon Guards yang bicaranya aneh, tak mudah dimengerti, tapi bersikeras belajar bahasa Yunani. Saat tiba di sana, dikira malaikat. Pendudukan militer ini, menautkan banyak hal. Sejarah pencatat, masa awal 40-an, Nazi sedang on fire, tampak digdaya. Dan pada akhirnya melakukan pembantaian sama sekutu yang kalah (terlebih dulu), Italia. Semua tentara dibunuh, Weber yang merupakan sahabat baik, teman nyanyi, ngopi, ngobrol banyak hal, tak tega membunuh teman-temannya, tapi tugas ini tetap harus dilakukan, ini perintah langsung Fuhrer. Bagian saat pasukan dijejer, dan diberondong peluru sungguh memilukan.
Kita kembali ke masa kedatangan Italia, sang Kapten Antonio Corelli yang kocak dan romantis jatuh hati sama Pelagia. Corelli adalah pemusik, memainkan mandolin – dinamai Antonia, dengan sempurna. Bersama pasukannya sering mengadakan konser di pinggir pantai, di jalan-jalan, di tenda, di mana saja untuk menghabiskan waktu luang. Terasa aneh, pemusik handal menjadi tentara.
Pelagia yang sudah tunangan, lambat laun menerimanya. Corelli tidur di rumahnya, di kamarnya, sedang Pelagia malah tidur di dapur dengan selimut dan alas sekadarnya. Tiap pagi, timnya, Carlo akan datang menjemput serta memasok berita. Iannis dan Pelagia, karena sebagai yang terjajah tak bisa banyak berontak, mengikuti sang tamu. Dan begitulah, terjalin banyak romansa.
Cinta mereka bersemi, ayahnya menasihati bahwa Corelli dari pihak musuh, rasanya hubungan ini akan sulit diwujudkan. Mereka juga paham hal itu, dan semakin dekat dan panas, keadaan sekitar juga menegangkan.
Yunani dibantu Inggris, Italia meminta bantuan Jerman. Lalu malah Nazi lepas control dan merusak banyak sekali keadaan. Dengan pijakan hubungan yang rapuh, bagaimana nasib cinta mereka?
Aristophanes menjelaskan bahwa ada tiga jenis kelamin; pria dan wanita yang saling mencintai, pria yang mencintai sesama pria, dan perempuan yang mencintai perempuan. Cinta yang mengilhami, keberanian seperti itulah yang seperti dikatakan Homer, ditiupkan dewa ke dalam jiwa para pahlawan, Cinta yang secara alamiah tertanam dalam sang kekasih. Cinta akan membuat laki-laki berani mati demi sang kekasih – hanya Cinta.
Socrates mengatakan bahwa jenius dalam tragedi sama dengan yang ada dalam koemdi, tetapi komentar itu tak dijelaskan lebih lanjut dalam teks tersebut, sebab saat mengatakannya ia berbicara pada orang tidur dan orang mabuk.
Sudut pandang cerita bergantian, karena wajar saja buku setebal ini untuk pengembangan cerita perlu banyak galian. Saya belum cerita saat sudut ke Carlo Guercio, prajurit Italia penyuka sesama jenis yang ditugaskan di Albania, ia jatuh hati sama teman seperjuangan Francesco yang tewas mengenaskan, dengan Mario Si Tikus yang selalu dibawa dalam kantognnya. Carlo sendiri akhirnya menembak kakinya sendiri agar dipulangkan. Lalu ia mendapat tugas lagi, ke Yunani, dan menjadi timnya Kapten Corelli.
Saat sudut berganti ke Madras, kita turut serta menjadi orang awam yang umum, bagaimana transformasi dia yang dari pemuda lugu yang kesehariannya mencari ikan, lalu keadaan memaksanya menjadi prajurit dan menemukan paham yang lanta dianutnya, bagaimana ia yang buta huruf banyak sekali memertanyakan hidup, hingga akhirnya menemukan takdir pahit di penghujunga.
Bicara tentang Jerman, tentu kita mengarah masa kelam Perang itu. Mereka yang menobatkan diri sebagai ras-ras unggul, yang mabuk dengan hiperbola Darwin dan nasionalis, terbius masalah genetika dan teperdaya mitos, menghidupkan mesin-mesin genodide, pemusnahan massal suatu bangsa.
Karena ini cerita fiksi yang dibalut sejarah, dan sejarah sebenarnya merupakan propaganda pihak yang menang. Maka, sisian cerita itu coba dibuat seakurat mungkin. Begitulah, bahwa kebenaran sejati adalah sejarah seharusnya hanya berisi anekdot-anekdot rakyat kecil yang terperangkap di dalamnya.
Sayang, endingnya agak jatuh. Setelah berwahana menakjubkan selama hampir 500 halaman, lembar-lembar eksekusi akhir malah mengungkap fakta yang menyenangkan. Padahal sudah pas, akhir pahit itu disampaikan. Ingat, hidup ini berat. Hidup ini sering kali keparat, maka memberi akhir bahagia untuk buku perang, sungguh keterlaluan.
Ini buku pertama tentang Yunani yang kubaca, sangat menyenangkan mengunjungi Negara eksotik ini. Semoga suatu hari punya kesempatan main ke sana, menikmati debur ombak, menikmati semiir angin pulau ini.
Acara #30HariMenulis #RevuewBuku akhirnya selesai juga, nanti saya rekap dan pos lagi karena momen tahun ini isntimewa, sebuah tribute untuk para penjual buku.
Mandolin Kapten Corelli | by Louis de Bernieres | Copyright 1994 | Diterjemahkan dari Captain Corelli’s Mandolin | Aih bahasa Hidayat Saleh, Diniarty Pandia, Tanti Lesmana, Gita Yuliani K. | GM 402 01.626 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | November 2001 | 512 hlm; 23 cm | ISBN 979-686-626-9 | Skor: 5/5
Untuk Ibu dan Ayahku,
Karawang, 300622 – Eminem – Slim Shady
Thx to Latifah, Yogyakarta
#30HariMenulis #ReviewBuku #29 #Juni2022