Captain Corelli’s Mandolin #30

“Kita mempunyai kenangan-kenangan mendalam, apakah kenangan itu membuat kita bahagia atau sedih, itu tergantung kita. Aku takkan melupakanmu, dan aku akan kembali.”

Tebal dan lebar, butuh waktu intens selama sebulan ini untuk menuntaskannya. Filmnya sudah pernah kutonton, tapi agak lupa. Samar saja tentang tentara Italia yang ditugaskan ke sebuah pulau di Yunani di masa penjajahan, kala Perang Dunia Kedua, lalu jatuh hati sama penduduk lokal. Maka saat kutelusuri kata-kata, makin takjub detailnya. Langsung browsing pulau Cephallonia, setelah saya googling, nama pulaunya sekarang Kefalonia, terletak di Yunani Barat, dinamai dari mitologi Cephalus, meskipun artinya ‘Pulau dengan Kepala’. Bahkan air laut sekalipun lebih tembus pandang daripada udara di tempat lain mana pun. Orang bisa terapung di air dan memandangi dasarnya yang jauh, dan dengan jelas melihat ikan-ikan pari, yang entah mengapa selalu disertai ikan-ikan flasfish mungil.

Langsung cari sejarah Siprus, cek google map setting cerita, dan membayangkan pendaratan militer dari Jerman, Inggris, dan Italia, hingga bagaimana Yunani bangkit pasca gempa besar tahun 1953. Sejatinya buku bagus, salah satu efeknya adalah mencipta penasaran. Dan rasa penasaran itu mencipta riak ilmu fakta-fakta yang ada.

Kita semua punya noda historis yang harus dihapuskan, perhitungan yang belum tuntas. Kalian insiden Tellini tahun 1923. Kalau kata Pelagia, “Semua (perlu) melakukan penebusan dosa. Kami punya perang saudara, kau punya Mussolini, mafia, dan semua skandal korupsi itu, Inggris masuk dan meminta maaf tentang Kerajaan dan Siprus, Amerika minta maaf tentang Vietnam dan Hiroshima. Semua minta maaf.”

Kisahnya berkutat pada gadis Yunani yang sedang mekar, anak seorang dokter yang tinggal di pulau eksotis Cephallonia, di tahun 1930-an hingga 1960-an. Yunani takluk oleh Italia dan Jerman yang bersekutu, mereka dalam pendudukan. Kyria Pelagia tinggal bertiga sama adiknya Lemoni yang imut, dan ayah bijaksana Dokter Iannis. Ibu mereka sudah meninggal sejak kecil, jadi mereka dibesarkan sendiri. Memelihara kambing menggemaskan yang suka makan apa saja yang ada di dekatnya, termasuk kertas berisi tulisan-tulisan sang dokter. Tinggal pula kucing, atau pine marten, seperti musang yang dinamai Psipina. Mereka menemukannya terjepit pagar dan sekarat, diobati, hingga jinak.

Pelagia memiliki tunangan nelayan Madras, mereka tampak bahagia. Namun Madras yang buta huruf serta tak memiliki kebanggaan di mata sang dokter lalu tergerak hatinya. Saat perang pecah, ia memutuskan turun ke arena. “Aku mencintai Pelagia, tapi aku tahu bahwa aku tidak akan pernah menjadi laki-laki sejati sampai aku melakukan sesuatu yang penting, sesuatu yang hebat, sesuatu yang bisa kubanggakan, sesuatu yang berharga. Itulah sebabnya aku berharap perang akan pecah.”

Sayangnya, surat-surat rindu Pelagia tak pernah dibalas, padahal isinya romantis dan begitu indah. Nantinya baru diketahui, saat Madras pulang dengan tubuh ringsek dan babak belur, bahwa surat-surat itu diterima baik, tapi tak dibaca, atau tak mau minta tolong rekan tentara lainnya untuk membacakan, lantas membalasnya. Ia malah meminta sang kekasih membacainya langsung, dalam setumpuk kertas, Pelagia justru tersiksa, menelusur kalimat-kalimat ciptaannya, pedih dan sakit hati.

Lalu muncullah pendudukan Italia, pulau itu makin riuh saat perwakilan Jerman juga hadir, dalam diri Gunter Weber, muncul pula dari Inggris Letnan ‘Bunny’ Warren dari King’s Dragoon Guards yang bicaranya aneh, tak mudah dimengerti, tapi bersikeras belajar bahasa Yunani. Saat tiba di sana, dikira malaikat. Pendudukan militer ini, menautkan banyak hal. Sejarah pencatat, masa awal 40-an, Nazi sedang on fire, tampak digdaya. Dan pada akhirnya melakukan pembantaian sama sekutu yang kalah (terlebih dulu), Italia. Semua tentara dibunuh, Weber yang merupakan sahabat baik, teman nyanyi, ngopi, ngobrol banyak hal, tak tega membunuh teman-temannya, tapi tugas ini tetap harus dilakukan, ini perintah langsung Fuhrer. Bagian saat pasukan dijejer, dan diberondong peluru sungguh memilukan.

Kita kembali ke masa kedatangan Italia, sang Kapten Antonio Corelli yang kocak dan romantis jatuh hati sama Pelagia. Corelli adalah pemusik, memainkan mandolin – dinamai Antonia, dengan sempurna. Bersama pasukannya sering mengadakan konser di pinggir pantai, di jalan-jalan, di tenda, di mana saja untuk menghabiskan waktu luang. Terasa aneh, pemusik handal menjadi tentara.

Pelagia yang sudah tunangan, lambat laun menerimanya. Corelli tidur di rumahnya, di kamarnya, sedang Pelagia malah tidur di dapur dengan selimut dan alas sekadarnya. Tiap pagi, timnya, Carlo akan datang menjemput serta memasok berita. Iannis dan Pelagia, karena sebagai yang terjajah tak bisa banyak berontak, mengikuti sang tamu. Dan begitulah, terjalin banyak romansa.

Cinta mereka bersemi, ayahnya menasihati bahwa Corelli dari pihak musuh, rasanya hubungan ini akan sulit diwujudkan. Mereka juga paham hal itu, dan semakin dekat dan panas, keadaan sekitar juga menegangkan.

Yunani dibantu Inggris, Italia meminta bantuan Jerman. Lalu malah Nazi lepas control dan merusak banyak sekali keadaan. Dengan pijakan hubungan yang rapuh, bagaimana nasib cinta mereka?

Aristophanes menjelaskan bahwa ada tiga jenis kelamin; pria dan wanita yang saling mencintai, pria yang mencintai sesama pria, dan perempuan yang mencintai perempuan. Cinta yang mengilhami, keberanian seperti itulah yang seperti dikatakan Homer, ditiupkan dewa ke dalam jiwa para pahlawan, Cinta yang secara alamiah tertanam dalam sang kekasih. Cinta akan membuat laki-laki berani mati demi sang kekasih – hanya Cinta.

Socrates mengatakan bahwa jenius dalam tragedi sama dengan yang ada dalam koemdi, tetapi komentar itu tak dijelaskan lebih lanjut dalam teks tersebut, sebab saat mengatakannya ia berbicara pada orang tidur dan orang mabuk.

Sudut pandang cerita bergantian, karena wajar saja buku setebal ini untuk pengembangan cerita perlu banyak galian. Saya belum cerita saat sudut ke Carlo Guercio, prajurit Italia penyuka sesama jenis yang ditugaskan di Albania, ia jatuh hati sama teman seperjuangan Francesco yang tewas mengenaskan, dengan Mario Si Tikus yang selalu dibawa dalam kantognnya. Carlo sendiri akhirnya menembak kakinya sendiri agar dipulangkan. Lalu ia mendapat tugas lagi, ke Yunani, dan menjadi timnya Kapten Corelli.

Saat sudut berganti ke Madras, kita turut serta menjadi orang awam yang umum, bagaimana transformasi dia yang dari pemuda lugu yang kesehariannya mencari ikan, lalu keadaan memaksanya menjadi prajurit dan menemukan paham yang lanta dianutnya, bagaimana ia yang buta huruf banyak sekali memertanyakan hidup, hingga akhirnya menemukan takdir pahit di penghujunga.

Bicara tentang Jerman, tentu kita mengarah masa kelam Perang itu. Mereka yang menobatkan diri sebagai ras-ras unggul, yang mabuk dengan hiperbola Darwin dan nasionalis, terbius masalah genetika dan teperdaya mitos, menghidupkan mesin-mesin genodide, pemusnahan massal suatu bangsa.

Karena ini cerita fiksi yang dibalut sejarah, dan sejarah sebenarnya merupakan propaganda pihak yang menang. Maka, sisian cerita itu coba dibuat seakurat mungkin. Begitulah, bahwa kebenaran sejati adalah sejarah seharusnya hanya berisi anekdot-anekdot rakyat kecil yang terperangkap di dalamnya.

Sayang, endingnya agak jatuh. Setelah berwahana menakjubkan selama hampir 500 halaman, lembar-lembar eksekusi akhir malah mengungkap fakta yang menyenangkan. Padahal sudah pas, akhir pahit itu disampaikan. Ingat, hidup ini berat. Hidup ini sering kali keparat, maka memberi akhir bahagia untuk buku perang, sungguh keterlaluan.

Ini buku pertama tentang Yunani yang kubaca, sangat menyenangkan mengunjungi Negara eksotik ini. Semoga suatu hari punya kesempatan main ke sana, menikmati debur ombak, menikmati semiir angin pulau ini.

Acara #30HariMenulis #RevuewBuku akhirnya selesai juga, nanti saya rekap dan pos lagi karena momen tahun ini isntimewa, sebuah tribute untuk para penjual buku.

Mandolin Kapten Corelli | by Louis de Bernieres | Copyright 1994 | Diterjemahkan dari Captain Corelli’s Mandolin | Aih bahasa Hidayat Saleh, Diniarty Pandia, Tanti Lesmana, Gita Yuliani K. | GM 402 01.626 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | November 2001 | 512 hlm; 23 cm | ISBN 979-686-626-9 | Skor: 5/5

Untuk Ibu dan Ayahku,

Karawang, 300622 – Eminem – Slim Shady

Thx to Latifah, Yogyakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #29 #Juni2022

Maryam #29

“Kalau memang bapak dan ibu menganggap dia laki-laki yang baik, saya sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Apa yang membuat bapak dan ibu bahagia, pasti juga bisa membahagiakan saya.”

Secara garis besar kita tahu bahwa buku ini bercerita tentang golongan minoritas yang tertindas. Tugas penulis adalah tak mencerita detail berita itu, berikan gambaran lainnya, jadikan informasi bahwa Ahmadyah dianggap sesat dan para pemeluknya terusir, bukan sebagai center cerita, tapi sebagai data pendukung. Mencerita hal-hal umum tentunya kurang Ok, sebab pengetahuan umum bila dicerita ulang hanya menelusur garis lurus, tak ada belokan, tak banyak tikungan, tak ada kejutan. Maryam, sebagian memenuhi, tapi gambaran umum itu masih kental dan banyak ditemui.

Maryam terlahir dan besar sebagai Ahmadyah, terlahir di Lombok dalam didikan agama yang tegas, ia tak bisa memilih, seperti kita semua, bila kalian terlahir di keluarga Kristen, maka otomatis kalian akan dididik secara Kristen, begitupula agama lainnya, secara otomatis ajaran itu dipetakan ke anak-anak. Maryam hanya kebetulan lahir dalam keluarga Ahmadi. Tak satu alasan pun baginya untuk menjadi bagian dari Ahmadyah selain karena memang sejak lahir ia telah dijadikan Ahmadi oleh kedua orangtuanya. “Mereka yang dididik dan dibesarkan dengan cara yang sama akan menghargai dan mencintai dengan lebih baik dibanding orang-orang luar yang selalu merasa paling benar.”

Maryam, melanjutkan kuliah di Surabaya dan tinggal dalam komunitas yang sama, dan masa muda yang berapi-api itu ia jatuh hati sama Gamal, lelaki Ahmadyah yang secara umum tentu saja jua diterima keluarganya. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus dalam kesamaan iman? Sayangnya, tekanan bukan dari dalam, tapi dari sisi lain. Bukankah kata sesat sudah bukan hal baru lagi bagi Gamal? Ia hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah pengajian Ahmadi. Di luar itu, ia tak merasa berbeda dari yang lainnya.

Ya, takdir berkata lain, Gamal menemukan pilihan keyakinan lain, dan pergi, mematahkan hati Maryam dan tentu saja keluarga dan komunitasnya. Tapi bagaimana caranya mengatur hati agar jatuh cinta hanya pada orang dalam (lainnya)?

Kehidupan mengarahkan Maryam ke Jakarta. Bekerja di ibukota dengan asa baru. Kota yang lebih besar, dan pergaulan yang lebih bebas dan terbuka, hati Maryam tertambat pada Alam. Namun kali ini lain, Alam bukan Ahmadyah dan ini tentu mencipta riak hingga gelombang besar di kedua kelurag besar. Orangtua Maryam jelas menentang, orangtua Alam apalagi. Apanya yang berbeda kalau mereka seagama?

Semua tahu mereka berbeda. Tapi mereka juga sadar mereka punya satu nama agama. Dan kali ini Maryam-lah yang mengalah, ia seolah mengikuti jejak sang mantan yang keluar Ahmadyah dengan turut pada kekasihnya, ia masuk ke tubuh Alam, begitujuga kepercayaanya. Pengorbanan yang luar biasa, yang kini menjadikannya salah satu anggota komunitas mayoritas.

Sayang, apa yang ia cita tak berjalan mulus. Sakitnya, pedihnya, dukanya, takutnya, semua bisa ia rasakan saat ini. Tekanan dan kenyataan tak berbanding lurus sehingga ia menderita. Maryam kehilangan semua harapannya. Kehilangan orang yang dicintainya. Tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia hanya ingin menangis. Suaminya tak selalu memihaknya, suaminya anak mami yang tak bisa tegas memihak Maryam, tekanan itu makin berat dan memaksa Maryam melakukan tindakan berat. Suaminya tak bisa diandalkan sehingga perceraian terjadi. Lihat, cinta saja tak cukup. Kecocokan waktu pacaran tak sama dengan kecocokan saat menikah, ia menjanda dan ia di persimpang jalan, lagi.

Bayangkan, ia sudah terusir dari keluarga besarnya, ia kini terusir dari keluarga kecilnya, apakah ada kesempatan kedua bisa ia memutuskan kembali ke keluarga besarnya? Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Apakah itu akan menjamin ia tak terusir lagui, baik secara fisik maupun batin? Bayangkan, ia dari minoritas, masuk ke mayoritas, lalu dengan serpihan hati, memohon kembali masuk ke minoritas, dan ternyata tetap tertekan. Begitulah hidup, pahit. Akankah pengorbanannya membuah hasil manis di kesempatan kedua ini?

Agama, atau keyakinan. Merupakan basis kuat yang menyatukan orang-orang, selain cinta, politik, hingga fanatisme sejenis. Agama, karena itulah seharusnya menguatkan. Mereka yang tak punya ikatan darah tapi menjadi keluarga karena ikatan iman. Semuanya sudah seperti menempel dalam alam bawah sadar. Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan kewajiban, tapi juga kebutuhan. “Yang namanya keyakinan memang tak bisa dijelaskan. Ia akan datang sendiri tanpa harus punya alasan.”

Ada beberapa pertanyaan ironis dilontarkan. Seperti, “Apa ada laki-laki baik-baik yang mau menikahi janda?” Seolah kesalahan di masa lalu itu sulit dihapuskan, menjadi bayang-bayang perempuan. Atau tentang rumah yang jadi pijakan keluarga itu, terusir. “Rumah itu milik kakekku. Dibangun dengan uangnya sendiri. Tanahnya warisan dari buyut-buyutku. Lalu diwariskan ke bapakku…” atau tentang kepercayaan, “Namanya orang sudah percaya, semakin susah semakin yakin kalau benar.”

Dan betapa seramnya, saat menyadari bahwa kepahitan yang dirasa ternyata tak seberapa, setelah tahu ada kepahitan lain yang harus ditangani. “Maryam kini tahu, apa yang telah dilakukannya, segala yang yelah dialaminya, tak berarti apa-apa dibandingkan dengan segala hal yang telah dialami keluarganya. Pengusiran, penghinaan, pengucilan, segala macam penderitaan yang tak pernah Maryam bayangkan.” Dan seberapa kuat sih kita menahan gempuran eksternal? “Kita pertahankan yang tersisa ini. ini rumah kita!”

Jodoh, mati, rejeki itu sudah ada yang atur. Namun dalam keluarga, ada syarat wajib dalam memilih jodoh. “Yakni, ikhlas, setia, dan Ahmadi.” Lihat, mau mayoritas atau minoritas, mau Kristen, Buddha, atau kepercayaan lain. Seagama selalu jadi syarat, saat meminta restu orangtua. Dan itu wajar saja.

Ini adalah buku prosa ke 11 yang kubaca dan ulas dari Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa. Saya ikuti penuh sejak era Kura-kura Berjanggut hingga kini, dan mencoba membacai buku-buku pemenang lama. Tahun 2010, tersisa dua. Di era digital, rasanya mengejar baca buku-buku tampak realitis sekali, mudah didapat, asal ada waktu dan uang bujet saja. Beruntung, tahun 2018 saya menemukan buku ini di tumpukan buku yang ditaruh di Carefour Karawang. Kualitas Maryam ada di tengah-tengah, tak buruk tak juga istimewa. Tetap memenuhi harap, seperti Isinga misalnya. Buku kedua Okky yang saya baca setelah buku non-fiksinya. Hanya masalah waktu mengejari buku lainnya.

“Keteraturan dalam kesemrawutan. Ketenangan dalam kegelisahan. Kepasrahan dalam kemarahan. Kebahagiaan dalam kesedihan. Itulah yang sedang mereka bangun sekarang. Dalam hati masing-masing, juga dalam keseharian yang dijalani bersama-sama.”

Maryam | by Okky Madasari | GM 401 01 12 0009 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Ilustrasi sampul Restu Ratnaningtyas | Desain sampul Marcel A.W. | Jakarta, 2012 | Cetakan ketiga: April 2016 | ISBN 978-979-22-8009-8 | 280 hlm; 20 cm | Skor: 4/5

Untuk mereka yang terusir karena iman

Karawang, 290622 – Tasya – Apakah Arti Puasa?

Thx to Carefour Karawang

#30HariMenulis #ReviewBuku #29 #Juni2022

Bertanam Cabai dalam Pot #28

“Hasil penelitian IPB tahun 1997 membuktikan, harga cabai lebih banyak dipengaruhi oleh suplai. Bila suplai kurang maka harga langsung naik. Bahkan dengan kecanggihan komunikasi saat ini, harga cabai di pasar induk bisa berubah dalam hitungan menit, sesuai ketersediaan barang di sentra produksi.”

Mungkin kutipan yang saya pilih kurang tepat, ini tentang tanam mandiri cabai di pot rumah, bukan di lahan, tapi mengapa malah hasil penelitian yang menarik? Di akhir buku ada penjelasan keuntungan finansial, dan bisa dimanfaatkan untuk memasak di rumah. Walaupun sekadar nilai tambah di dapur, tapi hasil panen ini memang beberapa kali benar.

Buku tipis yang bermanfaat. Kubaca sekali duduk siang tadi pas istirahat kerja, langsung kelar. Sejatinya sudah beberapa kali memiliki tanaman cabai di pot depan rumah, sudah berulang kali panen pula. Secara praktek sudah, niat membeli buku adalah tahu teorinya. Dan terpenuhi, benar-benar bermanfaat. Simple, sederhana, ngena. Contoh, pemilihan bibit, dulu saya selalu mengambil biji cabai yang busuk, tidak dimasak, sehingga ketimbang dibuang, bijinya saya tabor di pot. Tumbuh, dan berbuah. Di sini dijelaskan, bibit biji cabai harus yang prima, yang bagus. Benar-benar cabai yang fresh, itupun tak sembarangan. Dipilah dengan disebar di air, yang melayang apalagi terapung, itu bibit buruk, pilih bibit yang tenggelam. Lalu pilih yang segar, tak keriput atau ngeruntel. Sederhana ya, tapi penting.

Itu baru bahas benih, benih bisa dari berbagai jenis cabai. Dari cabai besar dan kecil, cabai warna merah, kuning, hijau, cabai rawit yang pedas dahsyat, hingga cabai tak pedas jenis paprika warna hijau. Gegaya cabai besar, tapi tak ganas. Jenis ini seringnya dipakai untuk lalapan bersama daging.

Bahasan berikutnya bahas tanah. Tanah yang ideal itu yang bagaimana, pembagian dengan pupuk, air, dan tanah ada hitungannya. Komposisinya akan lebih ok bila pas. Ada pula pemilihan pot. Dari semen, tanah liat, plastis, hingga keramik. Yang utama, dan malah akan tampak eksotik jelas tabung bekas produk. Botol cat, drum bekas, gallon bekas, dll malah ok kan. Penggunaan barang bekas. Berikutnya pemilihan pupuk juga dijelaskan. Nah yang ini tak paham saya, selama ini ngasal saja, Cuma disiram dan dipetik bila ada daun kering atau rusak. Di sini disajikan berbagai jenis pupuk, beserta nominal harganya (tahun 1990-an).

Poin penting pemeliharaan, tak sembarangany juga asal petik daun menguning atau yang keriput, ada ilmunya juga. Pembagian jarak antar pohon juga kudu dijaga, bila hama menyerang, perlu disemprot, hingga bagaimana cara panen yang benar. Panen saat cabai 80-90% berwarna merah, maka jangan langsung dipetik semua. Dipilah, mana yang sudah ok mana yang masih perlu Tuhan mewarnainya. Berbagai jenis cabai juga beda masa hidupnya. Yang direkomendasikan untuk pot rumahan adalah pohon cabai rawit yang bisa bertahan hingga tiga tahun!

Sekarang tinggal prakteknya, bila sesuai hitungan, bila saya mulai saat ini menanam cabai maka bisa dipanen hingga 4-5 bulan lagi, berrati sekitar Oktober – November, mari kita coba. Kebetulan kemarin pas libur saya lempar cabai busuk ke pot, ngasal. Besok saya pilih yang sesuai buku, dan coba kita sandingkan. Tak perlu yang berlebihan, paling pakai pot bunga yang ada di depan, ditambah kaleng-kaleng bekas yang ada, hanya tata cara tanamnya sesuai buku ini.

Mau cerita, dulu setiap masa panen tetangga sering kali meminta ambil cabai di pot saya. Sejatinya kalau sekali dua kali sih ok, tapi ternyata berulang. Bahkan sudah berani ambil dulu, minta izinnya pas saya pulang kerja. Hufh…, itu padahal tanam cabai iseng saja. Makanya bagaimana kalau sudah dapat ilmunya dan benar-benar pohon cabai nantinya lebih dominan ketimbang bunga? Ya, tetap saya kasih sih kalau minta. Iseng berpahala saja.

Akhirnya, buku-buku non fiksi memang enaknya dibuat dengan fun dan sederhana gini. Apa karena temanya yang sederhana sehingga malah nyaman, atau memang pembawaannya yang pas. Ingat ini buku dibuat keroyokan, sebuah majalah terkemuka tentang tanaman, cetakan yang kubaca adalah 13, dan sudah direvisi. Makanya nyaman, dan ternyata laku, laris. Apakah di masa digital seperti ini buku sejenis ini masih laku? Yang jelas masih dibutuhkan. Ingat setiap tahun IPB meloloskan para sanjana pertanian yang membutuhkan bahan bacaan berkualitas tentang tanaman. Makanya, pembawaan yang fun dan enak perlu. Yang jadi pertanyaan, bagaimana kalau tema serius ditulis dengan fun dan nyaman juga? Perlu dicoba tuh…

Bertanam Cabai dalam Pot | Penyusun Redaksi Trubus | Foto sampul Dok. Trubus | Foto ilustrasi Dok. Trubus, Titut Wibisono, Angga Wibowo | Ilustrator Fahrul Lutfie Haikal | Penerbit Swadaya | Unggaran 1997 | Cetakan ke XIII, Jakarta 2006 (edisi revisi) | A CCXCIX/737/2000 | Bibliografi: hlm. 51 | ISBN 979-489-546-6 | Skor: 3.5/5

Karawang, 280622 – Image Dragon – Believer

Thx to Justin Secondbook, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #28 #Juni2022

Aliansi Monyet Putih #27

“Seperti ada belut di mulutku.”

Bagus. Cerpen yang bagus itu, memberi efek kejut di akhir. Dengan keterbatasan kata-kata, prosedur cerita berkaidah benar kudu dicipta. Karena saya sudah membaca buku Franz Kafka, Herman Hesse hingga Jack Kerouac, apa yang dicerita langsung klik. Dan sebagian cerpen di sini memenuhi harap, saya bilang sebagian sebab hanya beberapa yang laik disandingkan dengan alur cerpen Alice Munro. Cerpen-cerpen Alice sudah saya jadikan acuan cerpen berkualitas. Cerita Tuan yang Paling Mulia misalkan, kita baru tahu motif Pak Joachim dengan anjingnya pada halaman terakhir, setelah diajak berputar panjang kali lebar, ternyata itu to maksudnya. Cerita utama, Aliansi Monyet Putih juga menyimpan kejutnya, bagaimana kekecewaan dan harapan disandingkan, lalu mengapa seorang WNI yang migrasi itu berada di sana, bagus.

Sayangnya sebagian memang biasa saja, Pada Suatu Hari misalnya, itu sekadar pesan antar dengan nilai lebih. Cerita biasa, hanya penyampaiannya yang bagus. Atau yang lebih biasa lagi Peniup Harmonika, itu teman curhat dengan gaya. Menyebut nama-nama keren dengan fasih, tak serta merta kita turut menjadi keren. Dan selanjutnya, dan sebagainya..

#1. Bulan Lemon

Dua sahabat bertemu kembali untuk berpisah. Judi jadi acuan untuk merekatkan pesahabatan. Setelah tiga kali ujian ilmu mesin gagal, mereka memutuskan udar rasa.

“Ternyata kamu pejudi sampai ke darah, ya.”

#2. Tuan yang Paling Mulia

Cerpen ini saya bacakan untuk Inspirasi Pagi di kantor pada #JumatBerkah 17 Juni 2022 kemarin. Isinya yang mencerahkan, betapa syukur kita tinggal di Indonesia yang dilmpahi mentari sepanjang tahun, uang sumbangan yang untuk warga, bukan ke binatang peliharaan, hingga betapa baiknya warga kita kepada pengemis, ‘keramahtamahan dalam menyumbang’ menjadikan pengemis subur di Negara kita.

Joachim sebatang kara, mengandalkan uang dinas dari pemerintah. Bersama anjingnya Tuan, mereka berencana menghabiskan musim panas istimewa di tanggal 31 Juli  jam 12 sampai 14 siang. Tak punya duit, mengemis tak berhasil, bagaimana caranya, oh tenang, seorang kere tahu caranya.

“Kemarin-kemarin aku tidak terlalu beruntung. Dan hari ini, aku hanya akan berjalan-jalan dengan Tuan, sebab keberuntungan kami sudah di depan mata.”

#3. Peniup Harmonika

Kakak kelas yang berkelas, tapi memilih jalan yang keras. Peniup harmonika itu sejatinya penulis, juga melukis, penyanyi, pemasak, dan kemampuan berbicara mengulang-alik fakta sebagai bakat natural. Dengan referensi sastra dan musik/film berkualitas, dia memeluk hangat persahabatan.

“Seperti apa musik paling baik?” / “Seperti remix gilamu terhadap Man with the Harmonica-nya Ennio Morricone?”

#4. Jalan Menuju Rumah

Sandang, pangan, papan. Cerpen ini menyoroti bagian akhir, di manapun berada, papan sangat penting, ini para kere yang memimpikan tempat tinggal. Apalagi warga imigran, dengan latar yang berbeda, dengan pendapatan tak tetap, sekalipun demi cinta yang membuncah, rasanya pencarian rumah adalah takdir penting layaknya: rejeki, jodoh, dan mati.

“Hanya ada satu rumus untuk mendapatkan rumah, rumusnya adalah tanpa rumus.”

#5. Kunci Kecilnya Sudah Hilang

Vulgar tapi tersirat. Tetangga kontrakan yang saling bantu dan sapa, lantas jatuh cinta, dan menyerahkan hal-hal yang berharga: waktu, tenaga, dan pelukan bermakna. Kekasih? Rasanya butuh alibi kuat untuk dideklamasikan. Druv dan Sarah, hanyalah satu kepingan asmara masa muda yang melintasi zaman.

“Aku sekarang mengerti, mengapa kamu menjadi dokter.” / “Mengapa?” / “Karena kau bersemangat dengan orang sakit.”

#6. Aliansi Monyet Putih

Dengan pembuka balap mobil di jalan tol, Volker dan Marquiz kini dalam perjalanan ke Perpustakaan Wojewodzka i Miejska Biblioteka di kota Danzig. Kita diajak mengarungi masa lalubya, WNI yang bermigrasi ke Jerman. Alasan mengapa ia ke sana menjadi bumbu penutup, dan perkumpulan ini memang perlu dikaji ulang. Marquiz, bernama asli Sumartono Hidayat, dan itulah mengapa ia terasa asing di sekumpulan warga kulit putih.

“Saya orang Jawa.” / “Ah, menarik. Apakah cerita itu benar?”

#7. Lelaki yang Menabur Rempah

Ini tentang Karl Heidrich yang jatuh hati sama segala yang oriental. Orang cerdas yang berprestasi, tapi dipaksa menyingkir dari jawara karena keadaan. Memang, di manapun berada diskriminasi masih ada, sekalipun terselubung di negara maju. Orang keturunan Arab misalnya, menang lomba kaligrafi, pasti ada saja yang menuding sebab ia sudah dididik sedari kecil untuk itu, dan menulis kaligrafi laiknya makan sehari-hari. Padahal tak bisa pukul rata, kita harus lebih melihat lebih dekat orang sekitar.

“Sekarang namanya sumbangan, dulu upeti, dulunya lagi mungkin rampasan.”

#8. Pada Suatu Hari, Ombak, dan Camar

Isoman dengan penjelasan tak terbuka. Pos ninja dan penyuplaian kebutuhan dasar orang yang positif Covid-19. Ingat, kebutuhan dasar. Makan, obat, dan sejenisnya. Tentunya yang legal. Bagaimana kalau Heinrich memesan grass. Ada bonus di sana.

“Kata bersetubuh, menjadi satu tubuh dalam bahasa Indonesia, adalah terjemahan paling menarik dari sekian banyak kata di dunia untuk hubungan badan dan menurutku itu konsep yang tepat tinimbang misalnya bercinta.”

#9. Doktor Kafkaesque

Kamila dan keseharian kerjanya. Ia mengingat pada suatu ketika sakit dan dirawat, ingatan akan cerita pendek Kafka, bagaimana Gregor Samsa menjadi kecoak saat bangun tidur. Ingatan samar-samar dan tautan yang berputar.

“Saat itu aku terdiam. Seperti ada air mancur di otakku, tiba-tiba aku teringat juga satu-satunya novel Kafka yang kubaca selesai, Amerika, yang justru tidak selesai ditulis Kafka…”

#10. Bayi Cokelat

Ini tentang gosip kehidupan pekerja dengan berbagai macam bahasan. Dari latar kehidupan rekan kerja kita hingga gosip pasangan. Sama, di manapun. Saat si A tidak ada, kita membicarakannya. Saat si B tidak ada, kita membicarakannya dengan si A di antaranya. Saat si C tidak ada kita membicarakannya dengan A, dan B juga. Begitu juga, saat saya tak ada, A sampai C juga pasti membicarakanku. Kutat lingkar omong-omong.

“Tetapi Natalie pendiam itu tampak selalu mengamati, lho. Matanya seperti rubah yang menelisik ayam-ayam.”

Karena ini diterbitkan di Penerbit Major, editingnya bagus. Enak dibaca, dan hanya ditemukan typo tak lebih dari sepuluh. Salah duanya di halaman 113: ‘ketika ketika’ dan ‘memceramahi’ itu terjadi dalam satu baris. Memang penting sekali peran editor, kerasa banget. Misalnya, beberapa hari yang lalu saya baca buku penerbit antah surantah, editingnya carut marut. Bukan sekadar typo, tapi ditemui banyak sekali kosakata tak beraturan. Seolah cetak biru dari penulis, dicek cepat atau malah tak sepenuhnya dicek. Dan jangan lupakan peran proof reader, tak semua penerbit memilikinya. Gramedia dan grup pastinya ada, pengalaman penting, tapi pijakan dasar bahasa juga sangat diperlukan.

Terakhir, buku ini rerata dicerita di Jerman. Dan wajar sahaja, Mbak Akmal memang menempuh pendidikan di sana. Ia sudah familiar sama situasi sekitar. Yang idenya berasal ketika pengarang berada di tempat yang diceritakan. Seorang pengarang memilih cerita, apa yang dikuasai. Apa yang dimengerti. Apa yang dialami. Demikian juga dalam pemilihan lokasi. Pilihan tempat yang kalian kenal betul. Lokasi, yang kamu perlukan adalah kamu mengenalnya. Walaupun orang Indonesia, setting jauh dari rumah seperti ini sah dan menarik, selama mengalami sendiri, tak ngawang-awang atau sekadar fantasi. Jelas Penulis melakukan beberapa kegiatan dalam goresannya, dengan modifikasi tentunya. Memberikan saling pengertian antar karakter juga terasa, turut serta pula cinta yang nyaman dan rasa simpati. Makanya, cerita yang baik adalah yang berhasil menautkan emosi pembaca. Dan itu didapat dengan mencerita sekitar, bukan di masa depan yang masih diraba, bukan tempat antah surantah, yang hanya dengar dari orang lain, atau dapat dari omongan orang lain. Akan terasa aneh malah kalau Ramayda Akmal bercerita betapa indahnya pulau Kreta misalnya, padahal belum ke sana. Oh, saya sudah baca bukunya Haruki Murakami lho… oh tetap beda bos. Kalau untuk selingan kisah bisa, tapi untuk setting utama tak bisa.

Ini buku ketiga Ramayda Akmal yang kubaca setelah Tango dan Jatisaba, bagus semua. Namun sayangnya semakin ke sini skornya menurun. Dari 5, 4.5, kini 4. Mungkin butuh ledakan sekali lagi untuk kembali ke puncak, bukan malah mengikuti curva. Semoga…

Aliansi Monyet Putih | by Ramayda Akmal | GM 622202008 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Editor Teguh Afandi | Desain cover Orkha Creative | Desai nisi Ayu Lestari | Cetakan pertama, Mei 2022 | ISBN 978-602-06-6063-9 | ISBN DIGITAL 978-602-06-6064-6 | Skor: 4/5

Karawang, 270622 – Barbara Lica – Coffee Shop

Thx to Dojo Buku, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #27 #Juni2022

Mengarang Novel itu Gampang #26

“Siapa yang melarang? Kau menjadi pengarang, berarti kau membuat sendiri, mencipta sendiri.”

Luar biasa. Ini seolah menampar wajah para penulis yang masih gamang. Dibuat dengan model tanya jawab, saat-saat membacanya mencipta kalimat ‘iya ya, iya ya… terasa mudah, terasa gampang’. Sesuatu yang malah sangat amat menohok keragu-raguan. So far, buku motivasi menulis terbaik yang pernah kubaca. Ga kebanyakan teori, ga kebanyakan motode, cas cis cus, gegas tulis. Rasanya, akan malu bila kita yang manggut-manggut tak mempraktekkan gayanya. Ini buku kedua beliau yang kubaca, dan memang legend almarhum abah Arswendo ini. Salut.

Ini adalah sekuel dari Mengarang itu Gampang. Saya belum baca, akan kukejar cari. Kali ini fokus ke novel, di mana pengarang butuh perjuangan ekstra. Ini mengarang novel yang lebih membutuhkan napas yang panjang. Tak seperti cerpen yang spint, novel adalah bentuk lari marathon.

Sejatinya, selalu yang paling penting adalah praktek. Tak ada rumus yang paling pas bila ingin jadi penulis selain tulis! Sekarang! Keluhan utama adalah waktu, dan selalu kutemui jawabnya, waktu yang diberikan kepada semua orang sama. Mau sesibuk apapun, mau senggangur apapun, mau sejungkir balik bagaimanapun, waktu sehari adalah 24 jam.

Nasihat umum yang sekali lagi dipertegas ini. Mau kujelaskan cara mengelola waktu, rasanya kalian sudah paham teori manajemen waktu, jadi tak perlu deh. Saya ketik dan bahas bagian-bagian yang rasanya layak kutulis ulang, kubagikan kepada pembaca blog ini.

Pertama, teori menulis novel yang begitu penting adalah eksplotasi. Novel yang lebih tebal, bagaimana cara menjelaskan cerita, yaitu caranya dengan eksploitasi. Tokoh itu dikembangkan. Direntangkan, dipendekkan. “Pada saat mengetik, kamu sudah mulai dengan apa yang ‘telah selesai’ dalam kepalamu.” Ulasan, pengembangan, warna, semacam ini terjadi – diperlihatkan kepada pembaca – dari peristiwa. Ini yang memperkuat dan menjadi ikatan cerita. Titik tolak bisa dari apa saja. Dari mana saja. Yang penting eksploitasinya.

Kedua, pada dasarnya sebuah novel, adalah perkembangan karakter dari pelaku-pelakunya, perubahan, pergolakan, dan dalam rangkaian itu sebenarnya cerita sebuah novel. Itulah yang kita kenal dengan istilah, “jalannya cerita” atau “isi cerita.” Di novel kita banyak ditemui cara bercerita yang keluar konteks. Bukan sekadar bunga-bunga kata, tetapi merupakan rangkaian yang menyatu dalam kerangka besar. Ibaratnya titik-titik kecil dari sebuah gambar mosaik yang besar. Ketika kita menceritakan salah seorang tokoh, ceritanya berjalan. Rangkaian peristiwa terjalin, acuan dramatis berlangsung. Yang menggariskan dasar cerita adalah waktu.

Ketiga, latihan pengembangan kata. Praktek men-sinonim-kan kata terasa mudah, hanya sepuluh kata sepadan. Tidak mungkin tidak kautemukan. Pokoknya digali terus. Kata melihat contohnya, dengan gercep kita dapati lebih dari sepuluh sinonim. Memandang, menatap, melotot, menerawang, memfokuskan, melirik, mengedip, dst. Nah, variasi kata ini perlu agar pilihan diksinya lebih enak.

Keempat, dalam mengarang, pada dasarnya kita ini sedang mengadakan satu pembicaraan. Antara pembaca dengan pengarang. Dalam hal ini pengarang bisa berdialog langsung dengan pembaca, bisa juga melalui tokoh-tokohnya. Bisa dua-duanya sekaligus. Disesuaikan dengan keseluruhan. Akan tetapi realita bukan hanya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berdialog. Realitas itu juga merupakan realitas keseharian.

Kelima, bagaimana penggunaan dialek dalam narasi? Sebaiknya jangan, kecuali kalau pengarang memakai bentuk aku, dan dalam hal ini bercerita secara langsung kepada pembacanya, yang seusia dan sederajat. Dalam mengarang rangkaian penggambaran semua ini merupakan bagian yang direncanakan, bagian yang secara sadar diolah. Makanya, bahasa daerah/asing baiknya tak dicantumkan dalam narasi tak langsung. Bahasa Indonesia itu kaya, sebisa mungkin dipakai, terlalu cetak miring itu bikin tak nyaman pembaca. Memang paling bagus menjalani sendiri, dengan begitu perasaan itu otentik. Kamu sendiri bisa langsung merasakan. Dan menemukan ide-ide penulisan di situ. Terasa kekayaan bahasa dan warna untuk penggambarannya.

Keenam, lokasi cerita ya di sekitar kalian tinggal. Itu lebih pas dan mengena, bukan tempat jauh sekadar hasil imajinasi. Kamu akan lebih mengenal Bekasi ketimbang Belfast, kamu lebih tahu tugu Monas ketimbang Menara Eifiel, jadi pilih setting di mana kalian mengakrabinya.

Ketujuh. Karena unsur seks banyak sekali ragam dan bentuknya yang mudah sekali menyesatkan seorang pengarang. Ya, unsur seks itu makrum ada di banyak cerita. Bedanya, cara pengembangannya ekplisit atau implisit. Tak kayak stensilan yang ujug-ujug bercinta, atau menjelaskan detail adegan. Semakin indah dalam absurditas, adegan seks makin unik.

Kedelapan, unsur humor juga sangat penting. Semua novel tiba-tiba saja menjadi serius, gawat, dan berat persoalannya. Padahal kalau ada unsur humor, bisa lebih segar. Menciptakan greget hidup adalah kata lain dari memanjakan kemungkinan, menelurkan hipotesa. Humor tak melulu harus sampai ngakak, adegan-adegan standar sekitar kita justru yang paling ideal sebab akan melibatkan emosi pembaca.

Terkahir, percaya proses. Kalau sudah niat, kalau sudah ketik-ketik, kalau sudah mulai, harus diselesaikan. Pastikan ada garis finish di ujung sana. Sebab untuk dijadikan buku memang harus ada titiknya, terserah mau setebal apa, mau bergenre apa, mau ke penerbit mana, yang penting adalah jadi buku. Semua itu berproses.

Rendra tidak begitu saja muncul dengan Blues untuk Bonnie, Affandi tidak tiba-tiba saja bisa memlototkan cat langsung dari tube ke kancas,. Sardono tidak tiba-tiba saja menemukan Samgita atau Cak Rina, Arifin C. Noer tidak begitu saja menaklukkan panggung dengan segala adegan yang paling muskil, Danarto tidak begitu saja menjadi Adam Ma’rifat, Putu Wijaya tidak lahir sudah edan. Para jawara ini bergulum dalam proses, menjadi satu, mengalir, hanyut, dan mata batin yang siap dan terbuka.

Jadi siap untuk menulis novel? Gaaas… Ukurannya adalah pendekatan kreatif.

Mengarang Novel itu Gampang | by Arswendo Atmowiloto | GM 84.123 | Penerbit PT Gramedia, 1984 | Secara bersambung pernah dimuat di majalah Hai tahun 1983 | Skor: 5/5

Karawang, 260622 – Etta James – At Last

Thx to Saut, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #26 #Juni2022

Tiga #25

“Apa yang diberikan dunia fotografi bagi hidup Anda?” / “Kepuasan, uang dan kebebasan.”

Novel remaja lagi, hufh… sekalipun kubaca saat remaja, buku sejenis ini takkan kusuka. Banyak hal tak relate, terlalu lebai, terlalu lo gue end, terlalu sinetron. Atau malah persis sinetron, plot, karakter, cara penyampaian. Sungguh tak enak dibaca. Cari duit segampang itu, cari pacar seindah itu, cari penyakit sesederhana itu. Sekalipun buku remaja, banyak hal tak pantas disebarkan ke remaja, persis sinetron kita kan. Sayangnya, hal-hal buruk sejenis ini laku, cerita tak mendidik yang meracuni generasi muda. Miris.

Kisahnya tentang tiga saudara dalam keluarga Wibowo. Semua problematik. Masalah orang kaya, tak akan kalian temui masalah cara bertahan hidup dengan makan sehari-hari, tak kalian dapati bagaimana cara bayar biaya pendidikan, atau rumah sakit. Enggak ada, adanya masalah hubungan antar manusia, itupun yang dimata jelata tampak tak perlu. Cinta yang putus, pilihan pasangan, kehidupan selebrita yang hura-hura, dst.

Rachel adalah designer ternama, rancangan bajunya dipakai banyak nama ternama. Dipakai para pesohor, maka muncul isu kedekatan dengan model muda yang sedang naik daun Alvino Vivaldi. Isu itu tak diiyakan tak pula ditolak, mungkin semacam mumpung tenang dan diberitakan, sehingga kesempatan diliput media.

Alexie Wibowo alias Lexie adalah sang adik yang punya masalah di masa lalu. Pergaulan bebas, nge-drug hingga hubungan seks telah menciptanya error. Kini ia bertobat. Dan dengan mudahnya ditawari menjadi artis. Manager Bugi, melihat peluang itu. Berwajah tamvan, tampak bersahaja. Dan buruknya cerita, dengan sekejap sukses menjadi model dan bintang film. Majalah remaja banyak pampang wajahnya di halaman fashion dan cober. Sosok unik pun sering penuhi profil majalah. Dipuja puji fans, dikasih review positif, singkatnya ternama dengan hebat dalam tempo sesingkat-singkatnya. Image Lexie simple, cool, dan misterius. Nicholas Saputra? Lewaaat… Padahal dalam dialog mula ditawari artis, ia menolak. Dan saat mengiyakan, seolah magnet rejeki, segalanya nempel seketika.

Paxie adalah saudara lainnya yang sebenarnya agak lurus, tapi menemukan pasangan bermasalah Sheria yang mengidap kanker. Manager marketing yang meluangkan banyak waktu untuk pacarnya, mengorbankan banyak hal demi cinta. Dalam sebuah adegan dramatis ala sinetron jam utama di tv lokal, pernikahan absurd disajikan berlembar-lembar. Kejadian hanya satu dari sejuta ini, sungguh aneh sekalipun niatnya drama air mata. Nyatanya tak mencipta sama sekali titik air di pipi. Lebai, atau mungkin cara penyampaiannya yang amburadul.

Terlalu banyak lemah yang bisa dikupas. Cerita buruk, cara bercerita buruk, pola cerita buruk. Dialog gaul yang tak nyaman, pilihan kata ala kadarnya, editingnya juga buruk. Sekali lihat, tanpa banyak telaah langsung ketemu typo, tak perlu jadi editor handal untuk untuk seketika menemukan, tak perlu menjadi pembaca profesional untuk mendapati bahwa kualitas tata bahasa jelek.

Menggampangkan kehidupan mungkin paling pas untuk merangkum hal-hal di sini. Perjalanan Jakarta ke Bandung misalnya, ada kalimat terlontar yang bikin kzl. “Bandung-Jakarta kurang dari 2 jam! Gue nggak ngerasa buang waktu untuk itu!” Hanya orang sombong yang ngomong gitu, atau orang yang sok berkorban, seolah tak mengapa jalan sejauh itu demi cinta.

Atau kalimat, “Agama, bahasa non satra, logika, hidup dan pergaulan.” Yang secara langsung bilang, bahasa sastra itu tak perlu. Yang umum dan tak nyeni sahaja. Apakah ini relate dengan cara penyampaian kisah secara keseluruhan? Ya, saya melihat pandangan penulis ini dituangkan dengan cara bercerita, apa adanya dan (maaf) ga bisa menarik emosi pembaca.

Pemilihan nama karakter lebih ajaib lagi, seolah ini di negeri antah, bukan Indonesia, padahal nyata-nyata kejadian di Jakarta, Bandung sekitarnya. Deka, Deva, Viandra, Lingga, Vino, Rachel, Paxie, Lexie, Sheira, Diar, Leonard adalah pilihan nama yang tak bijak. Terlihat alay kan? Walaupun ada nama-nama Wisnu, Budi, Gita, Gunawan, Rendra, Yogi, hingga Shinta tapi tak memberi peran signifikan. Bahkan salah satunya mati tragis sepintas lewat dalam sehalaman, seolah tak penting. Sedih sih.. hiks.

Kalimat ceplas-ceplos juga banyak didapati, seenaknya sendiri. Misal, “Percuma lo sempat hidup di Aussie! Pikiran lo kayak orang Kubu!” Sejatinya, mau tinggal di manapun, etiket pergaulan ada dan kurasa tergantung lingkungan. Ingat, pelajaran dasar etika moral, attitude yang utama. Apapun profesinya, dari manapun asalnya, lulusan dari manapun, singkatnya sehebat apapun, kalau tak punya attitude baik ya percuma. Jadi bukan Aussie-nya bukan pula Kubu-nya, tapi hatinya.

Terakhir, mungkin buku sejenis ini masih laku untuk kalangan alay. Buktinya sinetron kita sekalipun dicaci maki, tetap laku. Sekalipun dibahas sampai berbusa-busa efeknya buruk, tetap diproduksi. Begitu pula buku remaja dengan kelemahan seperti ini, tetap laku dan dibaca.

Saya tak membeli buku ini, ini adalah bonus beli buku fantasi dari teman facebook. Yang namanya bonus, ya terima saja. Dan benar saja, amburadul. Tetap kubaca, tetap kuulas, tapi sayangnya negatif. Saya tak mau mengulas kebohongan, apa adanya, bahwa buku remaja dengan plot buruk seperti jelas tak rekomendasi. Mending baca buku remaja ‘genre’ yang lebih baik. Maafkan daku…

Kalau kata temanku, Jemy K buku jenis seperti ini layak dilempar ke tempat sampah. Teman sekosku dulu ini berpendapat, buku buruk sejatinya akan memberi pengalaman buruk sama pembacanya, jadi saat kalian mendapati alangkah baiknya langsung dibuang. Saya kurang sependapat, bukan karena kualitasnya, sayang saja melempar karya ke bak sampah, siapa tahu pembaca lain punya sudut pandang lain, dan menemukan sesuatu yang baik, walaupun sulit.

Tiga | by regagalih.pHe | Editor Husein S | Desain Cover Ega Positive Thinking | Layout Hush | Cetakan I, 2010 | Penerbit LadangIde | 145 x 210 mm, 160 halaman | ISBN 978-602-97180-1-0 | Skor: 1.5/5

Dedicated to Imanuel Rafael Trisno Sakti Herwanto

Karawang, 250622 – Westlife – Beautiful in White

Thx to Agus Ora, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #25 #Juni2022

The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring #24

“Begitukah?” tawa Gildor. “Kaum Peri jarang memberikan nasihat begitu saja, karena nasihat adalah pemberian berbahaya, walau datangnya dari yang bijak dan untuk yang bijak pula, salah-salah segala sesuatunya bisa berakibat buruk…”

Akhirnya salah satu novel yang sangat ingin kubaca ini terkabul juga, di rak sudah komplit tiga seri. Sudah punya sejak September 2020, baru kubaca tahun lalu dan butuh waktu setengah tahun untuk menuntaskan. Memang tak muda, sebab fantasinya kompleks. Kalau dibanding Narnia yang lebih santai dan tipis, atau Harry Potter yang walau tebal tapi kocak, dan genrenya remaja. The Lord of the Rings sungguh berat. Banyak kosotaka baru, perlu settle dulu memulai pengembaraan. Dan jelas, ini salah satu novel fantasi terbaik yang pernah ada, atau malah yang terbaik?

Kisahnya tentu sudah tak asing. Sudah diadaptasi film dan menang banyak piala Oscar. Namun tak mengapa, saya ringkas sepintas, setiap orang punya versinya masing-masing untuk bertutur pasca melahap buku, ini tentang Frodo Baggins, menerima cincin hebat dari pamannya Bilbo Baggins, (agar nyaman, idealnya baca The Hobbit dulu). Hobbit dibagi dalam tiga jenis: Harfoor, Stoor, dan Fallohide. Cincin berkekuatan besar itu merupakan cincin utama, menjadikan yang memakainya bisa menghilang, digdaya. “Bilbo pergi untuk menemukan harta, lalu kembali tapi aku pergi untuk membuang harta, dan tidak kembali, sejauh yang kupahami.”

Dengan kekuatan besar, maka mengundang para musuh yang besar. Banyak orang menginginkannya. Gandalf sebagai sesepuh, penyihir yang menautkan perjalanan Bilbo, kini kembali tutun tangan, memandu penghancurannya. Mereka melaju pergi, cemas dan patah hati, di bawah tatapan kerumunan orang. Frodo memakai nama samaran, “Pergilan dengan nama Mr. Underhill.”

etelah memberi nasihat dan petunjuk, ia berangkat dulu memastikan keadaan. Frodo lalu ditemani tiga hobbit: Samwise Gamgee sahabat baiknya, Peregrin Took (dipanggil Pippin), dan Merry Brandybuck (nama sebenarnya Meriadoc, tapi jarang diingat orang). Memulai petualangan. Meninggalkan Shire, kampung mereka yang nyaman. “Aku tidak tahu alasan Musuh mengejarmu,” jawab Gildor, “tapi aku merasa memang itulah yang terjadi – meski ini terasa aneh bagiku. Aku ingin memperingatkanmu bahwa bahaya ada di depan maupun di belakangmu, dan di kedua sisi”

Inilah inti kisah The Lord, perjalanan menghancurkan cincin. Dibagi dalam tiga buku. Buku satu terdiri dua buku, perjalanan pertama menuju ke gunung api, bertemu Aragorn putra Arathorn alias Strider yang sangat banyak membantunya, yang ternyata adalah utusan Gandalf.

Lalu buku dua melakukan rapat akbar, ada Bilbo yang tua. Para makhluk penting menyampaikan usul dan keberatan. Bagian sangat keren, rapat itu mencapai empat puluh halaman, dan sangat amat seru. Salah satu bagian terbaik, ada bagian Gandalf yang mendatangi Sauron, malah dihianati, atau lebih pasnya tidak menemui titik sepakat, ada sejarah cincin, ada cerita hebat masa lalu tiap negeri. Mengapa Cincin ini harus dihancurkan, selama Cincin ini berada di dunia, dia akan selalu menjadi bahatya, bagi kaum bijak sekalipun. Cincin itu milik Sauron, dibuat sendiri olehnya, dan benar-benar jahat. “Para pembawa Cincin akan berjumlah Sembilan, dan Sembilan Pejalan ini akan membawa Sembilan Penunggang yang jahat. Bersamamu dan pelayanmu yang setia, Gandalf akan ikut; karena ini akan jadi tugas besarnya, dan mungkin akhir dari pekerjaannya.”

Yang jelas, keputusan bulat sudah diambil, Frodo sebagai pembaca cincin melanjutkan perjalanan, kali ini ditemani Sembilan orang: empat hobbits, Aragorn, Legolas, Gimli, Boromir, dan termasuk Gandalf. Perjalanan ini semakin jauh semakin berbahaya. “… tapi aku merasa sangat kecil dan terasing, dan yah… putus asa. Musuh sangat kuat dan mengerikan.”

Ada bagian saat dalam gua Moria, sangat amat keren, saat mereka dikejar bayang, pasukan Orc melaju, dan di jembatan yang sudah sangat dekat pintu keluar terjadi tragedy. “Lari, kalian bodoh!”

Perjalanan itu menyisa delapan, dan memasuki dunia Peri yang indah sekaligus mengerikan. Dan begitulah, kisah ditutup setelah mereka naik tiga perahu, sampai di titik puncak, terjadi perpecahan. Rasanya berat sekali beban ini, rasanya petualangan ini terlalu berbahaya untuk makhluk mungil seperti Hobbit. Tak sabar melanjutkan laju The Two Towers. Berjalan menuju bahaya – ke Mordor. Kita harus mengirim Cincin itu ke Api, berhasilkah?

Sedari pembuka kita diajak mengenal para karakter, kebiasaan, jenisnya, hingga peta lokasi Shire. Hobbit yang tak suka buang barang contohnya, sebab segala sesuatu yang dianggap tidak bermanfaat oleh para hobbit tapi tidak mau mereka buang, mereka sebut mathom. Lalu ketakutan laut, laut pun menjadi kata yang ditakuti di antara mereka, sebuah tanda kematian, dan mereka pun berpaling dari perbukitan di barat. Hobbit suka cerita, mereka senang mengisi buku-buku dengan ha-hal yang sudah mereka ketahui, yang dipaparkan apa adanya, tanpa kontradiksi. Juga kebiasaan merokok, menghirup asap dedunan obat yang dibakar, yang mereka sebut rumput pipa atau daun. “Hobbit tidak akan pernah tergila-gila pada musik, puisi, dan dongeng, seperti kaum Peri. Bagi mereka, ketiga hal itu sudah seperti makanan, atau bahkan lebih…”

Karena ini misi sulit, wajar kekhawatiran sering kali muncul. Tapi harapannya segera berubah menjadi kebingungan dan kekhawatiran. Frodo malah berulang kali minta teman-temannya pergi ketimbang membahayakan nyawa mereka. “Masalah datang susul-menyusul!” kata Frodo. Namun tidak, mereka mencoba sebisa mengkin menjaga snag pembawa cincin. Terumata sobat kentalnya, Sam. Ia siap mendampingi, apa pun resikonya. Akhirnya Frodo merasa hatinya terharu, dipenuhi kebahagiaan yang tidak dipahaminya. Ada benih keberanian tersembunyi.

Suka sekali sama tokoh Strider, terutama awal mula muncul. Sebagai penyelamat di penginapan, jagoan sejati. “Pelajaran tentang kewaspadaan sudah kalian pelajari dengan baik,” kata Strider dengan senyum muram. “Tapi kewaspadaan dan keraguan adalah dua hal yang berbeda…”

Penggambaran musuhnya juga sesuai, Penunggang Hitam contohnya, sudah mencipta ngeri dari kata-kata. “Karena para Penunggang Hitam itu adalah Hantu-Hantu Cincin, Sembilan Pelayan dari Penguasa Cincin.”

Banyak tempat eksotik, alhamdulliah visual filmnya memukau. Mewakili keindahan kata-kata yang disajikan. “Tampaknya ia takkan pernah lagi mendengar air terjun yang begitu indah, senantiasa membaurkan nada-nadanya yang tak terhitung ke dalam musik yang selalu berubah-ubah tak terhingga.”

Mulai dibaca 20.11.21 sore saat hujan dengan kopi dan jazz. Selesai baca 18.06.22, sore jelang malam Minggu yang biasa. Selama itu sejatinya bukan karena dibaca terus, lalu tersendat. Buku ini sering kuletakkan, tergoda baca buku lain. Lalu lupa tak lanjut, ingat saat memilah buku bacaan, lalu terlupa lagi setelah dapat beberapa bab. Memang buku yang kudu dipaksa baca, harus tuntas, bukan bacaan nyaman, fantasinya serius dan liar. Yang paling membantu, jelas adaptasinya sangat mirip, sampai ke kata-kata dan detailnya. Yang di jembatan itu terutama, kukira itu adalah modifikasi timnya Peter Jackson, ternyata malah plek. Bagaimana Gandalf jatuh dan berteriak, luar biasa. Salut. Jadi sudah menemukan novel fantasi terbaik? Mari dituntaskan dulu, perjalan masih sangat panjang…

Sembilan Pembawa Cincin | by J.R.R. Tolkien | Diterjemahkan dari The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring | Alih bahasa Gita Yuliani K. | GM 402 02.007 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Februari 2002 | Cetakan kedua, Maret 2002 | 512 hlm.; 23 cm | ISBN 979-686-693-5 | Skor: 5/5

Karawang, 240622 – Johnny Hartman – Lush Life

Thx to Dewi Sri, Bandung

30HariMenulis #ReviewBuku #24 #Juni2022

Aisyah Putri 2: Chat On-Line #23

“Kalau mau lebih aman lagi, ngajak ahwat lain pas buka internet atau chatting. Jadi kalau satu niatnya nyeleweng, yang lain bisa ngelurusin.” – Elisa

Merupakan lanjutan Aisyah Putri: Operasi Milenia, kali ini kita diajak berchatting ria. Semua tokoh seri pertama masuk lagi, tak banyak tambahan. Hanya permasalahan dan konfliksnya berbeda. Di tahun 2000, online tentunya belum semudah sekarang. Belum sebanyak dan senyaman saat ini. masih harus di warnet, tarif yang mahal, hingga tak sesederhana sekarang bila ingin lanjut ke chat berikutnya, atau hingga akhirnya kopi darat. Dalam singkatnya, zaman itu untuk chat butuh perjuangan lebih. Tak seperti sekarang, bisa rebahan dan murah.

Dalam chatting, Puput – panggilan Aisyah Putri dan kawan-kawan berkenalan dengan banyak orang asing. Salah satunya bahkan dari luar negeri, bule cewek yang menanyakan beberapa hal, salah satunya, sampai bikin shock sebab ramai-ramai, dikira in bed? Hehe… begitu pula, saat dapat kenalan bule luar negeri, salah satunya mengajak kopi darat di mal. Dan saat meet-up, ta-da… bule dari Hongkong.

Beberapa singkatan yang sudah kita kenal, disampaikan ulang. Di zaman itu mungkin tak seperti sekarang yang mudah menemukan jawab di google. Asl misalnya, sudah umum dengan menjawab identitas kita: age, sex, location. Atau singkatan-singkatan lain yang sudah dikenali: btw, brb, pls, thx, gtg, hingga imho.

Teman-teman Puput dengan segala keunikannya, Linda yang gendut dan hobi makan, Elisa mantan model yang hijrah berjilbab, Retno yang tomboy, Mimi yang non muslim, Pino yang berambut njegrak, Agung yang alim, hingga poni Windu yang norak. Semua sudah dipetakan sifat dan karakternya. Saling melengkapi dan mengisi, hari-hari penuh warna di sekolah. Masa paling indah, mau dalam bentuk apapun, masa itu tak berlebihan beban hidupnya.

Selain kisah chatting, kita juga disuguhi konfliks remaja lainnya. Pertama, tetangga baru mereka yang tinggal di jalan Kemuning 3, bule dari Amrik. Dengar bule, keempat kakak Puput langsung siap beraksi. Dengan segala upaya, untuk berkenalan. Apalagi, pas pindahan datang, mereka intip cewek-nya bening. Maka saat hari H mereka berbondong-bondong ke rumah Miss Naomi, kejutanlah yang didapat. Ini cerita masih nempel hingga sekarang, makanya pas baca ulang kemarin hanya menelusur, hanya saja bagian Encun Naomi kzl dengna nada sinisnya agak lupa.

Kedua, teman Puput yang sedih. Sehingga berhari-hari Elisa tak masuk sekolah, ditengok ramai-ramai untuk menghibur, sebagai anak broken home orangtua cerai. Dari dibawakan makanan, dibelikan buku motivasi, hingga keceriaan yang menular. Nasihat-nasihat umum, berhubung ini buku Islami dan remaja maka hal-hal itu standar saja.

Ketiga, ketika Om Piet datang rutin ke rumah dan memicu curiga anak-anak bahwa mama mereka mau menikah lagi. Maka duo Vincent dan Hamka lantas melakukan penyelidikan, mengikuti jejak calon ayah mereka. Dari kantor hingga rumah makan. Maka betapa kesalnya, saat di restoran itu menemukan sang om sedang makan siang bermesraan dengan gadis cantik, jelas itu sepasang kekasih. Walaupun seorang vice president perusahaan, walaupun tunggangannya BMW, jelas mereka tak rela mama menikah dengan lelaki tak beres.

Dan saat hal-hal penting ini mau disampaikan, mama Cuma ketawa sebab kedatangany rutin om Piet adalah untuk memberikan kabar baik yang mengakibatkan mereka sekeluarga berkereta api ke Yogya. Dan berhektar-hektar tanah siap disajikan. Berkenalan dengan cewek-cewek Yogya, jalan-jalan ke UGM, menikmati kuliner Malioboro, hingga singgah ke Candi terbesar. Sayangnya, tujuan utamanya malah terlepas.

Keempat, syuting di sekolah 2000. Ini bagian yang sangat biasa, umum, dan sederhana sekali. Sekolah di kota besar, dijadikan setting cerita film. Dan tentu murid-murid itu terlibat sekalipun pemain figuran. Nama-nama seleb-nya diplesetkan, seperti Lulu Topping, Rem Punjabi, hingga Jeremy Jorghi. Judul terkenal sinetron 2000 Ku Tersandung juga disebut. Namun memang bagian ini, biasa sekali.

Begitulah, ini novella Islami yang terbit di pergantian Millenium di mana internet masih sangat baru, dunia perkenalan maya masih sangat jarang. Pantas saja berisi nasihat, ideal chatting. Atau, kopi darat yang aneh. Saya baca sih masih relate, dan langsung klik. Entah kalau dibaca generasi remaja saat ini, mungkin kaget menyaksi peserta chat menyimpang dan ditanggapi berlebih, sebab zaman sekarang hal itu sudah sangat banyak, walau tetap saringnya tetap kudu ada.

Saya membeli buku ini tahun 2006, tertera berharga 16,5 ribu. Di sebuah toko Purwakarta, pinggir jalan. Uniknya, saat itu saya ke sana untuk berkunjung ke rumah saudara, sekaligus bertemu darat sama teman chat MirC. Namanya Citra, dan memang mengajak ke toko buku sebab memang saya berminatnya buku. Saya sih pas kopi darat pasif, sangat pasif. Makanya saya iya-iya saja pas dia ajak ke mal lantas dia dan saudaranya main game Timezone, mengajak beli makanan, dst. Saya pasif, sebab tak tahu apa yang harus dibicarakan saat pertama bertemu, tak tahu ngobrolin apa selain buku, atau bola, dan jelas dua topik yang dia tak suka. Begitulah, masa lajang yang absurd. Betapa polosnya. Hehe…

Ini saya baca ulang cepat, demi ulas. Ternyata seri pertama sudah dua tahun lalu. Buku-buku Islami yang pernah menghinggapi masa laluku, seri tiga dst juga ada di rak buku, dan sepertinya akan saya tuntaskan semua. Asma Nadia, nama yang sangat terkenal kala itu, terutama bila kamu langganan Majalah Annida. Dan saya bersyukur pernah menjalani masa itu dengan majalah keren ini.

Aisyah Putri 2: Chat On-Line | by Asma Nadia | Penerbit PT. Syaamil Cipta Media | Desain sampul dan ilustrasi isi Halfino Bery | Editor dan tata letak Agus Supriyantp | Copyright 2000 | Cetakan kedelapan: Januari 2004 | 160 hlm.; 18 cm | ISBN 979-9435-05-6 | Skor: 3/5

Karawang, 230622 – Sheila Jordan – Comes Love

Thx to Toko Buku Purwakarta (Citra), Purwakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #23 #Juni2022

Yes to Life #22

“Sesungguhnyalah waktu yang dimanfaatkan dengan baik seolah diawetkan. Inilah bentuk eksistensi paling aman. Eksistensi kebermanfaatan yang tidak akan terancam oleh kefanaan apapun.”

Kebahagiaan sendiri tidak termasuk dalam kategori tujuan hidup. Rilke berteriak, “Seberapa banyak lagi kita harus menderita?” Rilke memahami bahwa pencapaian kita yang bermakna dalam hidup ini setidaknya sama-sama dapat diraih melalui penderitaan sebagaimana dengan bekerja.

Awalnya, kukira ini buku baru dengan penulis yang masih aktif. Beberapa kali dikutip, dan sering kali muncul di beranda sosmed, buku-buku Frankl cetakan baru tampak fresh. Ternyata, beliau hidup di era Perang Dunia Kedua. Ini sejenis memoar, dibumbuhi nasihat kehidupan, dan ya, sebagai orang yang pernah masuk ke kamp konsentrasi NAZI, optimism menghadapi hari esok jadi sangat penting.

Dibuka dengan sangat bagus oleh penulis kenamaan Daniel Goleman, menjelaskan banyak makna dan perjalanan hidup sang penulis. Ungkapan ‘Yes to Life;, Frankl mengingatnya, berasal dari lirik lagu yang dinyayikan secara sotti voce – sepelan mungkin, agar tidak memancing kemarahan sipir penjaga kamp konsentrasi. Apa yang dimimpikan para lelaki di kamp konsentrasi? Selalu sama: selalu roti, rokok, kopi tubruk yang layak, dan terakhir tetapi tak kalah penting, berendam air hangat.

Makin tahu kehidupannya, makin kagum. Pembebasan dari kamp kerja paksa Turkeim. Menurut Frankl, tak ada yang berhak menilai hidup seseorang itu tak berarti, atau menganggap orang lain tidak layak memiliki hak untuk hidup.

Sebenarnya hanya ada tiga bab, penjabaran pembuka dan penjelasannya yang panjang. Tentang Makna dan Nilai Kehidupan I dan II, dan Experimentum Crucis (Eksperimen yang Menentukan). Hanya itu, yang lainnya penambahan edisi baru.

Hitler berpendapat bahwa orang akan percaya pada sesuatu yang sering diulang-ulang, dan jika informasi yang berlawanan denganya terus-menerus disangkal, dibungkam, atau ditolak dengan kebohongan lainnya. Inilah tugas pembawa berita, kebenaran penting. Melawan “kebenaran-semu” yang membahayakan.

Program Eutanasia adalah program pembunuhan massal pertama yang dilakukan Nazi pada 1939, dua tahun sebelum genosida kaum Yahudi di Eropa, dengan sasaran mereka yang menyangdang gangguan mental parah dan “tak tersembuhkan.” Mengerikan bukan?

Sekarang ini perdebatan eutanasia hanya menyangkut sisi ‘kematian yang baik’ dari istilah tersebut, di mana seorang penderita sakit parah, yang biasanya merasakan sakit yang luar biasam memilih mati demi mengakhiri penderitaannya sendiri.

Pendekatan yang mereka lakukan berasal dari gerakan ‘eugenetika’ Amerika, sebuah bentuk Darwinisme sosial yang membenarkan masyarakat untuk membersihkan kelompoknya sendiri dari mereka yang dianggap ‘tidak layak’, sering kali dengan melakukan sterilisasi paksa.

Menurut Frankl, ada tiga cara utama orang memenuhi makna hidupnya. Pertama, tindakan (aksi), seperti menciptakan sebuah karya, entah itu seni atau kegiatan apa pun yang dicintai. Kedua, makna bisa ditemukan saat kita menghargai alam, karya seni, atau cukup dengan mencintai seseorang. Kierkegaard bilang pintu kebahagiaan selalu membuka ke arah luar. Ketigam orang dapat menemukan makna hidupnya ketika ia beradaptasi dan merespons batas-batas yang tak terhindarkan atas kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Hidup kita mendapat makna lewat tindakan-tindakan kita, lewat mencinta, dan lewat pederitaan.

Dia merasa bahwa anak-anak muda yang menyaksikan perang, telah melihat terlalu banyak kekejian, penderitaan yang tak bermakna, dan kegagalan yang menyedihkan untuk sekadar menanamkan pandangan positif, apalagi antusiasme. Samuel Beckett, Menunggu Godot, sebuah ekspresi sinisme dan keputusasaan pada masa-masa itu.

Di tengah kekejian penjaga kamp, pemukulan, penyiksaan, dan ancaman kematian yang terus-menerus, terdapat satu bagian hidup yang tetap bebas: pikiran mereka. Kemampun batin inilah kebebasan sejati manusia.

Persepsi kita atas peristiwa-peristiwa dalam hidup, bagaiamana kita menyikapi mereka, sama atau bahkan lebih penting ketimbang peristiwa itu sendiri. “Nasib” adalah apa yang menimpa kita tanpa bisa kita kendalikan, namun masing-masing kita bertanggung jawab atas cara bagaimana menempatkan peristiwa yang kita alami dengan cara yang lebih bermakna.

Kant bilang segala sesuatu memiliki nilai, tetapi menusia memiliki martabat, seorang manusia tidak seharusnya menjadi sebuah alat untuk suatu tujuan. Sebuah mitos kuno menyebutkan bahwa keberadaan dunia ini hanya bergantung pada tiga puluh enam orang yang sungguh-sungguh adil, yang selalu ada setiap saat. Kant juga bilang, sekarang bukan mempertanyakan. “Apa yang bisa kuharapkan dari hidup.” Melainkan, “Apa yang diharapkan hidup dari saya?”

Apa yang telah kita pelajari dari masa lalu? Dua hal: segala sesuatu bergantung pada individu-individu manusia, terlepas dari seberapa kecil jumlah orang yang berpikiran serupa dan segala sesuatu bergantung pada masing-masing orang melalui tindakannya.

Bunuh diri dengan motif kehidupan tidak pantas dijalani, tidak percaya pada makna hidup itu sendiri, umum disebut ‘bunuh diri neraca (kehidupan)’ atau balance sheet suicide. Orang yang melakukan bunuh diri, bukan hanya tidak memiliki semangat hidup, tapi juga tidak memiliki kerendahan hati terhadap hidup.

Kata Goethe, “Tidak ada kesulitan yang tak dapat dimuliakan, baik itu dengan pencapaian-pencapaian maupun dengan ketahanan dan ketabahan.” Entah kita berusaha mengubah nasib kita, jika mungkin, atau kita bersedia menerimanya bila perlu.

Holderlin bilang, “Kalau aku melangkah dan menapaki kemalanganku, maka aku berdiri lebih tinggi darinya.”

Masa hidup kita tidak akan kembali, ketetapan dari apa pun yang kita lakukan untuk untuk mengisinya, atau tidak mengisinya, yang membuat keberadaan kita penting. Setiap orang harus bertanggungjawab atas eksistensinya sendiri. Penyair Jerman, Christian Friedrich Hebbel mengatakan, hidup bukanlah sesuatu, hidup adalah kesempatan bagi sesuatu.

Pemenuhan makna hidup bagi manusia dilakukan dalam tiga arah, manusia mampu memberikan makna pada eksistensinya, pertama dengan melakukan sesuatu, dengan bertindak, dengan mencipta, kedua dengan mengalami sesuatu, ketiga manusia dapat menemukan makna bahkan ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menemukannya dengan kedua sisi di atas.

Setelah usai baca, saya malah langsung teringat Mark Manson. Dua bukunya: Sikap Bodo Amat dan Segala-galanya Ambyar terasa banyak mengekor buku buku ini (atau juga buku Frankl lainnya). Tentang penderitaan, tentang positif thinking, tentang optimism, hingga pola menjalani hidup penuh syukur. Pinter juga Mark, Blogger penulis yang memodifikasi banyak gaya, belajar dari para orang hebat, menjadikannya pijakan tulisan.

Buku Frankl banyak diterbitkan Noura, ini yang gres dan malah jadi buku pertama yang kubaca. Suka, dan jelas memasukkan ke daftar antrian ingin mengoleksi. Ilmu psikologi, bagaimanapun turut membangun peradaban, menangani manusia selalu menyesuaikan zaman, tapi tetap spirit utama dalam kehidupan ini, yang utama bertahan hidup. “Apa pun yang masih manusiawi, masih layak dipertahankan.” Katakan YA pada hidup, apa pun yang terjadi. Katakan YA pada kehidupan.

Yes to Life | by Viktor E. Frankl | Diterjemahkan dari Yes to Life | Terbitan Beacon Press, 2019 | Bahasa asli Jerman Uber den Sinn des Lebens | Terbitan Beltz Verlag, Beltz Weinheim Basel | Penebit Noura Books | Penerjemah Pangestuningsih | Penyunting Shera Diva | Penyelaras aksara Nurjaman & Dhiwangkara | Penata aksara Aniza Pujiati | Ilustrator sampul Silmi Sabila | Perancang sampul @platypo | Cetakan ke-1, Juni 2021 | ISBN 978-623-242-218-6 | Skor: 4/5

Untuk mendiang ayahku

Karawang, 220622 – Carly Rae Jepsen – Western Wild

Thx to Toko Gunung Agung Mal Resinda, Karawang

#30HariMenulis #ReviewBuku #22 #Juni2022

Projo & Brojo #21

“Aku bahkan curiga dengan bayanganku sendiri.”

Novel unik. Tukar orang yang dipenjara, dan katanya buku ini merupakan terinspirasi dari pengalaman Arswendo selama dipenjara? Apakah beliau pernah melakukan tukar posisi seperti ini? Ataukah ini pure imajinasi, seandainya punya jabatan penting, bisa seenaknya saja kabur secara tersirat dari jeruji besi? Menarik, walau ditemukan beberapa kejanggalan. Seperti, bagaimana bisa istri tak mengenali suami yang menyamar? Atau perubahan sifat karakter secara tiba-tiba akibat kepergok, seolah materi tak penting? Seakan di otaknya dipasangi rem yang kelewat pakem. Atau bagian, kepolosan perempuan desa yang luar biasa sederhana, polos. apa adanya, dan begitu sabar. Mungkin ada orang-orang seperti itu, di sini diumbar dengan pesonanya sendiri.

Kisahnya tentang Don Projo yang divonis sepuluh tahun penjara, ia ketangkap Badan pengawas Korupsi melakukan tindak korupsi. Karena ia memiliki wewenang dan uang, ia bisa seenaknya kabur. Tukar peran dengan pengangguran Brojo yang baru menikah, bengkel pinggir jalan tempatnya bernaung tutup, dan ia pusing tujuh keliling. Istrinya, Wisuni dikirim ke kampung, ia siap kerja serabutan, asal ada yang bisa dimakan dan bisa bayar kontrakan.

Gayung bersambut, Zul, anak buah Projo menemukan celah dan kesempatan. Mengatur strategi tukar peran, Brojo secara perawakan mirip, didandani sebagai Projo lalu saat jam besuk, diselundupkan masuk penjara, dengan Projo keluar menghirup udara merdeka. Dengan gaji wow, dan kepastian aman keluarga. Tukar peran itu berhasil dilakukan. Penjara yang korup, selalu mengiyakan para bos, dan dengan mudahnya disusupi barang atau uang berpindah tangan.

Kehidupan baru Brojo di penjara, ya nyaman saja sebab Projo memang orang kuasa. Dilayani, dihormati, hingga dijenguk orang-orang penting. Kehidupan baru yang tak terlalu bikin pusing, sebab ia nganggur, sama saja di luar atau di dalam penjara, malah sekarang makan dan tinggal terjamin. Bahkan ia bisa mengirim uang banyak ke istrinya. Itulah, kalau orang miskin pastinya cepat adaptasi. Apalagi adaptasi ke atas. Brojo mabuk kepuasan, dan tenggelam dalam kantuk.

Kehidupan baru Projo di luar penjara. Karena biasa jadi orang sibuk, tentu saja tak berpangkutangan menikmati liburan. Ia melakukan penyelidikan. Dikulik lebih dalam, siapa orang-orang yang mengirimkan ke penjara. Juga menyelidiki istrinya, Iik apakah selingkuh atau lurus saja.

Menyamar sebagai Dewi, perempuan yang mengoleksi lukisan. Bersinggungan dengan Iik bahkan secara instan menjadi sahabat. Menjadi teman curhat, dan hal-hal pribadi-pun ditukar kata. Membingungkan. Rancu. Dan agak kacau balau. Sepintas teringat cerita film Mrs. Doubtfire di mana Robin Williams menyamar sebagai wanita, masuk ke ruang keluarga. Namun ternyata tak seperti itu. Dewi lebih gaul, dan tak terlalu memusingkan renungan.

Kecurigaan sama Syam, sahabat politiknya, apakah gosip kemungkinan selingkuh, dan telusur orang dibalik skenario jahat. Dirinya ditusuk dari luar dan dirobek dari dalam. Sejak itu ia menjadi tawar. Dan melampiaskan dengan segala kemurkaan yang selama ini bagai mau meletus.

Begitu pula dengan Zus Evi, perempuan pengagum Projo ini tampak jahat. Materialistis, menggoda sang Don dengan tubuhnya. Mengejar tandatangan untuk pengalihan tanah dan rumah ke Evi, ia mendesak terus dengan berbagai modus. Patut dicurigai juga. Bagian ini malah fun, seolah sekadar untuk memerangi sepi.

Dan terakhir, kita harus singguh perempuan hebat Wisuni. Polos, sederhana, dan begitu menyenangkan tiap tampil di lembaran buku. Sebagai istri ia khawatir, ke mana suaminya menghilang. Lalu sandiwara, Projo jadi suaminya kelihatan kaku, langsung tahu. Ia menuntut kebenaran, yang akhirnya terseret arus. Tangan tukang las pasti berbeda dengan tangan orang yang kerjanya hanya membuat tandatangan. Wisuni segera mengenalinya bukan Projo, ia akan berusaha berterus terang dan tetap tenang, kalau ternyata tak dikenali, ia akan terus memainkan perannya.

Bagaimana benturan-benturan kepentingan itu disajikan, sejatinya sangat potensial meledak, bila yang pegang kisah Mo Brother bisa jadi cerita thriller penuh darah, sayang sekali endingnya terlampau sederhana. Kelemahan utama Projo & Brojo malah di akhir yang sangat standar, kisah perjalanan hidup manusia yang seolah bilang: positif thinking-lah, optimism-lah, masa depan akan lebih baik. Semacam itulah, padahal hidup ini sejatinya pertaruhan-kan? Pahit di sana-sini, tak bisa sekadar, ok segalanya baik-baik saja.

Ada bagian lucu, menjurus penasaran berat saat Wisuni tinggal di apartemen Projo. Mereka potensial saling singgung asmara, saling mengisi. Gagasan paling gila. Paling astaga. Kepolosan yang diteriaki, “Kenapa sih kamu ini, apa hidup ini urusannya hanya saruuuung melulu. Ini dunia hampir kiamat.” Atau saat ngopi, orang desa kalau bikin kopi emang manis. Projo tahu rasa kopi, yang dibuat Wisuni sungguh tidak keruan “arahnya”. Entah pelajaran dari mana yang membuat Wisuni membuat opi begitu maniiis, begitu pekat.

Dan begitulah, ini bukan genre gore, bukan pula seperti film-film festival yang seringkali vulgar. Segala kekalutan Projo seolah berhasil diredam Wisuni dalam semalam. Ternyata kegelisahannya jungkir balik sebelumnya bisa ditepis begitu saja. Oleh sikap sederhana, sikap biasa-biasa seorang perempuan sederhana.

Ini adalah buku pertama Arswendo Atmowiloto yang kubaca. Setelah berulang kali berpeluang menikmatinya, di rak ada dua lagi, salah satunya hampir selesai baca: Mengarang Novel itu Gampang. Dan dengan dua buku bagus ini, jelas beliau adalah salah satu penulis hebat kita. Apalagi pas baca Mengarang Itu, wah makin kagum bagaimana tata cara mengelola waktu jadi terasa wajar, mengelola kata terasa bisa, dan rasanya menulis novel jadi terasa realistis.

Terakhir, sekalipun ini bisa jadi percobaan adil menjaga status keluarga harmonis. Bisa pula menyinggung tema feminis dimana Iil melawan riak hingga mendiri. Saya tutup catatan ini dengan nasehat Don Projo yang katanya mau tobat itu. “Il, kita boleh mengatakan persamaan apa saja antara laki-laki dan perempuan, tapi pada kenyataannya tetap berbeda. Lelaki memiliki ego yang begitu kuat, keakuan yang tinggi.”

Projo & Brojo | by Arswendo Atmowiloto | 40101090028 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain dan ilustrasi cover Dito Sugito | September 2009 | 368 hlm; 20 cm | ISBN 9789792249507 | Cetakan kedua, Agustus 2017 | Novel ini pernah diterbitkan oleh Penerbit Subertra Citra Pustaka, 1994 | Skor: 4/5

Untuk Modrick dan Mopit dan keluarganya dengan salam.

Karawang, 210622 – Sade – The Sweetest Taboo

Thx to Gramedia Karawang di Bazar Mal Technomart, Karawang

#30HariMenulis #ReviewBuku #21 #Juni2022