Kritik Sastra Indonesia

Buku-buku di rak kantor

Penilaian adalah hal yang penting, tidak dapat disanggah. Buku ditulis, diterbitkan, disalurkan, sampailah pada pembaca. Untuk mengetahui bagus tidaknya sebuah karya, butuh penilaian. Pembaca menjadi krusial karena memberi respon. Banyak hal yang terjadi selama proses itu, panjang nan berliku. Penulis tidak memiliki jalan pintas. Penerbit dan penjual juga tak ada jalan pendek. Muara di pembaca, semua proses ke muara memang butuh waktu dan tenaga. Penulis bukan penemu, tetapi mensuplai pengetahuan. Pembaca bukan hakim, tetapi berhak mengulik nilai akhir.

Sastra Indonesia memang tengah bergeliat, sangat menyenangkan kita hidup di era serba digital. Di masa kini, buku-buku dengan mudahnya kita cari dan dapatkan. Bermodal android dan pertemanan di dunia maya, tinggal ketik di pencarian maka abracadabra, muncullah. Dalam dunia maya segalanya mungkin, seolah Tuhan berkata, “Fiat lux!” (jadilah terang), maka dalam hitungan hari buku yang dicari sudah bisa dinikmati. Setiap kemudahan sejatinya dibarengi dengan tikaman ancam, maka dunia kertas yang sudah seabad lebih menguasai pasar perbukuan kini dalam raungan alarm akan serbuan bentuk digital. Banyak yang sulit beradaptasi, kenikmatan aroma buku dalam kenyamanan menjadi benteng akhir untuk dipertahankan. Namun sampai kapan? Sampai angin dan matahari hanya membicarakan kesepian.

Saya teringat Pramoedya Ananta Toer di buku Bumi Manusia, betapa beruntungnya Minke hidup di era mula abad 20. Ada mesin pencetak kertas, gambar bisa dicetak ratusan dalam sehari, era kemudahan dalam menikmati karya, relate untuk masa kini bila kukatakan betapa beruntungnya kita di era digital ini. Kalau masa itu Minke merasa hidup dalam kemewahan dan kemegahan, kita mungkin serasa di surga teknologi. Surplus informasi, kebanjiran berita, teori ilmu melimpah ruah.

Dari sastra kita belajar banyak hal. Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, kita menuai pelajaran arti cinta pertama, cinta sejati, cinta mati. Tak ada cinta yang lain, sebuah kesetiaan yang sulit kita terima dengan nalar, memang setiap individu itu unik, sebagian besar kita mungkin malah pernah mengalami cinta bodoh dengan tetap mengedepankan kesetiaan tanpa syarat, kekerasan hati Hayati mengingatkanku pula pada Daisy Buchanan dalam The Great Gatsby-nya F. Scott Fitzgerald. Terasa sekali ceweknya jahat banget, menikam kemurnian kasih.

Di tahun 2002 muncul novel Cantik Itu Luka, dua tahun berselang muncul Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, tidak langsung booming, tidak serta merta menuai kesuksesan di pasar, terlambat panas. Butuh waktu lumayan lama untuk meledak, tahun 2010-an barulah namanya mencuat hebat. Kualitas memang tak berbohong, kualitas akan tertanam kuat di peredaran apa pun alasannya. Apalagi, kemudian muncul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Lunas dan O, yang bisa konsisten membentuk dunia imaji luar biasa. Permainan kata dan plot menjadi komoditi utama.

Ketika membaca Saman karya Ayu Utami, saya menemukan dunia wanita yang tak lazim, berontak dan berani bersuara, lebih terasa makin jleb karena muncul di pergantian era, Orde Baru jelang runtuh, di sana ada kritik sosial dan politik, bagaimana Laila menghadapi hari-hari liar dengan memikirkan Sihar yang tersandung politik. Saman seolah menjadi pembuka kran tema feminisme di Indonesia. Cala Ibi, Tarian Bumi, Biru, Supernova menyusul. Ceritanya bisa saja lebih menghentak, tapi karena Saman muncul terlebih dulu, saya mencatatnya lebih pas momentumnya.

Saya teringat kata-kata tokoh Watanabe di novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami yang berujar bahwa ia tak akan menikmati karya sastra modern yang belum dibaptis waktu, hidup ini singkat. Atau kata-kata AJ Fikry dalam The Storied Life of A.J. Fikry karya Gabrielle Zevin bahwa ia tak suka buku remaja. Sejatinya bagi para penikmat buku yang sudah sangat berpengalaman, otomatis kualitas akan menyaring sendirinya. Waktulah yang memvonisnya. Kebetulan keduanya adalah orang yang memiliki hobi dan kecimpung di dunia buku, lalu membentuk pola bahwa mutu sastra yang bagus itu klasik sehingga berhasil melewati masa dan bertahan hidup di era kita. Lantas apakah dokrin ini sah dan laik dipertahankan?

Sastra kita sejatinya mengalami banyak kemajuan, selain era yang memang lebih maju, tema yang disodorkan di pasar lebih bervariatif. Sastra kita membuncah dan semarak. Pasar akan sortir sendiri, kualitas akan bertahan di tengah gempuran karya, dan yang bertahan (pastilah) hanya karya bermutu. Saya teringat Manusia Harimau, buku ini berserak dalam obral diskon setelah dua atau tiga tahun pasca rilis. Masa menempanya, tahun 2010-an nama Eka mencuat, dan sosial media memblow-up keganasan Margio. Lihatlah sekarang, semua buku Eka sangat laku, terbitan lama justru berharga lebih mahal ketimbang edisi cover baru. Itulah kualitas.

Penerbit Indie di era digital menggeliat dengan taring sangat menjanjikan, dalam penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK), dekade 2010-an juara kategori Prosa contohnya dari Kura-Kura Berjanggut (Banana), Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Banana), sampai Dawuk, Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (Marjin Kiri). Bukti bahwa tak ada dominasi, tak ada relevansi antara modal dan kualitas. Gambaran yang bisa memicu berkarya dan diterbitkan dengan opsi lebih beragam. Karya sastra menentukan nasibnya sendiri.

Harus diakui dunia digital mengancam perbukuan bentuk kertas, dalam sebuah pos di blog ada yang berkomentar heran, saya masih menikmati buku (kertas) ditengah gempuran e-book, sejatinya dan sewajarnya kita memang harus beradaptasi pada perkembangan zaman, nyatanya kenikmatan membaca dalam layar tak maksimal, saya takkan betah memandang layar bercahaya bermenit-menit, apalagi berjam-jam. Aroma buku kertas dan kenyamaan di tiap ujung telunjuk, sensasi membalik kertas bagiku belum tergantikan, mungkin untuk generasi berikutnya saja. Beberapa Penerbit sudah mengantisipasinya, dan waktu terus berjalan.

Ketekunan kita membaca mencipta dunia imaji, dan dengan sendirinya kita hidup di dalamnya, minimal pelarian beberapa waktu dari penatnya kenyataan. Ada keseruan, ada keindahan, tapi memang terbatas di sana. Untuk bisa keluar perlu kembali kesadaran, terhanyut, tercerabut.

Sastra kita masih banyak perlu perjuangan berbagai pihak, orang-orang yang gemar membaca, menjadikan membaca buku sebagai kebutuhan masihlah sedikit, kalau tak mau dibilang kritis. Minat baca Negara kita menurut Central Connecticut State University (CCSU) tahun 2016 berdasarkan lima indikator kesehatan literasi: perpustakaan, input dan output pendidikan, surat kabar, dan ketersediaan komputer berada di angka 60 dari 61! Banyak Pekerjaan Rumah (PR) memang, tentu dibutuhkan banyak aksi lebih mumpuni ketimbang berteori.

Segala upaya para pejuang literasi memang sungguh aduhai dan kita wajib apresiai, tapi sayangnya tak banyak. Mayoritas masyarakat masih nyaman nongkrong sama gawai berjam-jam ketimbang mantengin buku. Sebuah kejadian langka ketika di ruang umum mendapati seseorang nyaman dengan buku, lihat saja, orang-orang lebih nyaman sama tempaan layar gawai untuk menunggu. Bukan mau menyalahkan siapapun, siapa tahu menatap layar ternyata baca e-book kumpulan puisi, tapi sejujurnya pikiran semacam itu jauh dari kenyataan. Permainan daring lebih memikat daripada baca buku, inilah PR kita semua. Lantas kepada siapa tuntutan itu disampaikan, diarahkan?

Semakin bertambahnya usia semakin matang pula pemikirnan, semakin baik kualitas tulisan. Banyak penulis yang sudah berhasil mencipta karya di usia remaja, tema yang disodorkan mayoritas cinta monyet, waktu menempa, dan ketika dewasa tulisannya (seharusnya) matang. Semua tamasya pengetahuan dalam menikmati sastra memiliki keunikan walaupun mungkin tema narasi sama. Sama-sama buku cinta misalnya, tulisan remaja jelas masih a la sinetron yang acakadut tayang di televisi waktu jam utama. Bertambahnya usia, temanya tetap cinta. Dengan kritik tajam di sana-sini, masalah yang dikemukan lebih berwarna. Sekali lagi seharusnya. Kenikmatan dilambangkan dengan angka 16 karena (diduga) kegiatan seksual dimulai pada usia enam belas. Namun karena dibutuhkan dua manusia untuk bersetubuh dilambangkan dengan dua angka 16. *(1) Di situlah usia krusial menanamkan ideologi dan masa penting menentukan arah.

Coba tengok ke toko buku, buku-buku remaja berhamburan. Sangat banyak, tapi terlihat asing? Mengapa? Karena saring usia. Saya sangat jarang menikmati buku remaja yang ditulis remaja, isinya jarang bagus. Memang segmen pasar juga sih. Beberapa kali coba iseng kunikmati, ya ampun benar-benar lemah dalam banyak hal. Namun usaha itu patut diapresiasi, memang bukan untuk generasi baby boomer target pasar mereka. Seperti sinetron yang ambyar secara kualitas, novel remaja memang diperuntukkan untuk generasi milenial. Tulisan yang bagus adalah tulisan yang mampu berbicara dan merangsang kedua otak secara bersamaan. *(2)

Apakah buku cinta-cintaan, buku horor yang mengagetkan, atau buku-buku yang dicetak dari wattpad bisa disebut sastra? Batasan sastra adalah segala yang tertulis atau tercetak, tapi karena luas maka batasan dipersempit menjadi segala yang tertulis lebih berkualitas, atau kritikus menulisnya mahakarya, buku-buku yang dianggap menonjol, karena bentuk dan ekspresinya istimewa, sastra sejatinya juga meliputi sastra lisan. Bahasa sastra mencoba memengaruhi, membujuk, akhirnya mengubah sikap dan pandangan pembaca. Bahasa sastra penuh simbolisme suara, tanda dari kata-kata. *(3)

Saya menikmati buku sastra sejak sekolah, dapat pinjaman di perpustakaan kota Solo. Saya ingat waktu itu iseng saja membawa pulang Namaku Hiroko karya Nh. Dini. Ada dunia asing yang memikat, novel dewasa dibaca remaja. Ada rasa malu, ada rasa perkewuh. Karena ada adegan dewasa ketika tokoh Hiroko memutuskan melepas keperawanan. Dan karena pendidikan seks di sini masih tabu untuk diperbincangkan maka masa itu bagiku sebagai dunia antah, dunia asing dan baru. Sungguh pengalaman berkesan menuntaskan kisah hidup karakter asing dari negeri Sakura.

Lalu novel detektif Misteri Dian yang Padam karya S. Mara GD memikat. Setelah beberapa cerita Agatha Christie dengan Pirot-nya memesonaku, juga Sherlock-nya Sir Arthur Conan Doyle, ada novel lokal yang tak kalah seru dalam penyelidikan kejahatan dalam dua karakter; kapten polisi Kosasih dan mantan narapidana Gozali. Saya merasakan kenikmatan tersendiri menelusur dunia detektif. Agak sulit mungkin membayangkan kota London yang walau di era Victoria, tetaplah megah. Maka terasa lebih klik dengan kota Ngawi dan sekitarnya, dalam penyelidikan pembunuhan Dian. Inilah mula saya mencintai buku, inilah pemicu. Menjadikannya rutin membaca, sebagai anak sekolah di pinggiran kota Solo dari keluarga sederhana, membeli buku adalah kemewahan. Semua itu saya pinjam, fiksi durasi yang diberikan Perpustakaan adalah dua minggu, sangat cukup untuk menuntaskan satu-dua buku di sela belajar.

Saya menemukan novel-novel sastra justru di luar, bukan di perpustakaan sekolah. Koneksi menjadi kutu buku memang wajarnya dari dalam, dari diri sendiri, menjadikannya mencintai buku juga butuh perjuangan, tidak mengeluhkan keadaan, tapi rasanya distribusi ke sekolah-sekolah untuk novel lokal berkualitas memang dirasa kurang. Entah di era digital sekarang, apakah ada alokasi khusus menuju ke sana. Ataukah masih sama saja, setiap cetak sastra yang ada di perpustakaan sekolah akan menjadikan dekat dengan generasi muda. Antisipasi utama yang seharusnya menjadi prioritas kala kita membicarakan literasi.

Usia memang bukan patokan kedewasaan, tapi tetap saja kualitas bacaan akan sangat memengaruhi perkembangan dan pilihan hidup di masa depan. Sudah seyogyanya masa-masa krusial remaja kini dijejali bacaan bermutu. Okelah acara tv swasta kita memang tak bermutu, memberi opsi ke channel daring untuk menikmati hiburan tonton, jangan berharap banyak dari tayangan televisi. Radio bisalah, karena membaca pun bisa dengan mendengarkan musik atau siaran radio. Dunia perbukuan sejatinya tak jauh beda, hanya opsi lahapnya lebih bebas waktu dan bisa di mana saja. Sekiranya untuk buku cetak bisa dipermudah dalam penyaluran (terutama) ke kawasan Timur Indonesia. Lebih terjangkau dan merakyat. Buku masih bisa diandalkan untuk hiburan, pendidikan, sampai perenungan.

Penghargaan Sastra nasional semakin banyak semakin bagus, dengan juri-juri Sastrawan ternama dan kualitas saring yang lebih ketat. Dalam dua puluh tahun terakhir, penghargaan Sastra yang patut mendapat sorotan salah satunya dalam Kusala Sastra Khatulistiwa, saya mengikuti perkembangan beberapa waktu terakhir dan menjadi saksi tahun-tahun kegemilangan para juara. Tahun 2016 Raden Mandasia contohnya, sungguh aduhai cara bertutur kata Yusi Avianto Pareanom, atau dua tahun berselang dari penerbit yang sama menghasilkan Kura-Kura Berjanggut yang luar biasa tebal, hal-hal yang membanggakan ini sejatinya membuat geliat penikmat buku tetap ada, dan nyata. Bagaimanapun, sastra membutuhkan perenungan yang intens.

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) masih terdepan, sudah lima puluh tahun menjadi rujukan sastra. Sekarang sudah banyak penulis muda menyeruak, tak ada dominasi sastrawan lama. Angkatan 2000-an atau kita bisa menyebutnya Angkatan Digital. Tema sudah sangat beragam, hal-hal yang di masa Orde Baru kena sortir, sekarang sudah bebas. Era yang represif, dan militerlistik sudah berakhir. Bahkan terlampau bebas. Tema-tema yang dulu rasanya mustahil terbit, sekarang menjadi komoditi umum. Cinta sesama jenis contohnya, sudah lazim dicipta. Atau kritik sosial politik, jumlahnya bisa dideret panjang. Perhargaan nasional resmi dari pemerintah juga patut diapresiasi, walau tak serutin dan seintens dua even yang kusebut, geliat penulis dan penghargaan patut disematkan. Puisi dan prosa diproduksi dengan oplah melimpah, bahkan terjadi inflasi karya di masa kini. Namun untuk sastra berkualitas masih butuh waktu lagi, sedekade lagi mungkin. Untuk menjadi sastrawan, memang wajib banyak membaca, banyak menulis.

Semangat zaman bisa dilihat dalam setiap masa terbitnya buku. Tiap dekade berjalan memiliki konsepsi penilaian dan apresiasi sastra yang berbeda-beda. Setiap era merupakan satu kesatuan dengan tipe novel atau puisi yang khas, dan tak bisa dibandingkan dengan zaman setelahnya. Kalau dilihat sepintas, sastra Indonesia benar-benar mulai menggeliat di tahun 1920-an. Balai Pustaka adalah penerbit di bawah kolonial, novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli adalah tonggak penting literasi kita. Cerita tentang perseteruan anak muda dan orang tua, cinta tak sampai dengan latar budaya Minang yang kental. Tahun 1928 muncul Salah Asuhan karya Abdul Muis yang menampilkan pertentangan budaya lokal dengan Barat (Belanda). Namun nama Muhammad Yamin tentu wajib dikedepankan di era itu karena seorang perintis puisi baru Indonesia yang mengetengahkan konsep Tanah Air dan bahasa persatuan.

Tahun 1930-an adalah era Pujangga Baru. Beberapa novel menonjol sekiranya bisa disematkan pada Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana, I Swasta Setahun di Bedahulu karya IGN Panji Tisna, sampai Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur St Iskandar. Beberapa masih menampilkan roman yang mumpuni antara modernitas dan budaya lokal. Tahun 1940-an adalah milik penyair Chairil Anwar, yang menasbihkan Angkatan 1945. Sampai akhirnya muncul Angkatan 1966 di mana tahun politik bergolak. Setelahnya hingga reformasi, berbagai genre dan jenis sastra menyeruak. Konfliks yang lumrah di masa itu, seperti novel Pulang-nya Leila S. Chudori yang mengetengahkan politik bersih-bersih efek politik tahun 1965, dan berujung pada reformasi 1998, mustahil terbit di era Soeharto. Lihatlah, tahun-tahun yang panjang itu sejatinya adalah bentuk kehidupan sosial masyarakat. Ada perubahan gaya sastra yang sangat cepat, ada generasi sastra baru tiap sepuluh tahun, lima belas tahun, dua puluh tahun. Setiap masa menampilkan kekhasannya masing-masing.

Kebudayaan mematik kenangan, kenangan akan menjelma karya yang jika dituturkan dengan benar dan nyaman akan menjadi karya sastra yang aduhai. Buku sastra bukan studi psikologi atau telaahnya, melainkan drama atau melodrama kehidupan sehari-hari. Cerminan waktu. Dulu dengan segala kesederhanaan, seminal dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah cinta yang terbentang di tanah Arab dengan Tanah Sumatra, nyaris tak ada komunikasi. Sekarang, kita bersama teknologi, pastinya cinta miss-komunikasi Hamid dan Zainab tak akan ada. Bagaimana tidak, orang sekarang menyatakan cinta saja bisa lewat sosial media atau sekadar kirim pesan! Atau riwayat kasih tak sampai Zainudin kepada Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, di era sekarang rasanya belenggu adat sudah (dapat) dihilangkan. Cinta ya cinta, pilihan kembali ke pemuda-pemudi menentukan jodohnya sendiri. Tak ada banyak campur tangan orang tua, atau ikatan adat. Selamat datang di dunia modernitas yang tunggang-langgang.

Dalam Kura-Kura Berjanggut karya Azhari Aiyup, rentang waktu dari era kerajaan sampai abad 21. Kitab cara membunuh Sang Raja, itu konon masih ada. Sejarah Aceh yang bergolak digarap dengan syahdu dalam konfliks beragam. Ini adalah novel lokal tertebal yang saya nikmati, nyaris seribu halaman. Kita disuguhi banyak tema dan kecanduan adu cerdik perebuatan kekuasaan. Novel itu jelas membutuhkan riset mendalam, tak sembarang orang bisa mengkhayalkan adegan, dililit sejarah, terasa nyata. Kita dapat mengumpulkan informasi tentang latar belakang sosial, latar belakang kerajaan yang memimpin, dan posisi ekonomi penulis. Kita dapat menunjukkan apa peran Azhari dalam masyarakat Aceh, kaum jelata atau mungkin penggiat sosial, dan tampilan cerita itu menggambarkan dengan jitu dalam lanskap sastra. Sosok sastrawan berinduk pada tradisi dan kultur tempatan.

Apakah ada sebuah buku berpengaruh terhadap pembacanya? Jawabnya tentu bisa ya, jikalau buku itu terasa istimewa. Apakah pengaruh Chairil Anwar menyebabkan generasi berikutnya mengingin profesi menjadi penyair? Apakah novel Ateis membuat para orang tua tak terlalu kolot mendidik anak? Ataukah novel Hati yang Damai membentuk dunia pernikahan harus dilandasi cinta? Penulis dipengaruhi dan memengaruhi kehidupan masyarakat, sastra tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup para karakter dunia rekaan yang dicetak. Banyak orang menamai keturunannya dengan nama tokoh fiksi novel. Lhaa… kalau yang ini saya sendiri contohnya. Bukti keterkaitan itu ada. Penulis mengajarkan banyak sifat-sifat menuasia ketimbang konsultan kemanusiaan. Sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah kehidupan sosial budaya masyarakat. Sastra lahir dari rahim kehidupan sosial budaya sekitar.

Saya teringat ucapan teman satu kos dulu, yang bilang membaca itu merusak mata dan membuang waktu berharga. Dalam buku Pengarang Tidak Mati, ada kalimat: membaca karya sastra sebagai kegiatan membuang-buang waktu. Mereka membaca karya sastra dicap sebagai pemalas. Inilah pandangan sebagian besar masyarakat kita mengenai profesi sastrawan dan memperlakukan karya sastra sebagai karya tidak mendatangkan manfaat apa-apa. *(4)

Keahlian membaca memang sangat diperlukan dan menjadi dasar untuk membudayakan apresiasi sastra dalam masyarakat, juga pilihan baca harus ke arah buku-buku bermutu. Kritik yang muncul menjadi pemicu karya berikutnya yang lebih baik. Dalam Tentang Menulis *(5) karya Bernard Batubara, ia mengaku tiga karya perdana yang bertema cinta memang dirasa biasa, tapi sukses di pasar dan menjadi pematik menulis, bahkan ada yang memberi satu bintang di Goodreads disertai ulasan minor bahwa bukunya sampah, ia dengan hati terbuka menerima, muhasabah, dan lihatlah, muncul karya beliau di kemudian hari dengan mutu bagus, contohnya Milana dan Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran secara cerita sangat bagus. Di sini jelas, kritik itu menempa dan berfungsi dengan tepat.

Dengan buku yang sama penilaian baca tiap kepala tentunya berbeda, pembacaan tiap masa juga berbeda. Sama halnya dalam musik. Bahkan jika karya yang sama dimainkan lagi malam harinya, karya itu juga diharapkan terdengar baru. Tuntutan tingkat kreativitas sangat tinggi, bahkan terdengar tidak realistis; musisi tidak saja dituntut untuk terdengar berbeda dari musisi lain tapi juga berbeda dari dirinya sendiri. *(6) Penulis dituntut mencipta karya yang beragam tema, tapi tetap mutunya aduhai. Setiap individu, setiap masa, setiap kesempatan kemungkinan memunculkan beda tafsir dan pemahaman. Kita berhak mencari penafsiran makna perilaku Si Tukang Pos yang menyelam dalam amplop, yang mungkin malah tidak disadari oleh Seno Gumira Ajidarma sendiri.

Dari zaman dulu, perdebatan mutu kalau sudah kembali ke selera akan sulit didiskusikan, sulit menemukan titik temu yang memuaskan semua individu, karena selera itu sufatnya abstrak serta unik. Banyak hal bergelantung di dalamnya, sama seperti tiap manusia yang unik, selera tiap orang tidak ada yang sama, bahkan dalam manusia yang kembar sekalipun. Reputasi juga berkaitan dengan masalah tanggapan pembaca. Tanggapan pembaca dari satu periode diselidiki melalui sejumlah pernyataan resmi yang dianggap mewakili pendapat umum. Jadi masalah ‘selera yang berubah-ubah’ bersifat ‘sosial’, dan dapat diletakkan pada dasar sosiologi yang jelas. Hubungan karya dan publik tertentu dapat ditelusuri melalui sejumlah edisi dan buku yang terjual. *(7) Sejarah mencatat, kualitas dan cap ‘best-seller’ di sampul buku sering kali tak segaris lurus. Pasar buku, seperti halnya dunia ini yang sulit diprediksi. Maka sastra boleh dibaca, dinikmati, dan diapresiasi… Apresiasi, selera, dan antusiasme adalah urusan pribadi. Intuisi mengarah pada apreasiasi yang bersifat emosional, jelas lebih subjektif. *(8)

Sebagai seorang blogger (buku, film, sepak bola) saya mencoba menempatkan diri dalam pandangan umum. Buku yang sepuluh tahun lalu kubaca menimbulkan decak kagum, belum tentu sama penilaiannya dengan sekarang. Buku yang tak kumengerti alur dan maksudnya lima belas tahun lalu, ketika dibaca ulang, bisa saja menimbulkan respon positif. Banyak faktor, banyak hal yang bisa dilihat. Setidaknya setiap pembaca memberi respon penilaian, sudah patut diapresiasi. Setiap orang ingin dihargai; penulis,orang-orang di balik penerbitan, penjual, dan tentu saja pembaca. Sastra kita memang perlu dipecut!

Terakhir, saya ingin mengutip tentang kreativitas menulis. Tekad untuk menjadi original dan tidak mau membaca apa pun itu sungguh mengharukan dan tidak masuk akal. Anda boleh saja bersikukuh tidak membaca buku-buku yang ditulis orang orang lain, sebab Anda tidak ingin terpengaruh… apa pun dalihnya itu sangat egoistis dan ajaib… Dan, kalau novel itu jadi, saya betul-betul tidak ingin membacanya. Saya kira itu cukup adil karena ia tidak mau membaca karya orang lain. *(9)

Banyak-banyaklah membaca, percayalah suatu saat ilmu yang diserap itu akan berguna, dan cobalah menulis.

Karawang, 070920 – The Adams – Pahlawan Lokal

——————————————————————————-

1) Eco, Umberto, “Bahasa & Kegilaan”, Circa: cetakan pertama: Agustus 2019, hlm. 76

2) Manson, Mark, “Segala-galanya Ambyar”, Grasindo: cetakan II: Februari 2020, hlm. 54

3) Wellek, Rene; Warren, Austin, “Teori Kesusastraan”, Gramedia Pustaka Utama: cetakan keenam (cover baru) September 2016, hlm. 11

4) Mahayana, S Maman, “Pengarang Tidak Mati”, Nuansa: cetakan I, Juli 2012, hlm. 32

5) Batubara, Bernard, “Tentang Menulis”, Tanda Baca: cetakan pertama, Juli 2019, hlm. 24

6) Szwed, John F., “Memahami dan Menikmati Jazz”, Gramedia Pustaka Utama: cetakan kedua, Juli 2013, hlm. 35

7) Wellek, Rene; Warren, Austin, “Teori Kesusastraan”, Gramedia Pustaka Utama: cetakan keenam (cover baru) September 2016, hlm. 107.

8) Ibid. hlm. 4

9) Laksana, A.S., “Creative Writing”, Banana, 2020, hlm. 184-185

** Tahun 2020 saya kirim ke lomba Kritik Sastra dan kalah, saya pos di blog ini agar bisa dinikmati para pembaca.