10 hari terakhir Ramadan, membuat fokusnya lepas. Mencatat dan menyimpannya di HP dan excel komputer. Tenang, event ini terus melaju kawan… ada perubahan, khusus untuk additional kata sementara off dulu. Agak kewalahan, jadinya kembali ke tenplate utama event ini, tiga item yang dinikmati tiap malam.
Hari 46
#1. Cerpen: Kembalinya Si Tuan Kecil (Rabindranath Tagore)
#2. Esai: Reinkarnasi bab Lama Sang Tokoh (Vicki Mackenzie)
#3. Puisi: Tugu (Rivai Apin)
Hari 47
#1. Cerpen: Perpecahan (Rabindranath Tagore)
#2. Esai: Etika Dasar bab Etika Normatif (Franz Magnis-suseno)
#3. Puisi: Sebagai Kenangan kepada Amir Hamzah Penyair yang Terbunuh (Asrul Sani)
Seorang bajiangan seperti Joe – bagi mereka itu sudah sangat jelas – pasti mengabdi pada iblis dan akan terlalu berbahaya untuk melibatkan diri dalam sebuah pertempuran melasan kekuatan seperti itu.
(Mark Twain, Petualangan Tom Sawyer)
#3. Kepulangan Staubfinger
“Apa itu?” kata si Matan Tutul, “yang begitu gelap tapi sekaligus penuh bagian-bagian kecil bercahaya.”
(Rudyard Kipling, Bagaiamana Macan Tutul Mendapatkan bintik-bintiknya)
#4. Putri Lidah Ajaib
Apakah sebenarnya hanya ada satu dunia, yang menghabiskan waktunya dengan memimpikan dunia-dunia lain?
(Phillip Pullman, Pisau Gaib)
#5. Farid
“Dia keras kepala bagaikan bagal, pintar seperti monyet, dan gesit seperti kelinci.”
(Louis Pergaurd, Perang Kancing)
#6. Penginapa Seniman Pengelana
“Terima kasih,” kata Lucy, membuka kotak korek api dan mengeluarkan sebatang korek api. “Perhatikan semuanya!” dia berteriak. Suaranya menggema nyaring. “PERHATIKAN! SELAMAT TINGGAL KENANG-KENANGAN BURUK!”
(Philip Ridley, Dakota Pink)
#7. Keputusan Maggie
Ide itu melayang-layang dalam getaran lembut yang berkilauan bagai gelembung sabun dan Lyra tak berani menatapnya langsung karena takut melihat gelembung itu pecah. Tetapi, ia telah terbiasa menghadapi ide-ide semacam itu, maka ia pun membiarkannya tetap berkilauan, mencoba mengalihkan pikirannya pada hal lain.
(Phillip Pullman, Kompas Emas)
#8. Sang Biduanita Pengelana
Tetap seorang seniman adalah jalanan, Begitulah kebiasaan lama, Maka selapis kesedihan. Selalu menyelimuti lagu-lagunya. Apakah suatu hari nanti aku ‘kan kembali? Oh sayang, aku pun tak tahu. tangan berat sang Kematian, menghancurkan banyak kuncup mawar yang bermekaran.
(Elimar von Monsterberg, Der Spielmann)
#9. Meggie Membaca
Setiap buku memiliki jiwa. Jiwa orang yang telah menulisnya serta jiwa mereka yang telah membaca dan menikmatinya dan memipikannya.
(Carlos Ruiz Zafon, Bayangan Angin)
#10. Tintewelt
Dalam ketakutan mereka bertiga dapat merasakan betapa drastic perbedaan antara sebuah pulau yang ada dalam bayangan dengan sebuah pulai dalam kenyataan.
(Kames M. Barrie, Peter Pan)
#11. Meggie Telah PErgi
“aku bangun dan tahu, dia telah pergi. Aku langsung tahu, dia telah pergi. Kalau kau mencintai seseorang, kau bisa tahu hal-hal semacam itu.”
(David Almond, Zeit Des Mondes)
#12. Tamu Tak Diundang
“Kalian memiliki hati,” katanya pada suatu ketika, “yang membimbing kalian agar tidak melakukan hal-hal buruk. Aku hidup tanpa hati, karena itulah aku harus bersungguh-sungguh mengawasi diriku sendiri.”
(L. Frank Baum, The Wizard of Oz)
#13. Fenoglio
“Aku melatih diriku mengingat, Nain,” kataku. “Menulis, membaca, dan mengingat.”
“Memang itu yang harus kaulakukan,” balas Nain tajam. “Kau tahu apa yang terjadi setiap kali kau menulis tentang sesuatu? Setiap kali kau memberi nama pada suatu benda? Kau mengambil kekuatannya.”
(Kevin Crossley-Holland, The Seeing Stone)
#14. Pangeran Hitam
“Jadi beruang-beruang bisa membuat sendiri jiwa mereka…” kata Lyra. Begitu banyak hal di dunia ini yang tidak diketahuinya.
(Phillip Pullman, Kompas Emas)
#15. Suara-suara Asing di Malam yang Asing
Betapa dunia begitu sunyi / Dalam dekapnya senja / Teramat manis dan menyenangkan! / Bagai sebuah ruang sepi / Tempat keluhan hari ini / Kauabaikan dan lupakan
(Mathhias Claudius, Abendlied)
#16. Hanya Sebuah Dusta
Selimut itu ada di sana, namun pelukan pemuda itulah yang menyelimuti dan menghangatkannya.
(Jerry Spinelli, Maniac Magee)
#17. Hadiah untuk Capricorn
“Kalau dia bermusuhan dengan ayahku, aku lebih tidak percaya lagi padanya!” teriak gadus itu benar-benar terkejut. “Maukah Anda bicara dengannya, Mayor Heyward, agar aku bisa mendengar suaranya? Mungkin menurutmu ini konyol, tapi barangkali kau sering mendengar betapa aku percaya bahwa suara setiap orang memiliki makna.”
(James Fenimore Cooper, The Last of the Mochicans)
#18. Dendam Mortola
Aku tak berani, Tak berani kumenulis. Jika kau mati.
(Pablo Neruda, The Dead Women)
#19. Pagi di Hari Ulang Tahun
“Tidak, tidak akan kutinggalkan kota ini tanpa sebuah luka dalam jiwa… begitu banyak belahan jiwaku bertebaran di jalan-jalan dan begitu banyak anak kerinduanku berjalan telanjang di bukit-bukit.”
(Khalil Gibran, Sang Nabi)
#20. Tamu dari Bagian Hutan yang Jahat
“Kegelapan selalu memiliki peranan. Tanpanya, bagaimana kita tahu bahwa kita sedang menuju cahaya? Namun ketika, ambisinya menjadi terlalu besar, ia harus dilawan, diatur, kadang – jika perlu – dilenyapkan untuk sementara. Lalu dia akankembali lagi, seperti seharusnya.”
(Clive Barker, Abarat)
#21. Paduka Nestapa
“Aku tidak mau,” mustahil dikatakannya pada sang raja karena bagaimana nanti dia akan mencari nafkah?
(Raja dalam Keranjang, Cerita Rakyat Italia)
#22. Sepuluh Tahun
Waktu adalah kuda yang berlari di dalam hati, kuda / Tanpa kesatria di tengah jalan pada suatu malam. / Akal duduk terdiam, dengan saksama, mendengarkannya berlalu.
(Wallace Stevens, All the Preludes to Felicity)
#23. Dingin dan Putih
Aku bagai seorang pandai emas yang siang-malam menempa / Hanya dengan cara itulah dapat kuubah derita / Menjadi hiasan emas, lembut bagai sayap seekor jangkrik.
(Xi Murong, Poetry’s Value)
#24. Di Gudang Bawah Tanaj Elinor
Rak buku tinggi itu melendut / Menopang ribuan jiw ayang terlelap / Sunyi, penuh harap – / Setiap kali aku membuka sebuah buku, satu jiwa terbangun.
(Xi Chuan, Books)
#25. Perkemahan di Hutan
Aku pikir ia mengatakannya setiap saat: aku sangat penat, sangat penat, sangat penat; O kematian, datanglah cepat, datanglah cepat, datanglah cepat.
(Frances Cornford, The Watch)
#26. Rencana Fenoglio
Yang kubutuhkan hanya selembar kertas serta alat tulis, dan aku akan mengguncang dunia.
(Frederich Nietzsche)
#27. Violante
Keesokan harinya nenek mulai bercerita untukku. Dia pasti ingin menghibur kami berdua dari kesedihan kami yang sangat dalam.
(Roald Dahl, The Witches)
#28. Kata-kata yang Salah
Jika yang kaumiliki dariku hanyalah rambut merahmu serta tawamku yang sepenuh hati / maka hal lain dalam diriku bisa bagus atau buruk / bagaikan bunga-bunga pudar yang hanyut di air.
(The Ballad of Little Florestan)
#29. Penguasa Baru
Para tiran tersenyum saat mengembuskan napas terakhir. Karena mereka tahu bahwa dalam kematian mereka, Tirani hanya beralih ke tangan lain, kekuasaan tetap bertahan di tanah-tanah mereka.
(Heinrich Heine, King David)
#30. Cosimo
“Ya,” kata Abhorsen. “Aku ahli nekromansi, tapi bukan nekromansi sembarangan. Bila yang lain-lain membangkitkan orang mati, aku mengistirahatkan mereka kembali…”
(Garth Nix, Sabriel)
#31. Elinor
Di luar sana tidak banyak yang terjadi. Tapi di malam yang istimewa ini, di negeri bertembok kertas dan kulit, segalanya mungkin terjadi, selalu begitu. (Ray Bradbury, Something Wicked This Way Comes)
#32. Salah Orang
Maka ia pun meletakkan tanaman obat yang bisa menyembuhkan itu / Ke dalam mulut lelaki itu – dan dia pun langsung tertidur. / Diselimutinya lelaki itu dengan sangat hati-hati. / Dia terus saja tidur sepanjang hari.
(Wolfram von Eschenbach, Parsifal)
#33. Dongeng Kematian
Angin mala mini, begitu kuat berembus / Terdengar bagaikan mata pisau yang dikibaskan orang – Di batang-batang pepohonan yang rimbum…
(Montale, Poems)
#34. Pesan Si Kaki Awan
Ya, kasihku, Dunia kita berdarah. Dengan kepedihan yang lebih besar daripada kepedihan cinta.
(Faiz Ahmed Faiz, The Love I Gave you Once,)
#35. Obat-Tinta
Kenangan akan ayahku terbungkus dalam / Kertas putih, bagaikan sandwich yang hendak dibawa ke tempat kerja. / Seperti pesulap mengeluarkan aneka benda dan kelinci / Dari dalam topinya, ia mengeluarkan cinta dari tubuhnya yang kecil.
(Yehuda Amichai, My Father)
#36. Jetitan-jeritan
Aku ingin melihat dahaga / Dalam silabel, / Menyentuh api / Dalam suara; / Merasakan dalam kegelapan / Jeritan itu.
(Pablo Neruda, Word)
#37. Jerami Bercak Darah
Goblin yang terkubur dalam tanah, peri yang mendendangkan lagu di pepohonan; semua itu merupakan keajaiban dari membaca, namun di baliknya tersimpan keajaiban mendasar bahwa, dalam dongeng, kata-kata dapat memerintahkan terjadinya sesuatu.
(Francis Spufford, The Child That Books Built)
#38 Penonton untuk Fenoglio
“Lady Cora,” katanya, “Terkadang orang harus melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan. Ketika persoalan besar melanda, orang tidak bisa mempermainkan keadaan dengan sarung tangan sutra. Tidak. Kita sedang membuat sejarah.”
(Mervyn Peake, Titan Groan)
#39. Pesuruh Lain
Ingatan yang paling kuat lebih lemah daripada tinta yang paling pucat.
(Pepatah Cina)
#40. Tanpa Harapan
Si Panci monster berdiri dan berjalan menghampiri piringnya dengan kaki-kaki perak kurus yang terseok-seok seperti kaki burung hantu… “Oh, aku suka sekali panci monster!” oekik si Kutik. “Dari mana kau mendapatkannya?”
(T.H. White, The Sword in the Stone)
#41. Para Tawanan
“Kalau begitu menurutmu dia belum mati?” Ia mengenakan topinya. “Bisa jadi aku keliru, tentu saja, tapi menurutku dia masih segar bugar. Semua gejalanya menunjukkan hal itu. Tengoklah dia, dan saat aku kembali kita akan bertemu dan memutuskannya.”
(Harper Lee, To Kill a Mockingbird)
#42. Wajah yang Tak Asing Lagi
Percayalah padaku. Terkadang saat hidup kelihatannya berada di titik tergelap, ada terang tersembunyi di tengah semua itu.
(Clive Barker, Abarat)
#43. Kertas dan Api
“Bagus, well, kalau itu sudah diputuskan,: terdengar suara dari ujung sel yang gelap dan lembab. Suara si gnokgoblin, masih dirantai dan terlupakan. “Kalau begitu, tolong lepaskan aku.”
(Paul Stewart, Midnight Over Sanctaphrax)
#44. Pohon yang Terbakar
Apakah kau melihat lidah-lidah api / Melesat, menjilat semkain lama semakin tinggi? / Apakah kau melihat nyala api menari-nari, / Membakar, menyapi kayu kering?
(James Kruss, Fire)
#45. Kasihan Meggie
“Halo,” sapa suara lembut nan merdu, dan Leonardo pun mendongak. Di hadapannya berdiri gadis muda paling cantik yang pernah ia lihat, gadis yang mungkin akan membuatnya takut kalau bukan karena ekspresi sedih di matanya yang biru. Leonardo tahu tentang kesedihannya.
(Eva Ibbotson, Misteri Penyihir Ketujuh)
#46. Ketukan di Pintu
Lancelot mengamati cawannya. “Ia bukan manusia,” akhirnya ia berkata. “Tapi mengapa dia harus menjadi manusia? Apakah malaikat harus menjadi manusia?”
(T.H. White, The Ill-Made Knight)
#47. Roxane
Mata baginda putri tidaklah seumpana mentari; Batu koral masih jauh lebih merah daripada merah bibirnya. Bila salju berwarna putih, lantas mengapa dadanya kecokelatan; bila rambut laksana kawat, kawat-kawat hitam tumbuh di kepalanya.
(William Shakespeare, Soneta)
#48. Kastel di Tepi Laut
Selembar halaman yang ia temukan dalam buku pedoman tentang patah hati.
(Wallace Stephens, “Madame la Fleurie”, Kumpulan Puisi)
#49. Penggilingan
Kami berkuda dan terus berkuda dan tidak terjadi apa-apa. Ke mana pun kami pergi, semua tenang, damai, dan indah. Anggap saja seperti malam yang tenang di pegunungan, pikirku, walaupun itu sama sekali tidak benar.
(Astrid Lindgren, Kakak-Beradik Hati Singa)
#50. Malam Terbaik
“Makan,” kata Merlot.
“Tidak mungkin bisa,” jawab Despereaux, mundur menjauhi buku.
“Mengapa?”
“Eh,” jawab Despereaux, “itu akan merusak ceritanya.”
(Kate DiCamillo, The Tale of Despereaux)
#51. Kata-kata yang Tepat
Taka da hal buruk berdiam di kuil semegah itu. Bila roh jahat memiliki kediaman seindah itu, Hal-hal baik harus berjuang keras untuk dapat berdiam besamanya.
(William Shakepeare, The Tempest)
#52. Kemarahan Orpheus
Semua kata ditulis dengan tinta yang sama, “bunga” dan “kuasa”, misalnya, sama saja, dan walaupun aku mungkin menulis “darah, darah, darah” memenuhi halaman, kertasnya tidak akan ternoda dan aku juga tidak akan berdarah.
(Phillipe Jacottet, Parlet)
#53. Burung Lumbung
Dan setiap dokter pasti tahu Tuhan telah menempatkan misteri yang besar dalam banyak tumbuhan, bila karena roh-roh dan hal-hal liar membuat manuisa merana, dan pertolongan ini datang bukan dari iblis tapi dari Alam.
(Paracelsus, Works)
#54. Di Penjara Bawah Tanah Kastel Kegepalan
Mereka berkata: Bicaralah untuk kami (kepada siapa?). Sebagian berkata: Balaskan dendam kami (terhadap siapa?). Sebagian berkata: Gantikan tempat kami. Sebagian berkata: Saksi mata. Yang lain-lain berkata (dan mereka ini wanita): Berbahagialah untuk kami.
(Margaret Atwood, “Down”, Eating Fire)
#52. Surat dari Feniglio
Kalau begitu adakah dunia. Tempat aku berkuasa sepenuhnya atas takdir? Waktu yang bisa kuikat dengan rantai pertanda? Keberadaan yang tak kunjung berakhir sebagaimana yang kuperintahkan?
(Wislawa Szynborska, “The Joy of writing”, View with a Grain of Sand)
#53. Mencuri Dengar
Lagu terbaring tidur dalam segala hal. Yang bermimpi siang dan malam. Dan seluruh dunia sendiri bernyayi. Bila kata ajaib yang kauucapkan.
(Joseph von Eichendorff, The Divining Rod)
#54. Api dna Air
Dan apa arti pengetahuan kata selain bayangan dari pengetahuan tanpa kata?
(Khalil Gibran, Sang Nabi)
#55. Tak Terlihat Seperti Angin
“Maaf sekali, Yang Berdarah, Mr Baron, Sir,” katanya menjilat. “Salahku, salahku – aku tidak melihatmu – tentu saja tidak, kau tidak kelihatan – maafkan gurauan kecil Peevsie, Sir.”
(J.K. Rowling, Harry Pooter dan Batu Bertuah)
#56. Nattenkopf
Pikiran-pikiran tentang kematian / Mengganggu kebahagiaanku / Bagaikan awan-awan hitam / Menutupi semburat perak cahaya bulan.
(Sterling A. Brown, Thoughts of Death)
#57. Api di Dinding
Lihat, putihnya dinding, perhatikan, muncul sebentuk tangan manusia, Yang menulis dan menulis, dalam huruf-huruf indah, Pesan berapi-api untuk negeri ini.
(Heinrich Heine, Belsazar)
#58. Di Menara Kastel Kegelapan
Kau tidak pernah keluar dalam keadaan seperti waktu kamu masuk.
(Francis Spufford, The Child that Books Built)
#59. Ke Mana
Aku memimpikan buku yang tak berbatas, / Buku yang tak berjilid, / Halaman-halamannya berserakan dalam kelimpahan / Si setiap barisnya tergambar cakrawala baru / Surga-surga baru dibukakan; / Negeri-negeri baru, jiwa-jiwa baru.
(Clive Barker, Abarat)
#60. Sarang Musang
“Oh, Sara. Seperti dongeng saja.”
“Ini memang dongeng… semua adalah dongeng. Kau adalah dongeng – Aku adalah dongeng. Miss Minchin adalah dongeng.”
(Francis Hodgson Burnett, The Little Princess)
#61. Habis Sudah
Ini perang! Ini perang! Malaikat Tuhan menyertaiku / Dan membimbing tanganmu. / Perang ini, aduh, dan aku tak bersalah / Atas apa yang melanda negeri ini.
(Matthias Claudius, War Song)
#62. Penguasa Cerita
Help besi tak akan mampu menyelamatkan / Bahkan para pahlawan dari liang kubur. / Darah orang-orang baik akan tercurah / Sementara mereka yang lalim Berjaya.
(Heinrich Heine, Valkyries)
#63. Kertas Kosong
Demi kau kami membuat hal-hal seperti berdiri tegak. Selama berabad-abad halaman-halaman ini akan bertahan selamanya. Di atas kertas kosong mesin cetak menerakan apa yang terdengar. Menghidupkan sesuatu dengan kekuatan kata.
(Michael Kongehl, Die Weisse und die Schwarze Kunst)
#64. Kebaikan dan Belas Kasihan
Di sinilah kami tergantung, / Daging kami yang terlalu banyak makan, / Sedikit demi sedikit disantap dan membusuk, terkoyak dan tercabik, / Dan tulang kami melebur menjadi debu.
(Froncois Villon, Ballade of the Hanged Man)
#65. Kunjungan
“Jika aku tidak bisa keluar dari rumah ini,” pikirnya, “matilah aku!”
Robert L. Stevenson, The Black Arrow
#66. Malam Sebelumnya
Benar, aku berbicara tentang mimpi-mimpi, / Yang merupakan anak-anak dari otak yang menganggur / Tak menghasilkan apa-apa kecuali khayalan sia-sia, / Yang maknanya hanyalah setipis udara.
(William Shakespeare, Romeo and Juliet)
#67. Pena dan Pedang
“Tentu saja tidak,” kata Hermione. “Semua yang kita butuhkan ada di kertas ini.”
(J.K. Rowling, Harry Potter dan Batu Bertuah)
#68. Hanya Mimpi
Suatu hari seorang pemuda berkata, “Aku tidak suka cerita yang di dalamnya banyak orang mati. Aku akan pergi mencari negeri tempat tidak seorang pun pernah mati.”
(Negeri Tempat Tidak Seorang Pun Pernah Mati, Cerita Rakyat Italia)
#69. Pertukaran
Biru mataku telah padam malam ini / Merah emasnya hatiku.
(Geord Trakl, “By Night”, Poems)
#70. Gagak Biru
Dunia ada untuk dibaca. Dan aku membacanya.
(Lynn Sharon Schwartz, Ruined by Reading)
#71. Harapan Farid
Dan sekarang ia sudah mati, jiwanya melayang ke Negeri Tanpa Matahari dan tubuhnya terbaring dingin di lumpur dingin, di suatu tempat di tengah keramaian kota ini.
(Philip Reeve, Mortal Engines)
#72. Sendiri lagi
Harapan adalah sesuatu yang berbulu.
(Emily Dickinson, Hope)
#73. Penyair Baru
Kegembiraan menulis / Kuasa untuk mengabadikan, / Pembalasan dendam tanganyang fana.
(Wislawa Szymborska, The Joy of Writing)
#74. Ke Mana Sekarang
Raksasa itu menyandarkan punggungnya ke kursi, “Ada beberapa cerita yang masih tersisa,” katanya. “Aku bisa menciumnya di kulitmu.”
Idealnya memang dicatat per lima hari seperti ini, jadi tak terlalu menumpuk. Namun sekali lagi, ini catatan buat memantau perkembangan program sahaja, dibuat nyaman, dibikin santuy.
Hari 41
#1. Cerpen: Malam Hening, Kasih Bening (Ike Soepomo)
Konfliks yang disampaikan berat, penyelesaiannya yang ringan. Pasangan suami istri yang secara ekonomi mapan mengadopsi anak dari dokter sahabatnya yang menangani kelahiran ibu yang miskin dan sudah cerai. Namun setelah tiga tahun, sang ibu menuntut haknya. Ia mencoba merebut anak kandungnya. Inilah pentingnya surat adopsi resmi, maka melalui pengadilan, dan negosiasi alot, mereka dengan berat hati merelakan. Endingnya sedikit dimodifikasi.
#2. Esai: Manusia Indonesia bab Tanggapan-Tanggapan (Mochtar Lubis)
Setelah menikmati bacaan ceramah 82 halaman Mochtar Lubis, muncul berbagai tanggapan di Koran nasional. Ada yang sangat keras menentang menyebutkan sifat-sifat manusia, yang rerata memang negatif. Dibantah langsung oleh yang penulis, lalu tanggapan lain muncul, dibantah lagi, dan diluruskan. Seru sekali, Koran tahun 1970-an ini menyanggah tulisan dan mengkirtisinya.
Luar biasa, tulisan bagus dari ceramah itu memunculkan pro-kontra. Memang pahit mengetahui keburukan sifat mayoritas warga kita, fakta pahit itu diungkap dan wajar saja muncul tanggapan-tanggapan. Di Koran nasional tahun 1970-an ada yang menyanggahnya, lalu disanggah balik, ada yang sepakat, tapi kritis, ada pula yang memberi contoh sifat-sifat kontra yang ada. Seru sekali, buku yang bagus.
#3. Puisi: Kancing Baju Tanggal Seluruhnya (Deddy Arsya)
Dalam topi lakenmu yang bundar / cakrawala tiba-tiba pudar / bukit-bukit baru tumbuh dari balik kabut seperti payudara / anak gadis tiga belas tahun / ladam kuda memercikkan api di jalan raya, dulu para rodi / bergelimang mati di situ / tetapi sebentar lagi lampu-lampu toko menyala di / seberangnya menerbarkan harum / sabun yang tercium dari leher gadis-gadis baru pulang dari / pemandian air panas
#4. Kata: Indonesia
capai: raih, sampai; lelah, letih
Hari 42
#1. Cerpen: Permata Lembah Hijau (Ike Soepomo)
Keluarga yang sejatinya mapan, dengan tiga anak manis. Lalu musibah dicipta, sang suami kecelakaan kerja yang mengakibat kakinya harus diamputasi agar infeksi tak menjalar. Keruntuhan dimulai, suaminya yang insinyur emosi, banyak hal dipertanya, istrinya ditampar, anak-anaknya menjauh, dan begitulah, butuh ketenangan hati untuk memutuskan nasib ke depan. Inilah keluarga.
#2. Esai: Resistansi Bahasa Daerah di Era“Westernisasi” (Komang Budi Mudita)
Upaya menahan gempuran bahasa asing dengan melokalisasikan bahasa daerah. Bahasa daerah yang terancam punah harus dilindungi, dan penggunaan sehari-hari tentu sangat efektif, sebab langsung dipraktekkan. Salah satu yang menonjol adalah bahasa Ngalam, orang-orang Malang yang membalik kata dan ditulis ulas di koran lokal. Patut diapresiasi.
#3. Puisi: Sajadah Panjang (Taufiq Ismail)
Ada sajadah panjang terbentang Dari kaki buaian Sampai ke tepi kuburan hamba Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan sujud Di atas sajadah yang panjang ini Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu Mengukur jalanan seharian Begitu terdengar suara azan Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan rukuk Hamba sujud dan tak lepas kening hamba Mengingat Dikau Sepenuhnya.
#4. Kata: Indonesia
cecak: binatang merayap, biasa hidup di dinding atau langit-langit rumah
Hari 43
#1. Cerpen: Untung dan Rugi (Rabindranath Tagore)
Di India pernikahan zaman dulu memang tampak aneh di mata kita. Keluarga perempuan memberi uang besar kepada keluarga laki-laki, sebab pengantin perempuan pindah rumah ikut suami, yang berarti tinggal sama mertua. Maka kalau suami adalah keluarga kaya, atau bangsawan maka maharnya minta besar. Keluarga perempuan mendapat mantu kaya tentu saja bangga, tapi jua kudu berkorban banyak uang. Pernikahan yang sejatinya menyatukan dua kelurag malah jadi petaka, perkara uang mahar.
#2. Esai: Literatur Gerakan Sufi Barat (Marcia Hermansen)
Bagus banget. Tasawuf di Eropa dan Amerika, di bumi Barat mengalami kebangkita abad 20. Gerakan itu mencipta gelombang Islamisasi, justru setelah kejadian 9/11 banyak yang bertanya-tanya tentang Islam, dan di sini sufisme naik daun.
#3. Puisi: Elang Laut (Asrul Sani)
Ada elang laut terbang / senja hari / antara jingga dan merah / surya hendak turun, / pergi ke sarangnya.
Apakah ia tahu juga, / bahwa panggilan cinta / ada ditahan kabut / yang menguap pagi hari?
Bunyinya menguak suram / lambat-lambat / mendekat, ke atas runjam / karang putih, / makin nyata,
#4. Kata: Indonesia
cendekia: tajam pikiran; cepat mengerti dan pandai mencari jalan keluar; terpelajar, cerdik pandai
Hari 44
#1. Cerpen: Kulit (Roald Dahl)
Mengerikan. Rasanya sulit dipercaya, penulis cerita anak ini memiliki cerpen dewasa yang keras dan sangat kejam, bila dibayangkan. Sebuah pesta mabuk pelukis dan istri dan tentara dari desa yang sama membuat ide gila, menulis di punggung. Lukisan tato itu menggemparkan di masa kini, dan ditawar sangat mahal. Lalu bagaimana menjualnya? Kulit itu dikupas?
#2. Esai: Siasat Struktur “Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi” (Marcelus Ungkang)
Novel pemenang KSK ini dikupas dengan gaya yang berbeda. Atau dalam bahasa literature, ditelisik dengan baik dalam kritik sastra. Walau tetap saja memusingkan menyikapi tata kelola kupasannya, sejatinya tetap asyik. Malah membuatku penasaran dan tertantang menulis kritik sastra yang bagus seperti ini.
#3. Puisi: Keluhan (Mustofa Bisri)
Tuhan, kami sangat sibuk.
#4. Kata: Indonesia
cengkerama: percakapan untuk menyenangkan hati; senda gurau; perjalanan untuk bersenang-senang
Hari 45
#1. Cerpen: Sang Nyonya Rumah (Rabindranath Tagore)
Tentang bullying, dari guru ke murid, dari murid ke murid. Memberi nama aneh kepada murid-murid, seorang anak manja yang sering dikirim gula-gula dan makanan oleh pelayannya di jam makan siang dijuluki Sang Nynoya Rumah.
#2. Esai: Untaian Hikmah bab Tiga Perkara (Ibnu Hajar al-‘Asqalani)
Bab dua ini intinya sama dengan bab satu, berisi hadis dan nasehat agama tentang segala hal berhubungan tiga perkara. Beruntun indah, tapi menyusun kutipan-kutipan seperti ini kurang membekas.
#3. Puisi: Kamar (Sapardi Djoko Damono)
ketika kumasuki kamar ini pasti dikenalnya kembali aku suara langkahku, nafasku dan ujung-ujung jari yang dulu menyentuhnya dan kali ini – pertemuan ini tanpa jam dinding begitu saja di suatu sore hari sewaktu percakapan tak diperlukan lagi tanpa engahan-engahan pendek tanpa “malam begitu cepat lalu!” dan kulihat bibir-bibirnya sembilu menoreh kenanganku
#4. Kata: Indonesia
cengkih: tanaman industri untuk rempah-rempah; bunga cengkih
Karawang, 140422 – Barry Manilow – Can’t Smile Without You
“Saya telah melakukan segalanya dengan benar sepanjang hidupku. Sudah bagus, melakukan apa yang harus dilakukan, tapi nyatanya saya tak mendapat timbal balik sepadan.” – Sandra
Seorang jenius pendiam yang perperangkap di dunia kemunafikan. Di dunia ini tak ada yang idealis, segalanya rata-rata, di tengah-tengah, harus dinegosiasikan, kudu menyesuaikan keadaan. Apapun sistem yang dipakai, kamu tak kan bisa puas, selalu akan ada rongga yang perlu ditambal, selalu akan menemukan sebuah bentuk yang lebih baik lagi dari apa yang kamu capai. Pengaruh memengaruhi dunia dan sekelilingnya. Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan unsur-unsur pengetahuan, seorang individu yang sadar. Sandra jelas memahami ini, tapi ia juga tak bisa mensejajarkan diri akan kehidupan sekelilingnya. Menemukan banyak hal tak sesuai harap, ditambah tekanan bahwa orangtuanya kaya dan sukses, ia justru seperti jadi beban keluarga. Rasanya ia dingin, sekaligus panas.
Sandra Mets (Mari Abel) seorang doktor fisika muda, ia mendapat kejutan di puncak acara kantornya dalam pesta keberhasilan proyek penelitian, ia justru dipanggil bosnya, diberitahu bahwa diberhentikan (bahasa sopan, kamu dipecat!) karena perusahaan perlu efektifitas kelola sumber daya manusia (SDM). Berita ini mengempiskan semangat. Tanpa banyak tanya, tanpa banyak komentar ia langsung mengemasi barang-barangnya, lantas pulang meninggalkan pesta. Sempat coba dicegah bosnya, coba diminta balik ke pesta, ia geming. Sebuah pembuka yang kontradiksi dari judulnya, Sandra Kehilangan Pekerjaan. Pergi dengan gaya.
Ia adalah seorang jenius, dari langkahnya sudah menunjukkan kecerdasan yang menyingkapkan derajat intelegensia bawaan yang tinggi, otaknya encer, rekomendasi pekerjaan banyak, tawaran wawancara ada, tes kerja antri. Ia memiliki seorang anak, yang keseharian dititipkan ke ibunya. Ayahnya seorang ilmuwan sukses, secara finansial orangtuanya aman, maka selama menganggur ia meminjam uang.
Dalam tes kerja, ia dengan mudah melibasnya. Tertulis lancar, wawancara tak jauh beda. Tawaran kerja juga mengantri, tapi memang tak ada yang bisa sreg, klik dengan hatinya. Tak mudah beradaptasi, tak mudah bergaul sama rekan kerja. Saat akhirnya ia mengambil salah satunya, sebuah perusahaan start-up yang mencipta chip. Saat mendapat apresiasi, ia diajak pesta nyanyi, tapi malah dengan galak membalas tak bisa nyanyi. Dasar jenius murung. Ia juga tampak egois, walaupun setelah bermenit-menit kita tahu, Sandra-nya yang defense, tampak sombong tapi bukan sombong, rasanya ia sangat logis. Diamnya adalah misteri yang tak terpecahkan. Saat-saat di puncak kemuakan, seolah kita bisa dengar ia berteriak, “Biarkan saya sendiri dengan serdaduku, jangan ganggu, agar gengsiku terpuaskan!”
Dalam proyek yang potensial bagus, idenya dari Sandra, yang membuat file presentasi dia juga, yang memaparkan proyek ke calon investor dia juga, dan jelas bagus banget. Sayangnya, Sandra yang memang tipikal serius dan logis malah merusaknya.
Begitulah, film ini bergulir lambat dan tenang, tak ada tawa, tak ada teriakan, semua seolah dialog umum antar orang asing, formal dan apa adanya. Selain konfiks dalam pekerjaan yang monoton, ia juga bertentangan dengan ibunya yang banyak memberi nasihat, juga bapaknya yang mengajak kerjasama malah ditolak. Memang susah bergaul sama orang jenius, sampai akhirnya di titik yang tak bisa dijelaskan, ia mencoba melepas beban, dunia ini memang tak adil, tak pernah adil, dan tak akan pernah jadi adil.
Makanya sebagai manusia sosial kit harus bisa menempatkan diri, saat perlu ngumpul sama teman-teman ya santuy saja suasana, tak perlu serius. Saat meeting sama bos atau ketemu klien, baru serius. Hal-hal yang tak termaktub dalam aturan baku, manusia memenuhi etika. Saat menemukan ketidaksesuaian dengan hati, selama tak main fisik atau mencederai hati terdalam tak perlulah mencela-celanya secara destruktif. Tak banyak yang bisa kita perbuat untuk umum, kita hanya bisa mengubah dan menundukkan diri kita sendiri. Emile Durkheim, sosiolog Prancis yang terkenal, memperhatikan aspek solidaritas hubungan antara individu dalam kelompok dan dalam perkumpulan, dan membedakan mekanisme solidaritas yang menjiwai kelompok, dan organisasi solidaritas yang menjiwai perkumpulan.
Pekerjaan merupakan tumpuan tiap individu untuk bertahan hidup di kerasnya dunia. Memaksa kita untuk tetap waras, dipaksa melakukan hal-hal yang tak disukai, dipaksa melaksanakan rutinitas yang membosankan, mau tak mau mengikuti alur. Kita hidup dalam lingkaran yang menghubungkan orang satu ke orang lain, kita makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Suka sama ending-nya. Setelah bermenit-menit murung, bermenit-menit merenung, kibasan merdeka itu terjadi. Perasaan lega atas segala-gala-gala-galanya. Mencipta sungging senyum penonton.
Sandra Gets a Job | Judul Asli Sandra saab tood | Year 2021 | Estonia | Directed by Kaupo Kruusiauk | Screenplay Kaupo Kruusiauk | Cast Mari Abel, Henrik Kalmet, Helen Klasman, Alo Korve | Skor: 4/5
Karawang, 120422 – Bruno Mars – Just The Way You Are
“Atih, aku suka suasana kelabu seperti mendung, lembab dan setengah hujan. Kurasakan ini semacam nestapa, tapi nikmati.” – Danar
Ini adalah jenis bacaan sederhana yang bisa diselesaikan sekali duduk. Terdapat dua cerpen, keduanya drama sinetron, sederhana secara tampilan, sederhana secara cerita, sederhana secara penyampaian. Saya tak tahu, tapi saya tebak ini adalah dua cerpen dari majalah wanita Femina karya Ike Soepomo yang dibukukan. Jumlah halamannya yang sedikit, tampilan buku mungil nan tipis. Mari sedikit kita kupas.
#1. Permata Lembah Hijau
Ini adalah cerita penerimaan takdir, legowo. Ratih, adalah seorang istri yang sedang galau. Ia menyepi ke lembah hijau ke rumah bibinya. Ia kabur dari rumah, masalah rumah tangganya pelik. Ia ingin merengkuh dalam pelukan Bibi Mirah, curhat beban hidup. Apa masalahnya? Kita diajak flashback.
Suaminya Danar sejatinya adalah pasangan yang ideal, baik hati dan tak sombong. Keluarga ini tampak harmonis dan begitu romantis. Sampai akhirnya ujian tiba. Danar mengalami kecelakaan yang mengakibatkannya tak bisa aktif bekerja. Awalnya bosnya kasih kesempatan, lalu kendala kendala muncul, lantas ia tak kuasa mengikuti rutinitas dan arus kerasnya dunia kerja. Ujungnya berat.
Ratih lalu memandang hijaunya pegunungan, kabur dari kepenatan hidup. Kabur dari nasib buruk, tapi sampai kapan? Bukankah keluarga adalah segalanya. Kalau kalian siap menerima hal-hal baik dari pasangan, maka kalian sejatinya harus siap menerima hal buruknya juga. Pengertian kesetiaan diuji kala pasangan terpuruk.
“Ya, seperti yang selalu kaukatakan. Udara seperti ini semacam nestapa tapi nikmat.” – Ratih
#2. Malam Hening, Kasih Bening
Ini juga cerita tentang penerimaan takdir, kudu legowo. Endingnya mungkin terlalu manis, tak selarut sakit seperti cerpen pertama, tapi langkah menuju bahagia di akhir itu sungguh terjal. Pasangan bahagia Andrito dan Lestari sejatinya tak terkendala gosip apapun, kecuali satu. Mereka berlimpah materi, mereka sama-sama setia, mereka menghabiskan wkatu bersama hingga membuncah. Namun setelah sekian lama menikah, keinginan memiliki momongan tak kunjung mewujud. Lalu untuk melengkapi kesempurnaan, diputuskanlah mengadopsi anak.
Oki diadopsi dari orangtua tunggal ibu Nuriah, dimana pasangan kabur. Dari keluarga miskin, maka saat dokter kandungan teman lama SMA Andrito, dokter Sukrisno menawarkan melepasnya dengan sukarela ke keluarga kaya, ia setuju. Kesepatakan itu awalnya berjalan mulus, semuanya berjalan seperti yang direncana, hingga suatu hari keadaan Nuriah yang sudah membaik dan kangen meminta balik.
Karena taka da dokumen resmi adopsi, karena adopsi itu sukarela, maka seandainya dibawa ke ranah hukum, pasangan Andrito yang kalah. Maka mereka meminta waktu, menunda dulu, tak siap melepas Oki. Baiklah, perpanjangan waktu diberi, tapi karena waktu linier, sememuaskan diri bagaimana pun tetap akan berkahir. Hiks,…
“Kasih sayang yang bening kadang membutuhkan pengrobanan dan dalam hening semalam saya sadari saya…”
Apa yang kudapat seusai menikmati buku tipis ini? Kesetiaan. Jelas kesetiaan itu mahal. Kita kudu legowo sama pasangan. Tak hanya karena kaya, ganteng/cantik saja. Pernikahan adalah menyatukan dua pribadi yang berbeda, kudu siap menerima pula segala hal-hal negative pasangan. Syukur jelas wajib diapungkan. Ingat, pasangan itu adalah pilihan sendiri. Kita yang mencari, kita yang memperjuangkan, kita pula yang menerimanya. Kecuali dijodohkan, atau dipaksa kawin. Pasangan normal di era modern sejatinya sudah berhak menerima kebebasan memilih jodoh. Makanya. Segala plus minus pasangan harus diterima.
Yang pasti, buku-buku jadul seperti ini nyaman sekali dinikmati. Tak peduli tebal atau tipis, cerpen-cerpen masa lalu malah mencipta kejadulan asyik. Sederhana, serba nyaman, tak seperti zaman sekarang yang instan dan mudah. Romansa kisah jadi terasa lebih jleb, klasik dengan cerita yang juga dicipta di zaman dulu. Bukan cerita yang dibuat saat ini dengan setting zaman lampau.
Cinta, kata misterius yang sedari dulu selalu jadi pegangan. Manusia bisa bahagia karenanya, sekaligus bisa menangis sedih akibatnya. Dunia yang fana, cinta yang abadi.
Permata Lembah Hijau | Seri Femina | Gaya Favorit Press | Jakarta, 1984 | Gambar kulit oleh Fung Wayming | No. B 52 | Penerbit Gaya Favorit Press | Cetakan pertama, 1984 | Dicetaj PT Dian Rakyat, Jakarta | Skor: 3.5/5
Puasa sudah seminggu, dan wejangan ini menyentuh kepala empat. So far masih semangat, walau tak setegar di awal. Perjalanan masih sangat panjang… Hari 36
#1. Cerpen: Program Pembaca Nasib (Muhammad Aan)
Memainkan weton Jawa untuk disatukan dengan teknologi, peramal menghitungnya. Pasangan yang ragu datang, menganalisisnya. Bukan sesuatu yang baru, sudah sangat umum bagi masyarakat Jawa menghitung neptu.
#2. Esai: Numpang Parkir (Andina Dwifatma)
Tetangga dan segala aktivitasnya, termasuk parkir di depan rumahnya. Kalau sebentar, kalau pas ada hajat, kalau pas ada tamu, kalau sesekali sih tak mengapa, yang jadi masalah malah rutin dan seolah jadi pemakluman, tentu tak nyaman. Dan ini potensi konfliks, mari hormati tetangga kalian, seperti kamu menghormati hak-hakmu sendiri sebagai tetangga lainnya.
#3. Puisi: Garis (Sapardi Djoko Damono)
menyayat garis-garis hitam atas warna keemasan; di musim apa kita mesti berpisah tanpa membungkukkan selamat jalan? sewaktu cahaya tertoreh ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah debu, bianglala itu, kabut diriku? dan garis-garis tajam (berulang kembali, berulang ditolakkan) atas latar keemasan pertanda aku pun hamil. kau-tinggalkan
#4. Kata: Indonesia
balig: cukup umur, akil balig Hari 37
#1. Cerpen: Sembilan yang Kedelapan (Asmi)
Anniversary penikahan yang berantakan, bukan di pesta makan malamnya, ini adalah pertemuan absurd sebab keduanya sudah sepakat pisah. Ketemu di tempat makan pertama mereka bertemu, mencoba mengakrabkan diri. Jadi bagaimana bisa dua hati yang retak itu coba didekatkan?
#2. Esai: Untaian Hikmah bab Dua Perkara (Ibnu Hajar al-‘Asqalani)
Berisi hadist-hadist pilihan tentang dunia yang fana. Dari perintah salat hingga kewajiban sedekah.
#3. Puisi: Percakapan (Sapardi Djoko Damono)
lalu ke mana lagi percakapan kita (desah jam menggigilkan ruangan, kata-kata yang sudah dikosongkan. Semakin hijau pohonan di luar sehabis hujan semalaman; semakin merah bunga-bunga ros di bawah jendela; dan kabut, dan kabut yang selalu membuat kita lupa) sehabis hujan, sewaktu masing-masing mencoba mengingat-ingat nama, jam semakin putih tik-toknya
#4. Kata: Indonesia
balsam: minyak kental untuk pereda sakit kepala, masuk angin, dll; bahan pengawet mayat Hari 38
#1. Cerpen: Tentang Berjumpa dengan Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna pada Satu Pagi yang Indah di Bulan April (Haruki Murakami)
Di usia matang sepasang manusia yang pernah berjanji untuk bersama, hanya berpapasan di jalan. Padahal dulu ikrarnya mereka akan mencinta. Kriteria cocok seratus persen tak melulu fisik yang cantik atau bentuk tubuh ideal. Ini tentang ketertarikan.
#2. Esai: Kemesorotan Ummat Islam dan Upaya Pembangkitannya (Abul A’la Maududi)
Ditulis di Pakistam yang moralnya merosot, dikaji bagaimana bisa dunia Islam yang baik dan hebat itu kini ambyar. Ditarik mundur dari era penjajahan Barat, kemunafikan, hingga sistem yang salah: sekuler, nasional, demokrasi. Apalagi setelah merdeka, orang-orang dalamlah yang dilawan.
#3. Puisi: Malam Minggu (Joko Pinurbo)
Malam minggu malam para jomblo, malam para penunggu Pengembara muda duduk gelisah di beranda / menunggu pacarnya tak kunjung tiba. / rindu yang ditabungnya sudah jadi racun; / bahayanya sudah sampai di ubun-ubun. Ada orang linglung berjalan limbung di depan rumah / matanya bingung melihat zaman sudah berubah / mau belok ke kiri, ia gamang dan ragu / mau belok kanan, takut terjebak di gang buntu
#4. Kata: Indonesia
bujet: anggaran belanja, anggaran pemasukan dan pengeluaran uang; rencana anggaran terinci Hari 39
#1. Cerpen: Perihal Mesin dan Peristiwa (Galeh Pranudianto)
Isinya hanya tentang sektor-sektor yang dikembangkan, lalu para robot itu membantu manusia untuk bahagia. Segalanya dihitung dan dikaji, tak ada yang meleset. Benarkah?
#2. Esai: BMW (Bomb of Millenial’s WAQD): Konsep Berwakaf ala Millenial Masa Kini (Reskia Ekasari)
Mahasiswa menjadi pengusaha? Kebanyakan gagal terkait modal, bagaimana kalau modal dari waqaf? Dengan pengandaian setiap orang menanamkan 10 ribu, nilainya sangat luar biasa, sebulan bisa 1,5 milar, setahun bisa 18 milar. Esai tentang ‘sedekah’ tampak bombastis, tak sampai untuk otak tua sepertiku.
untuk Isma Sawitri ada sepasang lampu beca bernyanyi lirih di muara gang tengah malam sementara si abang sudah tertidur sebelum gerimis reda mereka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tibatiba sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori-pori si abang beca lalu mengalir di sela-sela darahnya sehingga ia merasa sedang bertapa dalam sebuah gua digoda oleh seribu bidadari yang menjemputnya ke suralaya dan hai selamat tinggal dunia
#4. Kata: Indonesia
boling: permainan menggelindingkan bola untuk merobohkan pin Hari 40
#1. Cerpen: Bagaimana Kita Menulis Cerita Pendek 20 Tahun dari Sekarang (Ardy Kresna Crenata)
Tahun 2018 cerpen ini dibuat, 20 tahun lalu mencipta cerpen dengan motivasi sepele dan memalukan, bagaimana dengan 20 tahun lagi? Artinya 2038, usianya sudah senja. Setiap masa ada lingkaran ketertarikannya masing-masing.
#2. Esai: Toa dan Budaya (Massa) (Mahfud Ikhwan)
Toa yang kini jadi polemik umum, dijelaskan secara runut perannya di era puncak Orde Baru tahun 1980 hingga 1990-an. Toa padahal tak melulu tentang agama, itu bisa jadi sarana untuk mengumpulkan massa. Untuk hajatan yang bisa tiga hari penuh berdentum, hanya off saat azan. Lain dulu lain sekarang memang…
#3. Puisi: Pagi (Sapardi Djoko Damono)
ketika angin pagi tiba kita seketika tak ada di mana saja. Di mana saja bayang-bayang gema cinta kita yang semalam sibuk menerka-nerka di antara meja, kursi, dan jendela? kamar berkabut setiap saat kita berada, jam-jam terdiam sampai kita gaib begitu saja. ketika angin pagi tiba tak terdengar “Di mana kita?” — masing-masing mulai kembali berkelana cinta yang menyusur jejak Cinta yang pada kita tak habis-habisnya menerka
#4. Kata: Indonesia
cabai: tanaman perdu, lombok Karawang, 090422 – Limp Bizkit – My Way
“Aku percaya surga bersembunyi di depan wajah kita.” – Sangok
Komunikasi timbul setelah kontak terjadi. Saya menemui si A maka terjalin perbicaraan. Saya menghubungi si B, maka komunikasi tercipta. Saya diajak ngopi sama si C, maka terjadi interaksi. Ini jenis film ngegoliam, di mana kata-kata lebih dikedepankan. Kekuatan ngobrol, keseruan dialog. Dan bobotnya, makin berat konfliks yang dibahas, maka makin menentukan kualitas cerita. Cerita sejatinya sangat sederhana, dan karena kesederhanaan itulah, tampilannya justru menarik. Minim pemain, minim lokasi, jelas minim bujet. Seorang artis yang mudik ke Seoul, tinggal sama saudarinya, menekuri hari-hari yang cerah, minum kopi, sarapan roti, melihat-lihat taman penuh bunga, makan di resto, lalu siangnya ada janji temu sama seorang sutradara muda. Janji tengah hari itu ditunda sore, maka sang artis memutuskan membelokkan taksinya ke tempat ia lahir dan tumbuh, rumah masa lalunya sudah direnovasi dan ditempati orang lain. Merokok jadi kebiasaan, guna mengakrabi kenalan. Sorenya ketika ketemu di bar sama sang sutradara, ia mendapat tawaran main film layar lebar. Ia mengaguminya, ia siap menyesuaikan jadwal syuting, dan saat naskah dikerjakan, Sang artis diperbolehkan balik ke Amerika barang setengah tahun atau lebih, nanti dikabari saat siap. Dan jawaban kejutan yang didapat. Tawaran-tawaran lain disampaikan, dan alkohol diedarkan. Siang terik, sore hujan deras ditemani petir, dan segalanya tersapu badai…
Jelas ini bukan film untuk semua orang. Isinya cuma ngobrol dari satu meja ke meja lain, dari jalan kaki menikmati pemandangan taman penuh bunga hingga merokok di bawah jembatan menikmati aliran air, percikannya menenangkan, menjadi backsound lembut seolah di taman firdaus. Dari pertemuan di resto ke pertemuan di bar, dan begitulah, seolah memang dipamerkan keindahan lanskap kota. Hiruk pikuknya jadi semacam latar, dan kata-kata bergulir semarak, keputusan-keputusan harus diambil, waktu terus berjalan, waktu berjalan linier, kita dilindasnya. Hidup, begitulah, tak pernah ada yang tahu masa depan.
Korea Selatan adalah Negara maju, ekspansi produknya sudah mengglobal. Dari Samsung hingga Hyundai, dari K-Pop sampai Drakor. Budaya baik ditampilkan di banyak adegan, misal menghormati yang lebih tua, salam sapa dengan saudara, pelukan hangat sebagai tanda kasih sayang, hingga menawarkan makanan bagi teman yang absen makan siang. Manusia harus mempelajari kebudayaan sejak ia lahir, selama seluruh jangka waktu hidupnya, hingga saatnya ia mati, semuanya dengan jerih payah, dan faktor kebiasaan jadi faktor paling dominan pembentuknya. Sistemnya sudah ada, tinggal eksekusinya. Kita misalkan, terbiasa makan dengan hanya menggunakan tangan kanan, berdoa sebelum makan, dan sedikit berbincang di atas meja. Hal itu tak serta merta, ada proses dan tempaan. Akan sangat sulit mengubahnya, faktor lingkungan memang sangat berpengaruh. Kita mungkin terbiasa melihat orang buang sampah sembarangan, atau pengendara menerobos lampu merah. Anehnya, warga kita, orang yang sama tersebut melancong ke Korea, akan otomatis mengikuti aturan yang ada. Orang Indonesia di Korea akan membuang sampah pada tempatnya, akan mengikuti antrian, dst. Lantas kemana sifat melanggar aturan itu menghilang? Unsur-unsur terkandung dalam watak itu tadi tentu saja tidak hilang lenyap begitu saja, melainkan hanya terdesak masuk ke dalam bagian dari jiwa manusia, hanya diredam, prinsip di mana bumi dipijak langit dijunjung secara naluriah aktif. Aneka warna tingkah laku manusia memang karena kolektif di mana manusia itu bergaul dan berinteraksi.
Endingnya sendiri sangat bagus. Menertawakan kekonyolan? Tersenyum masam atas keputusan sambil lalu, ataukah ada penyesalan yang terkandung di dalamnya. Yang jelas itu tawa getir, saat tahu dunia yang kamu tinggali akan kamu tinggalkan, lalu memaksimalkan masa yang ada dengan segala kekreatifannya, itu seolah tak bermakna. Apa yang dikejar, dunai fana, waktu fana, tubuh ini fana. Seribu tahun lagi kita semua dilupakan, mungkin Seoul masih ada, mungkin pula bumi masih baik-baik saja, hanya individunya yang berganti, lantas apa yang dikhawatirkan atas pembatalan janji temu?
Menurut Profesor Clyde Kluckhohn kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya: (1) Masalah mengenai hakekat hidup manusia, (2) dari karya manusia, (3) dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, (4) dari hubungan manusia dengan alam sekitar, (5) dari hubungan manusia dengan sesamanya. Kelima ada di film ini. kalau diperhatikan Sangok begitu bimbang, di mana opening adalah ending, dan ending adalah penafsir perjalanan manusia. Ia seperti terperangkap di sekitar, ia begitu mencoba menikmati hal-hal yang ada. Rokok, kopi, roti, pelukan, hingga warna-warni bunga. Rasa cukup menjadi titik utama, syukur, sabar, merdeka.
Bersikap dan berbuatlah seolah-olah kamu sangat bahagia. Maka ini akan membuat kamu betul-betul berbahagia. Seperti kata Sangok, surga tuh tersembunyi di depan wajahmu. Jadi kebahagiaanmu, hanya tergantung kepada apa yang kamu pikirkan.
Film sederhana yang bagus. Cerdas, sangat menggugah, dan juga diplomatis.
In Front of Your Face | Tahun 2021 | Korea Selatan | Sutradara Hong Sang-soo | Cerita Hong Sang-soo | Pemain Yunhee Cho, Lee Hye-yeong, Hae-hyo Kwon | Skor: 4/5
Ada sedikit keajaiban dalam segala sesuatu lalu sebagian menyusut hilang sama sekali. – Lou Reed
Cerita-cerita tak biasa di daerah observasi kaum Indian. Menggugah dan menyentuh hati. Disajikan dengan alur lambat, sering kali mengambil sudut pandang Victor, dan sungguh ini fiksi terasa nyata. Jelas ini dinukil dari kisah hidup penulis. Modifikasi pengalaman hidup seorang Indian Spokane yang tinggal di reservasi yang bersinggungan dengan warga mayoritas Amerika. Atau seperti yang ia bilang, Reservasi Indian Spokane adalah Sebuah reservasi kesenyapan.
Dibuka dengan dua kutipan:
Kusimak suara tembakan yang tidak bisa kita dengar, dan mengawali perjalanan ini dengan cahaya pengetahuan akar cinta menggelegarku. – Joy Harjo
Seseorang pasti mengatakan kebohongan tentang Joseph K., sebab tanpa melakukan kesalahan apa pun dia ditangkap pada suatu pagi yang cerah. – Franz Kafka
Karena ini buku ditulis oleh Indian Amerika, mayoritas isinya pengalaman hidup sang penulis. Dari masa kecilnya yang terkucil di rumah sendiri, padahal Indian adalah suku asli hingga riwayat hidup para tetua. Dari mabuk menyetir hingga permainan basket. Tema beragam, terkucil di tanah sendiri. Di era modern ini tak perlu perang dengan senapan, atau adu jago kuda, mereka hanya memerlukan satu tim basket keren untuk mengalahkan tim kulit putih, ini demi supremasi dan harga diri. James Naismith dianggap menemukan olahraga basket.
Dituturkan dengan pola acak, tak langsung mudah dipahami. Butuh beberapa kali baca untuk klik, seperti kalimat, “Mencengangkan betul menyadari bahwa aku hidup, bernapas dan membasahi tempat tidurku, sewaktu Jimi Hendrix masih hidup dan membanting gitar.” Tak ada korelasi langsung tentunya, sebab Jimi Hendrix adalah idola. Ayahku memainkan rekaman Jimi Hendrixnya sampai soak. Lagi dan lagi.
Banyak kata kiasan dan hiperbolis, “Orang bisa melakukan hal-hal yang sepenuhnya bertentangan dengan sifat mereka, sepenuhnya. Rasanya seperti gempa kecil menggemuruh dalam jiwa dan ragamu, dan itulah satu-satunya gempa yang akan kamu rasakan. Tetapi itu sangat merusak, meremukkan pondasi hidupmu selama-lamanya.” Atau kalimat ini, “Jika kamera video saat itu sudah ada, mungkin Victor sudah memfilmkannya, tetapi ingatannya jauh lebih bisa diandalkan.”
Salah satu tokoh kocak Thomas Built the Fire, yang hobinya mendongeng walaupun tak banyak yang mau mendengarkan, hingga sajian keju busuk yang menjadi santapan. Dari Jimmy Many Horses yang sekarat terkena kanker hingga edaran alkohol melimpah. Ditulis dengan fun sekaligus satire. Setiap orang menaksir kerugian, menimbang-nimbang pilihan.
Ini novel pertama Sherman yang kubaca, dan sangat menarik. Jadi tahu inspirasi tulisan-tulisan Bung Yusi Pareanom, beberapa pola bertuturnya mirip, beberapa kosakatanya sama, dan beberapanya lagi diadopsi. Umpatan-umpatan dalam Raden Mandasia jelas terobsesi sama Victor dan kawan-kawan. Walau levelnya tentu diperhalus.
Dan sekali lagi, penerbit Banana memuaskanku. Mau terjemahan ataupun tulisan lokal semuanya keren. Apakah ada penerbit lain yang bisa konsisten menerbitkan karya bagus seperti ini?
Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga | by Sherman Alexie | Istilah “Lone Ranger” dan “Tonto” serta karakter pada sampul adalah merek dagang milik dan digunakan seizing Palladium Limited Partnership. | Copyright 1993 | Penerbit Banana | Cetakan pertama, Agustus 2007 | Penerjemah Nppe Cholis dan Yusi Avianto Pareanom | Penyunting Yusi Avianto Pareanom | Sampul Mamato “Casava Underground” | ISBN 978-979-1079-05-1 | Skor: 5/5
Karawang, 310122 – 070422 – Tiffany – If Love is Blind
Vladimir: belum lama kita sendirian, menunggu datang malam, meunggu Godot, menunggu… menunggu… sepanjang sore kita suntuk bertengkar, tanpa bantuan. Semua kini berlalu. Rasanya kini sudah beralih menjadi esok.
Kubaca dalam dua hari. Secara cepat dan lugas. Walau berisi dua ratus halaman, tapi karena berisi dialog, isi buku tak padat. Pilihan katanya juga umum, tak perlu kerut kening. Intinya dua orang menunggu Godot di sebuah hutan, di bawah pohon. Lalu muncul orang asing yang mengisi kekosongan, lalu muncul utusan bahwa yang ditunggu tak bisa hadir, ia akan hadir besok senja. Dan esoknya beberapa hal terulang. Ini adalah naskah sandiwara, berisi dialog dan beberapa petunjuk gerak laku di atas panggung. Pesan tersirat, kita punya banyak waktu untuk menjadi renta sementara udara mampat dengan tangisan kita.
Berisi lima pelakon. Dan Godot-nya sendiri tak tampak hingga layar ditutup. Dua orang yang dominan adalah pasukan Vladimir dan Estragon. Keduanya saling silang berdialog di atas panggung, tentang waktu-waktu yang berlalu sembari menanti bos mereka. Lalu muncullah dua orang aneh Pozzo dan Lucky, bisa dan budak yang menyapa mereka. Mengisi banyak kekosongan yang tersaji. Makna waktu yang linier disinggung. Vladimir: berlalulah sang waktu / Estragon: betapa pun juga kini waktu berlalu. / Vladimir: Yah, meskipun tidak cukup cepat.
Keduanya berdebat dan seolah tak henti-hentinya bicara. Estragon: Sementara itu marilah kita mencoba tenang, lalu berbincang dengan tenang pula. Soalnya kita tidak berbakat untuk membisu.
Keyakinan dan keraguan mengambang, tak ada yang pasti. Vladimir: Ah, Gogo, jangan seperti itulah. Besok segalanya akan lebih baik. / Estragon: Kok kamu bisa seyakin itu?
Atau celetuk unik. Vladimir: Waktu cepat berlalu kalau orang bergurau!
Begitu juga diksi bagus yang puitik. Estragon: Pucat karena pudar. / Vladimir: Hah? / Estragon: Menggurat langit dan memandang kepada makhluk seperti kita.
Hari pertama tak hadir, tokoh kelima yang memberitahu laki-laki yang membawa pesan ketidakhadiran Godot. Keesokan harinya, hal sama terulang, dengan tingkah polah baru, dan pemukulan, ketidaksabaran, hingga keputusan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup. Hasilnya sama, Godot tak hadir. Lalu sebelum layar ditutup, mereka berencana beranjak pergi, tapi ternyata tak pergi.
Pozzo: Saya juga senang bertemu dia. Semakin banyak orang yang kutemui, semakin senang saja hatiku. Dengan bergaul dengan nakhluk berbudi orang bisa menjadi makin bijak, makin kaya – suatu hal yang biasanya tidak disadarinya. Bahkan dari kalian… bahkan dari kalian pun aku akan bisa menambah-nambah khazanahku.
Apa maknanya? Menanti yang tak pasti jelas ada di posisi tertinggi untuk mengartikan secara harfiah buku ini. Namun penafsiran lebih luas malah lebih liar. Ini tentang ketaatan pada kewajiban, bisa juga diartikan sebagai menjalankan kehidupan, menanti kematian, hal-hal dari dimensi lain yang dikaitkan ini malah makin menarik. Ini memang buku panggung yang absurd, tak gamblang, makna-makna penuh kiasan dan tersirat. Dan itu sah-sah saja. Dan seperti kata Estragon, menunggu juga pilihan, “Maka yang bisa kita lakukan tak lain cuma menunggu saja di sini.”
Lalu sempat bisa-bisa memikirkan bunuh diri, yang untungnya tak ada tali. Estragon: (memandang pohon) sayangnya kita tidak punya seutas tambang.
Makin menambah daya tarik mereka menunggunya di bawah pohon, kalau imajinasi kita lepaskan dan bebas mengartikan penantian di bawah pohon, bisa jadi itu juga naungan kehidupan. Pohon kan menghasilkan banyak manfaat buat manusia. Semua tampak mati kecuali pohon itu. Pohon Willow.
Ada satu kalimat panjang yang filosofis, “Air mata di alam ini jumlahnya tetap saja. Begitu ada seseorang mulai menangis, maka di tempat lain ada yang mulai diam. Demikian pula halnya dengan tertawa. Ah, tak perlulah kita omongkan perkara derita yang ditanggung generasi kita, bukan berarti generasi kita lebih tidak bahagia dibanding leluhur kita.”
Buku pertama terbit 1952, sudah tujuh puluh tahun berlalu dan kini menjadi klasik. Terbitan Narasi lumayan bagus alih bahasanya, kovernya juga kece, untuk kali ini tak banyak komplain. Nikmat dan nyaman dibaca santai tanpa perlu waktu khusus, artinya kubaca saat menjadi sopir keluarga, nongkrong di warung kopi di Karawang Timur di bawah pohon cerry. Karena tak banyak baca buku-buku sandiwara, rasanya buku ini tampak fresh. Imaji kita melalangbuana membayangkan kejadian-kejadian di bawah pohon itu.
Saya tutup catatan ini dengan dialog yang mengingatkanku pada kata-kata di atas makam Annemarie Schimmel yang dikutipnya dari Sahabat Nabi. Pozzo: “Saya bangun pada suatu hari yang cerah dalam keadaan buta bagaikan Dewi Fortuna yang kata orang juga buta itu. Kadang saya bertanya-tanya apakah saya ini tidak sedang tidur?” Dijawab dengan muram oleh Vladimir: “Rasanya semuanya cuma khayalan! Berani sumpah, kenyataan adalah kebalikan dari semuanya tadi.”
Menunggu Godot | by Samuel Beckett | Diterjemahkan dari Waiting Godot, A Tragicomedy in Two Acts, Faber and Faber, London, 1956 | Penerjemah Farid Bambang S. | Desain sampul Sugeng D.T. | Cet. 1, 2016 | Penerbit Narasi | 14 x 20 cm, | Skor: 5/5
Karawang, 170222 – 070322 – 060422 – RHCP – Easily