West Side Story: Seremonial Tragedi

Di kota ini penuh dengan keburukan, binatang-binatang malang seperti kalian?”

Tawuran pemuda. Pertama yang terlintas saat adu pukul di cat tembok itu bukan seni musiknya, bukan pula pamer tari di jalan, tapi malah gerombolan Pemuda Pancasila (PP), GMBI, Gibas Betawi Rempug dan sejenisnya. Tawuran dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah seperangkat persoalan dan efek samping idealisme salah kaprah, persoalan ini jauh lebih rumit daripada narasi asmara yang dibawakan. Kalian kira seusai para korban berjatuhan, mereka akan merenungkannya mendalam, lantas esok berdamai? Oh tidak, ini adalah tradisi, kebiasaan, harga diri, (maaf) uang, dan tak peduli ada di dunia Barat atau di kota-kota Jabar, tawuran akan selalu ada. Kau tidak mungkin bisa batuk di sana tanpa membuat tiga orang lain tertular. Akar tradisi ini sungguh kuat.

Film musikal memang sulit dinikmati, bayangkan kita lagi sedih kehilangan saudara, lantas dilantunkan lagu-lagu penghiburan. Tak hanya itu, ada pula koreografi narinya, saat kita berantem. Bak sebuah aksi silat dengan balutan balet. Film musikal hanya satu tingkat lebih baik ketimbang horror, tetap bukan genre yang akan saya ikuti. Menuntaskannya hanya karena masuk jajaran Oscar. Nah, diluarduga West Side Story bagus. Tragedi bak Romeo + Juliet, kita dijejali haru biru sepasang kekasih yang hubungannya timbul tenggelam lantara dua kubu genk kota saling kelahi, lantas terjadi pembunuhan. Nah gitu dong, film Oscar harus ada tragedy, dan film ini memenuhi harap. Walaupun hanya di setengah jam akhir, setidaknya ditutup dengan haru biru, bukan gula-gula manis.

Kisahnya tentang tawuran antar genk di New York tahun 1950-an. Dua kubu, Jets dan Warga keturunan Puerto Rico, Shanks selama bertahun-tahun selalu ribut. Tradisi kelahi ini membuat kepolisian keteter, Krupke (Brian d’Arcy James) dan Letnan Schrank (Corey Stoll) sampai muak capek menasihati. Genk Jets dipimpin oleh Riff (Mike Faist), sedang Shanks ada Bernando (David Alvarez).

Di sebuah pesta dansa, Maria (Rachel Zegler) adik Bernando datang dengan Chino (Josh Andres Rivera). Dansa yang menyatukan dan ceria itu tampak sepintas lalu mendamaikan kedua kubu, sebab muda-mudi ini berhasil membaur. Nah di sinilah mula awal konfliks dicipta. Maria melihat pemuda tamvan yang apesnya dari kubu musuh. Tony (Ansel Elgort) juga jatuh hati pada pandangan pertama, keduanya, diiringi lagu-lagu sebagai backsound lantas bertemu di balik dinding, dan berciuman. War-biasa, temu, kecup, jadian. Betapa mudahnya mendapat kekasih bila wajahmu mulus.

Sang kakak yang tahu, lalu memisahkan mereka. Namun cinta yang kuat membuat mereka nekda, bahkan malam itu Tony dengan norak berteriak-teriak di jalan menyebut nama ‘Maria’. Setelah para tetangga dan orang-orang complain dan terganggung sebuah jendela membuka, muncullah yang dicari. Maria yang meminta diam, dan pulang tapi Tony nekad ke atas dan dengan tangga darurat mengecup sang kekasih. Keduanya lantas berjanji besok sore ketemu.

Tony sampai belajar bahasa Spanyol sama Valentina (Rita Moreno), untuk merayu sang kekasih. Dengan tulisan tangan di kertas, kata-kata puitik digurat lantas dinyanyikan. Maria sempat dicegah untuk melangkah lebih jauh sama sang kakak ipar Anita (Ariana Debose). Namun memang, cinta memang buta, cinta memang gila. Misteri dari generasi ke generasi, panganan opo cinta itu?

Sementara kedua kepala genk menyepakati duel tengah malam di toilet. Dengan berbagai syarat dan ketentuan, dari senjata hingga peserta kelahi. Kabar itu berhembus ke segala penjuru kota, hanya tempatnya yang rahasia sehingga polisi tak tahu. Tony diminta Maria untuk mencegahnya, setidaknya mengambil pistol agar tak ada korban.

Sepasang kekasih itu benar-benar dalam dilema besar. Keputusan maju terus, janji setia sudah diikarkan. Kehati-hatian, sebab itulah yang didapat setiap wanita dari kehidupan yang keras ini. Kehati-hatian, sebab ia merasa melihat potensi itu. Latar belakang saja yang kudu diluruskan, bahkan niat baik dengan bersatunya mereka agar tradisi kelahi antar genk bisa berakhir sempat muncul pula. Namun segalanya-galanya ambyar. Tengah malam itu mengubah banyak hal, seperti kata orang bijak: dalam perang taka da pemenang. Semuanya terluka, semuanya kalah.

Serenade menghentak, lirik-lirik penghormatan muncul, isi lagu berisi narasi, dan begitulah, saya berkali-kali z z z z. sempat khawatir akan menjadi Coda berikutnya yang happy ending, ternyata tidak. Film mengubah haluan dengan luar biasa cepat saat waktu-waktu jelang berantem. Was-was dan kaget saat sebuah tikaman dilakukan, dibalas dengan tikaman lain. Langsung prediksi mengarah ke buku Shakespeare yang dramatis. Bahkan sekalipun sudah memerkira ke sana, saat Anita menjelaskan dan mencoba membersihkan noda-noda, saya tetap kaget ketika pertemuan ending itu dirajut di layar. War-biasa, bagaimana bisa eksekusi yang tak lebih dari sepuluh menit itu mengubah keseluruhan penilaian.

Ada nada kesal saat anggota keluarga mati, dia malah memihak sang pembunuh. Adegan saat kepergok itu memunculkan dua sisi marah dan kasihan secara bersamaan, seketika. Lebih jleb lagi yang memergoki. Perasaan terguncang atas kematian orang terkasih sudah cukup menyakitkan untuk malam itu. Guncangan karena sang adik ipar memilih jalan cinta membuatnya terus gemetar. Tamparan yang layak.

Yang membuat optimis adalah ini ditangani oleh sutradara kawakan. Yang menguatkan mata adalah masuk nominasi best picture. Yang meyakinkan adalah, ini rekomendasi Bung Tak, bisa yok bisa. Yang akhirnya sebagai film penutup Oscar, saya meyakini minimal tiga piala. Yang kutaruh di Ariana Debose, Spielberg, dan antara kostum atau desain produksi.

Bagian ujung itu kelihatan sekali dibuat seperti serenomial, mayat diangkat, seolah gerak lambat menuju tempat penghormatan terakhir. Bagaimana dukacita dibawakan dengan pas dan sendu. Tak peduli betapa mengantuknya kalian bermenit-menit sebelumnya, eksekusi akhir itu sangat berhasil menyentuh hati, bahkan para penonton jauh lebih emosional daripada para aktornya. Kita terlanjur menyayangi Sang korban, dan menyatakan diri sebagai pendukung perdamaian.

Berapa kali dalam hidup kita punya kesempatan menyaksikan seremonial tragedi di ujung film dengan khidmat? West Side benar-benar cerdas cara memukaunya, penonton masih melelehkan air mata, dan layar gegas ditutup. Tepuk tangan untuk itu, Spielberg pantas menang best director, sesuatu yang bisa Juri Oscars lakukan segampang membalik halaman kalender ke bulan berikutnya.

West Side Story | 2021 | USA | Directed by Steven Spielberg | Screenplay Tony Kushner | Cast Ansel Elgort, Rachel Zegler, Ariana Debose, David Alvarez, Rita Moreno, Brian d’Arcy James, Corey Stroll, Mike Faist, Josh Andres Rivera | Skor: 4/5

Karawang, 250322 – Peterpan – Mungkin Nanti