The Bookseller of Kabul

“… Jika panci mendidih tanpa tutupnya, apa pun bisa masuk kedalamnya. Sampah, tanah, debu, serangga, daun tua. Begitulah kehidupan yang dialami keluarga Saliqa. Tanpa tutup. Segala macam kotoran menimpa mereka…” – Sultan

Apa yang pertama terlintas saat Negara Afganistan disebut? Perang? Islam? Osama bin Laden? Atau Negara Islam yang tata kelolanya semrawut? Saya lebih ingat bagian terakhir ini. Sebuah kudeta tahun 1970-an mengubah Negara ini. Lebih tepatnya Zahir Shahm raja yang memerintah selama empat puluh tahun yang boleh dikatakan aman dan damai, didepak tahun 1973. Lalu serangan Uni Soviet selama sedekade, lantas perang saudara, dan Taliban mencipta kekeruhan politik, hingga akhirnya perang tak kunjung usai, dari satu kekuasaan ke kuasaan lain. Saat ada pengumuman perang telah usai. Itu hanyalah perang baru yang akan dimulai – perang yang melindas semua keceriaan. Bahkan hingga kini, terbaru tahun lalu saat Amerika pergi, berita mancanegara bersliweran kepanikan warga, pembersihan politik, hingga kekhawatiran krisis terjadi.

Buku ini ditulis tahun 2002 oleh wartawan Norwegia yang bertugas di sana. Asne sampai tinggal bersama keluarga sang sudagar buku, Sultan Khan bersama kedua istri dan anaknya yang banyak, bersama saudara-saudaranya, hingga mencatat kegiatan dan budaya lokal yang kental. Seperti pengakuannya, “Aku telah menuliskan hal-hal yang kulihat dan kudengar, dan telah berusaha mengumpulkan ksan-kesanku tentang musim semi di Kabul, tentang mereka yang berusaha menepis musim dingn, tumbuh dan berkembang, dan yang terpaksa – meminjam istilah Leila- “menelan debu”.” Ini bisa jadi reportase, tapi malah menjadi novel yang bisa dibubuhi berdasar kisah nyata. Ini adalah buku mungil 400 halaman yang nyaman, dan cepat kelar dilahap. Kubaca dalam tiga hari 19 sd. 21 Mei kemarin.

Kisahnya berkutat di keluarga sang saudagar. Dengan cerdas dibuka dengan keputusan poligami. Keputusan yang akan mematik kebencian pembaca. Sultan yang sudah separuh baya memutuskan mengambil istri lagi, ada tiga kandidat istri muda. Istri pertama dan saudara-saudara tak banyak komentar, atau sejatinya tak setuju, tapi tak berani melawan. Sultan lalu memilih Sonya remaja 16 tahun itu untuk jadi istri barunya. Dari keluarga miskin, derajatnya terangkat. Sharifa, istri pertama kesal, selama ini telah berjuang bersama, memang apa yang salah? Memang apa yang kurang? Namun akhirnya terpaksa menerima kenyataan pahit. Saat sendiri, ia bukan merindukan Sultan, tapi dia meindukan kehidupan yang pernah dijalaninya sebagai istri saudagar buku, disegani dan dihormati, ibu anak-anaknya, yang diistimewakan.

Pembuka yang bagus, sebab memaparkan kepahitan hidup. Dan buku ini akan terus berkutat di area situ, ini Negara Islam yang berkecamuk, maka gambaran sehari-hari mencipta imaji di sana. Selanjutnya kita diajak ke masa lalu sang sudagar, nikah terlambat, kuliah demi masa depan, kecintaannya pada buku otomatis membuatnya dikelilingi bau buku, dan ide bisnisnya jalan. Membeli buku dan segala hal di perpustakaan semurah mungkin lalu menjualnya. Memang dirintis dari kecil, tapi keberaniannya memulai dari sekolah itulah yang membuatnya berbeda.

Bisnis bukunya luar bias pasang surut, pernah dibakar semua buku oleh Taliban sebab buku bergambar dilarang, diobrak-abrik juga pernah bila buku bertema politik, ideologi yang berbahaya, atau yang sekadar menyerempet seksualitas. Bahkan ia pernah dipenjara beberapa bulan. Selama dua puluh tahun ia berkutat di sana, dan karena kecintaannya ia bertahan.

Lalu buku ini mengupas kehidupan seluruh anggota keluarganya. Karakternya banyak. Dari Mansur, Sonya, Sharifa, Shabnam, Bibi Gul, Leila, Bulbula, Iqbal, Aimal, sampai Fazil. Dari para keponakan yang mencari jodoh. Putra sulungnya Mansur yang dilematis, melanjutkan usaha perbukuan, tapi kepincut wanita, dan panggilan hati pada aliran Ali. “Kau akan jadi pengusaha. Tempat yang paling baik untuk belajar adalah di toko.”

Lalu kasus pencurian kartupos oleh tukang kayu Jalaluddin, yang ketahuan, diinterogasi, lantas diajukan ke pengadilan, dan berakhir tragis. Ayahnya Faiz sampai memukulinya, keluarga mengucilkannya. Ia tulang punggung penghasil, dan malah seperti itu diperlakukan. Mencuri memang salah, tapi mengapa tak melihat konteks pelaku dan motifnya. Hiks, “Ayah bisa berkata begitu karena perut ayah kenyang,” teriak Mansur. “Aku menangis kalau memikirkan anak-anaknya yang kurus kering itu. Keluarganya sudah habis.”

Atau bagian saat seorang ibu Feroza yang keras dan tegas sama anaknya, menjadi agar anaknya tetap lurus butuh perjuangan ekstra. Hingga kisah cinta yang patah untuk Leila. Leila juga ingin muda dan tak terjamah.

Buku ini secara umum malah kental bumbu drama, bukan di perbukuannya, tema sangat erat dengan romansa percintaan. Hubungan-hubungan yang terputus, sebab menikah bukan karena dengan sang kekasih, tetapi dengan yang dipilihkan keluarga. Terutama mempelai perempuan, digambarkan sungguh lemah, suaranya tak didengar. Ada dua pasangan yang berlainan nasib. Prinsip sangatlah aib mencintai seseorang yang tak mungkin dimiliki. Pertama Shakila yang mengidamkan pernikahan ideal dengan Mahmoud, tapi kandas dan menikah dengan duda beranak banyak, Wakil. Awalnya meragukan, tapi malah berakhir bahagia. Jika bekerja bisa membuat Shakila bahagia, dia tak keberatan. Selain itu, tentu saja, mengurus anak-anak dan rumah. Syarat umum bukan? Kewajiban wanita adalah mengurus keluarga, menyediakan makanan dan pakaian, dan jika ada wanita terpaksa harus keluar rumah, mereka harus menutup seluruh tubuhnya sesuai hukum syariat.

Kedua Leila muda yang memimpikan menjadi pengajar, syarat menjadi guru banyak dan sulit. Tesnya bertahap dan sungguh meragukan, dasar rekomendasi itu penting, kekuatan orang dalam di manapun memang berlaku. Lantas, kisahnya cintanya yang luput, Karim yang diidamkan, malah saudaranya yang diajukan. Karim sudah berulang kali mengirim surat cinta, mengirim salam, dan bahkan berhasil menanyakan langsung cintanya. Dalam hati Leila bahagia, menerima, dan harapannya membumbung. Namun bukan ia yang menentukan pilihan, keluarganya yang memutuskan. Jangan bayangkan, kenapa tak protes ya. Dunia di sana tak sebebas Indonesia masa kini, kita bebas mementukan pasangan hidup, kita memiliki suara.

Beberapa pandangan yang bikin terenyuh adalah “Harga seorang mempelai wanita diperhitungkan menurut usia, kecantikan dan ketrampilan, serta status keluarganya.” Ini bisa jadi juga umum di sini. Namun lanjutannya bikin sedih. “Nilai pengantin perempuan adalah kegadisannya, nilai seorang istri adalah jumlah putra yang dilahirkan. Pengantin harus tampil artifisial, seperti boneka. Kata untuk boneka dan pengantin adalah kata yang sama.”

Setelah melahap buku ini, apa yang dirasakan? Tambah syukur jelas. Indonesia yang tampak compang-camping jelas jauh lebih bagus. Kita Negara dengan berbagai berbedaan, kemajemukan itu kudu dilihat secara objektif. Dan bisa dipaksakan ke satu arah atau agama atau budaya, rasanya justru berbahaya. Afganistan berantakan karena pemaksaan. Janji-janji politik radikal tak laik diterima begitu saja. Memang Indonesia saat ini bobrok di birokasi, walaupun berdasar Pancasila, di mana sila kelimanya berujar keadilan sosial, faktanya jauh sekali. Dan memang sulit diterapkan, apakah mau rakyat penyamarataan kekayaan? Tentu kalangan kaya raya tidak ‘kan. Apapun dasar Negara, kedamaian adalah tujuan utama. Bisa makan minum cukup, nyaman beribadah, hingga memiliki harapan dan rasa optimistis untuk anak, patut digenggam erat.

Pandangan di sana tentang perempuan juga sangat disayangkan. Pernikahan itu sakral, tapi lapisannya ternyata banyak berbentur materi. Menyerahkan anak perempuan begitu saja menyiratkan bahwa anak itu tidak ada harganya, menyiratkan bahwa orangtuanya senang bisa menyingkirkannya. Pernikahan adalah hal yang amat serius. Baju pengantin harus hijau, warna lambang kebahagiaan dan Islam. Perkawinan ibarat kematian kecil. Keluarga pengantin perempuan berdukacita, selama berhari-hari setelah upacara perkawinan sekan perkawinan itu upacara pemakaman.

Taliban menganggap debat sebagai sesuatu yang haram dan kebimbangan sebagai dosa. Segala sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan Al-Quran dianggap tidak perlu, bahkan berbahaya. Patung-patung Buddha raksasa di Bamiyan diledakkan. Semuanya berumur hampir dua ribu tahun dan merupakan peninggalan sejarah kebudayaan Afganistan yang terbesar.

Dunia literasi memang mengagumkan, terlepas dari keputusan-keputusan kontroversi Sultan, ia telah menempatkan diri dengan sebijak mungkin. Tidak banyak hal yang bisa memikat hati Sultan selain menemukan buku berharga di pasar yang berdebu dan membelinya dengan harga sangat murah. Buku sejarah yang tidak berisi ideologi, kecuali sedikit nasionalisme yang wajar. Kasus pencurian contohnya, bikin gereget sebab uang ditempatkan di atasnya, sisi kemanusiaannya hilang. Bagi Sultan, bekerja adalah pekerjaan terpenting dalam hidup.

Kutipan penyair favorit Fedusi,Untuk bisa berhasil, kadang kita harus menjadi serigala dan kadang domba.” Terlihat ia sering kali pelit, atau dalam kacamatanya hemat. Dia mengikuti nasihat Nabi Muhammad Saw. dalam hal memberikan sedekah yang ditafsirnya sebagai berikut: Pertama-tama urus dirimu sendiri, lalu keluarga terdekat, lalu kerabat, lalu tetangga, dan yang terakhir orang miskin yang tidak dikenal.

Suka bagian saat ia berburu buku. Lahore adalah pusat kebudayaan dan kesenian Pakista, sebuah kota yang sibuk, membingungkan, dan tercemar. Menuju Lahore, kota tempat beumpulnya percetakan, penjilidan buku, dan penerbitan. Atau saat menemukan buku langka, yang dijual murah sama penjual buku bekas sebab tak paham literasi. Matanya berkedip jika tawaran yang diterimanya bagus sekali dan bibirnya agak gemetar. Segala hal menarik minatnya: mitos dan cerita lama, puisi lama, novel, biografi, buku politik mutahir, dan juga aneka kamus dan eksiklopedia. Hehe, bukankah kita juga begitu. Saat ini berburu buku bisa terjadi secara daring, sosmed Facebook mempertemukan penjual dan pembeli, dan luar biasa riuh.

Catatan ini saya tutup dengan tiga hal. Pertama sebuah puisi Rumi yang dikutip Mansur, ia galau akan dosa dan pengampunan berbunyi, “Sang air berkata kepada sosok kotor, “Kemarilah.” / Si kotor berkata, “Aku malu sekali.” / Sang air menjawab, “Bagaimana mungkin rasa malumu bisa dicuci tanpa aku?”” Mansur yang malu, dan berdosa. Satu lagi, juga dari Rumi. Sultan memang liberal, tapi dia menerapkan kekuasaan patriarkat. Bukankah itu kontradiksi? Rumi berkata, “Ego adalah cadar antara manusia dan Tuhan.”  Ketiga adalah sebuah harapan, ah asa itu diapungkan, entah kapan. Saat buku ditulis tahun 2002, dan kini 2022 Afganistan masih ditengah kebimbangan. Harapan itu berbunyi, “Afganistan akan menjadi Negara modern. Pada suatu pagi pada bulan April, ketika mantan raja Zahir menginjakan kaki di tanah Afganistan, sete;ah 30 tahun hidup dalam pengasingan…”

Semoga sang “Raja Zahir”, juru selamat itu suatu hari akan tiba…

Saudagar Buku dari Kabul | by Asne Seierstad | Diterjemahkan dari The Bookseller of Kabul | Terbitan Leonhardt & Hoier | Penerjemah Sofia Mansoor | Penyunting Pangestuningsih | Copyright 2002 | Penerbit Qanita | Cetakan I, Januari 2005 | Desain dan ilustrasi ampul 9 Nyawa | 456 h.; 17.5 cm | ISBN 979-3269-28-6 | Skor: 4/5

Untuk Orangtuaku

Karawang, 300522 – Tasya Kamila – Ketupat Lebaran

Thx to Azi Mut Book, Bandung