
“Santai saja tak usah teriak-teriak” – Quote of the year dari Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas by Edwin
Dari perang antar genk hingga burung yang tertidur, dari bu-ibu vakansi mengenang masa lalu hingga kesatria merenung, dari remaja melawan tradisi hingga pahit manis asmara, dari wanita labil pencarian jati diri hingga perjalanan kapsul ke angkasa, dari istri yang kesepian ditinggal mati mendadak suami hingga perjalanan suami yang kehilangan istri yang amat dicintainya. Tahun 2021 yang merentang panjang.
Ini adalah tahun keenam saya buat daftar 14 film terbaik. Masih nyaman dan konsisten. Tahun 2021 menonton 101 film, 2022 so far 24. Total film tahun 2021 yang selesai kutonton 55.
Inilah film-film terbaik 2021 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):
#14. The Green Knight – David Lowery
Ini tak seperti yang kita kira, pace-nya lambat dengan iringan musik sendu. Tentang pangerang yang melalangbuana memenuhi takdirnya. Dengan banyak simbolisasi, bait-bait puisi, fantasi dengan mantra di setiap benang rajutan kain pelindung, danau tak berbatas, hantu jelmaan, raksasa melintas, hingga metafora masa. Waktu bisa dilipat hingga ribuan tahun dalam sekejap. Pemenggalan kepala jadi sejenis ritual penting, keampuhan sihir dipertaruhkan. Drama fantasi sejati. Rapalan sihirnya sangat akurat, puitik, dan eksak, hanya mengizinkan pemegang kekuatan yang layak menerima, tidak lebih sedikitpun.
“Aku hanya pengelana tersesat. Mencari tempat istirahat malam ini.”
#13. The Lost Daughter – Maggie Gyllenhall
Bagus banget. Alurnya sangat lambat, tapi sangat patut dinanti hingga tikungan terakhir. Meskipun banyak dialog sampingan yang melenceng dari inti film, kita tahu ini film Oscar, kita harus menyimak dan mengayaknya untuk memperoleh butir-butir fakta yang bisa mengungkap benang cerita. Kesabaran itu terbayarkan. Iya, Jessie Buckley sangat cantik, tapi hiks, ia juga jahat. Olivia Colman memang sudah kelas aktingnya, udah level tinggi. Cuma senyum kecut, atau meringis pamer gigi kelinci aja bisa bikin meleleh. Mereka jadi duo Leda, keduanya sangat pas dan memukau. Namun Sang juara bagiku adalah Maggie Gyllenhaal. Adaptasi cerita ini berhasil bermain-main dengan konteksnya. Suatu hari ia bakalan dapat piala Oscar untuk bidang sutradara. Catet ya. Mencipta film alur lambat penuh pesan moral, dengan permainan tempo yang ciamik seperti ini, sangat sulit. Rasanya The Lost Daughter laik dapat lebih dari tiga nominasi.
“Saya adalah bunda yang tak wajar.”
#12. After Love – Allem Khan
Kesedihan terdalam adalah mengingat kebahagiaan masa lalu. Cerita cinta yang hilang dan respon menghadapinya. Drama dengan kekuatan akting dikedepankan, karena ceritanya sederhana, kalau dibagi dalam babak ada tiga: kehilangan, pencarian dan penemuan fakta, legowo. Dunia duka dengan segala isinya. Kematian mendadak orang terkasih memicu tanya beruntun saat menemukan isi chat mesra di HP almarhum. Menemukan sebuah kartu identitas wanita lain diselipkan dalam dompet, dan inilah inti dari After Love, perjalanan menemukan jawaban kehidupan lain sang suami. Ini kisah tentang tautan dua wanita dalam satu hati lelaki.
“Bersamaku membuatnya merasa menjadi suami yang baik untuk orang lain. Ini membuatku sedih”
#11. West Side Story – Steven Spielberg
Tawuran pemuda. Pertama yang terlintas saat adu pukul di cat tembok itu bukan seni musiknya, bukan pula pamer tari di jalan, tapi malah gerombolan Pemuda Pancasila (PP), GMBI, Gibas Betawi Rempug dan sejenisnya. Tawuran dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah seperangkat persoalan dan efek samping idealisme salah kaprah, persoalan ini jauh lebih rumit daripada narasi asmara yang dibawakan. Kalian kira seusai para korban berjatuhan, mereka akan merenungkannya mendalam, lantas esok berdamai? Oh tidak, ini adalah tradisi, kebiasaan, harga diri, (maaf) uang, dan tak peduli ada di dunia Barat atau di kota-kota Jabar, tawuran akan selalu ada. Kau tidak mungkin bisa batuk di sana tanpa membuat tiga orang lain tertular. Akar tradisi ini sungguh kuat.
“Di kota ini penuh dengan keburukan, binatang-binatang malang seperti kalian?”
#10. Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas – Edwin
Semua hal bisa dibuat menjadi dongeng. Ini salah satunya. Mencerita masa lalu, selalu nyaman. Kita bisa menelusuri masa itu di kepala dan mempelajarinya seperti di galeri seni yang penuh dengan instalasi video. Memutar memori, menuangkan dalam tulisan dengan berbagai modifikasi diaduk fantasi, lantas menjelma film. Ini adalah kisah tentang cinta, kerinduan, dan dendam serta burung yang tertidur terlalu lama. Cerita keren adalah cerita yang mampu bolak-balik menyeberangi batas antara keremehtemehan dan kekacauan, antara hal gila dengan hal biasa.
#9. Oxygene – Alexandre Aja
Film berpenampilan satu orang, yang suka film mikir harusnya suka. 1,5 jam menonton cewek rebahan pening pecahkan teka-teki dengan oksigen terbatas. Mengambil setting hanya satu tempat memanfaatkan ruang gerak sempit hanya dalam tabung, jelas mengingatkan Buried. Perjalanan nun jauh ke atas sana lalu kerusakan terjadi, jelas menautkannya pada Passenger. Scifi dengan klona demi menyelamatkan umat manusia di luar angkasa, jelas sekali terinspirasi Moon, mati satu tumbuh seribu. Ini adalah kisah fantasi, menanam ingatan mengembangbiakkan makhluk terancam segera punah, dan sesak napas tak terkira. Segala sesuatu yang tampak begitu infantil, begitu jauh dari realita.
“Aku adalah kau. Aku adalah kau di dalam bahaya.”
#8. Sweet and Sour – Kae-Byeok Lee
Setiap bentuk rasa frustasi, setiap akibat dari kepuasan naluriah yang dihalangi, atau yang mungkin diakibatkan, adalah berada dalam pemuncakan rasa bersalah. Waktu tak bisa diputar balik, tapi cerita bisa kan? Penyesalan selalu di akhir, kesalahan demi kesalahan diberbuat manusia, yang terlindas waktu tak bisa diubah. Bertabrakan menjadi sangat aduhai jika terjadi di bandara, dalam posisi lari mengejar wanita yang sama. Ini masa lalu, ini masa kini. Lantas masa depan apa yang lebih menawan untuk dijalani? Harga yang mesti dibayar demi kemajuan peradaban kita adalah hilangnya kebahagiaan melalui pemuncakan rasa bersalah.
“Jika tertinggal taksi, kau bisa menunggu yang berikutnya. Tapi jika kehilangan seseorang, maka sampai situ aja. Aku akan merindukanmu…”
#7. Yuni – Kamila Andini
Menyenangkan menyimak puisi dalam bentuk visual audio. Puisi itu menjelma filosofi yang samar-samar dalam benak semua orang jadi beberapa baris kalimat ringkas yang bermakna, bermanfaat, dan siap dipraktikkan. Film ini, dalam pengandaianku seolah menggambar menggunakan angka-angka, rumit sekaligus seru. Pridom abis!
“Perempuan harus mahir di dapur, di kasur, dan pakai pupur…”
#6. Last Night in Soho – Edgar Wright
Tentang gadis desa Cornwall yang melanjutkan sekolah design ke kota London untuk meraih impian. Memiliki masalah mental sering melihat penampakan, ditinggal ibunya bunuh diri sejak usia tujuh tahun. Dibesarkan dengan kasih sayang nenek. Dengan sering wanti-wanti untuk jaga diri, waspada di kota besar banyak setannya, selalu menghubungi rutin, dst. Terdengar klasik? Ya, tapi film menjelma gila saat hantu-hantu manusia tanpa wajah tahun 1960-an bermunculan, dan penyelidikan membuahkan kejutan.
“A murder in the past. A mystery in the future.”
#5. Eternals – Chloe Zhao
Dengan segala hormat, kali ini Marvel benar-benar menaikkan tensi ke area dimensi tak berbatas. Melintas semesta, jangkauannya sudah bukan New York lagi, dramanya bukan sekadar Bumi dengan segala isinya, kali ini menantang Sang Pencipta. Hitungannya bukan tahun, atau bulan, tapi sudah abad. Itupun ribuan abad lampau. Para penjaga bumi mendapati tugas berat setelah tahu bahwa misinya kini malah tak memihak penghuninya. Dilema kesetiaan pada sang pencipta, ataukah melawan tangguh untuk kelangsungan umat?
“Jika kau mencintai sesuatu, kau melindunginya. Itu hal yang paling alami di dunia.”
#4. The Power of the Dog – Jane Campion
Luar biasa. Jangan remehkan orang yang terlihat lemah. Kita tak tahu apa potensi yang bisa dikembangkan, air yang tenang lebih berbahaya ketimbang riak alir berisik. Ini film keluarga, bagaimana bertahan hidup di tengah teriknya mentari di rumah peternakan. Isu-isu berkembang lewat hembusan angin. Pohon-pohon jadi saksi perbuatanmu. Beberapa hal mungkin perlu disangkal, tapi buat apa.
“Selamatkan jiwaku dari pedang, dari cengkeraman anjing-anjing.”
#3. King Richard – Reinaldo Marcus Green
Ayah selalu mencintai anak perempuannya lebih daripada ibunya. Bikin film biografi tuh seperti ini, sodorkan hal-hal yang tak diketahui khalayak umum. Aduk emosi penonton dengan curang. Kalau diberi buku tulis, jangan menulis mengikuti garis, bikinlah tulisan miring, kalau perlu bukunya dibalik, kertanya disobek-sobek, lalu tulisannya dipecah, sehingga pembaca tak langsung paham. King Richard benar-benar mengaduk-aduk emosi. Salut. Bisa-bisanya Will Smith menemukan naskah cerita sekeren ini.
“Kau akan menjadi yang terhebat sepanjang masa. Bagaimana ayah tahu? Karena ayah sudah merencanakannya.”
#2. The Worst Person in the World – Joachim Trier
Ini jelas bukan film yang sekadar Oke, ini film adalah luar biasa. Seusai nonton seperti ada rasa yang mengganjal, ada yang meresahkan, tapi yang meresahkan itu memang sudah berlalu. Ya seperti waktu, kita sudah menjalani, lantas kita merasa ada yang salah di masa lalu, keputusan-keputusan dan tindakan kita salah, seperti kejahatan atau perbuatan yang menyakitkan orang lain yang terlanjur dilakukan. Namun rasa itu terdistorsi, seolah gumam, “ya mau gmana lagi? Setiap perbuatan ada konsekuensinya.” Nah seperti itulah perasaan saat credit title muncul, ada efek yang menggelenyar setelahnya, penonton tak dibiarkan tenang, penonton bahkan kena beban, seolah merasa kasih andil kesalahan, feminism kebablasan? Ataukah egoism yang membuncah? Film ditutup menimbulkan perasaan kacau, saya merasa seolah-olah turut melakukan kejahatan.
“Aku benci mendengarnya, tapi bisakah kau bilang bahwa aku akan menjadi ibu yang baik?”
#1. Drive My Car – Ryusuke Hamaguchi
Perbuatan selalu lebih banyak pengaruhnya daripada kata-kata, tapi bagaimana kalau kata-kata itu dialirkan dalam rengkuhan penuh cinta seolah langsung ditancapkan ke dalam pikiran? Kebenaran itu mengalir deras, dan ia menginginkan seluruhnya. Pengaruhnya tentu begitu tinggi, hingga hak-hak kita diabaikan dengan sukarela. Drive my Car adalah film dengan penerungan mendalam. Kata-kata dipilah dan dipilih sehingga penuh intimidasi tersirat. kata-kata membuncah, digurat dengan pena tajam, dipikirkan dengan sungguh-sungguh. Disajikan dalam mangkuk emas, citarasa sinema tiada dua.
“Jika aku hidup normal, mungkin aku akan jadi Schopenhauer atau Dostoevsky yang lain.”
Karawang, 310321 – Eagles – Hotel California
Happy Birthday Winda Luthfi Isnaini 16 tahun.