
Vladimir: belum lama kita sendirian, menunggu datang malam, meunggu Godot, menunggu… menunggu… sepanjang sore kita suntuk bertengkar, tanpa bantuan. Semua kini berlalu. Rasanya kini sudah beralih menjadi esok.
Kubaca dalam dua hari. Secara cepat dan lugas. Walau berisi dua ratus halaman, tapi karena berisi dialog, isi buku tak padat. Pilihan katanya juga umum, tak perlu kerut kening. Intinya dua orang menunggu Godot di sebuah hutan, di bawah pohon. Lalu muncul orang asing yang mengisi kekosongan, lalu muncul utusan bahwa yang ditunggu tak bisa hadir, ia akan hadir besok senja. Dan esoknya beberapa hal terulang. Ini adalah naskah sandiwara, berisi dialog dan beberapa petunjuk gerak laku di atas panggung. Pesan tersirat, kita punya banyak waktu untuk menjadi renta sementara udara mampat dengan tangisan kita.
Berisi lima pelakon. Dan Godot-nya sendiri tak tampak hingga layar ditutup. Dua orang yang dominan adalah pasukan Vladimir dan Estragon. Keduanya saling silang berdialog di atas panggung, tentang waktu-waktu yang berlalu sembari menanti bos mereka. Lalu muncullah dua orang aneh Pozzo dan Lucky, bisa dan budak yang menyapa mereka. Mengisi banyak kekosongan yang tersaji. Makna waktu yang linier disinggung. Vladimir: berlalulah sang waktu / Estragon: betapa pun juga kini waktu berlalu. / Vladimir: Yah, meskipun tidak cukup cepat.
Keduanya berdebat dan seolah tak henti-hentinya bicara. Estragon: Sementara itu marilah kita mencoba tenang, lalu berbincang dengan tenang pula. Soalnya kita tidak berbakat untuk membisu.
Keyakinan dan keraguan mengambang, tak ada yang pasti. Vladimir: Ah, Gogo, jangan seperti itulah. Besok segalanya akan lebih baik. / Estragon: Kok kamu bisa seyakin itu?
Atau celetuk unik. Vladimir: Waktu cepat berlalu kalau orang bergurau!
Begitu juga diksi bagus yang puitik. Estragon: Pucat karena pudar. / Vladimir: Hah? / Estragon: Menggurat langit dan memandang kepada makhluk seperti kita.
Hari pertama tak hadir, tokoh kelima yang memberitahu laki-laki yang membawa pesan ketidakhadiran Godot. Keesokan harinya, hal sama terulang, dengan tingkah polah baru, dan pemukulan, ketidaksabaran, hingga keputusan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup. Hasilnya sama, Godot tak hadir. Lalu sebelum layar ditutup, mereka berencana beranjak pergi, tapi ternyata tak pergi.
Pozzo: Saya juga senang bertemu dia. Semakin banyak orang yang kutemui, semakin senang saja hatiku. Dengan bergaul dengan nakhluk berbudi orang bisa menjadi makin bijak, makin kaya – suatu hal yang biasanya tidak disadarinya. Bahkan dari kalian… bahkan dari kalian pun aku akan bisa menambah-nambah khazanahku.
Apa maknanya? Menanti yang tak pasti jelas ada di posisi tertinggi untuk mengartikan secara harfiah buku ini. Namun penafsiran lebih luas malah lebih liar. Ini tentang ketaatan pada kewajiban, bisa juga diartikan sebagai menjalankan kehidupan, menanti kematian, hal-hal dari dimensi lain yang dikaitkan ini malah makin menarik. Ini memang buku panggung yang absurd, tak gamblang, makna-makna penuh kiasan dan tersirat. Dan itu sah-sah saja. Dan seperti kata Estragon, menunggu juga pilihan, “Maka yang bisa kita lakukan tak lain cuma menunggu saja di sini.”
Lalu sempat bisa-bisa memikirkan bunuh diri, yang untungnya tak ada tali. Estragon: (memandang pohon) sayangnya kita tidak punya seutas tambang.
Makin menambah daya tarik mereka menunggunya di bawah pohon, kalau imajinasi kita lepaskan dan bebas mengartikan penantian di bawah pohon, bisa jadi itu juga naungan kehidupan. Pohon kan menghasilkan banyak manfaat buat manusia. Semua tampak mati kecuali pohon itu. Pohon Willow.
Ada satu kalimat panjang yang filosofis, “Air mata di alam ini jumlahnya tetap saja. Begitu ada seseorang mulai menangis, maka di tempat lain ada yang mulai diam. Demikian pula halnya dengan tertawa. Ah, tak perlulah kita omongkan perkara derita yang ditanggung generasi kita, bukan berarti generasi kita lebih tidak bahagia dibanding leluhur kita.”
Buku pertama terbit 1952, sudah tujuh puluh tahun berlalu dan kini menjadi klasik. Terbitan Narasi lumayan bagus alih bahasanya, kovernya juga kece, untuk kali ini tak banyak komplain. Nikmat dan nyaman dibaca santai tanpa perlu waktu khusus, artinya kubaca saat menjadi sopir keluarga, nongkrong di warung kopi di Karawang Timur di bawah pohon cerry. Karena tak banyak baca buku-buku sandiwara, rasanya buku ini tampak fresh. Imaji kita melalangbuana membayangkan kejadian-kejadian di bawah pohon itu.
Saya tutup catatan ini dengan dialog yang mengingatkanku pada kata-kata di atas makam Annemarie Schimmel yang dikutipnya dari Sahabat Nabi. Pozzo: “Saya bangun pada suatu hari yang cerah dalam keadaan buta bagaikan Dewi Fortuna yang kata orang juga buta itu. Kadang saya bertanya-tanya apakah saya ini tidak sedang tidur?” Dijawab dengan muram oleh Vladimir: “Rasanya semuanya cuma khayalan! Berani sumpah, kenyataan adalah kebalikan dari semuanya tadi.”
Menunggu Godot | by Samuel Beckett | Diterjemahkan dari Waiting Godot, A Tragicomedy in Two Acts, Faber and Faber, London, 1956 | Penerjemah Farid Bambang S. | Desain sampul Sugeng D.T. | Cet. 1, 2016 | Penerbit Narasi | 14 x 20 cm, | Skor: 5/5
Karawang, 170222 – 070322 – 060422 – RHCP – Easily
Thx to Jojo Merdeka, Bekasi
Ping balik: Yes to Life #22 | Lazione Budy
Ping balik: Februari2022 Baca | Lazione Budy
Ping balik: Drive My Car: Memikirkan Kata-kata | Lazione Budy